BELENGGU PEMIMPIN

REPORTASE KENDURI CINTA September 2017

Malam selepas Magrib, terdengar wirid tahlukah dibacakan, menandakan forum Kenduri Cinta dimulai. Terlihat jamaah yang tadinya tersebar mulai mendekat dan berkumpul ikut membacakan doa-doa dan wirid. Setelahnya, para penggiat yang malam itu diwakili Sigit, Fahmi, Hendra, Alif dan Dobby, tampil ke depan memoderasi forum. Tak lama, Adi Pudjo dan Pramono turut hadir melingkar di depan.

Tema kepemimpinan telah banyak diangkat di forum Kenduri Cinta sebelumnya. Kali ini sekali lagi, forum mengangkatnya. Hal ini merupakan pengembangan dari tema sebelumnya, Perjalanan Kebahagiaan. Adi Pudjo lantas mengawali diskusi dengan melempar pertanyaan, “Memimpin itu wajib atau tidak?” dilanjutkan, “Pemimpin itu mengajukan diri atau dipilih?” Pertanyaan-pertanyaan itu lalu menjadi pemantik untuk menjadi bahan perenungan. Sebab, kita hidup pada masa dimana orang berebut menawar-nawarkan dirinya untuk dijadikan pemimpin.

Sigit mengambil perspektif lain. Ia menghadirkan berbagai istilah lain dari pemimpin. Pada konteks struktur kekuasaan, dikenal kepala negara, kepala daerah, lurah, hingga skala terkecil yaitu kepala keluarga. Ia juga katakan, “Kita pun pemimpin bagi diri kita sendiri.” Luqman lantas ikut memberi perspektif. Ia merasakan pemimpin banyak terbelenggu masa silam dan kepentingan politik. Luqman lebih memilih mempersiapkan masa depan anak-anaknya, sebab anak-anak adalah pemimpin masa depan, jangan sampai mereka juga terbelenggu dengan sejarah kelam masa lalu.

Apa yang sebenarnya menjadi belenggu? Pramono lantas menggambarkan, dahulu ketika sistem perbudakan menguasai, budak-budak diawasi oleh seseorang yang memegang cambuk. Ketika budak tidak bekerja baik, ia dicambuk. Ketakutan memenuhi benak para budak. Budak diperlakukan demikian agar rasa takut terus membelenggu dirinya, agar ia tak memiliki keberanian melawan penguasa. Pramono berpendapat, kita musti mampu terlepas dari belenggu keinginan dan nafsu pribadi dalam diri. Selama manusia tidak mampu keluar dari ketakutan yang membelenggunya, selama itu pula manusia tidak akan mampu menjadi pemimpin.

Menyambung, Luqman juga mengkhawatirkan perilaku keseharian yang membelenggu. Seperti penggunaan media sosial dan smartphone secara umum. Di media sosial, anak-anak muda dengan bangga mempertontonkan aib-aib mereka, dimana generasi sebelumnya menjaga hal itu. Ada batas-batas kewajaran yang kini dirasanya telah runtuh. Terlebih, silaturahmi kini cukup melalui media sosial, kecenderungan interaksi dengan bertatap muka semakin menurun. Luqman juga menceritakan proses kreatif pembuatan desain poster acara malam itu, yang juga merefleksikan belenggu duniawi pada manusia.

Sigit lantas mengajak kelompok pengajian dari Indramayu, untuk naik bersama di panggung. Kasnadi, perwakilan rombongan, menceritakan mereka selalu hadir di Kenduri Cinta, hampir setiap bulannya, datang serombongan dari Indramayu.

Jamaah kemudian ikut memberi pendapat. Teti, asal Tangerang, berpandangan bahwa belenggu juga bisa bersifat positif, seperti presiden yang terbelenggu amanat rakyatnya, maka hal itu merupakan belenggu yang positif. Jamaah lain, Mujin, asal Bumiayu, berpendapat bahwa belenggu itu menyakitkan. lantas menceritakan hidupnya yang terbelenggu masa lalu. Mujin yang berprofesi sebagai pengamen itu merasa bahwa pemimpin adalah ia yang memberi uang ketika ia mengamen. Hal itu karena ia merasa ada nuansa imbal balik.

Melewati sesi diskusi, forum diisi dengan kesenian agar tensi intelektual seiring dengan kultural. Sebuah puisi kemudian dibacakan oleh Restu Prawiranegara, dilanjutkan penampilan Raras Ocvi yang malam itu tampil bersama adiknya membawakan lagu-lagu populer dengan alunan gitar akustiknya.

Tampak diantara kerumunan, kotak-kotak kardus dijalankan dari satu jamaah ke jamaah lain. Kotak itu sarana jamaah dalam berkontribusi, dimana setiap bulannya para penggiat (pengurus) komunitas memberikan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana kontribusi itu secara terbuka. Sifat swadaya dan mandiri ini telah dibangun komunitas sejak dulu.

Segala yang kita perbuat kelak akan dimintakan pertanggungjawaban di hadapan Allah, tidak terkecuali para pemimpin.
Noorshofa, Kenduri Cinta (September, 2017)

Belajar Pada Para Nabi

Membuka sesi selanjutnya, Fahmi Agustian tampil memoderasi forum, mengajak jamaah untuk mengelaborasi kembali sifat-sifat pemimpin, “Apa saja sifat-sifat yang harus ada pada sosok pemimpin?” tanyanya. Respon jamaah beragam, seperti: populer, gaul, menghalalkan segala cara, otoriter, blusukan, berintegritas, kompeten, loyal, dan banyak sifat lainnya. Diskusi lalu mengalir, dengan keadaan perpolitikan Indonesia saat ini, banyak jamaah berpendapat, tidak akan memunculkan pemimpin sejati.

Fahmi lantas mengutip essay Cak Nun yang memuat 4 ketetapan Allah terhadap manusia: diberi hidayah; dibombong; disesatkan dan ditinggalkan. Dari keempat itu, pada posisi manakah bangsa Indonesia kini diposisikan? Hal ini tentu dapat dirasakan melalu ketelitian dan daya membaca masing-masing kita. kira-kira kita sebagai manusia berada pada level atau posisi yang mana? Kira-kira, pemimpin di Indonesia hari ini berada di posisi yang mana? Memang kita tidak bisa memastikan dimana posisi orang lain, tetapi setidaknya kita mampu merasakan bahwa melalui ketelitian dan pengalaman kita.

Dalam pandangan Fahmi, seperti layaknya imam salat, maka seorang imam salat berjamaah tidak sepantasnya mengajukan diri, mencalon-calonkan dirinya, mempromosikan bahwa dirinya lah yang paling baik.

Indonesia dengan segala kekayaan alam dan potensi manusia yang luar biasa tentunya merupakan anugerah tersendiri. Kini, justru persoalan utama adalah kepemimpinan. Masing-masing kelompok tidak mempercayai kelompok lainnya. Pemilu hanya mejadi kamuflase untuk berganti kekuasaan, tidak memunculkan kepemimpinan sejati.

Ali Hasbullah ikut menambahkan dengan mengutip ayat Alquran terkait kepemimpinan, yaitu pada Surat Al-Hasyr ayat 22-24, yang didalamnya terdapat 14 sifat Allah yang dapat dimanifestasikan menjadi sifat-sifat kepemimpinan. Ali berpendapat, calon pemimpin yang dipilih rakyat melalui mekanisme partai politik tidak akan menghasilkan kepemimpinan sejati. Terutama dengan praktik politik transaksional, calon presiden atau kepala daerah akan terbelenggu saat ia berkuasa. Pada sisi lain, masyarakat yang kini cenderung materialistis juga tidak memiliki kemampuan memilih pemimpin yang kompeten.

Perlahan, tema Belenggu Pemimpin malam itu mulai dapat dirasakan kontekstualitasnya dengan keadaan sekarang. Mendekati tengah malam, Ustad Noorshofa turut menambah wawasan, mengutip ayat Alquran yang mengajak umat untuk meneladani Nabi Adam, Nabi Nuh, keluarga Nabi Ibrahim dan Keluarga Imran sebagai rujukan kepemimpinan dalam Islam. “Kita meneladani Nabi Adam karena kecerdasannya,” Ust. Noorshofa lalu menjelaskan, “Nabi Adam adalah wujud manusia yang langsung diciptakan oleh Allah, sehingga tubuhnya paling sempurna dibanding manusia lainnya.” Meneladani Nabi Nuh karena istiqomah-nya dalam berdakwah. Dari keluarga Ibrahim, kita belajar tentang ketaatan anak kepada ayahnya. Begitu juga dari keluarga Imran, kita belajar ketakwaannya kepada Allah SWT.

Kenapa tidak menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu teladan kepemimpinan dalam hidup kita? Ustad Noorshofa sampaikan, karena memang kita tidak akan mampu benar-benar mengikuti perilaku hidup beliau. Sungguh, begitu berat hidup kita jika kita mengikuti lelaku hidup Rasulullah SAW.

Ust. Noorshofa juga menyampaikan, agar pemimpin tidak terbelenggu kepentingan duniawi, setidaknya ia harus menahan diri atas empat hal, yaitu dalam keadaan senang, dalam keadaan takut, ketika memiliki harapan dan cita-cita, dan menahan diri ketika dalam keadaan marah.

Pada paparannya malam itu, Ust. Noorshofa menyisipkan kisah-kisah jenaka penuh hikmah. Hal itu kerap dilakukannya untuk menyegarkan suasana. Mengakhiri paparannya, Ust. Noorshofa mengingatkan bahwa segala sesuatu yang kita perbuat kelak akan dimintakan pertanggungjawabn di hadapan Allah, tidak terkecuali para pemimpin.

Kita tidak bisa menjadi pemimpin jika tidak bisa memimpin diri sendiri.
Husain, Kenduri Cinta (September, 2017)

Tut Wuri Handayani

Menjelang tengah malam, Cak Nun hadir di forum. Duduk di sampingnya beberapa praktisi pendidikan asal Turki yang telah menetap lama di Indonesia. Mengawali, Cak Nun mengajak jamaah untuk menajamkan tema dengan skala yang terukur, dan jika itu digunakan dapatlah dikatakan ‘pemimpin’ yang dibicarakan forum sejak awal adalah pemimpin dalam konteks kenegaraan. Cak Nun lantas merujuk Alquran, dimana ada banyak istilah pemimpin; rais, imam, amir, khalifah, ulil amri, mursyid, hingga nabi dan rasul, yang dalam Islam disifati dengan: siddiq, tabligh, amanah dan fathonah. Dalam khasanah Islam, pemimpin tidak terbatas jenis dan jumlahnya. Sementara pada dunia modern, sifat-sifat kepemimpinan masih abstrak; loyalitas, integritas, kapabilitas, kompetensi, ekspertasi, dan sebagainya, dimana sifat-sifat itu masih terlalu luas.

Mengenai pemimpin yang mencalonkan dirinya, Cak Nun menyikapi, “Tidak mungkin seorang pemimpin sejati mencalonkan dirinya. Dari segi budaya tidak pantas. Gak ilok.” Bukan hanya menunjukkan bahwa orang —yang mencalonkan diri itu— tidak punya rasa malu, namun ada banyak faktor yang mustinya menjadikan manusia tidak pantas mencalonkan dirinya sebagai pemimpin.

Filosofi kepemimpinan dari Ki Hadjar Dewantara —ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani— kini terasa makin sulit diaplikasikan. Kini, justru yang terjadi: ing ngarsa sung buntoni, ing madyo mbubrah karso, tut wuri hanyrekali. Jika sudah di depan, maka berjuang dengan segala cara agar orang lain tidak berada di depannya. Misal, berusaha agar periode berikutnya berkuasa kembali. Bahkan, mengusahakan agar kekuasaan tidak pergi dari keluarganya. Setelah suaminya menjadi bupati, berjuang agar istrinya meneruskan di periode selanjutnya. Sementara ketika berada di tengah, yang terjadi adalah saling merusak satu sama lain. Dan mereka yang berada di belakang, justru bersikut-sikutan, saling berebut agar secepatnya maju paling depan.

“Pemimpin itu satrio pinandhito sinisihan wahyu, itu kalau kita menggunakan istilah Ronggowarsito,” terang Cak Nun menjelaskan bahwa sifat satria telah mencakup semua sifat kepemimpinan yang sejati. Tidak mungkin satria itu tidak jujur, tidak mungkin satria itu mencuri, tidak mungkin satria menyakiti hati rakyatnya, satria tidak mungkin tidak suci. Pinandhita adalah orang yang sudah tidak lagi memikirkan dunia, ia zahid, tidak pathéken terhadap dunia, tidak memiliki kepentingan politik. Sinisihan wahyu artinya ia dibimbing, dikawal, didampingi oleh Allah, terus-menerus, sehingga saat mengambil keputusan, apapun itu, selalu dinaungi hidayah Allah.

Narasumber berikutnya adalah Husain dan Ari Rosandi. Pak Husain, asal Turki namun sudah 20 tahun tinggal di Indonesia, ia berkeinginan untuk menjadi warga negara Indonesia. Pak Husain bekerja di lembaga pendidikan dimana putra-putri Cak Nun bersekolah disana.

Pak Husain membuka dengan menceritakan kisah awal saat tahun 1997 ia datang ke Indonesia. ia juga utarakan kecintaannya pada Indonesia. Tentang tema kepemimpinan, dalam dunia pendidikan guru adalah pemimpin. Guru menjadi teladan bagi murid-muridnya. Pendidikan juga harus mengajarkan toleransi. Pendidikan musti diawali dari mengembangkan karakter dan akhlak, itulah pendidikan terpenting, lebih dari yang lain. setelah diberilah pendidikan sains, sosial dan sebagainya. Menutup paparannya, Pak Husain mengingatkan untuk memperbaiki diri sendiri lebih dulu sebelum memperbaiki orang lain. ”Kita tidak bisa menjadi pemimpin jika tidak bisa memimpin diri sendiri,” tuturnya.

Melanjutkan, Ari Rosandi ikut berbagi khasanah. Dalam pendangannya, menyiapkan pemimpin dimulai dari keluarga dan sekolah. Rumah dan sekolah adalah lembaga yang esensial dalam melahirkan pemimpin yang berkualitas.

Pendidikan adalah asistensi untuk kembali menemukan dirimu.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2017)

Menemukan Diri

Malam makin larut. Jamaah terlihat masih tak bergeming. Melanjutkan pembahasan mengenai pendidikan, dalam pandangan Cak Nun, sekolah adalah pengiring yang menemani anak mengenyam pendidikan. Pendidikan yang sejati dimulai sejak di alam rahim, jauh sebelum manusia dilahirkan, Allah lah guru pertama. Lahir ke dunia merupakan bentuk kelulusan dari alam rahim.

Sesuai dengan ayat ’allamal insana malam ya’lam, bayi memiliki ilmunya sendiri begitu ia lahir, muta’allimul ghoibi wa-sy-syahadah, dalam ketidaktahuannya ia langsung meneliti dan mencari dimana ibunya, mencari puting susu ibunya. Inisiatif keluar dari rahim Ibu adalah hasil pengajaran Allah. Memang alamiah, tetapi inisiator kealamiahan itu hakikatnya adalah Allah. Ayat kelima surat Al-Alaq pun relevan dengan ayat; Wa ’allama l adaama al asmaa’ kullaha. Allah yang mendidik Nabi Adam, maka kita juga harus menyadari bahwa Allah yang mengajari kita dan Allah adalah guru utama kita.

A lastu birobbikum; ayat yang mengungkapkan betapa Allah sayang pada kita, bahkan jauh sebelum kita dilahirkan dari rahim ibu. Pada ayat tersebut, Allah menggunakan kata robbun, bukan malikun, bukan ilahun, karena memang titik beratnya adalah rububiyah, pengayoman yang sifatnya adalah kasih sayang. Dijelaskan Cak Nun, alasan utama penciptaan manusia adalah cinta, kemudian luasan dari cinta itu menjadi kasih sayang.

Menyambung tema, jika salah satu sifat Allah adalah ’alimul ghoibi wa-sy-syahadah maka manifestasi sifat Allah dalam diri manusia adalah muta’allimul ghoibi wa-sy-syahadah. Ghoib adalah hal-hal yang belum kita ketahui faktanya. ”Jadi, pendidikan sebenarnya adalah asistensi untuk kembali menemukan dirimu,” tutur Cak Nun. Saat bayi terlahir, ia dibuat lupa atas perjanjian yang sebelumnya disepakati dengan Allah. Sementara yang terjadi sekarang, pendidikan membentuk anak sesuai keinginan orang tua dan gurunya.

Cak Nun mengapresiasi sekolah yang dikelola Pak Husain. Sekolah itu mampu menjaga agar anak-anak terhindar dari ambisi orangtuanya. Anak dipacu menemukan dirinya sendiri, dijamin keamanan berpikirnya, tidak terpengaruh eksternal, seperti media, fashion, pergaulan modern, dan semacamnya. Pikiran mereka sehat, imannya selamat, kreativitasnya terkawal. Anak dididik untuk dewasa secara kesantunan dan budi pekerti.

Menghangatkan malam itu, kesenian pun digelar. San Jose Brothers, sebuah kelompok musik dari Komunitas Jazz Kemayoran lantas membawakan beberapa lagu. Jamaah pun larut dan ikut bernyanyi bersama. Suasana terbangun hangat, raut wajah mereka pun kembali segar sebelum memasuki sesi diskusi selanjutnya.

Setelah, diskusi dilanjutkan dengan membuka pertanyaan serta pendapat dari jamaah. Seorang jamaah menanyakan kondisi politik dalam negeri Turki dan pengaruhnya pada lembaga yang notabene dari Turki itu. Lalu, Agung menanyakan bagaimana perlakuan tertentu agar atmosfer pendidikan di keluarga bertambah baik. Ibu Ipung Purwani selanjutnya, ia menanyakan bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia? Disambung dengan Agus, yang mempertanyakan bagaimana ia dapat mencintai Allah dan Rasulullah secara bersama. Agus malam itu ikut menghangatkan suasana dengan membacakan puisi WS Rendra berjudul Sajak Anak Muda.

Pak Husain merespon Bu Ipung, bahwa kurikulum yang digunakan di sekolah tempat ia mengajar adalah kurikulum yang berlandaskan cinta dan toleransi. Tidak ada pemaksaan belajar sebelum anak bisa. Anak dibimbing dan dipacu agar mereka mencintai apa yang ia pelajari. Toleransi diperlukan karena setiap anak memiliki kapabilitasnya sendiri. Hubungan guru dengan orang tua murid juga harus baik agar diperoleh formulasi tepat dalam mendidik. Pondasi dalam mendidik anak adalah melayani, sehingga terbangun suasana kasih sayang antara guru dan anak.

Bila engkau ingin menjumpai Allah maka berbuat baiklah.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2017)

Meruhanikan Materi

Memperkaya wawasan tentang pendidikan, Cak Nun menyodorkan konsep pendidikan Taman Siswa, yang kini diadaptasi oleh sistem pendidikan di Finlandia, dimana anak merasa belajar di taman atau alam. Guru semestinya mendidik secara ’aalimul ghoibi wa-sy-syahadah (dari tahu menjadi tahu) dan Ar-rohman dan Ar-rohim (kasih sayang). Tidak mungkin terwujud pendidikan tanpa adanya toleransi dan cinta, dan tidak mungkin ada toleransi tanpa cinta, tidak mungkin cinta tanpa toleransi. ”Tidak mungkin Ar-rahman tanpa Ar-rahim. Tidak mungkin Ar-rahim tanpa Ar-Rahman. Anda harus memiliki cinta yang meluas dan cinta yang mendalam. Tinggal anda memulainya dari mana,” Cak Nun menuturkan.

”Syarat untuk suci, menjadi guru, adalah memiliki kemampuan dan keikhlasan untuk membawa anak didik berhijrah dari tidak tahu menjadi tahu (’aalimul ghoibi wa wa-sy-syahadah), disertai kasih sayang (huwa rohmaanurrohiim),” ulang Cak Nun sembari menjelaskan konsep pendidikan Taman Siswa. Prinsip ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani adalah konsep yang sangat relijius, merupakan manifestasi dari surat Ar-Rahman ayat 22-24. Dengan kesadaran ayat itu, kita tidak mungkin membicarakan bumi tanpa ingat kepada langit. Ketika kita belajar tentang alam, maka kita akan menyadari bahwa ada Sang Maha Pencipta.

Merespon pertanyaan sebelumnya, bahwa kepemimpinan ialah mahluk yang dibimbing tidak bisa berkuasa atas yang dipimpinnya, Cak Nun merespon: hanya Tuhan yang kemudian membimbing pemimpin dan kemudian membimbing yang dipimpin, misalnya untuk patuh pada pemimpinnya atau sebaliknya. Kita hanya tajalli Allah, hanya mahluk, manusia pinandhito, apapun yang kita perbuat adalah atas kehendak Allah. Maka, kita harus memimpin diri sendiri, dengan mentakaburi masalah dan diri kita sendiri. Karena kepemimpinan berasal dari Allah, kita pun patutnya takabur terhadap kepemimpinan itu sendiri. Konsep sinisihan wahyu itu dibimbing, bukan membimbing. Karena manusia adalah makhluk (yang diciptakan), bukan khaliq (pencipta).

Salah satu ijtihad Maiyah adalah mengikuti kehendak Allah. Hari ini, Maiyah bisa sebesar ini, se-istiqomah ini, adalah karena mengikuti kehendak Allah. Maiyah tetap istiqomah dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Di Maiyah, manusia belajar menjadi egaliter, bebas. Siapa saja boleh bergabung, siapa saja boleh berbicara, mengenai apa saja. Karena yang dicari di Maiyah adalah orisinalitas diri dari setiap manusia yang hadir, bukan pencitraan, bukan topeng, bukan akting. Cak Nun menegaskan bahwa beliau pun tidak mampu membuat jamaah bertahan duduk berjam-jam di forum-forum Maiyahan. Semua yang terbangun di Maiyah adalah atas hidayah Allah. ”Maka jangan menuntut Maiyah untuk menjadi gerakan sosial, karena Maiyah memang bukan gerakan sosial,” tegas Cak Nun.

Cak Nun menyampaikan, “Bila engkau ingin menjumpai Allah maka berbuat baiklah. Wa man yarju liqoo’a robbi fal ya’mal ’amalan sholihaa.” Hal itu sekaligus menjawab pertanyaan jamaah, bahwa kita, manusia, sebenarnya tidak bisa diandalkan atas dikabulkannya doa-doa. Allah menciptakan Muhammad SAW sebagai kekasih yang paling dicinta-Nya. Dalam cintamu kepada Allah terdapat cintamu pada Muhammad SAW, dan dalam cintamu pada Muhammad SAW terdapat cintamu kepada Allah.

Begitu juga cinta suami kepada istri dan sebaliknya, kepada orang tua, kepada anak-anak kita, dalam cinta kita kepada mereka semua itu ada cinta kepada Allah dan cinta kepada Muhammad SAW. Dialektika cinta segitiga itu sesuai dengan surat Ali-Imron ayat 31, qul inkuntum tuhibbunallaha fattabi’uuni yuhbibkumullah, wa yaghfir lakum dzunuubakum, wallahu ghofuurun rohiimun.

Hidup adalah perjuangan untuk mencapai tingkat tertinggi dari rohani.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2017)

GENERASI BARu

Malam makin larut, namun jamaah seakan belum puas, sesi pertanyaan lantas dibuka kembali. Seorang jamaah bertanya, cara agar dipimpin oleh yang Maha Pemimpin? Fandi, jamaah lain, menanyakan situasi dan kondisi sistem pendidikan dan pemerintahan Indonesia yang tidak mendukung 100% terhadap inovator-inovator anak bangsa? Ditutup pertanyaan jamaah asal Bandung, didasari kekalahan Tim Nasional U-19 di babak semifinal Piala AFF, ia bertanya, “Sebenarnya harus seberapa dekatkah pemimpin dengan Tuhan? Siapakah yang salah atas kegagalan tim nasional sepakbola yang sudah berulang kali terjadi ini?”

Merespon kekalahan tim nasional sepakbola, Cak Nun mengatakan, kekurangan atau persoalan yang dihadapi oleh Timnas pararel dengan persoalan yang dihadapi oleh bangsa yaitu adanya ketidakpercayaan diri di benak bangsa, sifat tidak percaya diri ini menular ke Timnas. Mereka menyangka sepakbola luar negeri lebih hebat, pelatih luar negeri tidak pernah salah dan sebagainya. Tradisi lama itu sudah mulai dibongkar, salah satunya oleh pelatih Indra Sjafri.

Secara teknik individu pemain mereka sudah memiliki kemampuan. Satu hal yang penting, mereka telah berusaha dan tekun, kekalahan ini hanya ujian. Cak Nun melengkapi dengan ayat: Wa ’asaa an tukrihu syaian wa huwa khoirun lakum, wa ’asaa an tuhibbu syaian wa huwa syarrun lakum. Bahwa yang buruk menurut kita belum tentu buruk untuk kita, dan yang baik menurut kita belum tentu baik untuk kita. “Urusannya bukan juara atau tidak. Urusannya adalah sungguh-sungguh atau tidak? Kamu tekun atau tidak? Kamu jujur apa tidak? Perkara nasib, Allah yang menentukan,” sambung Cak Nun.

Menutup forum, Cak Nun berpesan agar semangat kita harus untuk menjadi energi baru yang berbeda dari sebelumnya, menjadi lebih baik dan lebih maju. Generasi Indonesia hari ini adalah generasi baru, bukan generasi yang melanjutkan generasi sebelumnya.

Cak Nun memberi pitutur, ilmu dari Allah hakikatnya seperti software, agar kita mampu membaca atau mengenali ilmu Allah maka kita musti meningkatkan hardware dalam diri kita. Hidup adalah perjuangan untuk mencapai tingkat tertinggi dari rohani, sementara yang dilakukan Indonesia saat ini hanya berhenti pada materi. “Materi bukan tidak penting, tapi jangan sampai materi menelan rohanimu. Pancasila, seharusnya dipahami sebagai energi rohani, bukan energi materi,” tutup Cak Nun.

Tak terasa waktu telah menunjukan pukul tiga pagi lebih. Nampak jamaah masih betah di Kenduri Cinta. Namun semua harus istirahat untuk esok kembali melanjutkan aktivitas. Cak Nun pun musti bergegas. Kenduri Cinta ditutup dengan berdoa untuk kebaikan semua, dan percaya bahwa sesuatu yang diidam-idamkan, asalkan Allah berkehendak. pasti akan terjadi. Kun fayakun.