BANGSA PENUNGGU MAGRIB

Reportase Kenduri Cinta Agustus 2011

Malam itu jelas sudah lewat waktu Magrib. Demikian halnya waktu Isya, bahkan salat Tarawih pun telah usai ditunaikan. Bertepatan dengan malam ke-13 Ramadhan 1432 H, forum Kenduri Cinta mengangkat tema Bangsa Penunggu Maghrib. Diterangi sinar bulan yang belum sepenuhnya purnama, maiyahan malam itu diawali dengan tadarusan bersama. Satu per satu jamaah mulai hadir, hingga ‘komando’ untuk merapatkan barisan pun diteriakkan sebagai tanda acara akan segera memasuki sesi inti. Mengantar jamaah untuk lebih membumikan tema, maka didaulatlah Adi, Rusdianto dan Ibrahim untuk memaparkan mukadimah.

Adi menguraikan bahwa penunggu adalah seseorang yang secara pasif menunggu sesuatu, sedangkan petunggu merupakan orang yang mengerjakan menunggu secara aktif. Maksudnya aktif adalah ia justru mengerjakan Maghrib, sebuah fase transisi kehidupan dari terang kepada gelap, sebuah cita-cita tentang perubahan hidup yang sangat mendasar dan penting. Perubahan ke arah manakah yang akan dibawa akan sangat tergantung dari niat, tingkat keikhlasan, serta pilihan jalan yang mana yang akan ditempuh.

Senada dengan uraian sebelumnya, Ibrahim lebih menjurus kepada akar kata magrib. Magrib memiliki akar kata yang sama dengan gharby, artinya barat, tempat tenggelamnya matahari atau cahaya. Dikaitkan dengan ibadah puasa yang tengah kita jalani, magrib merupakan saat para pelaku puasa membuka puasanya. Puasa memiliki pengertian yang sangat luas, apapun yang sebenarnya halal, bahkan menjadi hak kita, namun kita tinggalkan atau tahan sejenak, itulah puasa. Puasa tidak hanya menahan segala hal yang membatalkan puasa dari fajar hingga Magrib.

Fase Magrib yang banyak dinanti orang sehingga bangsa kita menjadi “bangsa penunggu maghrib” adalah sebuah kesempatan sekaligus tantangan pembuktian diri tentang seberapa berkualitas puasa yang dijalani sebelumnya. Artinya bahwa fase transisi ini bisa berpeluang menjadi sesuatu hal yang positif, namun bisa juga menjadi negatif. Bila transisi dijalani dengan tetap memegang sebuah kesadaran bahwa setelah Maghrib akan hadir malam dengan kegelapannya, maka kita tidak akan lupa diri dan melepaskan kendali kita terhadap nafsu yang seharian telah kita kekang dalam puasa. Sebaliknya bila dalam berbuka itu kita lakukan dengan pelampiasan dendam kesumat, kita sikat semua keinginan akan makan, minum dan segala urusan mulut, kerongkongan, perut hingga bawah perut, maka kita akan kehilangan momentum untuk mengisi malam dengan tarawih, tadarus dan tahajud, sehingga kesempatan untuk menerbitkan fajar kehidupan yang lebih baik pun semakin sulit diraih.

“Magrib memiliki akar kata yang sama dengan gharby, artinya barat, tempat tenggelamnya matahari atau cahaya. Magrib merupakan saat para pelaku puasa membuka puasanya. Puasa memiliki pengertian yang sangat luas, apapun yang sebenarnya halal, bahkan menjadi hak kita, namun kita tinggalkan atau tahan sejenak, itulah puasa.”

Ibrahim, Kenduri Cinta (Agu, 2011)

Seorang jamaah merespon bahwasanya waktu Magrib oleh orang Jawa disebut wayah surup. Sebuah titik peralihan yang sangat wingit karena segala macam setan, iblis, demit, dan yang dan candik olo berkeliaran untuk menyesatkan mangsanya. Para orang tua melarang kita melakukan hal-hal yang bisa menjadi titik merasuknya bisikan sesat ke jiwa seeorang. Kita dilarang tidur di waktu surup, bahkan anak-anak yang asyik bermain dan bercengkrama dengan teman-temannyapun harus segera pulang. Ibaratnya di waktu Magrib ini segala aktivitas harus dijeda sejenak, dan laku kontemplasi lewat salat Magrib harus segera ditegakkan.

Sebagai titik jeda untuk mengantarkan hadirin ke dalam pemahaman diskusi yang lebih lanjut, hadir menghibur sebuah kolaborasi dari Mbah Yuli dan kawan-kawan dalam Bos Gembok. Terdendanglah lagu religi berjudul Belang Bentong. Selanjutnya mengalun lembut Lestari Alamku yang dinyanyikan apik oleh Gombloh, serta Cinta di Kenduri Cinta yang dilatari sebuah larik puisi.

Pada sesi berikutnya hadir 3 narasumber utama, Arya Palguna, Agung Pambudi dan Candra Malik. Arya mengawali uraiannya dari sudut waktu Magrib adalah sebuah titik transisi. Lebih luas dikaitkan dengan negara kita, kita telah memilih bahwa demokrasi adalah jalan untuk mencapai misi bersama dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Demokrasi sudah kita posisikan sebagai pusaka keramat. Fase saat ini negara kita berada di titik transisi yang akan sangat menentukan, apakah akan terjadi sebuah perubahan mendasarkan yang dapat mengantarkan rakyat kepada tataran kehidupan yang lebih baik. Dalam kesempatan-kesempatan sebelumnya, sebagaimana sering disampaikan Cak Nun, bahwa hakekat perubahan hanya dapat terjadi bila Allah bertindak sebagai subyek utama. Persoalannya adalah apakah dalam carut marut persoalan bangsa yang semakin gelap ini Allah kita undang?

Banyak potret persoalan yang mengambang di negeri ini, tanpa sebuah ketuntasan yang berkeadilan. Penegakan hukum kita gelap, ekonomi suram, perpolitikan kotor, semua sektor kehidupan gelap gulita. Nah bagaimana kemudian kita akan memanfaatkan peluang saat transisi Maghrib ini untuk bangkit? Bagaimana kita dapat mengurai masalah dengan baik dan merumuskan formulasi-formulasi penyelesaian masalah dengan baik?

Sebuah cara pandang atau analisis akan menjadi benar bila referensi atau data empirik yang diambil juga valid. Apabila sedari awal data empirik yang diambil sudah salah, maka kesalahan ini akan merembet kepada kesalahan analisis dan tentu selanjutnya terhadap kesalahan pengambilan kesimpulan. Tentu sesudah itu aksi dan tindakan penyelesaian masalahpun tidak akan menyentuh persoalan, bahkan menciptakan persoalan lain yang lebih runyam lagi. Bila keadaan yang kita alami seperti ini, apakah kemudian kita memilih untuk membubarkan komunitas Negara ini untuk kemudian menyusun kembali sebuah konsensus baru untuk memulai kehidupan yang baru? Hal inilah yang diterapkan terhadap penduduk Madinah pasca hijrah, dengan pendekatan piagam madinah. Pola yang sama coba diimplementasikan melalui pancasila terhadap bangsa Nusantara, namun nampaknya tidak sepenuhnya dapat berhasil.

“Syahadat tidaklah seringan sekedar sebuah ucapan, terus semua amalan ditanggung beres. Hanya syahadat yang benar dan hakiki lah yang akan membawa keselamatan dunia akhirat.”

Candra Malik, Kenduri Cinta (Agu, 2011)

SYAHADAT HAKIKI

Agung Pambudi memberikan uraian dengan titik pangkal spiritualistik. Diawali dengan sholatul ‘ilmi Nabi Adam AS, salat Subuh. Adam terbuat dari tanah, maka dialah pengendali tanah. Ia dianugerahi oleh Allah ilmu laduni, bahwa ia dapat mengetahui setiap asma dan zat yang ada di alam semesta. Nabi Nuh AS menerima sholatul ‘ilmi saat salat Ashar. Nuh, dengan kapal penyelamat peradaban hidup mengarungi samudra banjir bah. Ia mengendalikan angin untuk melajukan kapal layarnya hingga sampai ke tanah harapan dengan selamat. Siapakah yang akan selamat? Merekalah para makhluk yang teguh memegang dua kalimah syahadat. Dua inilah simbol pasang-pasangan dan memang bukankah hewan dan binatang yang naik kapal itu berpasangan? Tetapi kenapa ketika macan, kerbau, ular, kambing, tikus, hingga bakteri dan kuman dipersatukan dalam kapal Nuh, mereka tidak saling memangsa? Itu semua karena mereka bersyahadat.

Sholatul ‘ilmi zuhur diberikan kepada Nabi Ibrahim. Waktu Zuhur terjadi saat matahari berada di titik penasnya yang tertinggi. Ibrahim adalah penakhluk panas karena dengan doanya api bisa menjadi dingin dan kehilangan daya panasnya. Sholatul ‘ilmi salat Isya’ diberikan kepada Nabi Musa AS. Musa dapat menggerakkan tongkatnya dengan ketajaman dzulfikar-nya pedang Ali, maka dialah penguasa air. Selanjutnya sholatul ‘ilmi salat Magrib yang diberikan kepada Isa AS. Isa dapat menghidupkan orang mati, maka inti ajaran yang dibawanya adalah cinta kasih manusia.

Setelahnya, Candra Malik menyoroti bahwa salat sebagai amalan nomor dua, setelah syahadat. Orang-orang yang seringkali malas salat tepat waktu senantiasa mendalilkan pernyataan tersebut. Pernyataannya sendiri memang shahih, tetapi landasan berpikirnya lah yang sesungguhnya sudah salah. Pernyataan itu benar dalam kerangka bahwa syahadat adalah pondasi dasar keislaman kita. Benahi dulu syahadat kita, karena tanpa pondasi yang kuat maka Islam kita tidak akan kokoh. Dan perkara syahadat itu menyangkut ikrar kesaksian hamba akan posisi Allah sebagai Tuhan sesembahannya. Maka syahadat tidaklah seringan sekedar sebuah ucapan, terus semua amalan ditanggung beres. Hanya syahadat yang benar dan hakiki lah yang akan membawa keselamatan dunia akhirat.

Islam, ibarat sebuah bangunan syahadat lah yang menjadi pondasi dasarnya. Salat adalah tiang dan pilar penegaknya, maka kita tidak hanya diperintah untuk mengerjakan salat tetapi mendirikan salat. Sedangkan puasa adalah dinding, dialah yang menjadi batas antara ruang dalam dan dunia luar. Agar fungsi dinding tetap membatasi dan tidak mengganggu akses keluar masuk penghuni bangunan, maka dibuatlah zakat sebagai pintu dan jendelanya. Adapun haji adalah puncak mahkota bangunan Islam.

Lebih lanjut ia menguraikan tentang syariat, tarikat, hakikat dan makrifat, Candra Malik menyampaikan bahwa keempat hal tersebut merupakan sebuah tahapan perjalanan spiritualistik yang saling berkelanjutan dan tidak bisa saling dipisahkan satu sama lain. Syariat ibarat jalan yang akan dilalui untuk menuju suatu tujuan. Tarikat adalah kendaraan yang dinaiki, hakikat adalah alamat tujuan kemana kita pergi, sedangkan makrifat sendiri adalah siapa yang kita cari atau kita tuju di tempat tujuan itu.

Suasana diskusi menjadi sangat bermuatan hikmah dan pengetahuan sehingga hadirin terbawa ke dalam sebuah pengembaraan wacana pikiran yang sangat serius, bahkan beberapa jamaah terlihat mengerutkan otot-otot kepalanya untuk berusaha mencerna setiap informasi. Maka untuk mencairkan kembali kebekuan simpul-simpul otak yang tegang, hadir di tengah hadirin dua sejoli dari Kandank Jurank Doank yang membawakan tiga buah lantunan tembang tentang Cinta Illahi, Ampuni Dosa, dan Tuhan. Hadirin nampak rileks kembali dan siap menampung hikmah di sesi selanjutnya.

“Kenikmatan hakiki adalah kenikmatan di akhirat. Kebahagiaan tidak tergantung hanya kepada maqom fikriyah berdasarkan logika dan alam pikiran yang dapat terjangkau oleh otak manusia saja. Bagi manusia yang dirahmati Allah, tidaklah baginya dunia diunggulkan atas kenikmatan akhirat.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agu, 2011)

PONDASI AKHIRAT

Memuncaki maiyahan malam itu, Cak Nun mensarikan beberapa uraian dari narasumber sebelumnya. Bahwa bangsa ini memang penunggu Magrib. Mau tidak mau memang bangsa kita harus mau melewati fase masriki wal maghribi. Dalam fase itu, ada diantara kita yang hanya pasrah penjadi penunggu saja. Namun kita harus yakin bahwa apa yang dilakukan dalam lingkaran Maiyah ini adalah tindakan para pengerja Magrib.

“Anda-anda yang hadir di Kenduri Cinta pasti datang atas sebuah dorongan. Ada yang didorong sebuah rasa kerpihatinan akan hidup, akan kehidupan bermasyarakat hingga berbangsa dan bernegara, dan anda berusaha mencari jalan dalam rangka tetap taat dan teguh memegang dua kalimah syahadat. Sebuah kisah tentang si Kafir dan si Muttaqien menjelang detik-detik sakaratul maut-nya. Mereka memohonkan sebuah permintaan terakhir. Si Kafir yang semasa hidup telah bergelimang dengan segala perbuatan dosa, mencuri, korupsi, dengki, fitnah, zina, hingga mabuk-mabukan memiliki permintaan terakhir agar Tuhan menyediakan baginya minuman keras yang terlezat melebihi minuman keras yang pernah diminumnya. Sementara Si Takwa yang sepanjang hidupnya berprihatin menahan setiap keinginan demi ketaatan kepada Allah, memilki permintaan sekedar mobil Innova. Jangan terlalu pelitlah Tuhan, sedikit lebih mewah dari Avanza kan nggak apa-apa,” Cak Nun bercerita.

Lalu apakah yang terjadi? Ternyata Allah hanya mengabulkan permintaan terakhir Si Kafir. Allah sama sekali tidak mangabulkan permintaan Si Takwa, meski sekedar sebuah mobil angkot. Lalu apakah Allah tidak adil? Dalam hal ini sesungguhnya Allah sudah sama sekali menutup pintu kebaikan bagi Si Kafir, sehingga Allah tidak ingin memberikan kesempatan sedikit pun kepadanya memiliki setitik kebajikan. Sedangkan bagi Si Takwa, Allah sengaja menunda kenikmatan duniawi untuk membayarkannya secara kontan di akhirat. Tuhan tidak ingin menciptakan peluang bagi ternodanya segala amalan kebajikan sepanjang hidup Si Takwa, terutama justru karena nafsu di titik menjelang sakaratul maut. Kenikmatan hakiki adalah kenikmatan di akhirat. Kebahagiaan tidak tergantung hanya kepada maqom fikriyah berdasarkan logika dan alam pikiran yang dapat terjangkau oleh otak manusia saja. Bagi manusia yang dirahmati Allah, tidaklah baginya dunia diunggulkan atas kenikmatan akhirat.

Lebih jauh Cak Nun mangajak hadirin untuk merenungkan sebuah kecurigaannya tentang apakah memang Muhammad SAW itu benar-benar manusia Arab? Ini bukanlah sebuah penolakan terhadap klaim kesejarahan yang telah sekian lama dijadikan pegangan banyak orang, tetapi sebagai sebuah wacana untuk bersama-sama melakukan kajian-kajian lebih dalam untuk menempatkan setiap permasalahan pada maqom dan proporsinya secara tepat. Ada beberapa alasan logis yang disampaikan Cak Nun. Pertama Muhammad tidak berkenan digambar. Bisa jadi hal itu karena secara fisiologis memang ia tidak ingin diketahui sebagai bukan orang Arab. Kedua, secara sosiologi dan antropologi, banyak kisah yang menggambarkan sosok Muhammad tidak dalam ciri manusia Arab kebanyakan.

Bayangkan saja sifat manusia padang pasir yang keras, brutal dan keras kepala. Sikapnya selalu dilandasi kejantanan dan heroisme. Apakah lazim seorang Muhammad berperangai sopan, lembut, berjalan menundukkan kepada, pokoknya sangat Arjunalah dan tidak ada sisi Dursasananya! Demikian cara berkelahi Muhammad dengan menggulat musuh, bukannya meninju sebagaimana kebiasaan manusia Arab. Belum lagi sikapnya yang suka menyepi berkontemplasi di gua Hira, apakah bangsa Arab punya tradisi laku pertapa? Sekali lagi ini baru sekedar sebuah wacana untuk menghindarkan kita dari sikap taklid terhadap informasi apapun.

Di sesi terakhir ditambahkan uraian-uraian dari Syekh Nursamad Kamba, Pudji Asmanto dan Toto Rahardjo. Kisah tentang perjalanan Maiyah di Mandar, program pemurnian air bersih yang digagas Cak Pudji dan soal keislaman model non turutan dan Quran yang lebih membumi banyak dibabar Toto Rahardjo. Belahan dini hari itu semakin mengantarkan jamaah ke puncak pengembaraan intelektualitas yang sangat luar biasa, hingga hampir-hampir saja hadirin lupa harus menunaikan makan sahur. Acara pun segera ditutup dengan doa dan makan sahur bersama.