By Munzir Madjid

Oseng-Oseng Vandel

Kebanyakan yang datang ke Patangpuluhan adalah anak-anak muda, lebih khusus lagi, bergender laki-laki. Anak-anak muda? Ya, anak-anak muda atau minimal semangat anak muda. Sebab disamping mahasiswa-mahasiswa, aktifis LSM yang kagum terhadap pemikiran-pemikiran Emha; juga kawan-kawan lama Emha. Untuk yang terakhir ini usianya terpaut tidak jauh dengan Emha atau malah lebih tua. Emha sendiri kala itu sekitar 37-40 tahun.

Sabrang

Dalam hal mendidik anak, barangkali Emha agak berbeda dengan kebanyakan orang tua. Emha lebih banyak berdialog, meskipun anaknya masih kecil. Ia mengenalkan ketuhanan dengan memaparkan tentang alam. Tentang malam berganti siang, gunung-gunung, awan yang menjadi hujan, jatuhnya dedaunan. Dan seterusnya.

Ini model didikan Emha yang lain. Pernahkah Anda jalan kaki untuk jarak 6 M (enam meter) ditempuh dalam 15 (lima belas) menit? Biasanya lomba jalan atau lari itu siapa yang paling cepat. Seratus meter ditempuh 10 detik. Cepat ‘kan? Tapi ini kebalikannya. Lambat sekali. Dan Emha menyuruh Sabrang untuk melakukan itu.

Teater Kehidupan

Ramadan pertengahan 1980-an Jamaah Shalahuddin mengadakan kegiatan Pesantren Seni yang melibatkan Emha Ainun Nadjib dan Agung Waskito untuk memberikan workshop teater.

Sanggar Shalahuddin inilah yang pertama kali mementaskan Syair karya Emha Ainun Nadjib “Lautan Jilbab” di Yogyakarta yang mendapat sambutan luar biasa dari audiens. Sebuah pentas yang bukan hanya dinikmati oleh kalangan teater saja, tapi juga merambah ke penikmat orang-orang awam terhadap seni teater yakni kalangan mahasiswa muslim.

Rumah Patangpuluhan

Untuk kalangan tertentu, Patangpuluhan identik dengan Emha Ainun Nadjib. Di kampung itulah Emha mengontrak sebuah rumah petak yang sangat murah.

Rumah yang sangat sederhana, bahkan kesannya kusam itu, bagai rumah singgah. Baik bagi keluarganya, kawan-kawan seniman, relasi-relasi dari luar daerah atau aktivis mahasiswa dan aktivis LSM. Rumah yang tidak pernah sepi, meskipun Emha sendiri sedang keluar kota.

Ia Pergi Seorang Diri

Puisi panjang karya Cak Nun, Lautan Jilbab, diangkat oleh Agung Waskito dalam Teaterikalisasi Puisi. Sebuah teater kolosal, dialog panjang, nyanyian dan tarian. Agung dengan sabar melatih anak-anak yang masih belia, belum berpengalaman, untuk bermain teater. Bersama Sanggar Shalahuddin UGM, Teaterikalisasi Puisi Lautan Jilbab, 10-11 September 1987, dipentaskan di Hall Gelanggang Mahasiswa UGM, dengan ribuan penonton. Tidak akan pernah ada pentas kolosal Lautan Jilbab yang gaungnya cukup membahana di saat orang masih alergi dan curiga terhadap pemakai jilbab. Tidak akan pernah ada teater kampus yang pementasannya ditonton ribuan orang.

Zainul Arifin

Zainul, Suoromu Nok Getihku

“Suoromu nok getihku. Awakmu yang mengajarkan aku shalawatan…” sambil terisak Emha mengantarkan ke liang lahat. Zainul, engkau telah kembali. Suara indahmu abadi dalam batin-batin jamaah Maiyah. Dalam kalbu orang-orang di sekelilingmu yang sangat mencintaimu.

Alas Tikar Musik Puisi

Dalam rentang waktu bersamaan, Emha bergumul dengan kawan-kawan Teater Dinasti. Karya-karya naskah drama yang sangat tajam mengkritik kebijakan represif “kerajaan” orde baru dengan “raja”-nya Soeharto, diangkat dalam Geger Wong Ngoyak Macan ditulis bareng Gadjah Abiyoso.