ATEISME AGAMA

REPORTASE KENDURI CINTA MARET 2015

Menjelang pukul delapan malam, jamaah tampak ramai di sekitaran plasa Taman Ismail Marzuki. Sebagian menikmati angkringan di pojok belakang, sebagian lainnya memilih duduk di depan panggung, sebagian lainnya lagi di pojok-pojok terlihat menikmati kopinya. Kenduri Cinta edisi Maret 2015 kali itu diawali dengan pembacaan ayat suci Alquran surat Ar Rahman, dilanjutkan dengan bersama melantunkan wirid Hasbunallah, Padhang Mbulan dan Shohibu Baitiy.

Sebelum memasuki diskusi utama yang kali itu mengusung tema Ateisme Agama, Andrean tampil ke depan memandu sesi prolog, ia mengajak jamaah menyampaikan tanggapan atas tema. Sejak beberapa bulan sebelumnya, forum-forum Maiyah yang tersebar di banyak kota di Indonesia, selalu mengawali forum dengan workshop. Hal itu dimaksudkan agar jamaah tidak hanya sekedar mendengar, juga dilatih untuk punya kemampuan memaparkan hal tentang apapun.

Fahmi, salah satu penggiat Kenduri Cinta, mengawali sesi workshop kali itu dengan memaparkan istilah-istilah—yang sebenarnya lebih ke istilah Arab—yang diklaim sebagai istilah Islam, seperti: syariah, jihad, syahid, dll. Fenomena ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama, namun secara perlahan istilah-istilah itu pada akhirnya melenceng jauh dari makna sebenarnya. Fahmi mencontohkan bagaimana istilah syariah sekarang digunakan sebagai branding sebuah produk atau lembaga agar terkesan islami. Begitu juga kata religi, dll. Kita dikenalkan dengan konsep jihad dengan suatu perbuatan membela agama yang memperbolehkan cara-cara “kekerasan”. Kalimat Allahu Akbar juga acapkali diteriakkan dengan disertai amarah, dengki serta benci. Menurut Fahmi, jihad dan syahid tidak semestinya harus diraih dengan cara-cara itu.

Fenomena itu marak terutama pasca peristiwa “9/11” yang kemudian berlanjut dengan invasi militer Amerika ke beberapa negara Timur Tengah. Sentimen kebencian—salah satunya diakibatkan oleh aksi militer Amerika yang dilakukan secara sepihak—yang terjadi secara global itu kemudian melahirkan gerakan-gerakan ekstrem yang berlanjut dengan pendangkalan-pendangkalan istilah dan makna dari salah satunya: jihad dan syahid. Orang tidak tahu lagi, bahwa seorang perempuan yang menjalani proses melahirkan, juga merupakan peristiwa jihad. Orang juga tidak bisa mengerti, bahwa seorang pedagang yang jujur, yang harus pergi ke pasar saat dini hari untuk menggelar lapaknya demi menafkahi keluarganya juga peristiwa jihad. Begitu juga para pekerja yang setelah Subuh harus meninggalkan rumah menuju kantor untuk bekerja, hal itu tidak dianggap jihad.

Andrean selaku moderator kemudian mempersilakan jamaah untuk memberi tanggapan atas apa yang sudah disampaikan Fahmi. Fahri, jamaah dari Ciputat, berpendapat bahwa istilah-istilah tersebut digunakan oleh beberapa pihak agar dikatakan “keren”. Fenomena itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan istilah-istilah Inggris yang juga sering digunakan oleh anak-anak muda. Menurutnya, bukan hanya jihad dan syahid saja yang sudah jauh dari makna aslinya, penggunaan istilah ikhwan dan akhwat menurutnya juga sudah tidak seperti makna aslinya. Fahri menambahkan, dalam bahasa Arab, jihad dari asal katanya memiliki arti berusaha, bukan berperang atau menumpahkan darah demi Islam.

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

AD-DIIN DAN ATEISME AGAMA

Diskusi makin menarik ketika Daniel—seorang mahasiswa dari IKJ—men-counter pernyataan Fahmi sebelumnya. Ia menanyakan bagaimana jika seorang perempuan menafkahi keluarganya dengan menjadi pelacur? Apakah itu juga merupakan peristiwa jihad? Fahmi menanggapi Daniel dengan mencontohkan peristiwa seseorang yang menggunakan uang hasil korupsi untuk menafkahi keluarganya. Dalam Islam, hukum-hukum demikian sudah jelas, bahwa hukum zina dan mencuri sudah gamblang di Alquran, sehingga apa yang dilakukan oleh perempuan yang menjadi pelacur itu bukan merupakan peristiwa jihad untuk menafkahi keluarganya. Jika kemudian ada pernyataan yang menyatakan bahwa tidak ada pekerjaan lain bagi perempuan tersebut untuk menafkahi keluarganya, itu lebih karena peristiwa sosial bukan dalam lingkup agama. Persoalan mencari uang adalah peristiwa mencari rezeki, jika manusia tidak yakin bahwa Allah menyediakan rezeki yang sangat luas, maka yang terjadi adalah keputusasaan yang kemudian menyatakan pekerjaan-pekerjaan haram dianggap halal asal itu untuk menafkahi keluarganya.

Adi Pudjo, salah satu penggiat Kenduri Cinta, menambahkan bahwa fenomena pembiasan makna istilah-istilah merupakan fenomena klasik. Jika televisi membahas jihad, maka apa yang dibahas tidak akan jauh dari peristiwa huru-hara yang terjadi di Timur Tengah. Bahwa benar sebagai makhluk sosial kita memiliki hak untuk berperan membela hak-hak untuk hidup merdeka bagi mereka yang ditindas, tetapi bukan kemudian hal itu dilegitimasi dan dipolitisir bahwa kita harus berjihad turun ke medan perang untuk mengalahkan mereka yang menyerang negara-negara di Timur Tengah. Di Maiyah, kita diajarkan untuk melihat sebuah persoalan bukan hanya dengan apa yang kita lihat saja (‘ainul yaqin) dan apa yang kita dengar saja (udzunul yaqin), melainkan harus benar-benar melalui informasi yang mendetail (haqqul yaqin).

Terkait tema, Adi Pudjo katakan bahwa ateisme sudah ada sejak Yunani Kuno, jauh sebelum dikenal istilah Tuhan. Seperti halnya agama, apakah itu istilah asli milik Islam? Pada kenyataannya Alquran memperkenalkan kita dengan istilah Ad-Diin, kita diajarkan bahwa Ad-Diin yang haq adalah Islam. Kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bahwa Ad-Diin adalah agama. Adi melemparkan pertanyaan: apakah agama hanya khusus untuk orang yang bertuhan? Apakah orang yang mengaku dirinya ateis itu sebetulnya beragama juga? Jika kemudian agama disebut sebagai suatu pegangan atau panduan kehidupan, maka ateisme juga bisa disebut sebagai pegangan atau panduan bagi penganutnya.

Kenduri Cinta bukan bermaksud ingin memunculkan kepercayaan baru, tetapi yang kita inginkan adalah mengungkap bersama-sama tentang agama yang dimaksud agama dengan sebenar-benarnya. Di Kenduri Cinta, kita bersama-sama memaknai agama, kita disini bersama-sama memperbaiki diri kita, memperbaiki pemahaman dan penafsiran kita terhadap agama. Karena sejatinya manfaat agama adalah untuk manusia itu sendiri.

SUNNAH ROSUL

Ibrahim ikut urun pendapat, menurutnya istilah-istilah dalam agama saat ini banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu saja. Ketika istilah-istilah itu memberikan efek buruk lalu meluas, hal itulah yang kemudian menjadi persoalan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Istilah sunnah rasul misalnya, ada yang menyebutnya sebagai aktivitas bersenggama dengan istri di malam Jumat. Lantas, bagaimana dengan peristiwa serupa di malam-malam lain? Begitu juga perilaku-perilaku Rasulullah lainnya, seringkali hanya diaplikasikan pada hal-hal yang mampu dilakukan saja, kemudian menganggap orang lain yang tidak melakukan hal sama dikatakan “tidak meneladani Rasulullah”. Ada banyak contoh dari fenomena-fenomena ini, seperti cara berpakaian, janggut, jidat yang menghitam, dll. Pemahaman sunnah rasul hanya terbatas dalam hal-hal sempit, padahal sebenarnya ruang lingkup sunnah rasul tidak hanya pada persoalan materi saja. Kalau memang cara berpakaian yang ditiru, kenapa cara hidup Rasul yang lain juga tidak ditiru? Seperti pola makan, cara tidur, keadaan rumah dan sebagainya. Seharusnya hal-hal itu juga ditiru. Orang yang terbiasa mengedepankan istilah, lebih cenderung tidak bisa diajak berdiskusi. Dalam Islam, konsep kasih sayang sering diajarkan melalui kalimat basmalah; Bismillahrirrohmaanirrohiim. Islam menjadi lebih sempit akibat pemaknaan istilah-istilah yang salah.

Fenomena ini kemudian meluas sampai dalam pemaknaan jihad dan syahid. Yang masih hangat-hangatnya saat ini adalah konflik sunni-syiah. Sebagian yang lain menyatakan bahwa syiah itu sesat, kemudian mengagitasi orang lain untuk menghancurkan syiah di Indonesia. Yang terjadi kemudian adalah, kita berjibaku satu sama lain, bertengkar mempertahankan kebenarannya masing-masing. Ibrahim mencontohkan bagaimana seorang pengusaha senjata justru merasakan keuntungan ketika perang berkecamuk, yang diharapkan olehnya justru berlangsungnya peperangan. Karena jika sudah tidak ada peperangan, maka produsen persenjataan akan gulung tikar. Dapat kita lihat, bisa saja ada pihak lain yang mengambil keuntungan ketika kata jihad—yang telah bias maknanya—digaungkan. Begitu juga dalam politik dan pemerintahan, seringkali kita mendengar istilah “untuk kepentingan rakyat”, “demi masa depan bangsa dan negara” dan masih banyak lagi terminologi yang digunakan padahal istilah-istilah itu digunakan untuk keuntungan beberapa pihak saja. Ketika kita mempertanyakan kinerja pemerintahan, seharusnya yang lebih dipertanyakan adalah bagaimana mereka mengambil keputusan, apakah selalu melibatkan Tuhan atau tidak?

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

KETIDAKKACAUAN AGAMA

Hendra, salah satu jamaah, ikut urun diskusi. Menurutnya, belajar itu tidak harus melalui buku. Tetapi proses melihat, mendengar dan merasa juga merupakan proses belajar. Kearab-araban itu bukan fenomena aneh, karena jauh sebelumnya ada fenomena penggunaan istilah barat seperti: (i)ai, you, dll. Terkait ateis, Hendra memiliki persepsi bahwa munculnya ateis itu pada awalnya karena seseorang tidak percaya atau menemukan keraguan atas kepercayaan yang sebelumnya ia yakini. Sehingga dalam sejarah kita melihat bagaimana Ibrahim berproses mencari Tuhan mulai dari bertemu matahari, bintang hingga akhirnya bertemu Allah. Baru di kemudian hari istilah ateisme disepakati sebagai sebuah istilah yang artinya tidak mempercayai Tuhan. Ia juga jelaskan bahwa antara ateis dan kafir memiliki ruang lingkup yang berbeda.

Riki, jamaah dari Cijantung yang datang ke Kenduri Cinta karena tertarik melihat tema yang dipublikasikan di media sosial, ikut sampaikan sudut pandangnya. Menurut Riki, ateisme adalah bentuk paham yang tidak mempercayai Tuhan. Agama berasal dari bahasa sansekerta yang berasal dari dua kata: a dan gama, a artinya tidak, gama artinya kacau, sehingga agama artinya adalah tidak kacau. Menurutnya, agama bisa berdampingan satu sama lain tanpa perlu saling menyalahkan.

Diskusi sesi awal semakin menarik ketika salah seorang jamaah mengungkapkan bagaimana sikap Paus Fransiskus. Dia menampilkan “ateisme agama” dalam konsep kepemimpinannya. Bahkan dia berani menyatakan bahwa tidak ada Tuhan Katolik, pemahamannya sudah sampai setingkat itu padahal dia merupakan tokoh yang memiliki posisi tertinggi di institusi agamanya. Gagasan-gagasan seperti itulah yang akan menghancurkan rasa egoisme manusia, dimana banyak kelopmpok agama merasa paling benar sendiri. Sayangnya, di tingkat global tidak ada yang mampu menampilkan perilaku seperti Paus Fransiscus, bukan perilaku “ateisme agama”-nya, melainkan bagaimana caranya mempersatukan umat manusia agar tidak merasa paling benar sendiri.

Dalam Islam, konsep kasih sayang diajarkan melalui kalimat basmalah; Bismillahrirrohmaanirrohiim. Islam menjadi lebih sempit akibat pemaknaan istilah-istilah yang salah.

Ibrahim

Ibrahim menambahkan, jihad berasal dari kata jahada yang artinya berusaha, jika kemudian ini diterapkan dalam hal perbuatan baik, maka tentu akan menuju syahid. Seperti yang sudah dijabarkan di mukadimah Kenduri Cinta, bahwa seorang pedagang yang berdagang dengan baik, sejatinya juga berjihad karena dia berdagang demi menafkahi anggota keluarganya. Tetapi yang terjadi saat ini, kata jihad dibelokkan maknanya. Memang pada awalnya adalah bertujuan membela Islam dengan cara berperang, namun kemudian pada momen tertentu memiliki tujuan yang lain yaitu merebut pemerintahan atau kekuasaan, pada titik ini peperangan yang dilakukan bukan lagi atas dasar agama melainkan atas dasar keserakahan politik sebuah kelompok tertentu saja.

Popularitas istilah-istilah seperti ini dalam bahasa Inggris juga digembar-gemborkan, seperti istilah go green. Jika kemudian melihat fakta yang lebih detail, go green bukan lagi perkara kampanye lingkungan hidup, melainkan persaingan industri. Begitu juga yang terjadi dalam kampanye antirokok, yang terjadi sebenarnya adalah persaingan industri tembakau dan farmasi. Sehingga tujuan awal kampanye tidak sesuai dengan tujuan yang sebenarnya.

Melanjutkan forum, Irfan ikut sampaikan pendapatnya. Bahwa dalam peperangan ada peran industri persenjataan disana, sehingga ketika perang berkecamuk otomatis industri senjata akan meraih keuntungan berlipat-lipat. Sedikit dari kita yang mau melihat lebih dalam terkait hal-hal ini. Istilah-istilah yang seharusnya memiliki arti baik, dimanfaatkan oleh golongan tertentu demi mendapatkan keuntungan materi. Umat Islam dibenturkan, sementara ada segelintir orang yang menikmati keuntungan dibalik benturan-benturan itu.

Dengan pencaplokan istilah-istilah tersebut, seolah-olah kita mendapatkan shortcut untuk masuk surga. Irfan menambahkan, kebanyakan orang-orang yang bergabung dengan gerakan-gerakan seperti ISIS atau Boko Haram adalah mereka yang mengalami keputusasaan, merasa lelah ditipu oleh pemerintah, ditipu oleh orang-orang di sekitarnya. Di tengah keputusasaan itu, mereka diinfiltrasi cara berpikirnya, sampai pada tahap pemahaman jihad yang sempit. Dengan mudahnya kemudian mereka meligitimasi garansi syahid ketika mati.

Kita selalu mengagungkan peristiwa kemerdekaan, tetapi kita lupa bahwa sebuah kemerdekaan selalu diawali dengan pembibitan dan benih. Dan benih dari kemerdekaan Republik Indonesia ini salah satunya adalah HOS Tjokroaminoto.

Sabrang

GURU BANGSA: HOS TJOKROAMINOTO

Suasana diskusi terasa hangat, bahkan jamaah yang datang pun semakin ramai. Grup vokal Twingkle kemudian tampil membawakan beberapa nomor lagu untuk memberi jeda sebelum memasuki diskusi sesi berikutnya.

Hadir sebagai narasumber pada diskusi sesi berikutnya adalah Salman dari penerbit Bentang yang baru saja menerbitkan kembali buku-buku Cak Nun (Arus Bawah, Sedang Tuhan pun cemburu dan Anggukan Ritmis Kaki Sang Kyai). Hadir juga Dewi Umaya dan Sabrang Mowo Damar Panuluh yang mewakili Pic[k]Lock sebuah rumah produksi yang bulan depan (9 April) akan merilis film Guru Bangsa: HOS Tjokroaminoto.

Dewi Umaya, produser film Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto, menceritakan tentang awal pembuatan film yang memakan waktu 3 tahun hanya untuk melakukan risetnya saja. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menentukan angle yang tepat untuk menggambarkan seorang HOS Tjokroaminoto dalam durasi film yang tidak lebih dari 3 jam, menggambarkan tokoh besar dalam durasi terbatas, kemudian dibingkai dalam sebuah film dan berusaha agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Dewi Umaya menceritakan bagaimana lokasi syuting yang berada di Berbah, Sleman, Yogyakarta di-setting sedemikian rupa agar tampak suasana kota Surabaya pada medio 1900-1920.

Sabrang, produser, menceritakan bahwa riset yang dilakukan untuk film HOS bukan hanya untuk suasananya saja, tetapi bahkan detail hingga cara berpakaian, logat bicara dan jika jeli melihat teaser filmnya, lagu-lagu yang digunakan adalah lagu-lagu yang saat itu nge-hits. Sabrang mengakui bahwa membuat film sejarah memiliki tingkat kesulitan tinggi, sebab sangat sulit mengkonfirmasi kebenaran sejarah, karena sejarah memiliki banyak versi.

HOS Tjokroaminoto memiliki garis persambungan sejarah yang sangat luas, sehingga sangat tidak mungkin seluruh sejarahnya diceritakan dalam sebuah film dengan durasi tidak lebih dari 3 jam. “Ini bukan film yang menceritakan sejarah dengan detil, ini bukan film dokumenter. Ini adalah film ‘kata pengantar’ karena dalam film ini kita bisa melihat garis besar perjalanan Mbah Tjokro,” lanjut Sabrang. Sebagian besar hasil riset yang dilakukan oleh team Pic[k]Lock menemukan bahwa literatur yang ada hanya menceritakan perjalanan HOS Tjokroaminoto dari rapat ke rapat. Sehingga sangat membosankan apabila kemudian yang digambarkan dalam film adalah peristiwa pertemuan-pertemuan itu. Pic[k]Lock kemudian mencari cara agar bagaimana film ini mampu menyajikan tayangan yang menarik layaknya sebuah film hiburan, namun tetap mengandung pesan yang harus disampaikan kepada masyarakat luas.

Sabrang melanjutkan, bahwa film ini sekedar pembuka, jika ingin mengetahui HOS Tjokroaminoto lebih detil maka harus melakukan riset atau minimal membaca sumber-sumber literatur yang berhubungan dengan Tjokroaminoto. Banyak dari kita tidak mengetahui bahwa sebenarnya HOS Tjokroaminoto adalah bonggol (red: akar) dari tokoh-tokoh besar bangsa kita pada medio 1920-an hingga jaman proklamasi, bahkan hingga awal orde baru. Ketika riset dilakukan, banyak anak muda yang hanya mampu menjawab pengetahuan tentang HOS Tjokroaminoto sebatas nama sebuah jalan saja. Sehingga bukan tidak mungkin, tokoh-tokoh besar bangsa ini juga hanya dikenal sebagai nama sebuah jalan saja bagi generasi muda saat ini dan nanti. Ironis.

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

Menelisik sejarah HOS Tjokroaminoto, ia memiliki murid-murid yang dikemudian hari tampil sebagai lokomotif gerakan “kiri” dan juga “kanan” di percaturan politik bangsa. Sabrang menarik sebuah kesimpulan dari hal itu, bahwa karakter pendidikan dahulu menumbuhkan para pemikir dan ilmuwan. Berbeda dengan karakter pendidikan kita saat ini yang lebih cenderung mencetak para pemikir dan ilmuwan. Sebut saja Kartosuwiryo, Darsono, Semaun dan Koesno (red: nama kecil dari Ir. Soekarno, proklamator dan Presiden Republik Indonesia pertama ), juga beberapa murid yang pernah merasakan didikan HOS Tjokroaminoto. Dari beberapa tokoh ini saja sudah dapat kita lihat bagaimana perbedaan hasil pendidikan zaman sekarang dengan pendidikan zaman dahulu di awal abad 19 tersebut. Dari sejarah HOS Tjokroaminoto kita melihat bagaimana saat itu bangsa kita belum memiliki pandangan tentang baik buruknya suatu pergerakan, berbeda dengan kita saat ini yang cenderung memiliki stigma buruk terhadap sebuah gerakan. Ambil saja satu contoh: gerakan “kiri”. Mayoritas dari kita saat ini akan berpandangan negatif terhadap orang-orang yang memilih gerakan “kiri”.

Sabrang mengajak jamaah untuk melihat ke belakang, bagaimana pada tahun 1920-an, ketika HOS Tjokroaminoto membebaskan murid-muridnya untuk mempelajari berbagai macam ilmu, disinilah salah satu kelebihan HOS Tjokroaminoto dalam mendidik murid-muridnya. Semua pandangan yang muncul di dunia saat itu dibebaskan kepada murid-muridnya untuk dipelajari agar kelak mereka mampu merumuskan ramuan yang terbaik untuk bangsa ini. Hingga akhirnya muncul sebagai proklamator Republik Indonesia adalah Ir. Soekarno yang sebelumnya dikenal dengan nama Koesno ketika menjadi murid HOS Tjokroaminoto.

Yang terpenting dari film HOS Tjokroaminoto adalah agar kita tidak lupa peran seorang tokoh dalam sejarah besar bangsa, karena tidak mungkin kita melihat ke depan tanpa sebelumnya melihat apa yang terjadi di belakang.

Sabrang

RELEVANSI LALU DAN KEKINIAN

Sesi berikutnya, Salman dari penerbit Bentang, ia menceritakan tujuannya menerbitkan kembali buku-buku Cak Nun lama, tak lain adalah ingin mengabarkan bahwa kegalauan, kegelisahan, keresahan yang kita rasakan saat ini tidak sebanding dengan apa yang dirasakan oleh Cak Nun puluhan tahun lalu. Setelah dibaca, resonansi dari tulisan-tulisan Cak Nun pada buku-buku lamanya masih sangat kontekstual dengan apa yang terjadi di Indonesia kini. Menurutnya, kini telah terjadi gap antara generasi sekarang dengan generasi sebelum tahun 2000. Anak muda sekarang—yang lahir setelah tahun 1990—tidak merasakan represi yang terjadi di akhir-akhir kekuasaan orde baru. Akibatnya, ketika sekarang menghadapi situasi, mereka tidak kritis seperti anak-anak muda yang mengalami masa-masa akhir pemerintahan orde baru. Ada kegamangan yang muncul di kehidupan anak muda sekarang, mereka terbuai dengan indahnya teknologi, internet, media sosial dan sebagainya, sehingga daya kritis mereka kalah dengan kegalauan mereka.

Salman bercerita bahwa pada masa orde baru tidak akan ditemukan sebuah forum yang begitu merdeka dan bebas berbicara, yang terjadi saat itu adalah pengawasan yang sifatnya berlapis-lapis. Sehingga tidak jarang terjadi pencekalan demi pencekalan, bahkan sampai penangkapan aktivis. Buku yang berjudul Arus Bawah misalnya, disitu Cak Nun menuliskan kegelisahan-kegelisahan yang sebenarnya sampai saat ini juga tidak kunjung selesai. Dalam buku tersebut Cak Nun mampu mengemas protes yang keras terhadap rezim orde baru dalam bahasa sastra yang indah.

Salah satu akibat dari degradasi pemahaman agama Islam saat ini karena Islam diajarkan berdasarkan syariat saja. Cak Nun di beberapa tulisan bahkan menjelaskan bahwa inti dari agama adalah akhlak. Selama ini yang disampaikan tentang Islam bukan soal akhlak, melainkan tentang syariat yang berkutat pada hukum-hukum perbuatan, tentang halal atau haramnya sebuah aktivitas. Salman menggarisbawahi bahwa dengan diterbitkannya kembali buku-buku Cak Nun, ia berharap akan menghidupkan kembali nuansa yang dulu sudah tumbuh namun akhir-akhir ini terlihat mati. Karena sebenarnya isu-isu yang terjadi akhir-akhir ini sudah pernah muncul pada awal medio 90-an dulu.

Pada masa orde baru, kalau orang berpikir ia akan disebut subversif. Kalau orang belajar memahami, ia diawasi intel. Dan kalau orang menyebarkan kebaikan ia akan di cap sebagai pemberontak.

Salman

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

ALQURAN SEBAGAI PETUNJUK

Ibrahim kemudian mempersilahkan jamaah untuk merespon apa yang sudah dipaparkan oleh para narasumber. Ali, salah seorang jamaah, merespon dengan runut dari awal. Menurutnya, fenomena munculnya pembiasan istilah-istilah diibaratkan seperti “fenomena joget”. Ibarat sebuah virus latah. Tak peduli musiknya seperti apa, yang penting joget. Kemudian dibumbui maraknya kemunculan berbagai jenis joget, sehingga yang terjadi adalah semua orang berjoget tanpa mempertimbangkan untuk apa ia berjoget, musik apa yang mengiringi jogetnya, semerdu apa suara penyanyinya dan sebagainya. Hal-hal detail seperti itu sudah tidak dipertanyakan lagi karena yang terpenting adalah jogetnya. Jadi tidak mengherankan banyak sekali orang yang berteriak “jihad” tanpa mempertimbangkan apa sebabnya ia harus berjihad, apa tujuan akhir dari berjihad yang ia lakukan, dan bagaimana dia melakukan proses menuju syahid itu.

Ali mencontohkan bagaimana Alquran dinyatakan sebagai buku petunjuk bagi orang yang bertakwa seperti yang dijelaskan dalam awal surat Al-Baqoroh. Layaknya buku petunjuk, maka beragama Islam buku petunjuknya adalah Alquran. Ali mengibaratkan bagaimana memasak nasi goreng dengan membaca buku petunjuk tata cara memasak nasi goreng. Maka, ia hanya akan mendapatkan kenyataan enaknya makan nasi goreng setelah ia mengikuti petunjuk sesuai dengan apa yang diinformasikan dari buku petunjuk yang ia baca. Akan sangat aneh jika seseorang mengatakan bahwa nasi goreng itu enak hanya berdasarkan buku petunjuk yang ia baca tanpa merasakan nasi goreng. Begitu juga dalam beragama, menurut Ali tidak semudah itu mengatakan kita harus berjihad, kita harus bertawakal dan sebagainya, tanpa kita melakukannya terlebih dahulu. Dan seperti halnya seseorang memasak nasi goreng, berjihad juga memiliki tahapan-tahapan yang harus dilalui hingga pada akhirnya ia mencapai tingkatan final bernama syahid.

Terkait Film HOS Tjokroaminoto dan buku-buku Cak Nun, Ali mengharapkan bahwa film dan buku tersebut bukan hanya sekedar produk ekonomi saja, melainkan harus ada hal yang membekas bagi siapa saja yang menonton film atau membaca buku tersebut. Poin utama dari film dan buku menurutnya adalah apakah akan menambah semangat nasionalisme kita atau jangan-jangan setelah menonton film atau membaca buku tersebut justru menambah kesedihan dalam hati kita?

IDOLA YANG MENYELESAIKAN MASALAH

Dewi Umaya kembali menyampaikan bahwa terwujudnya film HOS Tjokroaminoto ini adalah hasil kerjasama dengan Yayasan Keluarga Besar HOS Tjokroaminoto. Pihak yayasan sebelumnya sudah memliki bahan hasil penelitian yang mereka kumpulkan dari Leiden, Belanda, pihak Pic[k]Lock kemudian merespon usulan pemfilman HOS Tjokroaminoto. Berdasarkan riset, Pic[k]Lock merasa bahwa sejarah tentang HOS Tjokroaminoto ini harus disebarluaskan, karena ternyata HOS Tjokroaminoto adalah bonggol, atau Sabrang menyebutnya sebagai “benih” dari tokoh-tokoh yang di kemudian hari muncul.

Sabrang menambahkan, bahwa dongeng-dongeng folklore yang tersebar di Indonesia memiliki sebuah ciri khusus yaitu tidak memiliki tokoh sentral yang dijadikan sebagai pahlawan. Sangat berbeda dengan dongeng-dongeng yang tersebar di bangsa lain, seperti Yunani misalnya. Di Indonesia, inti dari sebuah cerita adalah bagaimana memecahkan sebuah masalah, tidak terfokus pada siapa yang memecahkan masalah. Sabrang mencontohkan dongeng Malin Kundang, tokoh antagonisnya adalah Si Malin Kundang, sedangkan Ibunya adalah sosok yang digambarkan sebagai protagonis dalam cerita itu. Tidak banyak yang tahu bahwa ibunya juga sebenarnya melanggar aturan adat bahwa seorang ibu dilarang mengutuk anaknya sendiri. Sama dengan cerita-cerita di Baratayudha yang salah satu contohnya adalah Yudhistira diperbolehkan berbohong ketika ditanya Aswata apakah sudah meninggal atau belum.

Dalam proses pemilihan pemimpin misalnya, yang terjadi saat ini rakyat sudah tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu detil siapa tokoh yang ia pilih, tetapi lebih mengedepankan bagaimana masalah yang ada segera terselesaikan, tidak mengherankan apabila kita selalu salah memilih pemimpin, karena kita tidak mengidolakan bagaimana cara pahlawan menyelesaikan sebuah persoalan melainkan yang diutamakan adalah agar masalah cepat selesai. Dalam menggarap film HOS Tjokroaminoto, Sabrang menjelaskan bahwa yang diangkat bukan tentang personal HOS Tjokroaminoto, melainkan persoalan apa yang sudah ia selesaikan pada saat itu, yang diangkat adalah bagaimana tokoh-tokoh yang ada di sekeliling HOS Tjokroaminoto menjawab tantangan zaman saat itu. Karena kita semua menyadari, tidak ada satu orang pun yang sempurna di dunia ini, begitu juga dengan HOS Tjokroaminoto dan juga orang-orang disekitarnya, sudah pasti ada orang yang pro dan kontra terhadap apa yang sudah dilakukannya dulu. Tidak mungkin semua orang setuju dengan HOS Tjokroaminoto 100%, begitu juga yang akan kita lakukan kepada Semaun, Kartosuwiryo, Darsono, Koesno dan yang lainnya.

“Jadi kalau ada pandangan pro dan kontra terhadap Tjokro, terhadap Semaun dan tokoh-tokoh yang lainnya, pasti ada semua. Tapi yang kita bawa disini (film) adalah: ayo kita kembali ke akar. Semua tokoh itu adalah orang yang menjawab tantangan zamannya dengan segala pro dan kontranya. Kita pelajari, tetapi tidak perlu kita hinakan kalau ada salahnya. Kita hargai, tetapi juga tidak perlu didewa-dewakan kebaikannya. Yang perlu kita pelajari adalah bagaimana dan mengapa dia melakukan dalam menjawab tantangan zamannya untuk kemudian kita adopsi semuanya itu untuk kita gunakan dalam menjawab tantangan zaman yang kita rasakan saat ini yang jauh berbeda dengan zaman mereka,” lanjut Sabrang.

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

Informasi yang berkembang saat era Tjokroaminoto seperti gethok tular, dimana informasi yang berkembang saat itu berasal dari mulut ke mulut, ketika kemudian seorang tokoh terkenal diperkenalkan, maka yang disebarluaskan adalah sisi positifnya. Tidak dipungkiri bahwa Tjokroaminoto memiliki sisi klenik dalam dirinya. Dia digambarkan sebagai sosok ratu adil di eranya, seorang tokoh yang dilahirkan pada saat gunung meletus. Hingga masyarakat saat itu berharap kepada Tjokroaminoto untuk menjadi seorang pemimpin. Yang kemudian dilakukan oleh beliau adalah bagaimana menjawab tantangan masyarakat itu, beliau memilih untuk tidak perlu menjadi pemimpin, tetapi beliau justru “mencetak” tokoh-tokoh baru yang dikemudian hari menjadi pemimpin bagi kaumnya.

Kembali Sabrang mengingatkan bahwa film ini bukanlah film dokumenter yang menceritakan kisah Tjokroaminoto secara detil, melainkan sebagai kata pengantar menuju riset tentang Tjokroaminoto yang lebih mendalam. Sehingga yang diharapkan setelah menonton film ini adalah penonton kemudian mau mempelajari lagi bagaimana sosok tokoh-tokoh lain yang lebih detail, bukan hanya soal siapa dia, tetapi juga mempelajari bagaimana dia menjawab tantangan zamannya. Dan sudah barang tentu, salah satu goal-nya adalah bagaimana generasi sekarang mengadopsi cara mereka menjawab tantangan zaman untuk kemudian diaplikasikan oleh generasi saat ini untuk menjawab tantangan zaman yang lebih berat lagi dari sebelumnya.

Banyak hal yang kita lakukan yang tidak kita minta, banyak hal yang kita alami yang tidak kita minta. Tetapi pengertian tentang permintaan yang harus kita perluas. Mungkin kesadaran anda tidak meminta, tetapi keseimbangan tubuh anda yang meminta.

Sabrang

PARA PEMUJA RASIO

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

Hadir malam itu Edy Ahmad Effendy, mantan jurnalis. Edy bercerita pergaulannya dengan Haidar Bagir, Cak Nun dan Garin Nugroho. Menurutnya, ketiga tokoh ini adalah tokoh-tokoh yang sudah mencapai tingkat man ‘arofa nafsahu faqod arofa robbahu. Edy menyayangkan bagaimana seringkali Haidar Bagir dituduh sebagai tokoh syiah. Begitu juga ketika Cak Nun beberapa kali dianggap sebagai salah satu tokoh yang keluar dari sebuah aliran kemudian dianggap sebagai salah satu tokoh di sebuah aliran lain.

Fenomena pembiasan makna yang dibahas sebelumnya juga disorot oleh Edy. Menurutnya hal itu sudah terjadi sejak lama. Dia mencontohkan bagaimana Pramoedya Ananta Toer berkali-kali dituduh komunis, padahal ia mengaku dirinya tidak tahu menahu soal komunis, bahkan ia tidak pernah membaca buku Karl Marx. Namun, kalangan yang anti kepada Pramoedya selalu mengatakan bahwa dia komunis. Bahkan jika kita membaca literatur yang ada, orang-orang yang dahulu dibantai karena dianggap bagian dari PKI, mereka ketika akan dibunuh berteriak “Allahu Akbar”.

Tentang ateisme, Edy berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak bertuhan. Orang yang tidak mempercayai Tuhan secara materi berarti ia mengedepankan nalar. Dengan kata lain ia menuhankan rasio dalam berpikir. Sehingga sebenarnya tidak ada satu pun orang yang ateis di dunia ini. Berdasarkan pemahaman dan perjalanannya, ia bertemu banyak orang dari berbagai agama, bahkan beberapa orang yang ngaji kepadanya tidak beragama Islam. Secara hakikat, ia berpendapat bahwa semua agama menyembah Tuhan yang satu: Allah. Tetapi cara mereka menyembah yang berbeda. Bagi orang yang berkeyakinan Islam, ia berhak menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Tetapi sejatinya itu hanyalah pintu-pintu menuju Allah. Seperti halnya tidak ada satu pun orang yang berhak mengklaim dirinya akan masuk surga.

Edy yang dulu pernah menjadi penulis editorial di sebuah media, mengingatkan akan potensi kritik terhadap film Tjokroaminoto yang disutradari Garin Nugroho. Beberapa media akan mengkritik film Tjokroaminoto melalui orang lain, istilah sekarangnya nabok nyilih tangan. Hal itu pula yang terjadi dengan media-media mainstream akhir-akhir ini yang mulai berani bersuara kritis terhadap kinerja pemerintahan. Edy menyatakan bahwa bertita yang 100% jujur hanyalah berita tentang sepak bola. Edy mengkritisi bagaimana media saat ini tidak netral dalam memberitakan sesuatu. Dia kemudian bercerita pengalamannya ketika masih aktif di sebuah media massa, dan menceritakan bagaimana praktek media melakukan bargaining power kepada pihak-pihak tertentu yang akan diserang melalui pemberitaan ataupun opini di media massa.

Kembali ke soal pemahaman agama, Edy mengingatkan bahwa seharusnya kita tidak hanya memahami kulitnya saja. Bahwa seseorang dikatakan muslim atau kafir, sejatinya bukan persoalan apa yang kita lihat. Karena hal tersebut merupakan hak prerogatif Allah sebagai Tuhan semesta alam. Kafir sendiri asal katanya adalah menutupi, sehingga menjadi hal yang tidak mengherankan jika di dalam Islam sendiri ada orang kafir, karena dia tertutup hatinya sehingga tidak jernih melihat persoalan. Yang harus dilakukan oleh kita adalah mengenali diri kita sendiri terlebih dahulu, sehingga kita tidak begitu mudah menuduh seseorang itu muslim atau kafir. Begitu juga kita tidak bisa mengklaim seseorang akan masuk surga atau neraka, karena itu juga menjadi hak Allah sepenuhnya.

Fenomena yang terjadi sekarang di Indonesia menurut Edy lebih karena tumbuh suburnya budaya penggemar. Seseorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa digembar-gemborkan oleh media secara luas dan masif kemudian ditokohkan. Fenomena ini terjadi di Indonesia, dan jika cara berpikir masyarakat Indonesia masih seperti sekarang, maka fenomena ini akan terulang lagi beberapa tahun mendatang dengan orang yang baru lagi yang akan ditokohkan. HOS Tjokroaminoto, menurut Edy, tidak lahir dari kultur budaya penggemar. Tetapi ia lahir dan muncul di masyarakat karena akhlaknya, kepribadiannya sehingga tidaklah menjadi hal yang mengherankan ketika murid-murid HOS Tjokroaminoto memiliki cara pandang dan cara berpikir yang berbeda satu sama lain tetapi mampu disatukan dalam satu wadah oleh HOS Tjokroaminoto. Sehingga, tantangan kita ke depan adalah melahirkan tokoh bukan karena penggemar tetapi karena apa yang kita perbuat sendiri, karena kepribadian kita sendiri dan karena akhlak kita sendiri.

Rasio amat sangat penting, karena agama diciptakan untuk orang-orang yang berakal. Dan akal salah satu senjata utamanya adalah rasio.

Edy Ahmad Effendy

KENALI BAYIMU

Saat setelahnya, Ibrahim kembali membuka kesempatan kepada jamaah untuk bertanya atau merespon apa yang sudah dipaparkan oleh para narasumber. Ada 3 orang yang kemudian bertanya dan memberikan respon.

Menanggapi pertanyaan salah seorang jamaah tentang mengapa seseorang itu dilahirkan sedangkan dia tidak meminta untuk dilahirkan ke dunia, Sabrang menjelaskan bahwa ada banyak hal yang sebenarnya kita tidak meminta tetapi Tuhan memberikannya kepada kita. Menurut Sabrang, di setiap kelahiran ada informasi yang ditutup-tutupi sebelum kita lahir. Mungkin bukan kemauan kita untuk lahir ke dunia, tetapi bisa saja kita lupa bahwa kita sendiri yang meminta untuk dilahirkan ke dunia ini.

Seperti yang sudah pernah disampaikan oleh Sabrang jauh sebelumnya: kenalilah bayimu sendiri. Karena sejatinya setiap manusia yang lahir ke dunia sudah pernah melakukan perjanjian dengan Tuhannya, hingga kemudian pada sebuah momentum manusia dibuat lupa akan perjanjian itu, manusia dibuat lupa untuk apa dan akan menjadi apa ketika ia dilahirkan di dunia. Maka salah satu pekerjaan manusia lahir ke dunia adalah mencari tahu tentang dirinya sendiri.

“Bisa saja anda dilahirkan ke dunia ini adalah sebagai cobaan bagi kedua orang tua anda,” lanjut Sabrang. Menurutnya ini bukan soal baik atau buruk, karena kita sudah belajar bahwa sesuatu menjadi baik atau buruk itu berdasarkan atas bagaimana kita mengambil sudut pandangnya. Terkait mencari jawaban akan pertanyaan kenapa kita dilahirkan, Sabrang menyarankan agar kita memposisikan diri kita untuk melebar dan sedikit mundur ke belakang, artinya kita melihat perjalanan diri kita sendiri. Dari sekian tahun perjalanan hidup kita masing-masing kita akan melihat indikasi-indikasi yang bisa jadi mengarah kepada jawaban atas pertanyaan mengapa kita dilahirkan ke dunia ini.

Tentang konstruksi kebenaran, Sabrang menjelaskan bahwa untuk menyatakan sesuatu itu benar atau salah bergantung bagaimana resolusi cara pandang kita. Pada forum Kenduri Cinta edisi bulan sebelumnya, Sabrang menjelaskan bagaimana sebuah kamera mampu menangkap gambar bunga, kemudian pada tangkapan gambar yang lain bisa saja hasilnya blur namun tetapi bisa dipahami bahwa gambar itu adalah gambar bunga. Sabrang kembali mencontohkan, ketika kita melihat kerikil belum tentu kita bisa membedakan antara kerikil dengan pasir karena kita memerlukan resolusi yang lebih tinggi lagi untuk bisa mengetahui bahwa yang kita lihat adalah pasir. Begitu juga tentang bagaimana menjawab pertanyaan mengapa kita dilahirkan di dunia ini, jawabannya ada pada kemampuan kita untuk meningkatkan resolusi cara pandang kita terhadap diri kita sendiri. Karena hal tersebut menjadi pertanyaan bersama bagi kita semua karena setiap kita akan memiliki jawaban yang berbeda satu sama lain.

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

RASIO KETUHANAN

Menanggapi pertanyaan tentang rasio ketuhanan, dimana narasumber sebelumnya menjelaskan bahwa Tuhan itu nuurun ‘alaa nuurin, namun di sisi lain Tuhan menyatakan bahwa dirinya tidak bisa digambarkan dengan gambaran apapun, Sabrang mencoba menjelaskan secara fisika. “Rasio ibaratnya sebuah processor yang membutuhkan data untuk prosesnya,” jelas Sabrang, “Data merupakan variabel, dimana ada data yang bisa dilihat, didengar atau dirasakan. Pada variabel lain data tersebut bisa dipercaya dan diragukan. Seperti halnya iman kepada Tuhan, hal ini memerlukan variabel data yang bisa jadi meragukan, namun juga data tersebut bisa jadi memperkuat kepercayaan kita terhadap Tuhan itu sendiri.”

Menurut Sabrang, baik antara ateis dan yang tidak ateis, keduanya sama-sama menggunakan rasio. Yang membedakan adalah akar komponen yang digunakan pada rasio tersebut. Sabrang memberikan permisalan, bahwa seorang yang ateis, dia tidak mempercayai adanya Tuhan karena dia tidak bisa menemukan rasio adanya Tuhan berdasarkan data-data kebenaran yang dia miliki, ia berkeyakinan tidak adanya Tuhan karena ia tidak memiliki data bahwa dia tidak bisa melihat Tuhan, tidak bisa mendengar Tuhan sehingga informasi-informasi yang berasal dari agama pun tidak dia jadikan sebagai komponen. Yang terjadi pada akhirnya adalah dia tidak mempercayai akan adanya Tuhan. Tetapi yang menjadi landasan adalah kepercayaan dia terhadap rasio itu sendiri.

Sedangkan bagi yang mempercayai akan adanya Tuhan, mungkin pendekatannya kepercayaan adanya Tuhan berdasarkan rasio yang ia pegang berbeda dengan seorang yang ateis. Sabrang sendiri mengakui bahwa dia tidak bisa menemukan rasio bahwa Tuhan bisa dibuktikan dengan hal-hal yang bisa dijadikan landasan sebagai dasar rasio tersebut. Sehingga kemudian bagi orang yang mempercayai adanya Tuhan, ada sebuah ruang yang disebut dengan iman.


Menurut Sabrang ada dua cara untuk mengkonfirmasi sebuah kebenaran: memastikan bahwa hal tersebut adalah benar dan memastikan bahwa yang lain adalah salah. Dalam Islam ada kalimat Laa ilaaha illallah. Dalam kalimat ini sudah dipastikan di awal bahwa ada kalimat “tiada Tuhan” terlebih dahulu sebelum kemudian disambungkan dengan “kecuali Allah”. Antara kalimat pertama disambungkan ke kalimat yang kedua menurut Sabrang terdapat persambungan-persambungan yang tidak bisa dijelaskan hingga akhirnya kalimat tersebut menjadi sebuah kesatuan yang menyatakan: tidak ada Tuhan selain Allah.

Melalui fisika, Sabrang menyatakan bahwa bukti adanya Tuhan bersifat empiris. Sabrang kemudian menjelaskan teori Slit Experiment dan Double Slit Experiment. Keduanya merupakan eksperimen fisika yang menggunakan media cahaya dan layar. Dari dua eksperimen itu, menghasilkan dua kesimpulan: pada eksperimen pertama (Slit Experiment) cahaya yang muncul pada layar terakhir bersifat partikel sedangkan pada eksperimen kedua (Double Slit Experiment) cahaya yang muncul di layar terakhir berupa gelombang. Untuk mengetahui bahwa cahaya tersebut berupa partikel atau gelombang, pada eksperimen selanjutnya ditambahkan sebuah detektor pada salah satu slit yang mampu mendeteksi di jalur mana cahaya tersebut dipancarkan hingga menuju layar yang terakhir, untuk mengetahui apakah foton-nya (partikel terkecil cahaya) melewati arah sebelah kanan atau sebelah kiri. Ketika detektor tersebut dilepas, informasi yang didapatkan adalah bahwa cahaya yang dipancarkan dari sumber cahaya itu bersifat gelombang.

Menurut Sabrang, signifikansi dari kedua eksperimen tersebut, yaitu dengan menggunakan detektor atau tidak, adalah kita mengetahui informasi cahaya tersebut lewat arah mana. Sehingga kesimpulan bahwa cahaya tersebut bersifat partikel atau gelombang berdasarkan informasi dari sesuatu yang mengawasi cahaya tersebut, karena ada kesadaran yang melihat dan kemudian memproses informasi tersebut. Sehingga potensi sebuah gelombang dan kemudian memanifestasi menjadi sebuah benda ketika kita mengetahui informasi tentang gelombang tersebut, sehingga kemudian bisa dipastikan ada sesuatu yang mengawasi gelombang tersebut dan kemudian mengolahnya menjadi sebuah informasi. Eksperiman ini cukup populer pada tahun 1930-1940, dan fenomena yang terjadi pada saat itu banyak orang yang pada akhirnya mendekat kepada agama, karena pada akhirnya mereka mendapatkan bukti bahwa ternyata sains masih terlalu muda untuk menjelaskan dan memahami seluruh alam semesta ini.

Tentang perbedaan antara ateis dan yang tidak ateis, Sabrang menyatakan bahwa rentang iman antara keduanya yang ada hanya persoalan kepercayaan. Yang kita lakukan sekarang adalah percaya terlebih dahulu baru kemudian mencari buktinya, bukan mencari buktinya terlebih dahulu kemudian mempercayainya.

Keberadaan rasio itu sangat penting bukan karena penggunaan rasionya dalam mencari kebenaran, melainkan cara menggunakan rasio dalam menganalisa kegunaan rasio itu sendiri.

Sabrang

KEMURNIAN BERPIKIR

Rasio itu diperlukan dalam kehidupan. Sabrang mencontohkan tentang bagaimana salah satu syarat membaca Alquran adalah kesucian orang yang membacanya. Menurut Sabrang, kesucian yang dimaksud bukan hanya soal kesucian lahiriah kasatmata, tetapi juga memerlukan kesucian batiniah, yaitu kesucian hati dan pikiran. Dalam proses mensucikan diri memerlukan beberapa proses, salah satunya: berwudhu. Ketika berwudhu, Islam mempersyaratkan beberapa jenis air yang bisa digunakan untuk berwudhu, karena tidak semua air bisa digunakan. Sabrang menarik ke belakang ketika Cak Nun pernah mengatakan bahwa ilmu yang paling suci adalah matematika. Jika dalam jenis air ada air mutlak yang tingkatnya paling tinggi, maka dalam pikiran yang dibutuhkan untuk mensucikan pikiran adalah kemurnian dalam berpikir, seperti halnya dalam ilmu matematika bahwa 4 + 4 = 8, tidak ada diskusi dan tidak ada negosiasi. Disinilah letak kemurnian matematika, manusia tidak terlibat didalamnya. Dan semua sepakat untuk mengikuti semua fakta yang ada dalam matematika.

Sabrang mengibaratkan air musyammas itu seperti ilmu fisika. Kebenaran yang didapatkan setelah seseorang manusia berwudhu menggunakan air musta’mal itu seperti ilmu fisika, sudah ada pengaruh alam didalamnya. Dalam fisika ketika ada peristiwa sebuah kelapa jatuh dari pohonnya, maka itulah fakta yang ada, persoalan berapa kecepatan jatuhnya kelapa tersebut, Sabrang mengibaratkan bagaimana perjalanan manusia menemukan Tuhan yang berbeda-beda caranya, namun ending-nya adalah menemukan Tuhan. Setiap orang mungkin akan menemukan presisi berbeda satu sama lain dalam pengembaraannya dalam menemukan Tuhan.

Air musta’mal, Sabrang mengibaratkan seperti orang yang bersuci memakai akal dan rasionya dalam berpikir sehingga output-nya adalah tafsir-tafsir tentang Alquran menurut dirinya. Sehingga tafsir-tafsir yang ada dalam khasanah keilmuan saat ini hanya bisa digunakan untuk “berwudhlu” bagi yang menyusunnya saja, tidak bisa digunakan oleh orang lain. Bahwa tafsir karya orang lain itu kita gunakan untuk dijadikan sebagai referensi, itu bukan sebuah persoalan, tetapi kita tidak bisa menggunakan 100% referensi tersebut untuk “berwudhu”.

Sabrang kemudian mengibaratkan bahwa media saat ini adalah sebuah ladang informasi yang sifatnya seperti air mutannajis. Karena dalam proses penyebaran informasi di media setiap informasi yang disebarluaskan sudah pasti ada motif dan tujuannya. Informasi dari satu media dengan media yang lain sangat mungkin bernilai berbeda karena perbedaan motif dan tujuan ditulisnya sebuah informasi. Maka, informasi apapun yang disampaikan oleh media tidak mungkin bisa digunakan untuk “berwudhu” untuk mensucikan hati dan pikiran manusia. Yang paling mungkin diberikan oleh media massa hanyalah sekumpulan hint atau clue yang kemudian manusia menyusun dan merangkainya sendiri untuk menemukan kebenaran. Menurut Sabrang, keberadaan rasio itu sangat penting bukan karena penggunaan rasionya dalam mencari kebenaran, melainkan cara menggunakan rasio dalam menganalisa kegunaan rasio itu sendiri.

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

SAREKAT ISLAM YANG MENDUNIA

Sesi berikutnya, tampil Erik Supit mengemukakan pandangannya. Ia berbagi tentang proses riset film HOS Tjokroaminoto dimana ia ikut terlibat didalamnya. Dari riset itu, Erik menemukan bahwa ternyata seorang HOS Tjokroaminoto bergerak sendirian, meskipun kita mengenal sosok Boedi Oetomo dan Tan Malaka. Namun, HOS Tjokroaminoto memilih ruang yang lain dibandingkan kedua tokoh itu. Erik mengakui bahwa dirinya adalah orang yang suka membongkar sebuah cerita dan inilah yang dilakukan olehnya ketika melakukan riset tentang HOS Tjokroaminoto.

Erik menemukan sebuah fakta bahwa fenomena kemunculan pergerakan seperti Sarekat Islam tidak hanya ada di Jawa, namun juga muncul di wilayah lain. Kemunculan sebuah peristiwa di Jawa, menurut Erik sangat ditentukan dengan apa yang terjadi di Eropa bahkan di Amerika pada saat itu. Hal ini berdasarkan hasil riset tentang Sarekat Islam yang ternyata sudah ada di 5 negara sebelum akhirnya muncul di Indonesia. Dan ternyata Sarekat Islam yang paling menonjol dan berhasil adalah yang muncul di Jawa (Indonesia), bahkan 2 tahun setelah Sarekat Dagang Islam berubah nama menjadi Sarekat Islam, jumlah anggotanya terbesar di wilayah Asia, mencapai 2,5 juta orang. Ini merupakan sebuah peristiwa yang monumental dan fenomenal tentunya, karena di Mesir dan Hijaz pada saat yang bersamaan jumlah anggota sebuah gerakan yang berlandaskan ekonomi dan agama tidak pernah mencapai jumlah anggota sebanyak yang dimiliki oleh Sarekat Islam.

Yang dirasakan oleh Erik ketika melakukan riset tentang HOS Tjokroaminoto ini seperti sedang menggambar sebuah peta berdasarkan kepingan-kepingan informasi yang masih harus diteliti lagi kebenarannya. Sehingga yang dilakukan adalah merangkai logika berdasarkan zaman pada saat itu

Erik menggarisbawahi kondisi masyarakat saat itu yang tidak mengenal konflik agama dan politik. Perdebatan dalam sebuah diskusi pergerakan ketika itu berjalan sangat sportif. Salah satu indikasinya adalah Semaun seorang pemuda yang saat itu masih berusia 13 tahun, mampu menduduki posisi sebagai seorang sekretaris Sarekat Islam cabang Surabaya, dimana saat itu Jawa Timur memiliki wilayah yang sangat strategis dalam dunia pergerakan Islam. Bahkan ketika berusia 11 tahun, Semaun menjadi penggerak demonstrasi buruh kereta api, dan saat usia 16 tahun Semaun mampu mempelajari bahasa Belanda hanya dalam waktu 3 bulan saja.

Kegelapan itu sejatinya tidak ada, kegelapan terjadi ketika dimana tidak terdapat cahaya. Tidak adanya cahaya bukan karena cahaya itu menghilang, melainkan karena ada yang menghalangi cahaya itu sendiri. Begitu juga dengan hidayah dari Allah.

Robi

EMPAT PILAR NEGARA

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

Sesi selanjutnya, Irfan ditugasi untuk menjadi moderator diskusi. Mengantar diskusi, Irfan memberi dasaran dengan pemaparan tentang  lima pilar negara yang beberapa kali pernah di sampaikan oleh Cak Nun, yaitu: rakyat, kaum intelektual, militer, kebudayaan dan institusi-institusi keagamaan. Tulisan Cak Nun perihal tersebut dapat dibaca di tautan ini. Lima pilar yang dirumuskan oleh Cak Nun itu berbeda dengan empat pilar yang beberapa tahun belakangan dikampanyekan oleh pemerintah. Cak Nun mengibaratkan bahwa NKRI itu seperti sebuah pohon, dimana dalam sebuah pohon terdapat ranting, dahan, daun dan akar. Jika diibaratkan dengan istilah pohon tadi, maka UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila seperti akar, dahan, daun dan ranting pohon itu tadi. Sehingga sangat aneh jika kemudian komponen-komponen tersebut dijadikan sebuah pilar negara.

Irfan kemudian mempersilahkan Ust. Robi Nurhadi untuk menyampaikan respon dan pendapatnya. Ust. Robi yang mengikuti forum ini sejak awal mencoba meluruskan beberapa pernyataan jamaah. Bahwa tema Ateisme Agama bukan berarti bahwa tanpa adanya agama maka tidak ada kekacauan—seperti yang sudah disampaikan oleh salah seorang jamaah pada diskusi sesi sebelumnya—melainkan tema Ateisme Agama ini adalah sebuah kritik kepada para penganut agama dan orang-orang yang membawa label agama akibat perilakunya yang tidak sesuai dengan apa yang ia anut. Seperti yang sudah dicontohkan sebelumnya; ada orang yang salat tetapi korupsi, misalnya.

Ust. Robi sampaikan bahwa tema Kenduri Cinta kali ini merupakan akibat dari kegelisahan para penggiat Kenduri Cinta yang mengamati fenomena di masyarakat, dimana istilah-istilah agama sudah melebar jauh dari makna yang sebenarnya. “Agama itu berhubungan dengan suatu keadaan dimana seseorang itu bertuhan,” lanjut Ust. Robi. Secara eksplisit Ust. Robi menambahkan, bahwa seharusnya judul yang diangkat adalah Ateisme Oknum Penganut Agama, jika yang dimaksud keresahan yang dirasakan oleh teman-teman penggiat Kenduri Cinta adalah keresahan atas perilaku orang yang mengaku beragama tetapi tidak mencerminkan apa yang diajarkan oleh agamanya sendiri.

Mencuplik apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Quraisy Shihab dalam tafsir Al Misbah, bahwa Allah tidak pernah bisa digugat karena seseorang tidak mendapat hidayah untuk beragama. Karena seperti halnya ketika Allah memerintahkan matahari untuk memancarkan sinarnya setiap hari, tidak ada pengecualian. Jika seseorang ingin merasakan teriknya sinar matahari di siang hari, maka yang harus dilakukannya adalah jangan bersembunyi dalam gua atau di sebuah tempat yang menghalangi cahaya sinar matahari. Begitu juga dengan hidayah dari Allah, jika seseorang menutup dirinya untuk menerima hidayah dari Allah, maka itu karena kesalahan dari manusia itu sendiri. Orang-orang yang mengaku dirinya ateis itu seperti orang yang bersembunyi dari cahaya sinar matahari di siang hari, tetapi ia berharap mendapat pancaran sinar matahari.

Orang-orang Barat beranggapan bahwa setiap bayi terlahir secara ateis, dalam Islam anggapan ini jelas salah. Dalam sebuah hadits Rasulullah menjelaskan bahwa: kullu mauludin yuuladu ‘ala-l- fithroh, fa abawaahu yuhawwidanihi aw yunasshironihi aw yumajisanihi. Bahwa setiap bayi terlahir fitrah, seperti selembar kertas yang bersih. Orang tuanya yang akan menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi.

ATEIS EKSPLISIT DAN ATEIS IMPLISIT

Menurut Ust. Robi, proses ateis seperti kita melihat kegelapan. Menurutnya, kegelapan itu sejatinya tidak ada, kegelapan terjadi ketika sebuah momen dimana tidak terdapat cahaya. Tidak adanya cahaya bukan karena cahaya itu menghilang, melainkan karena ada yang menghalangi cahaya itu sendiri. Begitu juga dengan hidayah dari Allah, yang terjadi bukan karena Allah tidak memberikan hidayah, tetapi manusia yang menutup dirinya dari pancaran hidayah dari Allah. Ust. Robi menambahkan, bahwa sebenarnya Allah tidak menyukai orang yang suci, melainkan Allah menyukai orang yang membiasakan diri untuk sering bersuci. Sesuai dengan firman Allah: Innallaha yuhibbu-l-mutathohhiriin.

Jika sebelumnya kita sepakat untuk mengkritisi bahwa alimnya seseorang tidak berdasarkan pakaian atau aksesoris yang dipakainya, maka sebaliknya kita juga harus sepakat bahwa kita tidak boleh mengatakan seseorang ateis hanya karena cara pandangnya saja. Begitu juga di situasi yang lain, dimana kita tidak berhak menyatakan seseorang itu kafir hanya karena berdasarkan ilmu pengetahuan yang kita miliki, karena sudah sangat jelas bahwa keimanan seseorang merupakan rahasia yang sangat pribadi dari setiap manusia dengan Tuhan.

“Saya ingin menggambarkan bahwa Islam itu seperti sebuah universitas. Dalam Islam setidaknya ada 3 fakultas: ushuluddin, syariah dan adab,” lanjut Ust. Robi. Jika dalam fakultas ushuludin, maka ukuran yang digunakan adalah mukmin. Fakultas ushuludin ini adalah yang paling mendasar, sehingga terkait keimanan seseorang tidak ada diskusi dan tidak ada negosiasi. Sedangkan output dari fakultas syariah adalah muslim. Tidak mengherankan jika sering kita melihat fenomena perbedaan pendapat dalam fikih seperti perbedaan penggunaan doa qunut atau tidak dalam salat Subuh. Fakultas adab adalah fakultas akhlak, sehingga yang dihasilkan dari fakultas ini adalah ikhlas (mukhlis).

Ust. Robi menjelaskan bahwa dalam literatur barat ada dua jenis ateis: ateis eksplisit dan ateis implisit. Ateis eksplisit adalah orang yang tidak percaya adanya Tuhan sehingga ia kemudian mengedepankan akal. Sedangkan ateis implisit adalah orang-orang yang mengaku dirinya ber-Tuhan tetapi secara tidak sadar dia menghilangkan Tuhan dalam kesehariannya. Disinilah letak pentingnya zikir dan salat dalam Islam. Allah menyiapkan sebuah perangkat agar manusia tidak pernah melupakan keberadaan Tuhan dalam kehidupannya. Diibaratkan salat adalah sebagai penjaga ritme agar manusia tidak pernah kehilangan cahaya dari Tuhan.

Orang-orang yang mengaku dirinya ateis itu seperti orang yang bersembunyi dari cahaya sinar matahari di siang hari, tetapi ia berharap mendapat pancaran sinar matahari.

Robi

Diskusi semakin menghangat ketika Sabrang kemudian melemparkan sebuah pertanyaan kepada Ust. Robi: seseorang yang tidak begitu percaya tentang adanya Tuhan, namun dia “cari aman” dengan tetap berbuat baik dalam kehidupannya, apakah orang yang seperti ini juga termasuk dalam kategori ateis atau tidak?

Ust. Robi merespon dengan sebuah perumpamaan tentang seseorang yang mengikuti perkuliahan di sebuah kampus, tetapi sebenarnya ia tidak melakukan registrasi sebagai mahasiswa, sehingga yang terjadi kemudian adalah dia tidak akan mendapatkan gelar setelah bertahun-tahun mengikuti perkuliahan. Yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menyepakati kesepakatan di fakultas Ushuludin yang dijelaskan sebelumnya, menyepakati Tuhan yang mana yang sebenarnya memiliki kekuasaan penuh atas alam semesta ini. Agar tidak ada kesempatan bagi manusia untuk “cari aman” dengan melegitimasi bahwa hanya dengan berbuat baik setiap hari saja itu cukup untuk mengamankan dirinya atas keragu-raguan keberadaan Tuhan. Ust. Robi mengibaratkan bahwa proses “registrasi” merupakan hal penting dalam proses kepercayaan manusia terhadap Tuhan, sehingga tidak mungkin kemudian apabila seseorang melewati proses syariah dan adab tanpa melewati proses ushuludin mendapatkan hak yang sama dengan orang yang melewati 3 proses: ushuludin, syariah dan adab secara tertib.

Konstruksi kebenaran dan konsistensi tentang kebenaran itulah yang pada akhirnya akan menuntun seseorang kepada kebenaran yang sejati. Dan kebenaran menurut seseorang belum tentu menjadi kebenaran bagi orang yang lainnya.

Sabrang

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

ILMU KELAKONE KANTI LAKU

Menjawab pertanyaan Irfan tentang jihad, Sabrang menjelaskan bahwa seseorang melakukan sesuatu untuk kemudian dikatakan jihad atau bukan itu merupakan hal yang sangat sulit dibuktikan. Menurut Sabrang, jihad merupakan output dari penyatuan ijtihad dan mujahadah. Sabrang mengibaratkan dalam ilmu fisika: seseorang akan mengetahui keberadaan Tuhan dengan mempelajari perilaku alam, dalam ilmu biologi: seseorang akan mengetahui keberadaan Tuhan melalui perilaku binatang dan seterusnya. Konstruksi kebenaran dan konsistensi tentang kebenaran itulah yang pada akhirnya akan menuntun seseorang kepada kebenaran sejati. Dan kebenaran menurut seseorang belum tentu menjadi kebenaran bagi lainnya, seperti seekor gajah yang dilihat oleh 50 orang dari berbagai sudut pandang, setiap orang akan mendeskripsikan dan menggambarkan gajah dalam perspektif berbeda-beda. Pertanyaan tentang seseorang berjihad atau tidak, juga sama dengan pertanyaan tentang seseorang ateis atau tidak, karena setiap manusia memiliki limitasi pengetahuan tentang alam pikiran manusia lainnya, sehingga tidak mungkin seorang manusia melegitimasi seseorang itu berjihad atau tidak, atau seseorang itu ateis atau tidak. Bahkan pada tingkat yang lebih tinggi lagi, seseorang tidak bisa melegitimasi bahwa orang lain itu kafir atau tidak.

Ilmu kelakone kanti laku. Kalau kita membayangkan rasa manis didefinisikan di akal dan kita yakin bahwa itu adalah manis, sejatinya kita tidak akan merasakan rasa manis sebelum kita sendiri menjilat dengan lidah kita sendiri,” lanjut Sabrang. Sabrang kemudian bercerita pengalamannya ketika ateis di Kanada. Pada akhirnya Sabrang meyakini bahwa yang dilakukan setiap hari adalah ijtihad menuju kebenaran sejati, persoalan apakah yang dilakukan tersebut benar atau tidak, itu semua diserahkan kepada Allah.

Menjawab pertanyaan apakah yang dilakukan saat ini adalah jihad atau bukan, Sabrang berpendapat bahwa yang paling penting adalah konsistensi dalam dirinya dalam menuju kebenaran itu, karena Sabrang menyadari bahwa kebenaran yang ia temukan setiap hari sudah pasti akan berkembang terus sejalan dengan pengetahuan yang ia miliki, sehingga konsep tentang jihad yang ia pahami juga akan berkembang setiap harinya.

“Karena saya percaya yang menjadi nomor satu bukanlah kamu menemukan Tuhan atau tidak, tetapi tidak pernah berhentinya dirimu mencari Tuhan.”

Sabrang

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

AGAMA YANG JUGA EKSLUSIF

Menyambung Sabrang, Ust. Robi menambahkan bahwa dalam persoalan ateisme ini yang menjadi hal yang utama adalah bukan tentang kapan hidayah itu datang, tetapi kemauan manusia itu sendiri lah yang menentukan, apakah ia ingin mencari hidayah atau tidak. Menurutnya, semua yang terjadi di dunia ini sudah by design-nya Allah, semua tidak muncul dengan tiba-tiba, dalam istilah Islam dikenal: robbanaa maa kholaqta hadzaa baatilan, bahwa tidaklah Tuhan menciptakan semua yang ada di alam semesta ini sia-sia. Setiap penciptaan Allah pasti memiliki hikmah.

Menjelang pukul dua dini hari perbincangan tentang konsep ateisme semakin menarik. Farisah melemparkan sebuah pertanyaan: apakah agama itu ibaratnya sebuah makanan yang kita makan setiap hari seperti nasi atau dia sifatnya seperti makanan lobster, sebuah menu yang eksklusif yang belum tentu dikonsumsi setiap hari? Farisah menambahkan bahwa banyak manusia yang di kehidupannya menampilkan kepribadian beragama tanpa harus menampilkan identitas agamanya.

Merespon pendapat Farisah, Ust Robi menjelaskan bahwa Allah tidak pernah memberikan beban kepada setiap manusia melebihi kemampuannya, sehingga dalam konsep agama manusia sebaiknya mengambil apa yang ia butuhkan saja, tidak harus mengambil semua yang ada. Jika kemudian yang terjadi adalah mengambil semua yang ada, maka justru mengakibatkan hal tidak baik, seperti orang yang rakus memakan hidangan semua makanan yang tersaji padahal perutnya sudah penuh oleh makanan.

Sabrang menambahkan bahwa agama mengandung sesuatu yang biasa sehari-hari dilakukan, tetapi juga mengandung hal-hal ekslusif. Sesuatu hal yang diajarkan oleh agama, sama dengan yang dilakukan oleh manusia sehari-hari secara luas, seperti: salat, puasa, zakat dan sebagainya. Tetapi menurut Sabrang, agama juga mengandung nilai-nilai eksklusif, dimana nilai-nilai itu akan didapatkan oleh setiap pribadi manusia masing-masing, berdasarkan pencarian terhadap nilai-nilai kebenaran. Nilai-nilai itu bersifat eksklusif karena setiap manusia akan menemukan parameter yang berbeda satu sama lain dalam menentukan ekslusivitasnya. Sabrang melempar sebuah pertanyaan balik: jadi yang ingin kamu makan itu hanya nasi saja atau nasi dengan lauk lobster, sehingga pencariannya apakah hanya yang biasa atau ada pencarian sendiri dengan pemahamanmu sendiri tentang Agama dan Tuhan tersebut?

“Agama bagi saya adalah sebuah petunjuk, saya tidak pernah berfikir bahwa agama adalah sebuah institusi yang kemudian mengurusi urusan registrasi dan sebagainya. Tetapi agama merupakan sebuah petunjuk yang efektif bagi manusia untuk kembali ke Tuhan.”

Sabrang

ALQURAN SEBAGAI “JALUR BUSWAY”

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

Edy Ahmad Effendy menambahkan bahwa setiap orang dalam perjalanannya menuju Tuhan memiliki password yang berbeda. Agama jangan diterjemahkan dengan literatur bahasa, karena hanya akan memberi pemahaman verbal saja, tidak sampai ke pemahaman yang substansial. Jika disempitkan dalam konteks Islam, akan menuju pertanyaan-pertanyaan yang contohnya: pernahkah Allah itu hadir dalam setiap salat kita? Atau jangan-jangan salat yang setiap hari kita laksanakan itu hanya sebatas rutinitas menggugurkan kewajiban saja? Sehingga substansi jihad sendiri pun akan berbeda pada setiap individu, seperti halnya seekor ayam menjihadi anak-anaknya untuk bertahan hidup akan berbeda dengan proses yang sama yang dilakukan oleh ular. Begitu juga dengan kita sebagai manusia, setiap individu akan memiliki proses pengembaraan yang berbeda satu sama lain dalam konsep jihadnya menuju Tuhan.

Ust. Robi memungkasi pemaparan sekaligus merespon pertanyaan-pertanyaan dari Farisah. Menurut Robi, Allah selalu compatible dengan cara berpikir makhluk-Nya, karena Allah yang menciptakan semua yang ada di alam semesta. Pencarian apapun yang dilakukan oleh manusia terhadap Allah akan selalu ditunjukkan sesuai dengan kemampuannya. Ust. Robi mengibaratkan bahwa Allah itu adalah tuan rumah yang menghidangkan segala macam masakan kepada siapapun yang bertandang ke rumah-Nya, perintah Allah kepada manusia hanya satu: makan. Dan yang tersaji di meja adalah semua jenis makanan, dimana manusia hanya diperintahkan untuk makan, manusia akan mengambil makanan yang mana saja sesuai dengan seleranya, sesuai dengan kemampuannya.

*

Sabrang menambahkan bahwa seandainya kita mencari Tuhan tanpa adanya buku manual yang kita sebut Alquran, namun mencari secara mandiri dengan lelaku spiritual tidak akan cukup usia kita untuk dihabiskan dalam proses pencarian tentang Tuhan. Manusia saat ini hanya diberi usia dalam rentang 60-70 tahun, usia tersebut sedikit jika kita harus melakukan proses pengembaraan spiritual secara mandiri untuk mencari Tuhan, kita akan membutuhkan waktu seperti Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Ibrahim bahkan Nabi Adam yang usianya mencapai ratusan tahun untuk menemukan Tuhan.

Sabrang mengibaratkan Alquran itu seperti jalur busway yang sudah diarahkan menuju sebuah terminal akhir bernama Tuhan. Setiap manusia akan mendapatkan efektivitasnya masing-masing dalam proses pencariannya. Petunjuk dalam agama sendiri memiliki tingkatan yang berbeda-beda, Sabrang menggambarkan dengan skala ukuran, jika petunjuk yang kita gunakan berada pada level “meter”, maka kita tidak akan mampu merambah “sentimeter”. Jika kita membutuhkan informasi yang lebih detail dengan presisi yang lebih jelas, maka kita harus menggunakan petunjuk pada level “sentimeter”, bahkan mungkin “milimeter”, baru kemudian setelah menemukan posisi yang tepat, setiap individu itu akan mengurutkan kembali mulai dari awal: syariat, tarekat, hakikat dan makrifat.

Sabrang meyakini bahwa Tuhan memiliki ukuran terhadap kemampuan manusia masing-masing, yang kemudian harus dilakukan oleh manusia adalah mencari limitasi pengetahuan yang ia miliki, sehingga setiap individu akan mengetahui presisi yang tepat dalam proses pencariannya terhadap Tuhan.

“Anda tidak logis mengucapkan Allahu Akbar kalau anda tidak menemukan kekaguman oleh kebesaran ciptaan Allah.”

Emha Ainun Nadjib

KAFIR, ATEIS DAN SYIRIK

Menjelang pukul tiga dini hari Cak Nun hadir untuk memuncaki forum Kenduri Cinta dengan beberapa pointer-pointer yang padat. Cak Nun—yang sebenarnya sudah hadir sejak diskusi sesi awal, namun sengaja tidak naik ke panggung, karena beliau ingin menikmati suasana diskusi Kenduri Cinta layaknya jamaah biasa di barisan belakang—menjelaskan perbedaan antara kafir dan ateis. Orang kafir itu mengakui adanya Tuhan, tetapi ia mengingkarinya. Sedangkan bagi orang ateis, ia menganggap Tuhan itu tidak ada. Sedangkan syirik adalah peristiwa dimana keberadaan Tuhan diyakini adanya tetapi disekutukan dengan sesembahan yang lain.

Cak Nun juga menjelaskan asal-usul mengapa Kenduri Cinta mengangkat judul Ateisme Agama. Sebenarnya bukan tentang ateis-nya yang ingin dibahas, seperti yang sudah dijelaskan di sesi prolog, bahwa Rumah Maiyah memberi tugas kepada forum-forum Maiyah untuk membahas istilah-istilah dalam Islam yang saat ini mulai melebar dari makna aslinya, seperti jihad, syahid, syariah dan sebagainya. Cak Nun mengajak jamaah untuk kembali mengingat maksud dari istilah-istilah yang sering kita ucapkan setiap hari, seperti Allahu Akbar, Alhamdulillah, Subhanallah, Astaghfirullah, Innalillahi wa innaa ilaihi raaji’uun dan sebagainya.

Cak Nun menambahkan, sangat aneh kalimat Allahu Akbar sekarang diteriakkan dalam peristiwa-peristiwa yang cenderung kasar, karena sesungguhnya Allahu Akbar adalah puncak perintah Allah untuk meneliti dirimu sendiri, meneliti alam dan meneliti kehidupan, hingga pada akhirnya manusia menemukan kekaguman-kekaguman dan ketakjuban-ketakjuban atas kebesaran ciptaan Allah.

Maka peristiwa takbir Allahu Akbar ketika akhir bulan Ramadan adalah puncak dari pengembaraan selama satu bulan ketika manusia mengambil jarak dari dunia, dari materialisme, meneliti kehidupan selama satu bulan lamanya dengan berpuasa, iktikaf dan sebagainya dengan tujuan agar manusia menemukan hal-hal yang dahsyat atas kehendak dan kebesaran Allah.

Aku menyebut diriku muslim saja aku tidak berani, karena itu merupakan hak prerogatifnya Allah untuk menilai aku ini muslim atau bukan.

Emha Ainun Nadjib

SYAHADAT SUBSTANSIAL

Cak Nun menjelaskan bahwa setiap manusia tidak bisa menentukan apakah seseorang itu kafir, muslim, ateis dan sebagainya. Karena untuk menentukan hal ini merupakan hak penuh milik Allah. Yang dilakukan oleh manusia adalah berusaha agar dirinya menjadi muslim yang sejati sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Bahwa kelak yang memiliki legitimasi untuk menyatakan bahwa seseorang itu muslim atau kafir hanyalah Allah, bukan manusia. Karena Allah yang memiliki data valid, baik secara lahir maupun batin untuk menentukan islam atau tidaknya seseorang.

Mengajak jamaah untuk berpikir dengan logika sederhana, Cak Nun bercerita bahwa di beberapa kota di luar negeri sepeda motor diwajibkan menyalakan lampu utama karena jumlah sepeda motor minoritas dibanding kendaraan bermotor lainnya seperti mobil dan bus, sehingga logis jika ada aturan yang mewajibkan sepeda motor wajib menyalakan lampu utama saat berkendara, agar pengguna lain tahu. Logika sederhana itu juga seharusnya digunakan dalam proses sertifikasi halal atau haramnya sebuah produk makanan. Jika di Amerika, sangat mungkin diberlakukan sertifikasi halal karena asumsi dasarnya adalah mayoritas makanan disana haram, sedangkan di Indonesia yang seharusnya diberlakukan adalah sertifikasi halal karena makanan yang halal relatif lebih banyak berdasarkan jumlah penduduk yang lebih banyak beragama Islam dibanding agama yang lain.

Melanjutkan penjelasan tentang konsep manusia tentang eksistensi Tuhan —ada variabel bahwa Tuhan dianggap tidak ada (ateis), Tuhan diyakini keberadaannya tetapi diingkari (kafir) dan Tuhan diyakini keberadaannya tapi disekutukan (syirik)—Cak Nun menjelaskan bahwa hakikat syahadat adalah mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sehingga yang seharusnya dipahami adalah “pengakuannya” bukan “kesaksiannya”, karena konsep persaksian lebih cenderung pada pengucapan bukan pengakuan. Ketika konsep syahadat hanya dipahami sebagai persaksian yang harus diucapkan, maka akan menimbulkan masalah bagi orang yang bisu. Seperti halnya yang terjadi dalam perdebatan tentang bagaimana mengacungkan jari ketika duduk tahiyat dalam salat, akan menimbulkan masalah bagi orang yang tidak memiliki jari tangan. Cak Nun menggaris bawahi bahwa syahadat adalah hal yang substansial bukan formal. Sehingga sangat tidak rasional jika syahadat hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup manusia.

“Orang Maiyah harus siap bahwa hidup ini tidak sama dengan apa yang kamu inginkan, tidak sama dengan apa yang kamu pikirkan, bahkan hidup ini bisa saja berlaku sebagaimana yang kamu benci.”

Emha Ainun Nadjib

ATEISME AGAMA — Kenduri Cinta

RAHMATAN LIL ALAMINNYA MANA?

Melihat fenomena-fenomena yang terjadi di segala penjuru, di belahan dunia manapun saat ini, muncul sebuah pertanyaan besar: Rahmatan lil ‘alaminnya mana? Hal inilah yang kemudian menjadi substansi dari diskusi-diskusi yang dibahas di forum-forum Maiyah di segenap jejaring Nusantara bulan Maret ini. Karena yang terjadi saat ini adalah kesalahan cara orang-orang memperkenalkan Tuhan, yang akibatnya banyak orang tidak bersimpati kepada Islam. Dan itu terjadi hampir di semua lapisan, Cak Nun mencontohkan bagaimana dulu musik dangdut begitu orisinil dimiliki oleh bangsa Indonesia, sehingga keindahan dangdut tidak mengutamakan fisik si penyanyi, melainkan aransemen musik dan syair yang digunakan sebagai lirik lagunya. Lambat laun musik dangdut mengalami degradasi, hingga pada akhirnya saat ini yang paling penting dari musik dangdut adalah pantat dan dada penyanyi dangdut itu, bukan aransemen musiknya dan bukan lagi syair pada lirik yang dinyanyikan.

Cak Nun kemudian mengajak jamaah memasuki ruang diskusi yang lebih serius. Dengan landasan-landasan yang dibangun sebelumnya, Cak Nun memberikan penggambaran secara tegas: seandainya dalam rapat pemerintahan, Tuhan tidak dilibatkan oleh orang-orang yang terlibat dalam rapat tersebut maka rapat tersebut dinyatakan ateis. Begitu juga ketika seorang Presiden, ketika dalam proses pengambilan sebuah keputusan dia tidak melibatkan Tuhan sebagai faktor utama dalam pertimbangan pengambilan keputusan, maka dia ateis.  Konsep manunggaling kawulo lan gusti dalam falsafah Jawa memiliki arti bahwa ada kesadaran pemimpin bahwa Allah dan rakyatnya menjadi satu, sehingga dia tidak berani berkhianat kepada Allah karena akan menyengsarakan rakyatnya, dan ia tidak akan berani menindas rakyatnya karena Allah akan murka.

Cak Nun menjabarkan bahwa Allah sewaktu-waktu bisa berposisi sebagai pihak ketiga (dia), namun pada waktu lain juga bisa berposisi sebagai pihak kedua, bahkan bisa jadi pada sebuah momentum lain Allah menjadi pihak pertama dalam diri manusia. Cak Nun menegaskan bahwa ateisme sebenarnya merupakan dinamika kata kerja, di saat kita melibatkan Tuhan maka kita tidak ateis, dan ketika kita tidak melibatkan Tuhan dalam kehidupan kita maka kita ateis.

“Ketika anda senang, maka libatkanlah Allah sebagai faktor utama ketika anda bersyukur. Begitu juga ketika anda mendapat kesulitan, libatkanlah Allah sebagai faktor yang utama untuk menumpahkan keluh kesah anda.”

Emha Ainun Nadjib

DSC_0525

MENCAPAI MANUSIA ISLAM YANG RAHMATAN LIL ALAMIN

Dalam dimensi hukum, apabila hakim memutuskan sebuah peradilan tanpa melibatkan Tuhan, maka hasil keputusannya adalah keputusan ateistik, ketukan palunya adalah ketukan palu ateistik. Jika dalam kehidupan sehari-hari, ketika manusia melibatkan Allah dalam sebuah pengambilan keputusan, maka disitulah letak kejujuran. Dalam dunia akademis kita mengenal “objektif”, dalam ruang olahraga kita mengenal “sportif”, dalam lingkup hukum kita mengenal “adil”, itulah kesucian. Di Maiyah kita terbiasa menjunjung kejujuran, sehingga siapa saja dipersilakan tampil di panggung untuk membicarakan apa saja asalkan benar-benar berlandaskan kesucian dan kejujuran atas dirinya sendiri.

Cak Nun menekankan bahwa manusia mesti mencapai Islam Rahmatan lil ‘alamin, bukan lil ardhli saja. Rahmat bagi seluruh alam semesta, bukan hanya di bumi saja. Kita saat ini dihadapkan dengan siatuasi dimana satu sama lain saling berbenturan, bertabrakan, bertengkar hal-hal remeh, sehingga rahmatan lil ‘alamin yang didamba-dambakan tidak terwujud, bahkan mungkin rahmatan untuk lingkungan sekitar kita saja belum terwujud. Cak Nun berpesan kepada jamaah Kenduri Cinta untuk menjadi rahmatan minimal untuk dirinya sendiri, sehingga dengan seiring waktu berjalan akan meningkat menjadi rahmatan bagi keluarganya, lingkungannya, hingga akhirnya kelak benar-benar terwujud rahmatan lil ‘alamiin, benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.

Mengulang penjelasan tentang batu dan mutiara yang sempat disampaikan pada Kenduri Cinta bulan sebelumnya, Cak Nun kembali mengingatkan kepada jamaah agar senantiasa melatih daya kepekaan masing-masing individu sehingga mampu membedakan antara batu dan mutiara. Jangan mudah tertipu dengan batu yang dipoles sedemikian rupa sehingga tampak seperti mutiara, sedangkan mutiara yang sebenarnya justru dibuang, disingkirkan, dan dihiraukan. Demokrasi yang dianut oleh manusia saat ini merupakan sebuah produk dari sebuah bangsa yang tidak mengenal kemutiaraan manusia, dalam demokrasi suara seorang manusia berkualitas mutiara dianggap sama dengan suara seorang berkualitas batu kerikil. Dalam demokrasi, suara satu ons emas sama dengan suara satu ons kerikil. Cak Nun berdialektika lebih jauh, bahwa ternyata pernikahan lebih penting dan lebih berat bobotnya dibandingkan dengan negara. Dengan sederhana Cak Nun bertanya kepada Hendra, “Kamu pilih mana, negaramu bubar atau pernikahanmu bubar?”

Dari penjelasan penjelasan sederhana tersebut, Cak Nun berharap jamaah Kenduri Cinta mampu mendefinisikan dan memberi bobot yang proporsional terhadap sebuah persoalan, sehingga mampu menentukan mana yang primer dan mana yang sekunder dalam kehidupan. Yang terjadi sekarang, manusia mudah ditipu dengan batu yang dipoles sedemikian rupa sehingga dianggap sebagai emas, dan hal ini terjadi di semua lapisan masyarakat. Kita bisa melihat dari hal-hal yang sederhana, bagaimana kualitas musik yang ada di Indonesia, kualitas film, sinetron, tayangan-tayangan hiburan di televisi, bahkan hingga kualitas para pemimpin daerah, anggota DPR hingga Presiden.

Kenduri Cinta edisi Maret 2015 malam itu kemudian dipuncaki dengan doa bersama, dipimpin oleh Ust. Robi Nurhadi.