ANSHOR MAIYAH

REPORTASE KENDURI CINTA FEBRUARI 2018

Selepas Magrib, hujan yang turun sejak sore perlahan reda, cuaca pun menjadi teduh. Para penggiat komunitas segera berbenah menyiapkan kelengkapan acara. Karpet dibentangkan, listrik dan perlengkapan sistem suara dinyalakan, layar belakang panggung dipasang. Sebagian penggiat tampak berbincang di samping panggung, merancang siapa-siapa saja yang akan tampil ke panggung memulai acara.

Tema malam itu adalah Anshor Maiyah. Kaum anshor adalah penduduk asli kota Madinah yang menyambut kedatangan kaum muhajirin dari kota Mekkah. Ketika memasuki Madinah, kaum muhajirin diterima kaum anshor yang sudah lama menetap di Madinah dengan suka cita. Mereka membagi tempat tinggal dan makanan dengan senang hati. Bahkan, mengutamakan segala sesuatu bagi kaum muhajirin melebihi diri mereka sendiri. Rasa kesetiakawanan, pengorbanan, solidaritas, persahabatan, dan kebersamaan yang dimiliki kaum anshor begitu mengagumkan. Di Madinah, Nabi Muhammad mempersaudarakan kaum muhajirin dan kaum anshor, mendirikan masjid, melakukan perjanjian-perjanjian yang adil. Bersama-sama mereka membangun tatanan peradaban baru, meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial untuk masyarakat Islam.

Hijrah, hakikatnya tidak hanya terbatas pada perpindahan fisik dari satu teritori ke teritori lain semata. Peristiwa hijrah bukan hanya berpindahnya umat dari Makkah ke Madinah, tetapi juga hijrahnya nilai-nilai Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Pada lingkup yang lebih luas. Salah satu makna hijrah adalah memutuskan hubungan.

Pada konteks Maiyah, hijrah dapat memaknai bahwa kita sedang memutuskan diri dari kegelapan, keegoisan, kelemahan mental, ketidaktepatan cara berpikir dan sebagainya, menuju nilai-nilai mulia manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Kita adalah muhajirin. Kita adalah muhajirin Maiyah. Lalu siapakah (atau apakah) yang disebut Anshor Maiyah? Sangat mungkin, kita belum mengenal kaum anshor, kaum yang menantikan kedatangan kita, menyambut kita di Madinatul Maiyah. Dengan bermaiyah, kita terus berupaya mengenal “anshoranshor” di berbagai nilai. Hingga suatu saat, kita layak masuk dalam kelompok “muhajirin“, disambut kedatangannya dengan suka cita oleh anshor yang sejati, oleh anshor yang abadi.

Tepat pukul delapan malam itu, Forum Maiyah Kenduri Cinta dimulai. Forum diawali pembacaan wirid Tahlukah. Malam itu, tepat tiga tahun ritual pembacaan wirid Tahlukah dilangsungkan setiap awal acara. Pada sesi prolog, Tri Mulyana, Bukhori dan Fahmi Agustian tampil ke forum mengawali acara. Fahmi bertanya pada jamaah, “Apa kita ini layak disebut sebagai muhajirin Maiyah? Atau Maiyah ini hanya persinggahan sementara?” Fahmi kembali mengingatkan tentang proses alami terbentuknya Maiyah. Sejak tumbuh embrionya pada dekade 90-an di Jombang (Padhangmbulan) hingga hari ini. Maiyah ada atas kehendak Allah. “Benarkah kita sedang berhijrah di Maiyah? Jika benar, lalu sudah sampai mana hijrah kita?” tanyanya.

Perihal berhijrah dengan nilai-nilai mulia, Fahmi menyindir perilaku beberapa orang yang menyunting video-video kajian maiyahan lantas mempublikasikan kembali dengan judul-judul yang provokatif untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan sesaat. Fahmi menyayangkan itu, sebab pengaruh video internet sangat besar pada generasi sekarang. Materi-materi video yang dikemas provokatif itu itu dikhawatirkan digunakan sebagai alat pembenaran dan berpotensi mengadu domba umat. Memang, berbeda dengan jamaah generasi sebelumnya, yang mengenal Maiyah melalui tulisan-tulisan Cak Nun di media cetak dan buku-bukunya, banyak jamaah generasi sekarang yang mengenal Maiyah dari media internet.

Hijrah merupakan sesuatu yang kita pernah kenal dan kita pernah pelajari, tetapi belum kita wujudkan.”
Adi Pudjo, Kenduri Cinta (Februari, 2018)

Adi Pudjo sejalan dengan Fahmi, ia katakan bahwa ide dan gagasan tema Kenduri Cinta kali ini (Anshor Maiyah) mengambil dari peristiwa hijrah. “Hijrah merupakan sesuatu yang kita pernah kenal dan kita pernah pelajari, tetapi belum kita wujudkan,” paparnya. Dalam Alquran, kata anshor beberapa kali disebut, konteksnya pertolongan. Anshorullah adalah orang-orang yang menolong Allah, tentu bukan berarti Allah membutuhkan pertolongan, makna itu tentu memiliki dimensi berbeda.

Menurut Adi Pudjo, apa yang kita lalui di kehidupan ini adalah persangkaan-persangkaan. Cak Nun pernah menulis Dinamika Persangkaan, sebuah essay tentang manusia yang kesehariannya dipenuhi suasana persangkaan karena ketidaktahuannya. Banyak konflik terjadi karena persangkaan-persangkaan.

Hendra Kusuma menyambung. Banyak istilah-istilah, seperti syariah, islam, khilafah, jihad, syahid dan hijrah, yang seharusnya mulia menjadi remeh, teredusir maknanya karena dilabelkan, dipadatkan dan dilembagakan oleh segelintir kelompok untuk kepentingannya. Tema Anshor Maiyah diangkat salah satunya dalam rangka mengembalikan makna anshor kembali ke makna denotatifnya. “Begitu pun Maiyah, banyak yang menggunakan label Maiyah untuk dijadikan padatan-padatan, dijadikan identitas, hal yang seharusnya dihindari oleh jamaah yang notabene adalah kaum muhajirin di Maiyah. Siapa lagi yang menjaga martabat Maiyah jika bukan jamaah Maiyah?” ujar Hendra.

Berikutnya, Nashir memberikan pendapatnya. Menyoroti perilaku sebagian orang yang mengambil keuntungan dari Maiyah, salah satunya menyunting dan mempublikasikan cuplikan-cuplikan video maiyahan dengan sematan judul yang provokatif, Nashir berpendapat bahwa perilaku itu jauh dari nilai-nilai yang sedang dibangun di Maiyah. Hal itu juga disetujui Tri Mulyana. “Apa yang kita cari di Maiyah ini?” tanya Tri heran, yang kemudian ia lanjutkan bagaimana para penggiat berkumpul tanpa motivasi ingin mendapatkan materi, meski jika simpul-simpul Maiyah (jumlahnya puluhan tersebar di berbagai daerah) digerakkan, tentu akan menjadi mesin ekonomi yang besar.

Melanjutkan diskusi, berganti Mathar Kamal yang mengutarakan pendapatnya. Melengkapi bahasan keorganisasian Komunitas Kenduri Cinta, ia sampaikan testimoninya sebagai seorang telah lama memperhatikan. Organisasi Kenduri Cinta unik, menurutnya. Organisasinya tidak struktural, namun para pekerja dibelakangnya saling mendukung satu sama lain. Proses pengkaderan juga berlangsung rapi. “Jika anda bertanya kepada para penggiat, “siapa yang mau jadi ketua?” mereka serentak menjawab “tidak mau” bahkan saling bermanuver agar tidak terpilih menjadi ketua.”

Bagi Bang Mathar, hal itu tidak lazim, karena pemilihan ketua organisasi, dimanapun, apalagi organisasi dengan massa dan pengaruh besar seperti Kenduri Cinta, pastinya akan diperebutkan. Yang terjadi di Kenduri Cinta justru sebaliknya, saling menolak. Bahkan, untuk menyelenggarakan Musyawarah Lengkap Kenduri Cinta, forum musyawarah organisasi yang digelar tiap tahun, para penggiat justru urunan untuk membiayainya. Bang Mathar mengingatkan kepada jamaah agar selektif dalam menyebarkan informasi yang didapat di forum maiyahan.

Setelahnya, Bang Mathar memperkenalkan kelompok musik Balte Irama dari Tanah Abang. Malam itu, Balte Irama memberi warna pada forum dengan musik-musik dangdut melayunya. Jamaah makin memadat.

Forum Maiyah harus dieksplorasi, bukan hanya eksplorasi intelektualitas, melainkan juga potensi-potensi kultural dan lain-lainnya, semua harus sinergi.”
Rizky Dwi Rahmawan, Kenduri Cinta (Februari, 2018)

Simpul Maiyah sebagai Anshor Maiyah

Memasuki diskusi sesi kedua, Tri Mulyana mengajak Ali Hasbullah, Hendra Kusuma, dan Fahmi Agustian untuk kembali bergabung di panggung. Hadir juga malam itu Rizky Dwi Rahmawan, penggiat aktif komunitas Maiyah Juguran Syafaat juga salah satu Koordinator Simpul Maiyah bersama Sabrang, Fahmi Agustian dan Hari Widodo.

Rizky sampaikan, hingga hari ini telah terdata 50 titik simpul Maiyah yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dengan segala keunikan dan khasnya masing-masing. Maneges Qudroh misalnya, komunitas Maiyah di Magelang yang telah 7 tahun mandiri terselengggara, memiliki konsep keliling kampung-kampung berdasar permintaan, lokasi pelaksanaannya tidak menetap di satu titik lokasi. Meski begitu, komunitas ini memiliki satu titik lokasi yang digunakan dalam melaksanakan forum bulanannya.

Rizky menambahkan, “Stigma yang banyak muncul dalam acara maiyahan adalah orang datang untuk duduk kemudian menyimak narasumber saja alias setor kuping.” Maiyah tidak boleh berhenti dalam konsep setor kuping itu. Forum Maiyah harus dieksplorasi, bukan hanya eksplorasi intelektualitas, melainkan juga potensi-potensi kultural dan lain-lainnya, semua harus sinergi.

“Terbentuknya Koordinator Simpul bukan dalam rangka menjadikan Maiyah menjadi padatan atau lembaga. Ini dibentuk untuk merapikan barisan,” sambung Fahmi, “Kita semua memahami bahwa Maiyah “tidak laku” di media mainstream, maka kita lah yang harus menyebarluaskan Maiyah.”

Dengan hadirnya Koordinator Simpul pada setiap region, maka penggiat-penggiat akan bersinergi, bersama mengolah dan mengelola konten-konten untuk dipublikasikan. Titik beratnya bukan hanya penyebaran informasi tetapi juga belajar bersama memilah kelayakan informasi untuk disebarluaskan. Jika proses berjalan rapi dan terstruktur, tentu gerakan akan menjadi lebih indah. Penyeberluasan informasi musti tak hanya mempertimbangkan kebenaran dan kebaikannya, tetapi juga keindahannya, sehingga Maiyah akan menjadi mulia di masyarakat.

Lebih lanjut dijelaskan, simpul-simpul Maiyah yang tersebar di berbagai daerah itu tidak tergantung seluruhnya pada sosok Cak Nun, meski semua mengetahui bahwa Cak Nun adalah sosok utama di Maiyah. Maneges Qudroh contohnya, selama 7 tahun keberlangsungannya, tak tergantung atas kehadiran Cak Nun. Mereka setia berproses menanamkan nilai-nilai Maiyah di wilayah Magelang dan sekitarnya tanpa sekalipun terpengaruh dengan kondisi apakah Cak Nun bisa hadir atau tidak. Baru akhir pekan lalu Cak Nun berkesempatan hadir di Maneges Qudroh. Begitu juga dengan Juguran Syafaat, 5 tahun dari sejak terselenggara, baru 2 kali Cak Nun hadir di sana.

Dari dua simpul itu, kita dapat belajar bahwa nilai-nilai Maiyah bisa disebarluaskan, ditanam, diinformasikan dimana saja dalam spektrum yang beragam, dalam kondisi masyarakat masing-masing. Koordinator Simpul Maiyah juga berupaya menjaga sumur mata air Maiyah yaitu Padhangmbulan, sebagai “ibu” dari seluruh simpul. Jangan sampai ada jamaah Maiyah yang tidak mengenal Padhang Mbulan, karena dari embrio Padhangmbulan itulah lahir Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Kenduri Cinta, Bangbang Wetan, hingga Maneges Qudroh, Juguran Syafaat, Maiyah Dusun Ambengan, Suluk Pesisiran, Warok Kaprawiran dan forum-forum lainnya.

Ali Hasbullah mengapresiasi Juguran Syafaat yang konsisten dan istiqomah mengelola forum maiyah, “Menurut saya Juguran Syafaat dan Maneges Qudroh adalah jenis Anshor Maiyah, karena mereka istiqomah.” Nilai lebih lainnya adalah pergerakan mereka yang tak tergantung pada sosok kehadiran Cak Nun. Prinsip mencari kebenaran bukan mencari siapa yang benar dalam forum Maiyah makin terbukti.

Indonesia membutuhkan warasatu-l-anbiyaa, yang menempuh kemungkinan-kemungkinan dan kenyataan-kenyataan hidup yang membuat semua orang, baik Islam maupun bukan Islam, bersyukur atas kehadirannya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2018)

Memaknai Hijrah, Belajar kepada Rasulullah

Ust. Noorshofa hadir malam itu. Terkait tema Kenduri Cinta, “Apa yang tersirat dari ayat Alquran, laqod jaa akum rasulun min anfusikum aziizun ‘alaihi maa anittum hariishun ‘alaikum bil mu’miniina rouufurrohiim, menggambarkan betapa menderitanya para pengikut Rasulullah saat itu,” paparnya.

Maka, konteks hijrahnya Rasulullah bersama pengikutnya saat itu memiliki alasan berdasarkan ‘aziizun ‘alaihi maa anittum, beliau merasa berat hati karena penderitaan yang dialami oleh pengikutnya. “Rasulullah merasakan betul penderitaan apa yang dirasakan oleh umatnya. Maka jika kita menghendaki hijrah, kita harus terlebih dahulu mengenal Rasulullah SAW dengan segala perangainya,” tambah Ust. Noorshofa.

Rasulullah pernah bersabda, laa wakta ladayya an ukriha man yakrohunii fainni masyghulun bihubbi man yuhibbunii, aku tidak memiliki waktu untuk membenci orang yang membenciku, aku menyibukkan diriku untuk mencintai orang yang mencintaiku,” ucap Ust. Noorshofa sembari mengingatkan kepada jamaah agar jangan sekali-kali mengaku mencintai Rasulullah jika perilaku dan akhlak Rasulullah tidak diikuti dan diteladani.

Jika kita telah mampu menapaki tahap dimana kita tidak memiliki waktu untuk membenci orang-orang yang membenci kita, maka yang perlu kita tumbuhkan adalah bagaimana kita menyibukkan diri mencintai orang-orang yang mencintai kita. “Buah dari Ilmu adalah kesabaran,” pungkas Ust. Noorshofa, “Karena ilmu Allah itu seluas lautan, sementara ilmu yang kita miliki mungkin hanya berupa tetesan-tetesan saja jika dibandingkan dengan luasnya lautan.”

Tak lama, Cak Nun tampak hadir di forum. Cak Nun mengelaborasi beberapa poin. Pertama, Rasulullah beserta para pengikutnya masuk ke Madinah sebagai kaum minoritas. Penduduk Madinah saat itu kurang lebih 10.000 orang, sementara muhajirin yang dipimpin Rasulullah berjumlah kurang lebih sekitar 1.500 orang saja. Islam saat itu menjadi umat minoritas. Ketika itu, masyarakat Madinah sangat plural, tidak semua beragama Islam. “Jadi yang bergembira (pada saat itu di Madinah) hanya 1.500 orang muhajirin atau juga termasuk 10.000 orang anshor?” tanya Cak Nun.

1.500 orang yang berhijrah dari Mekkah menuju Madinah secara substansial urusannya adalah urusan tauhid. Sementara yang 10.000 orang yang sudah menetap di Madinah urusannya lebih heterogen dan lebih plural dari sekedar tauhid. “Jadi, kedatangan Rasulullah ke Madinah bukan dalam rangka peristiwa Islam secara formal, melainkan peristiwa kasih sayang sosial, kenegaraan, perbaikan masyarakat, ekonomi, politik, kebudayaan dan seterusnya,” jelas Cak Nun.

“Indonesia saat ini membutuhkan warasatu-l-anbiyaa, yang menempuh kemungkinan-kemungkinan dan kenyataan-kenyataan hidup yang membuat semua orang, baik Islam maupun bukan Islam, bersyukur atas kehadirannya,” Cak Nun menambahkan, “Karena kata kum dalam ayat laqod jaa akum rasulun min anfusikum, sangat mungkin untuk ditafsirkan lebih luas lagi, bukan hanya menyatakan umat Islam melainkan seluruh umat manusia.”

“Kesalahan kita, di Indonesia saat ini, salah satunya adalah kurang mempelajari Rasulullah. Kita hanya belajar hukum-hukum yang diajarkan oleh Rasulullah tetapi kita tidak belajar perilaku Rasulullah, kita tidak belajar perilaku Muhammad sebagai manusia, kita tidak mewacanakan akhlak beliau sebagai pemimpin masyarakat yang luas,” tambah Cak Nun.

Rasululah SAW diutus Allah ke Madinah urusan utamanya adalah kemaslahatan hidup, perbaikan ekonomi, perbaikan moral dan akhlak.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2018)

Keadaan sosial Madinah kala peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW relevan dengan kondisi dan situasi yang kita hadapi di Maiyah, juga Kenduri Cinta hari ini. Kita berkumpul di Kenduri Cinta dengan latar belakang yang beragam, tidak semua beragama Islam, tidak semuanya berasal dari kalangan akademis, tidak semuanya berasal dari satu profesi yang sama. Maka, Maiyah samudera ilmu yang begitu luas. Namun, meski demikian, ilmu yang kita dapat di Maiyah ini tidak ada bandingannya dengan Ilmu Allah. Lau kaana-l-bahru midaa likalimaati rabbi lanafidal bahruqobla an tanfada kalimaatu rabbi walau ji’naa bimitslihi madadaa. Andaikan 7 samudera itu menjadi tinta untuk menuliskan seluruh Ilmu Allah, niscaya tidak akan cukup bahkan jikalau pun didatangkan kembali tinta sebanyak 7 samudera itu, maka sungguh ilmu Allah begitu luas. Itulah mengapa kita di Maiyah juga selalu diajarkan untuk memperluas hati, akal dan pikiran kita agar mampu memiliki jarak pandang yang semakin luas.

Perihal perilaku beberapa orang yang mengadu domba Cak Nun dengan tokoh-tokoh lainnya di media sosial, dengan menyematkan judul-judul provokatif di video-video suntingannya, Cak Nun merespon, “Kepada semua orang yang jahat kepada saya, reaksi saya adalah memohonkan ampun Allah SWT kepada yang menjahati saya.” Cak Nun mengingatkan bahwa ia tidak punya ajaran. Kenduri Cinta bukan acara pengajian, tausiyah atau mauidhloh hasanah. Pada Kenduri Cinta memang ada unsur pengajian, tetapi forum Kenduri Cinta bukan forum pengajian sebagaimana orang mengenal pengajian di berbagai tempat. Apalagi di Kenduri Cinta semua orang boleh berbicara, sehingga tidak ada kyai-nya, tidak ada ustaz-nya, tidak ada mursyid-nya, tidak ada tokoh utama di Kenduri Cinta. Sejatinya ajaran itu hanya milik Allah SWT, bahkan Rasulullah SAW pun tidak memiliki ajaran, ayatnya sangat jelas, ‘allama-l-insaana maa lam ya’lam, Allah yang mengajari manusia atas hal-hal yang belum diketahui oleh manusia. Sehingga tidak ada satu pun yang diajarkan oleh Rasulullah SAW yang tidak berasal dari Allah SWT, semuanya berasal dari Allah SWT. “Tidak ada daun yang tumbuh menjadi hijau kecuali berasal dari Allah, dan tidak ada nabi, rasul, habib atau apapun saja yang bukan berasal dari Allah,” tegas Cak Nun.

Cak Nun kembali mengingatkan kondisi masyarakat yang menempatkan orang baik sebagai sesuatu yang mengganggu, “Orang Indonesia diakui baik kalau sudah mati, kalau belum mati ia tidak diakui sebagai orang baik karena kebaikannya menjadi ancaman bagi keburukan orang lain. Kalau anda baik di kantor, anda akan disisihkan oleh teman-teman sekantor anda, karena anda tidak mau diajak korupsi, anda merupakan orang buruk dan dianggap gangguan di kantor anda. Nah kalau anda sudah meninggal baru diakui kebaikan anda.”

Kembali pada bahasan hijrah Nabi, dalam syair sholawat terdapat kalimat, ayyuha-l-mab’utsu fiina ji’ta bi-l-amri-l-muthoo’, bahwa Rasululah SAW diutus Allah ke Madinah urusan utamanya adalah kemaslahatan hidup, perbaikan ekonomi, perbaikan moral dan akhlak. Maka Rasulullah membikin pasar Islam yang letaknya berseberangan dengan pasar Yahudi saat itu. Apa yang dilakukan oleh Rasululah saat itu adalah bagaimana menciptakan pasar Islam di luar pasar Yahudi melalui persaingan yang sehat, bukan mendirikan pasar Islam di dalam pasar Yahudi. Hal itu dilakukan bukan hanya untuk perbaikan ekonomi semata, melainkan juga perbaikan mental dan moral masyarakat Madinah.

 

Allah menawarkan anomali-anomali, kemurahan-kemurahan, fenomenologi dan kita punya reserve yang luar biasa untuk merespons fenomena itu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2018)

Cak Nun malam itu mengisahkan pada saat penggalian parit menjelang Perang Khandaq, ketika Jabir meminta istrinya memasak sup kambing, sementara sup yang dimasak hanya mampu untuk memberi makan 20 orang, sedang jumlah pasukan Islam saat itu lebih dari 20 orang. Rasulullah SAW kemudian berdoa dan meludahi panci sup kambing, dengan rahmat Allah tentunya, sup kambing bisa dinikmati oleh seluruh pasukan Islam. Apa yang bisa kita ambil hikmah dari peristiwa ini? Yaitu, bahwa Allah selalu menyiapkan fenomena-fenomena, amsal-amsal, rukhsohrukhsoh bagi kita semua. Hanya terkadang kita tidak menyadarinya.

Kita, sebagai orang Indonesia, memiliki fenomenologis sosial yang belum tentu dimiliki oleh peradaban Barat, misalnya konsep “dicukup-cukupkan”. Ketika hanya memiliki uang seratus ribu rupiah, kita akan bilang “cukup”. Ketika hanya memiliki lima puluh ribu rupiah, konsep kita akan berubah “yaaah, cukup”. Lain lagi ketika uang yang kita miliki adalah dua puluh lima ribu rupiah, cukup atau tidak cukup bukan merupakan landasan bersyukur, melainkan kita membangun konsep baru: “yaaah, dicukup-cukupkan lah.” “Allah menawarkan anomali-anomali, kemurahan-kemurahan, fenomenologi dan kita punya reserve yang luar biasa untuk merespon fenomena itu,” lanjut Cak Nun.

Rukun Iman itu percaya kepada Allah, kepada Nabi dan Rasul-Nya, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, Hari Akhir dan Qadla Qadar-Nya. Cak Nun mengharapkan agar setiap kita mampu memprosentasekan berapa persen qadla dan qadar Allah (kehendak Allah) dan berapa persen ikhtiar serta ijtihad kita sebagai manusia.

“Tolong anda cari, dari yang anda alami di kehidupan anda, mana prosentase qadla dan qadar Allah, mana yang prosentase ikhtiar anda? Karena antara kemauan dan pemahaman anda terhadap hidup dengan takdir atau qadla dan qadar ada jaraknya. Jarak inilah yang tidak pernah diolah oleh manusia. Terkadang, sesuatu yang sebenarnya kehendak dan kemauan kita, kita anggap sebagai takdir Allah. Sementara yang takdir Allah justru kita tolak. Kita musti pandai dan bijak memilah mana yang nasib dan takdir Allah kepada kita, dan mana yang merupakan kehendak kita sendiri,” jelas Cak Nun.

Lantas bagaimana kita memposisikan Allah dalam hidup kita? Cak Nun mengambil ilustrasi dari kalimat Bismillahirrohmanirrohim. Kalimat itu diciptakan oleh Allah, tetapi bukan berarti Allah yang mengucapkannya, melainkan Allah mengajari manusia untuk mengucapkan kalimat itu. Ketika kita mengucapkan kalimat basmalah itu, kita memposisikan Allah sebagai pihak ketiga dalam hidup kita. Seperti juga tersirat dalam Surat Al-Fatihah, dalam beberapa ayat awal Allah masih diposisikan sebagai pihak ketiga. Baru pada ayat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin kita memposisikan Allah di pihak kedua. Kita berhadapan langsung dengan Allah. Bahkan dalam Surat Al-Isra’ ayat pertama, Allah memposisikan diri dalam berbagai sudut pandang sebagai orang pertama, orang kedua dan orang ketiga, bergantian secara berurutan dalam satu ayat. Itulah ilustrasi yang diberikan Cak Nun.

Memberi jeda diskusi, Balte Irama kembali membawakan nomor-nomor musik Melayu, dilanjutkan penampilan dari Lingga Binakit, anggota Komunitas Jazz Kemayoran yang seluruh personelnya adalah mahasiswa. Tri Mulyana kemudian memberi kesempatan kepada jamaah untuk menyampaikan respon, usulan, pertanyaan atau apapun saja terkait materi diskusi.

Budaya jangan diremehkan, karena agama tidak bisa diaplikasikan tanpa budaya. Begitu anda mengaplikasikan ibadah, anda harus menggunakan peralatan budaya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2018)

Tak hanya searah, forum diskusi pada Kenduri Cinta berjalan dua arah. Setiap orang diberi ruang luas untuk memberikan pendapatnya, bertanya atau menjadi narasumber. Tak jarang, jamaah diberikan ruang duduk di depan panggung ketika mereka hendak menyampaikan sesuatu.

Kali itu, jamaah bernama Rudiono, yang melabeli dirinya dengan “Islam KTP garis keras” karena seumur hidup belum pernah tertib melaksanakan ibadah. Dirinya merasa nyaman berada di Kenduri Cinta, sebab ia tidak dikafir-kafirkan, tak disingkirkan. Jamaah lainnya, Adi, tinggal di Ragunan, mengungkapkan kegembiraannya hadir di Kenduri Cinta, bahwa kata cinta bukan hanya sebagai kata yang disematkan, melainkan juga menjadi ungkapan ekspresi yang hadir.

Cak Nun lantas merespon jamaah satu per satu. Ekspresi setiap orang dalam mengungkapkan kekagumannya kepada Islam bisa berbeda satu sama lain, dan tidak bisa dipersalahkan apalagi dihakimi mana yang benar dan mana yang salah. Allah sendiri dalam sebuah firman-Nya menyatakan: innaka lan tahdi man ahbabta walakinnallaha yahdi man yasyaa’. Cak Nun menekankan, yang terpenting adalah kita mencari kebenaran atau tidak. Cara mencarinya dengan memasuki dimensi ruang dan dimensi waktu. Jika dimensi ruang, anda melakukan komparasi-komparasi melalui firman-firman Allah, karena ayat-ayat Allah apalagi Alquran adalah ayat-ayat yang tidak mungkin dipalsukan oleh manusia. Selain firman Allah berupa ayat-ayat Allah ada yang namanya hadits qudsi yang merupakan firman Allah yang ditujukan khusus kepada Rasulullah SAW yang redaksinya (matan hadisnya) disusun oleh Allah, disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk kemudian disampaikan kepada manusia.

Keprihatinan Cak Nun adalah bahwa omongan ulama, ustadz, kiai dianggap setara dengan firman Allah. Kalimat, perkataan atau pendapat seorang ulama hari ini dianggap sebagai kebenaran yang mutlak, padahal seharusnya tidak demikian. Hanya Alquran yang memiliki kandungan kebenaran mutlak, sementara kita sebagai manusia bertugas untuk menadabburinya, juga menafsirkan secara akdemis bagi sebagian dari manusia yang memiliki kompetensi tafsir akademis. Hadits Rasulullah sendiri memiliki problem verifikasi, ada banyak hadis-hadis palsu yang lemah verifikasinya sehingga sebagian dianggap sebagai hadits sohih, sementara yang hadits sohih justru banyak dianggap sebagai hadits maudhlu’ juga hadits dho’if.

Maka Cak Nun menghindari Maiyah menjadi mazhab atau ajaran baru. Maiyah secara sadar sangat menghindari pemadatan-pemadatan seperti ini. “Maka, Piagam Maiyah yang sedang diproses dalam beberapa bulan ke depan sifatnya harus software dan substansial,” lanjut Cak Nun.

“Ada ibadah mahdhloh dan ada ibadah mu’amalah dalam Islam,” Cak Nun menjelaskan. Ibadah mahdhloh adalah ibadah yang Allah sendiri merancangnya, Allah sendiri menyusun mekanismenya, tata caranya dan lain sebagainya, kemudian Allah memberitahu kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah memberitahukan kepada kita. Sementara ibadah mu’amalah adalah ibadah yang kita sendiri mengkreasikannya Satu rumusan, ibadah mahdhloh adalah kita melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah di dalam Alquran, sementara ibadah mu’amalah rumusannya adalah kita melakukan perbuatan yang tidak ada larangannya di dalam Alquran. Sesederhana itu rumusannya.

Seperti ibadah salat yang merupakan ibadah yang Allah sendiri memerintahkannya, kemudian tata caranya diajari oleh Rasullllah dengan mengatakan: shollu kama roaitumunii usholli. Mulai dari takbiratul ihram hingga salam, kita tidak boleh merubahnya. Kita lakukan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah. Bahwa ketika kita salat, kita menggunakan pakaian, peci, sarung dan sebagainya, hal itu merupakan peristiwa budaya yang masuk dalam kategori ibadah mu’amalah. Secara fikih, rumusannya adalah kita menutup aurat ketika salat.

Hidup itu menentukan batas, presisi yang tepat agar kita tetap seimbang, dan yang terpenting adalah kita menikmati proses pencarian itu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2018)

Ilmu Al Fatihah dan Ilmu Semar

Melanjutkan bahasan tentang ibadah mahdloh, Cak Nun sampaikan, “Anda bahkan boleh khutbah mengenakan helm, karena itu levelnya budaya, sehingga pertimbangannya adalah pantas atau tidak pantas,” Cak Nun melanjutkan, “Maka, budaya juga penting karena memiliki peran kemaslahatan orang dalam beribadah.” Dalam fikih, seorang laki-laki batas auratnya adalah di atas pusar hingga di bawah lutut, jika menggunakan rumusan itu, maka asal ditutup auratnya (berdasarkan batas aurat itu) maka sah salatnya. Tetapi, atas dasar pertimbangan budaya, tentu tidak mungkin seorang laki-laki salat di masjid dengan hanya menutup aurat sebatas itu. Maka, budaya menciptakan rumusan berupa pakaian, sehingga kepantasan, keindahan, kerapihan dan sebagainya terakomodir. Beribadah juga memperhatikan sisi budaya untuk menciptakan keindahan dan kenyamanan.

“Budaya jangan diremehkan, karena agama tidak bisa diaplikasikan tanpa budaya. Begitu anda mengaplikasikan ibadah, anda harus menggunakan peralatan budaya. Misalkan anda bikin sajadah, bikin baju, itu merupakan budaya. Tidak bisa anda menghindari budaya,” Cak Nun melanjutkan.

“Melakukan ibadah mahdloh, saya konsep sebagai cara saya membayar utang kepada Allah,” ungkap Cak Nun. Selama ini Allah sudah memberikan banyak hal kepada kita, Allah menumbuhkan sel-sel tubuh kita, sehingga kita bisa bekerja mencari uang, menafkahi keluarga. Kita salat, puasa, zakat, haji adalah dalam rangka membayar utang kepada Allah. Bahwa ibadah mahdloh adalah ibadah wajib, itu merupakan rumusan fikih, tetapi dalam konsep hidup, kita boleh memiliki konsep berbeda, asalkan tidak melanggar aturan Allah. Bahkan jangan cukup hanya melakukan ibadah mahdloh saja untuk membayar hutang, kita lakukan juga kebaikan-kebaikan.

Cak Nun lantas beralih pada bahasan lain, yaitu ilmu Al-Fatihah dan ilmu Semar. Disampaikan, dalam Alquran kita mengenal bahwa Al-Fatihah adalah ibu dari Alquran. Melalui Al-Fatihah kita belajar ilmu sangkan paran, bahwa keseluruhan dari mekanisme kehidupan di dunia ini sangkan paran-nya adalah Allah SWT. Konsep Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun adalah konsep bahwa hidup ini sejatinya adalah bulatan bukan garis lurus.

Kita berasal dari Allah dan akan kembali ke Allah. Seperti halnya sosok Semar yang jika kita telisik lebih dalam adalah personifikasi dari sistem demokrasi. Semar adalah dewa tetapi dalam waktu yang bersamaan ia juga rakyat jelata. “Maka yang harus anda lakukan adalah menemukan sangkan paran anda. Dengan itu, dengan sendirinya akan menemukan kenapa anda mesti salat, kenapa anda mesti berpuasa dan sebagainya,” lanjut Cak Nun.

Maka, nikmatilah pencarian sangkan paran kehidupan kita dalam dimensi ruang dan waktu yang siklikal itu. Itulah Imu Al-Fatihah, karena kita semua harus sampai ke ibu kita yang sejati. Ketika kita membicarakan Allah, kita tidak akan bisa menggambarkan Allah seperti apa. Laisa kamitslihi syaiun. Dia tidak bisa diumpamakan dengan suatu apapun. Tan kinoyo ngopo, tan keno kiniro. Kita tidak mampu mendefinisikan Allah kecuali Allah sendiri yang menginformasikannya kepada kita, dan itu tidak mungkin linier. Pada saat bersamaan Allah menciptakan makhluk-makhluk, juga pada saat yang sama Allah mematikan makhluk-makhluk-Nya. Allah menciptakan surga, juga menciptakan neraka, bukan berarti Allah adalah Maha Penyiksa. Ketika Allah mencabut nyawa, bukan berarti Allah adalah Maha Pembunuh. Terkadang, kita salah memahami, kita terlalu jauh dengan Allah. Mekanisme ibadah mahdloh dibuat agar kita, sebagai hamba Allah, menjadi lebih akrab dan lebih mesra dengan Allah.

Di Maiyah kita melatih diri kita menjadi manusia yang mempunyai kedaulatan dan kemandirian serta keberanian hidup, meski tidak punya apa-apa.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2018)

Kepada jamaah Maiyah, Cak Nun malam itu kembali mengingatkan, “Anda harus memiliki akses langsung ke Allah.” Alquran seharusnya digunakan untuk memudahkan kita mengakses informasi langsung kepada Allah. Ibadah salat misalnya, secara ruhaniah adalah ibadah dimana kita dapat berhadapan langsung dengan Allah. Maka, sebisa mungkin jangan sampai ada yang menjadi penghalang ketika kita salat. Maksudnya adalah, kita musti menemukan orisinalitas salat kita untuk tidak ditunggangi oleh informasi-informasi yang berasal dari orang lain. Kita boleh belajar kepada kyai, ustaz, ulama dan sebagainya, tetapi jangan sampai sosok-sosok itu justru menjadi penghalang ketika kita bercengkrama dengan Allah.

Seorang pelukis tentu akan merasa bahagia jika dipuji karya lukisannya. Begitu juga Allah, satu saja ayat Allah kita apresiasi, kita tadabburi, kita jadikan pijakan hidup, betapa bahagianya Allah. Maka doa kita adalah: Ya Allah berikanlah yang terbaik untukku di hadapanmu. “Kita tidak meremehkan Allah, kita tidak nggampangke Allah, kita juga tetap percaya terhadap kasih sayang Allah, betapa seperti apapun keadaan kita,” lanjut Cak Nun, “Jangan tidak percaya pada kasih sayang Allah.”

Hidup itu sebenarnya menentukan batas yang tepat, presisi yang tepat agar kita tetap dalam posisi yang seimbang. Dan yang terpenting adalah kita menikmati proses pencarian kita masing-masing. Karena kelak hasil akhirnya hanya Allah yang berhak memutuskannya. “Seluruh hidup ini peristiwanya adalah hijrah,” kembali Cak Nun menuturkan, “Kita semua pada hakikatnya adalah muhajirin. Kita menjalani proses hijrah setiap hari. Kita berhijrah dari keadaan hidup hari kemarin menuju hidup hari ini. Ada juga yang berhijrah dari yang sebelumnya pekerja kemudian menjadi pedagang, dan seterusnya. Proses reproduksi manusia pada hakikatnya adalah proses menghijrahkan sperma menuju ovum istri. Semua yang berhijrah adalah muhajirin. Dan, muhajirin ini jodohnya adalah anshor. Maka, Maiyah ini siapa anshor-nya?”

Secara sejarah dijelaskan, Maiyah tidak punya anshor. Kenduri Cinta telah dilaksanakan selama 18 tahun, hingga hari ini tanpa sekalipun mengajukan proposal kepada perusahaan untuk menjadi sponsor. Kenduri Cinta juga tidak memiliki back-up entah itu politisi, pengusaha, konglomerat, atau pejabat di Jakarta untuk menjamin keamanan dan kelancaran terlaksananya acara. Itu pun berlaku di simpul-simpul Maiyah di berbagai daerah. Semua berlangsung atas swadaya jamaah Maiyah.

“Jamaah Maiyah ini menolong dirinya sendiri, karena kita ini merangkap jabatan. Kita ini muhajirin sekaligus anshor,” lanjut Cak Nun. Begitu juga gagasan dirumuskannya Piagam Maiyah, salah satu tujuannya adalah menjadi penolong bagi jamaah Maiyah di masa yang akan datang dalam bentuk “software“. Piagam Maiyah diproses berdasarkan penjaringan usulan dari jamaah Maiyah sendiri, sehingga Piagam Maiyah akan orisinil, menjadi pagar-pagar dan kelak menjadi pijakan hidup Jamaah Maiyah.

“Di Maiyah kita melatih diri kita menjadi manusia yang mempunyai kedaulatan dan kemandirian serta keberanian hidup, meski tidak punya apa-apa,” tegas Cak Nun. Cak Nun berpesan untuk tidak mudah menyerah pada keadaan. Juga dalam hal memahami agama, yang seringkali justru diinformasikan dalam bingkai kesempitan berpikir, sehingga yang lahir adalah ketakutan-ketakutan terhadap agama itu sendiri. “Maka, saya sarankan untuk mencari informasi yang benar, karena hoax bukan hanya urusan media sosial, hoax juga dalam urusan tafsir,” Cak Nun melanjutkan sembari menyampaikan beberapa keprihatinan tafsir-tafsir Alquran dan terjemahan yang justru mempersempit manusia dalam memahami keluasan maknanya.

 

Jangan tidak percaya pada kasih sayang Allah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2018)

“Maiyah bukan agama. Maiyah mencoba denganberbagai view menjelaskan Islam, sifatnya ijtihad,” kembali Cak Nun tegaskan. Maiyah hadir bukan untuk mengurung jamaahnya agar memahami Islam dalam wilayah yang sempit. Maiyah membebaskan setiap individu yang datang ke Maiyah untuk memahami Islam sesuai dengan apa yang mereka mampu pahami. Maiyah hanya menyediakan metode, cara untuk memahami Islam. Pada akhirnya ijtihad dari masing-masing individu yang mengantar sampai dimana mereka memahami Islam.

Allah pun memilih metode kun fayakuun, artinya metode yang dipilih oleh Allah adalah metode evolusi bukan revolusi perubahan secara langsung. Kenapa Allah menurunkan Nabi Adam tanpa dibekali kitab suci, sementara baru setelah sekian abad kemudian turun Taurat, Zabur, Injil dan disempurnakan menjadi Alquran? Kita semua musti belajar, bahwa Allah juga Maha Sutradara, pembuat skenario jalannya pementasan drama di dunia. Kita hanya memahami bahwa perintah salat baru diturunkan setelah Rasulullah SAW melaksanakan IsraMi’raj, apakah lantas kita katakan bahwa Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad tidak salat? Bagaimana dengan cara mereka berpuasa? Bagaimana syahadat Nabi dan Rasul sebelum Rasulullah?

Hari ini kita terjebak dalam institusi-institusi dan pelembagaan-pelembagaan yang tidak seharusnya. Pada hakikatnya, setiap manusia berproses dalam pencarian menuju Tuhan. Bahwa kemudian masing-masing manusia menemukan jalan dan cara yang berbeda-beda, itu merupakan wilayah qadla dan qadar-nya Allah. Allah sendiri juga menyatakan: laa yukallifullaha nafsan illa wus’ahaa, bahwa setiap manusia tidak mungkin memiliki beban yang sama, sebab setiap orang memiliki daya tangkap dan kapabilitas yang berbeda-beda.

Karena itu pula Rasululah mengajarkan: innallaha laa yandzuru ilaa ajsamikum wa laa ilaa suwarikum walakinnallaha yandzuru ila quluubikum, bahwa yang dilihat Allah bukanlah jasad kita, bukan pakaian kita melainkan pada hati kita, kesungguhan kita. Maka metode pemahaman Alquran yang ditawarkan Maiyah adalah tadabbur bukan tafsir, karena tadabbur yang diutamakan adalah hasilnya, bukan prosesnya, apakah menghasilkan kebaikan bagi orang lain atau tidak.

Menjelang pungkas acara, Cak Nun menyampaikan bahwa apa yang dilakukannya (maiyahan dimana-mana hingga dini hari) bukan untuk unjuk kebesaran apalagi unjuk kepandaian, “Saya ini ndak punya cita-cita. Saya cuman seneng anda menjadi manusia yang baru, yang tidak menambahi masalah di Indonesia, tetapi anda yang akan menyelesaikan masalah di Indonesia.”

“Islam itu artinya menyelamatkan dirimu di hadapan Allah, maka yang tahu apakah kita selamat di hadapan Allah atau tidak sebenarnya hanya Allah, kita hanya mengetahui sedikit caranya saja,” lanjut Cak Nun dengan menjelaskan kembali dialektika sabiil, syarii’, thariq dan shiroth, Maiyah letaknya sebagai thariq atau thariqot, tetapi bukan lantas Maiyah disejajarkan dengan Naqshabandi atau tarekat lainnya, karena pada hakikatnya manusia ini harus meniru dan menyamakan langkah dengan alam, karena alam pasti akan kembali ke Allah. Manusia pun berjuang untuk kembali kepada Allah.

“Jangan rakus untuk tahu semua hal. Ada hal yang mungkin anda hanya tahu sedikit-sedikit, itu tidak masalah. Ada yang anda tidak tahu sama sekali dan memang lebih baik anda tidak tahu sama sekali. Bahkan ada hal yang anda ingat pun tidak, itu juga baik,” Cak Nun mengingatkan bahwa ketidaktahuan tentang sebuah hal itu bukan sebuah musibah, juga bukan sebuah kesalahan. Kehidupan ini begitu dinamisnya sehingga banyak sekali dimensi dan gradasi serta spektrum nuansa yang kita alami. “Alhamdulillah kita lebih banyak tidak tahu daripada tahu,” pungkas Cak Nun.

Menjelang pukul 4 dini hari, Cak Nun memuncaki Kenduri Cinta dengan membaca Al-Fatihah kemudian membaca surat Al-Syarh (alam nasyhroh) kemudian berdoa bersama dan jamaah pun bersalaman dengan Cak Nun secara tertib. Cak Nun dengan telaten menyalami satu persatu jamaah hingga jamaah terakhir, tidak hanya sekedar salaman saja, setiap jamaah diperlakukan khusus oleh Cak Nun, tidak sedikit minta didoakan dan disuwuk airnya. Di akhir sesi salaman, ada jamaah yang juga memerlukan penanganan khusus dari Cak Nun, hingga menjelang subuh.