Anak Jadah Demokrasi

PADA SAAT ini identifikasi kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara tidak dalam kondisi ideal untuk disebut sebagai sebuah keluarga. Arus globalisasi semakin menghapus eksistensi bangsa dan negara, terminologi keluarga untuk menggambarkan hubungan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi rancu. Hubungan pemerintah yang sering dianggap sebagai suami dan Rakyat yang diumpamakan sebagai istri justru menjebak kehidupan bernegara dalam rutinitas kawin kontrak 5 tahunan dari hasil pesta pernikahan demokrasi bebas. Padahal, kontrak yang terjalin ini lebih berupa formalitas politis kekuasaan bukan berdasarkan cinta, kasih dan sayang sesama anak bangsa terhadap tanah airnya. Karena itu,  pemerintahan yang ada baik di pusat maupun daerah pada dasarnya hanyalah bertugas menjalankan kontrak kerja selama lima tahun untuk mengurus rumah tangga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka bukanlah suaminya rakyat melainkan pengurus NKRI yang dipilih dan digaji oleh Rakyat. Dengan ini berarti, pihak-pihak yang saat ini menguasai pemerintah tidak berarti dapat menguasai negara.

Adanya keterlibatan pihak ketiga dalam rumah tangga Negara Kesatuan Republik Indonesia nampak dominan dalam roda kehidupan masyarakat. Mereka adalah para swasta lokal dan kapitalis global yang dengan berbagai cara berusaha meraih keuntungan sebesar-besarnya sebagai tujuan utama keterlibatannya dalam rumah tangga negara. Keterlibatan swasta lokal maupun kapitalis global sebenarnya sudah diberi ruang tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan diperbolehkan secara konstitusi. Namun, ada wilayah ruang private yang semestinya tidak diperbolehkan untuk dimasuki oleh pihak ketiga, yaitu wilayah yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Amendemen UUD-45 yang terjadi paska reformasi sangat kentara bukti keterlibatan pihak ketiga dalam perubahannya. Dengan pintu Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, pihak swasta lokal dan asing leluasa memasuki ruang-ruang private kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui permodalan, para kapitalis merengsek masuk kedalam lembaga-lembaga negara maupun instansi-instansi pemerintahan. Kedok privatisasi BUMN seolah menjadi alat untuk melegalkan perselingkuhan yang menyembunyikan terjadinya penjarahan besar-besaran aset-aset negara dan bangsa.

Peta perpolitikkan Nasional paska reformasi sudah dikuasai oleh para pemodal. Organisasi-organisasi masyarakat yang semula bersifat vocal dan mampu menggerakkan massa untuk menuntut perubahan kepada pemerintah ditekuk lututnya dengan berbagai suntikan pendanaan dan jebakkan permodalan. Para kapitalis menjadi bandar pertarungan politik yang digelar di tiap-tiap daerah hingga pusat pemerintahan. Tidak segan meletakkan kakinya di kedua belah pihak yang sedang bertarung dalam perebutan posisi kepala pemerintahan daerah maupun pusat. Provokasi guna memicu konflik horisontal disulut dari balik layar. Dengan kekuatan modal yang sulit untuk dibayangkan, mereka mampu mempermainkan organisasi-organisasi masyarakat dan mempengaruhi pemerintah menggunakan aktor-aktor boneka yang mereka siapkan.

Tapi Pemerintah Indonesia berbeda dengan Bangsa Indonesia, Bangsa Indonesia berbeda dengan Rakyat Indonesia, Rakyat Indonesia berbeda dengan hamba-hamba Tuhan di tanah air Indonesia. Boleh jadi kekuatan pemodal mampu menguasai pemerintahan, namun tidak untuk Bangsa Indonesia.     Bangsa Indonesia yang merupakan Persatuan Bangsa-bangsa Nusantara  telah mendirikan Indonesia untuk menjadi cita-cita luhur sebagai sebuah bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Sedangkan Rakyat Indonesia senantiasa berdaulat tidak tergantung pada pemerintah bahkan negara sekalipun. Selama ini kekuatan politik dan ekonomi seringkali mengatasnamakan rakyat dalam usahanya, padahal sebaliknya justru mereka yang membutuhkan Rakyat. Sementara ditengah rakyat ada hamba-hamba Tuhan yang menjadi pewaris-pewaris nusantara dalam mendistribusikan Rahmat Tuhan bagi semesta alam.