AMENANGI ZAMAN NOW

REPORTASE KENDURI CINTA Januari 2018

Pada Kenduri Cinta bulan sebelumnya, Cak Nun menyisipkan keinginan untuk dapat membawa KiaiKanjeng ke Kenduri Cinta. Malam itu, pada Kenduri Cinta edisi Januari 2018 yang mengambil judul Amenangi Zaman Now, keinginan itu terwujud. Baliho acara yang terpasang di pelataran Taman Ismail Marzuki dua hari sebelumnya, telah menampakkan kepastian hadirnya Cak Nun dan KiaiKanjeng. Jamaah pun membludak, memenuhi hampir seluruh area lokasi acara maiyahan, di Cikini Jakarta Pusat.

Persiapan ekstra pasti diperlukan. Peralatan KiaiKanjeng tak sedikit, jumlah personelnya ada belasan orang. Sejak beberapa hari sebelumnya, para penggiat komunitas yang berjumlah puluhan telah membagi tugas, dari hal-hal teknis hingga konsep dan tema diskusi. Dari menghubungi pihak tata suara, tenda, panggung, penginapan, semua hal harus segera dipersiapkan. Tak lupa, proses desain dan produksi media poster dan baliho mesti disegerakan, penulisan mukadimah juga mesti disusun. Para penggiat menikmati itu semua dengan gembira, sebab Kenduri Cinta adalah hajatan bersama.

Hadirnya KiaiKanjeng menjadi magnet tersendiri, tak hanya bagi jamaah, juga bagi para penggiat. Pada hari pelaksanaan, tak ada satu pun penggiat Kenduri Cinta yang yang tidak terlibat. Sebagian yang bertugas memandu rombongan KiaiKanjeng dan berjaga di hotel, sebagian bertugas mencetak dan memasang baliho, mengontrol pemasangan tenda dan panggung, hingga pemasangan latar panggung (backdrop). Para penggiat juga membantu kru KiaiKanjeng menata perlengkapan musik, sebagian lain menggelar karpet dan membersihkannya. Menjelang Magrib, persiapan teknis secara keseluruhan telah tertata.

KiaiKanjeng ini sudah yakaadu zaituha yudhli’u walau lam tamsashu naar.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2018)

SELEPAS MAGHRIB, personel KiaiKanjeng hadir di lokasi acara. Mereka melakukan check-sound, membawakan satu-dua nomor untuk menata harmonisasi suara. Menjelang Isya, KiaiKanjeng kembali ke penginapan. Tepat pukul delapan malam, forum dibuka dengan membaca wirid Tahlukah beserta ru’us-nya. Sigit Hariyanto, Hendra Kusuma, Afif, Nashir dan Dhobby duduk di panggung, mengajak serta jamaah melantunkan wirid. Yaa dzal wabal, Yaa dzal ‘adli, Yaa dzal qisthi, Yaa syadiidal ‘iqob. Hampir setengah jam prosesi wirid dilakukan.

Setelahnya, Fahmi Agustian, Donny Kurniawan, Hendra Kusuma, Ali Hasbullah, Tri Mulyana dan Luqman Baehaqi, tampil memoderasi forum. Acara diawali dengan workshop Piagam Maiyah, hal yang sama dilakukan di Padhangmbulan dan Bangbang Wetan.

Maiyah memerlukan pijakan-pijakan, pedoman-pedoman, yang tidak harus kaku layaknya regulasi aturan, tetapi juga tidak boleh terlalu cair. Piagam Maiyah nantinya akan menjadi ‘pagar’ bagi jamaah dalam berkehidupan, khususnya kehidupan sosial di antara jamaah. Namun, Piagam Maiyah harus lahir dari jamaah Maiyah. Jamaah Maiyah adalah pihak utama yang menyusun Piagam Maiyah.

Workshop Piagam Maiyah malam itu dilakukan dengan membuat lingkaran-lingkaran kecil yang terdiri dari 7 hingga 10 jamaah di setiap lingkarannya. Satu orang penggiat menjadi fasilitator pada setiap lingkaran. Suasana workshop terbangun baik, para jamaah menunjukkan kebersamaan, menyadari bahwa Kenduri Cinta adalah milik bersama, bukan hanya milik para penggiat.

Diskusi yang berlangsung di tiap-tiap lingkaran berlangsung dinamis, berbagai usulan banyak terkumpul disana. Seperti bagaimana menyikapi perbedaan pandangan, bagaimana mengenal dan mengelola konflik antar jamaah, dan banyak lagi. Seluruh usulan itu akan diolah oleh penggiat Kenduri Cinta kemudian dikirim kepada Koordinator Simpul Maiyah.

Setelah kurang lebih 45 menit workshop dijalankan, jamaah kembali menyusun posisi duduknya masing-masing, menata diri, merapat, memberi ruang kepada jamah yang masih berdiri untuk duduk bersama. Forum diskusi pun dimulai.

Piagam Maiyah harus lahir dari jamaah Maiyah. Jamaah Maiyah adalah pihak utama yang menyusun Piagam Maiyah.

Maiyah, Masa Depan Indonesia

Fahmi Agustian memulai forum dengan mengingatkan akan datangnya tahun politik pada satu-dua tahun ke depan. Suhu politik akan memanas, berbagai isu akan berhamburan. Fahmi memotret konstelasi partai politik yang sebelumnya berseberangan di daerah satu namun saling berangkulan di daerah lain. “Itulah keniscayaan, dalam politik tak ada kawan dan lawan yang abadi,” ujarnya mengingatkan.

Hendra lantas memaparkan sejarah dan peran KiaiKanjeng sejak awal 90-an yang tak sekedar melakukan pementasan musik dan teater, juga terjun langsung ke masyarakat menghidupkan kembali tradisi shalawatan di kampung-kampung. Hendra mengajak jamaah untuk membaca kembali tulisan-tulisan Cak Nun, dari tahun 70-an hingga seri-seri tulisan Cak Nun yang kini hampir setiap hari dipublikasikan. Fahmi menambahkan, memahami tulisan-tulisan Cak Nun adalah wujud tantangan jamaah Maiyah zaman now. Itulah pusaka-pusaka, keris-keris, yang diwariskan Cak Nun kepada kita.

Tepat pukul sepuluh, Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir dan langsung menuju ke panggung. Sebagai pembuka, sebuah fragmen berjudul Amenangi Zaman Now dipentaskan KiaiKanjeng. Cak Nun tampak duduk menyimak pementasan fragmen bersama Syeikh Nursamad Kamba.

Naskah lalu dibacakan. Nevi Budiyanto berperan sebagai Mbah Yanto Geyol, Joko Kamto berperan sebagai Pakde Kodam dan Donny sebagai Donny Desposito. Musik KiaiKanjeng mengiringi. Pada naskah dramatic reading Amenangi Zaman Now yang disusun Cak Nun, kita dapat membaca bagaimana Cak Nun menyikapi situasi ‘zaman now‘.

Seperti dialog saat Pakde Kodam bertanya pendapat Mbah Geyol tentang Indonesia. Mbah Geyol menjawab, “Wallahu a’lam bisshawab, rajulun la yadri wala yadri nnahu la yadri.” Menurut Mbah Geyol, apa yang terjadi di Indonesia ini hanya Allah yang tahu. Indonesia layaknya manusia yang tidak tahu dan tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu. Tetapi, Indonesia sangat percaya diri, merasa bahwa ia tahu tentang dirinya.

Gambaran mengenai Indonesia juga dapat dibaca pada dialog saat Mbah Geyol ditanya pendapatnya tentang pemerintah yang selalu berganti-ganti. Mbah Geyol menjawab, “Antum a’lamu bi umuuri dunyakum.” Pada dialog lain, Pakde Kodam menanyakan peran kaum cendekiawan, kelas menengah, para ulil albab, ulil abshar, hingga ulin nuha di Indonesia, Mbah Geyol menjawab, “Khotamallahu ‘ala quluubihim wa ‘ala sam’ihim wa ‘ala abshorihim ghisyawah.” Pada dialog lainnya, Donny Desposito menanyakan, “Bagaimana masa depan saya dan para kidz zaman now,” Mbah Geyol menjawab, “Shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun.”

Setelah pentas kesenian dari KiaiKanjeng, Cak Nun bersama Syeikh Nursamad Kamba, Helmi Mustofa dan Fahmi membuka diskusi sesi selanjutnya. Cak Nun mengawali perjumpaan dengan khasanah-khasanah ilmu yang dituturkan secara kontekstual. Motode penuturan yang dilakukan Cak Nun ini, membuat jamaah yang terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan dan ekonomi, mampu menangkap hikmahnya tanpa merasa digurui. Salah satunya pemahaman tentang halal dan haram. Cak Nun mengambil contoh haramnya binatang babi sebagai pintu diskusi.

Masyarakat hanya memahami bahwa babi itu haram. Padahal, haramnya babi itu terletak pada saat kita memakan dagingnya. Lebih luas, babi tetaplah binatang dan salah satu makhluk yang diciptakan oleh Allah, bahkan Allah mengembangbiakkan babi seperti binatang-binatang lainnya. Seakan Cak Nun ingin kita memahami bahwa halal, haram, wajib, sunnah, makruh-nya sebuah benda atau binatang itu tidak bisa dihukumi secara sempit. Cak Nun ingin kita berpikir lebih luas lagi.

Saya maiyahan menemani anak-anak muda, masa depan Indonesia, generasi baru yang mampu berpikir lebih luas, lebih rasional manajemennya, dan lebih spiritual hatinya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2018)

Melanjutkan PEMAHAMAN tentang halal dan haram. Cak Nun mengangkat dialog folklore, saat orang Madura ditanya, “Apakah nasi itu halal atau haram?” orang Madura menjawab, “Ya ndak tentu. Kalau nasi itu dibeli dengan uang yang halal, ya nasi itu halal. Tetapi jika dibeli dengan uang curian, ya nasi itu jadi haram.”

Konteksnya lantas diluaskan. Bagaimana hukum memainkan alat musik? Sebab ada banyak perbedaan pendapat di masyarakat tentang hal ini. Cak Nun kembali menampilkan sosok orang Madura pada tuturannya. Dengan nada khas suku Madura, ia menjawab, “Kalau kita bermain musik di lapangan terbuka, itu boleh. Yang haram itu kalau bermain musik di depan masjid waktu salat Jumat.” Maka, hukum sebuah perbuatan atau peristiwa tidak bisa hanya dalam ranah tekstual semata, tetapi musti ada pertimbangkan kontekstualnya.

“Penyakit kita saat ini adalah kesempitan dan kedangkalan berpikir dalam menyikapi peristiwa,” Cak Nun katakan hal itu dengan memberikan beberapa kasus-kasus. Menurutnya, peristiwa tidak bisa hanya dihitung, ditakar, diukur, dipandang berdasar luasan pandang, cara pandang, jarak pandang yang sempit. Di Maiyah, kita terus berusaha memosisikan diri berada di tengah. Apalagi saat ini ada kubu-kubu yang bertolak belakang, bermusuhan satu sama lain. Ada kubu yang membenci Islam dengan sangat membabibuta, kubu lainya sangat mencintai Islam dengan sangat membabibuta. “Apa yang kita alami di Maiyah ini sebenarnya bukan pemahaman untuk bersikap luas, melainkan pembiasaan untuk bersikap luas,” tambah Cak Nun.

Hal itu dapat kita pelajari dari penampilan KiaiKanjeng malam itu. Lagu One More Night dari Maroon 5 yang aslinya musik barat, diaransemen ulang dan dikombinasikan begitu apiknya dengan komposisi musik timur tanpa harus merubah struktur dasar nadanya, dikombinasikan dengan lagu-lagu dolanan anak-anak, Gundhul-gundhul Pacul, Cublak-cublak Suweng, Jamuran dan sebagainya. “Inilah laa syarqiyyah walaa qhorbiyyah,” Cak Nun tegaskan.

Menggambarkan musikalitas KiaiKanjeng, Cak Nun nyatakan, “KiaiKanjeng ini sudah yakaadu zaituha yudhli’u walau lam tamsashu naar.” Musik yang mampu mengompromikan, mengombinasikan, mengolaborasikan berbagai aliran dan genre musik dalam aransemen yang apik. Saat tur ke Inggris, Perdana Menteri Inggris menyatakan, seharusnya dunia dikelola seperti halnya KiaiKanjeng mengelola musik. Pengelolaan yang mampu mengakomodir seluruh genre yang ada di dunia, tidak mengotakkan, tidak membentur-benturkan melainkan ditampung, dirangkul, dipangku menjadi satu kesatuan yang harmonis.

Berkaitan dengan menampung menjadi satu kesatuan yang harmonis, tak lantas membuat kita harus menyetujui semua perbedaaan. Terhadap perbedaan-perbedaan, Cak Nun bijak menyikapinya, “Saya tidak setuju banyak hal dengan Indonesia, tetapi I Love You Indonesia! Aku cinta Indonesia, aku cinta kepada rakyat Indonesia.” Ada banyak hal yang Cak Nun tidak setuju, tetapi jika terus-menerus meladeni ketidaksetujuan kita, maka akan terjadi permusuhan diantara kita, akan terjadi perang saudara.

“Maka, saya dengan maiyahan, menemani anak-anak muda, generasi baru yang mampu berpikir lebih luas dari generasi sebelumnya, lebih rasional manajemennya, dan lebih spiritual hatinya kepada Allah. Masa depan Indonesia ada harapan,” Cak Nun mengajak kita semua merawat generasi-generasi baru, agar kelak tidak mengulangi apa yang dilakukan oleh generasi-generasi sebelum mereka.

Kembali Cak Nun mengingatkan bahwa forum maiyahan urusannya adalah cinta. Tidak ada kepentingan politik, apalagi transaksi rugi laba. Kenapa dinamakan kenduri cinta, salah satunya adalah dalam rangka mewujudkan cinta satu sama lain.

Apa yang kita alami di Maiyah bukan pemahaman untuk bersikap luas, melainkan pembiasaan untuk bersikap luas.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2018)

METODE BERPIKIR GLEPUNG

Menyikapi fenomena yang kini banyak terjadi, Cak Nun menyampaikan, “Ada sesuatu yang harus kamu katakan, tetapi ada juga sesuatu yang harus tidak kamu katakan. Bahkan ada sesuatu hal yang jangan sampai kamu katakan sebelum datang tepat waktunya, sehingga apa yang kamu katakan menjadi manfaat, daripada kamu mengemukakan kebenaran tetapi menghasilkan kemudaratan.”

Hal itu juga diterapkan oleh Cak Nun saat maiyahan di berbagai tempat. Ada hal-hal yang telah direncanakan untuk disampaikan, tetapi saat melihat situasi kondisi masyarakat yang hadir, hal-hal itu tidak disampaikannya. Pertimbangan-pertimbangan mendetil selalu jadi pedoman Cak Nun. Ada kalanya informasi harus disampaikan secara blak-blakan, ada juga informasi yang harus ditutup-tutupi, bahkan terpaksa harus disampaikan namun dengan kalimat pasemon dan sarkasme, semua itu bergantung pada situasi dan kondisi saat itu.

Begitu pun pengelolaan pementasan KiaiKanjeng, seringkali dipersiapkan nomor-nomor tertentu tetapi ketika berada di panggung, susunan itu tidak jadi dilaksanakan, lagu-lagu yang sudah disiapkan tidak dimainkan. Seperti itulah alur hidup KiaiKanjeng, penuh dengan spekulasi-spekulasi. KiaiKanjeng didirikan bukan dengan cara merekrut personal-personal yang ahli musik, melainkan ketulusan hati dan keikhlasan dalam bersaudara, itulah pertimbangan utamanya.

Pak Joko Kamto misalnya, beliau tidak memiliki latar belakang pendidikan kesenian apalagi musik, tetapi karena ia ikhlas bersama KiaiKanjeng, maka akhirnya ia terampil memainkan Saron. Cak Nun pun tak menguasai satu pun alat musik, bekalnya hanya intuisi rohani, dengan instrumen itu Cak Nun tahu bagaimana mengaransemen musik KiaiKanjeng, mengimprovisasinya, kapan harus jeda, kapan harus berhenti.

Pada kesempatan selanjutnya, Cak Nun menyinggung tentang Piagam Maiyah, menjelaskan mengapa jamaah perlu menyusun Piagam Maiyah. “Apa sih yang mengikat kita sehingga menjadi seperti ini di Maiyah? Apa ikatan paling kuat yang bisa mempersatukan manusia?” tanya Cak Nun pada jamaah. Selama ini, Maiyah hanya mengalir tanpa menghitung, menakar apalagi mengukur.

Cak Nun mengingatkan untuk jangan hanya mengerti roti tanpa mau mempelajari asal-usul roti itu. “Pelajari cara berpikir glepung,” tutur Cak Nun. Apa itu cara berpikir glepung? Glepung itu serbuk, dimana dari serbuk-serbuk itu lahir bentukan-bentukan baru. Di Maiyah begitu tercurah wacana-wacana keilmuan, khasanah, kebijaksanaan, nilai-nilai, yang sifatnya masih glepung, masih memerlukan pengolahan lebih lanjut agar menghasilkan padatan-padatan ilmu baru.

Jamaah Maiyah diharapkan dapat menymbangkan struktur berpikir yang tepat. Sebab banyak hal carut marut dikarenakan struktur berpikir yang tidak tepat. Di bidang ekonomi misalnya, banyak komoditi yang diproduksi di Indonesia, kemudian dikirim ke luar negeri untuk dilabeli merek, lalu barang itu dikirim kembali ke Indonesia dan dibeli oleh orang Indonesia. Begitulah sistem perdagangan saat ini.

Selanjutnya, KiaiKanjeng mengisi jeda diskusi. Mbak Nia membawakan lagu Ahli Ziman dan Mbak Yuli membawakan Harapan dan Do’a. Cak Nun lantas mempersilakan Helmi Mustofa dan Fahmi Agustian untuk memaparkan perjalanan KiaiKanjeng yang tahun ini memasuki dekade ketiga.

Cak Nun dan KiaiKanjeng adalah pionir. Seperti halnya pementasan Lautan Jilbab yang menjadi pionir pergerakan kebebasan perempuan muslim di Indonesia dalam memperjuangkan haknya mengenakan jilbab. Cak Nun dan KiaiKanjeng juga pionir serta turut serta mempopulerkan shalawatan dengan lagu-lagunya, Tombo Ati dan Lir-Ilir, sehingga nomor shalawatan akrab di telinga pendengar musik tanah air.

Di Maiyah tercurah wacana keilmuan, khasanah, kebijaksanaan, nilai-nilai, yang sifatnya masih glepung. Diperlukan pengolahan lebih lanjut agar menghasilkan padatan-padatan ilmu baru.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2018)

KIAIKANJENG ZAMAN OLD

Helmi Mustofa, pengurus manajemen Progress yang setia mengikuti Cak Nun dan KiaiKanjeng selama bertahun-tahun, menceritakan lahirnya forum pengajian Padhangmbulan di Menturo, Jombang, pada tahun 90-an, sebuah pengajian dengan konsep berbeda dari format pengajian kebanyakan. Menjelang lengsernya Soeharto, akhir 90-an, Padhangmbulan selalu dihadiri puluhan ribu masyarakat. Begitu fenomenalnya Padhangmbulan ketika itu, seringkali pihak keamanan menyusup diantara jamaah. Sempat suatu kali mereka dikumpulkan oleh Ibu Chalimah (ibunda Cak Nun) dan dijelaskan mengapa, apa dan bagaimana itu Padhangmbulan.

Biasanya, pada sebuah pengajian seorang kyai berceramah pada mimbar yang tinggi, dan dikawal protokoler. Cak Nun dan Cak Fuad melalui Padhangmbulan mempelopori format baru, ceramah dan berbicara dengan tidak harus berdiri atau duduk di mimbar tinggi. Hingga kini, format ini terus terjaga di berbagai forum maiyahan.

KiaiKanjeng bersama Cak Nun juga mempelopori kembalinya tradisi shalawatan di budaya populer. Cak Nun dan KiaiKanjeng berkeliling dari kampung ke kampung, desa ke desa, pelosok, mengenalkan kembali shalawatan kepada masyarakat. Lagu Tombo Ati dan Ilir-ilir adalah dua dari sekian lagu yang digali kembali dari masa lampau, dan diaransemen ulang oleh KiaiKanjeng. Album Kado Muhammad menjadi fenomena saat itu, mengawali dikenalnya KiaiKanjeng di kancah musik populer Indonesia.

Bersama KiaiKanjeng, Cak Nun juga mengangkat puisi yang sebelumnya menjadi barang mewah, yang hanya dipentaskan oleh seniman-seniman. Cak Nun dan KiaiKanjeng membawa puisi ke kampung-kampung. Helmi bahkan berpendapat, hanya Cak Nun dan KiaiKanjeng yang mendekatkan puisi kepada masyarakat hingga lapisan terbawah. Lebih jauh lagi, Helmi menjelaskan bagaimana Cak Nun bersama Sanggar Salahuddin UGM mementaskan Lautan Jilbab, sebuah pementasan teater puisi untuk mengungkapkan keresahan hak perempuan mengenakan jilbab.

Cak Nun juga berperan penting dalam gerakan reformasi pada tahun 1998. Cak Nun mampu meluluhkan hati Soeharto agar bersedia dan lega hatinya untuk menanggalkan kekuasaan. Kalimat “ora dadi presiden, ora pathekén” yang keluar dari Pak Harto saat itu adalah kalimat yang diberikan oleh Cak Nun.

Di dunia industri televisi, pada akhir 90-an, Cak Nun mencetuskan program diskusi politik dengan format yang santai namun berbobot. Program acara itu bernama Gardu. Sebelumnya, acara-acara diskusi politik di televisi selalu disuguhkan dengan konsep yang formal dan serius. Cak Nun juga membuat program televisi Cermin, sebuah format tausiyah singkat yang formatnya kini banyak digunakan. Pasca reformasi, Cak Nun dan KiaiKanjeng merintis HAMAS (Himpunan Masyarakat Sholawat), berkeliling ke kampung-kampung di Jakarta, mentradisikan kembali shalawatan.

Helmi menggambarkan, KiaiKanjeng zaman old tidak sama dengan apa yang dilihat oleh jamaah Maiyah zaman now. Kini, jika KiaiKanjeng pentas, acara dipersiapkan matang jauh-jauh hari, ada poster, ada pengumuman di media sosial dan sebagainya. KiaiKanjeng juga sempat sound check terlebih dulu. Dahulu, sering terjadi saat Cak Nun di Jakarta lalu menelpon Pak Bobiet di Jogja dan meminta berangkat ke Jakarta saat itu juga. Dengan alat musik seadanya, mengendarai mobil dan menyetir sendiri ke Jakarta. Tak jarang, KiaiKanjeng hadir di acara saat Cak Nun sedang berbicara di panggung. Jangankan untuk sound check, alat musik pun mereka tata di tengah-tengah acara.

Banyak cerita yang disampaikan Helmi Mustofa, dimana jamaah Maiyah dapat memahami proses panjang perjalanan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Jamaah Maiyah zaman now jangan sampai menjadi generasi yang tidak mengetahui itu.

Penampilan KiaiKanjeng di Kenduri Cinta malam ini adalah penampilan ke-3.880. Angka itu belum termasuk acara-acara Cak Nun tanpa KiaiKanjeng, di berbagai forum, seminar dan diskusi-diskusi.”
Fahmi Agustian, Kenduri Cinta (Januari, 2018)

Menambahkan paparan Helmi, Fahmi Agustian ikut menambahkan bahwa penampilan KiaiKanjeng di Kenduri Cinta malam itu adalah penampilan ke-3.880. Angka 3.880 bukan untuk dipamer-pamerkan, melainkan untuk dapat diambil berbagai pelajaran, seperti kesetiaan Cak Nun dan KiaiKanjeng menemani masyarakat. Angka itu belum termasuk acara-acara Cak Nun tanpa KiaiKanjeng, di berbagai forum, seminar dan diskusi-diskusi.

Satu hal yang menjadi kekaguman Fahmi atas KiaiKanjeng adalah bagaimana Pak Nevi Budiyanto menyusun tangga nada gamelan yang tidak slendro dan juga tidak pelog. Pak Nevi menyebutnya Sense of Ngeng. Dari susunan tangga nada yang keluar dari pakem itu, KiaiKanjeng menggebrak musik Indonesia dengan aransemen lagu-lagu yang tidak pernah didengar oleh masyarakat sebelumnya. Pada akhirnya, di suatu momen, KiaiKanjeng memutuskan untuk keluar dari industri musik. Sebuah pilihan yang radikal saat itu, namun berbagai undangan pementasan justru tidak berhenti, hampir setiap minggu ada saja acara pementasan.

“Perlu anda ketahui bahwa rezim orde baru itu tidak sama situasinya seperti yang anda alami sekarang,” ucap Cak Nun menyambung dengan menceritakan bagaimana dulu orang tidak memiliki kebebasan untuk mengungkapkan pendapat. Pencekalan demi pencekalan, bahkan ditangkap oleh aparat karena konten yang disampaikan pada acara dianggap sebagai makar terhadap penguasa. Cak Nun pun mengalami hal itu. Sementara hari ini, semua orang bebas mengungkapkan apa saja, bahkan kini seorang wartawan dan redaktur tidak memiliki kepekaan untuk menyaring pendapat di media sosial, mana yang layak dipublikasikan atau tidak. Semua orang dengan mudahnya copy-paste-click-share.

“Pada masa orde baru, jika anda ingin mementaskan puisi, naskah yang akan dibaca harus diserahkan terlebih dulu ke kepolisian untuk disensor,” lanjut Cak Nun. Hal yang sama juga berlaku pada pementasan teater, monolog, dramatic reading, bahkan pengajian sekalipun harus melewati tahapan proses perizinan yang tidak mudah dari kepolisian dan militer. Risiko yang dihadapi adalah penculikan. Siapa yang berani melawan penguasa, ia akan dihilangkan.

Mengingat kembali masa-masa itu, Cak Nun bercerita saat di suatu pagi di Gondanglegi, Malang, ia bersama masyarakat melaksanakan doa bersama agar pembunuhan misterius, yang marak terjadi saat itu, bisa segera berhenti. Begitu pun ketika konflik suku dayak dan madura di Kalimantan, Cak Nun bersama KiaiKanjeng berupaya menengahi konflik dengan menyisir empat kabupaten, Sanggau, Menpawah, Rasaujaya dan Pontianak.

“Di zaman orde baru anda tidak bisa ngomong seenaknya. Risikonya adalah nyawa anda,” lanjut Cak Nun. Bagi Cak Nun, kejar-kejaran dengan aparat keamanan sudah biasa. Kucing-kucingan, berganti dari mobil ke mobil, berganti pakaian di dalam mobil sebelum pindah ke tempat selanjutnya adalah peristiwa yang biasa terjadi saat itu. Cak Nun juga sempat menemani masyarakat Kedungombo, tidur di sawah, di hutan, harus menaiki perahu gethek dan sebagainya. Apa yang dialami Cak Nun bersama para aktivis saat itu layaknya perang gerilya, siaga 24 jam menemani masyarakat yang ditindas penguasa. KiaiKanjeng kemudian memainkan nomor “Fix You”.

Ada banyak hal dirahasiakan oleh Allah, maka jangan mengejar agar rahasia itu dibuka. Kita memohon saja, apa yang terbaik yang diberikan Allah kepada kita.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2018)

KEMATIAN DAN KELAHIRAN BARU

Setelah penampilan musik dari KiaiKanjeng, Cak Nun mengantar diskusi selanjutnya. “Kalau tadi dikatakan bahwa penyakit di Indonesia adalah kesempitan, kedangkalan. Ada nggak makhluk Allah yang kerasan hidup dalam kesempitan? Kalau menurut alamiahnya, tidak ada satu pun makhluk yang kerasan dalam kesempitan, ia akan mencari keluasan. Jadi kalau ada penyakit kesempitan, anda jangan khawatir pasti kita tidak akan kerasan, pada akhirnya kita semua akan mencari keluasan,” tutur Cak Nun.

“Akan selalu ada hal-hal yang tak terduga. Kita mencemaskan kematian pada beberapa hal, kematian nilai, kematian ideologi, kematian akidah, macam-macam, tetapi kelahiran-kelahiran baru juga sedang berlangsung. Maiyah adalah kelahiran bagi Indonesia yang akan datang,” tegas Cak Nun.

“Untung ada Maiyah, sehingga kita menjadi lebih indah menjalani kehidupan,” Syeikh Nursamad Kamba menambahkan, “KiaiKanjeng mengajarkan kepada saya ketulusan dan keikhlasan.” Syeikh Nursamad Kamba terkesan dengan KiaiKanjeng saat kunjungannya ke Mesir, saat Syeikh Nursamad Kamba bertugas sebagai Atase Pendidikan di KBRI di Kairo. Menurut Syeikh Nursamad Kamba, tidak mungkin KiaiKanjeng bisa bertahan dan eksis hingga hari ini jika tanpa ketulusan dan keikhlasan dalam hati mereka. “KiaiKanjeng menjalani kehidupan dengan kesederhanaan,” tambahnya.

Syeikh Nursamad Kamba lalu menjelaskan, bahwasanya agama memiliki tiga dimensi, islam, iman dan ihsan. Begitu pun Maiyah, juga memerlukan tiga dimensi itu. Dimensi ihsan akan membuat perilaku orang Maiyah tidak memamerkan dirinya sebagai ahli ibadah, berbuat baik atas prasangka baik kita kepada Allah.

Keberuntungan lainnya di Maiyah adalah karena banyak hal tentang agama yang jika di kampus-kampus memerlukan waktu panjang, berbulan-bulan hingga satu semester untuk memahaminya, sementara di Maiyah seringkali ilmu-ilmu itu dengan mudahnya kita pahami. Sebab, proses pembelajaran yang berlangsung di Maiyah adalah proses pembelajaran yang bermodalkan niat baik serta ketulusan hati.

Di tengah paparan, tiba-tiba listrik padam. Cak Nun spontan meminta KiaiKanjeng untuk terbangan, serta mengajak jamaah turut sholawatan. Tak sampai lima menit, listrik menyala kembali. Saat listrik kembali menyala, Cak Nun menyampaikan sebuah hadits qudsi, “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya engkau mati kecuali Aku hidupkan. Engkau lapar kecuali Aku beri makan. Engkau telanjang kecuali Aku beri pakaian. Engkau berada dalam kegelapan kecuali Aku terangi. Wahai hamba-Ku, engkau punya kehendak tetapi Aku juga punya kehendak. Tetapi hendaklah engkau ingat bahwa yang berlaku adalah kehendak-Ku.” Peristiwa malam itu mengajarkan bahwa apapun rencana kita, sebaik apapun kehendak kita, ada Allah yang lebih Maha Sempurna dan lebih Maha Berkehendak.

“Dari apa yang disampaikan oleh Syeikh Nursamad Kamba tadi, kita melihat di Indonesia ini banyak yang tidak memahami mana yang qoth’I dan mana yang dzhonni,” Cak Nun melanjutkan. Suatu hal yang qoth’I itu datangnya dari Allah, levelnya adalah firman. Semua omongan manusia, baik itu ulama, cendekiawan, ilmuan, ustadz dan sebagainya, tidak mutlak harus ditaati, sebab segala sesuatu di dunia ini relatif.

“Semua pendapat, mahzab-mahzab di dunia adalah dzhonni, yang qoth’I datangnya langsung dari Allah, meskipun nanti juga penafsirannya menjadi dzhonni,” lanjut Cak Nun. Kita hanyalah hamba Allah yang tidak memiliki kekuatan melainkan karena rahmat dan hidayah-Nya. Manusia hanya bisa ber-ijtihad, tidak bisa menentukan. “Ada banyak hal dirahasiakan oleh Allah, maka jangan mengejar agar rahasia itu dibuka. Kita memohon saja, apa yang terbaik yang diberikan Allah kepada kita,” tambah Cak Nun.

Kalau Tuhan bilang kita sukses, kita akan sukses. Kalau Tuhan bilang kita dipecat, ya kita dipecat. Ikhlas saja, dan jangan lupa berbisik kepada Tuhan dan jangan mendendam.”
Indra Sjafri, Kenduri Cinta (Januari, 2018)

NASIONALISME SEPAKBOLA INDRA SJAFRI

MALAM ITU, Pak Indra Sjafri juga hadir di forum Kenduri Cinta, duduk di sebelah kiri Cak Nun. Mengantarkan kepada  jamaah, Cak Nun memberi alas, “Sama dengan bermain sepakbola, kemenangan hari ini belum tentu akan menjadi kemenangan esok hari. Kita, Indonesia, banyak melakukan blunder-blunder, salah struktur berpikirnya, salah melihat masalah, salah menentukan titik keseimbangan isoterik dan eksoteriknya, salah keluar-dalamnya. Kadang terlalu ke luar, kadang terlalu ke dalam, kita tidak punya presisi yang mizan, seimbang terhadap suatu hal.”

“Banyak blunder-blunder policy karena kita salah dalam berpikir mengenai hidup, salah berpikir mengenai manusia, salah berpikir mengenai pembangunan, salah berpikir mengenai negara dan pemerintah, apalagi rakyat,” Cak Nun menambahkan, “Kalau orang salah berpikir, mentalnya juga akan salah, spiritualitasnya juga tidak akurat, budayanya akan salah kaprah. Maka, berbuat baik seperti apapun akan menjadi buruk, inginnya menyelesaikan masalah tetapi justru malah menambah masalah.”

Cak Nun lantas mempersilakan Pak Indra Sjafri untuk memberikan pendapat, nasehat atau apapun sebagai bekal bersama. “Malam ini adalah kali keempat saya datang ke Maiyah,” ucap Pak Indra yang dekat dengan Cak Nun dan forum maiyahan sejak 2014. Cak Nun ikut menemani perjuangan Evan Dimas dkk di Myanmar saat itu. Akhir tahun lalu, Pak Indra dipecat untuk kedua kalinya dari kursi kepelatihan tim nasional U-19. Banyak kalangan yang menyesalkan keputusan PSSI itu.

Indra Sjafri tak goyah. Baginya, yang ia perjuangkan selama ini di persepakbolaan Indonesia tidak lain adalah ingin melahirkan generasi baru. Generasi yang lebih baik. Pemain sepakbola Indonesia masa depan yang lebih bermartabat. Dengan dukungan banyak pihak, ia menyiapkan pembentukan Akademi Sepakbola Indra Sjafri yang akan tersebar di penjuru Indonesia.

“Kalau kita sabar, ikhlas, pasti ganjarannya lebih baik. Sudah dua kali saya dipecat, dua-duanya saya sangat ikhlas,” lanjut Indra Sjafri. Indra Sjafri menceritakan kisahnya membangun dan mendidik dua generasi tim nasional U-19 yang unggul, tidak hanya di lapangan, tetapi juga sikap kepribadian di luar lapangan. Nilai-nilai spiritual dan kerendahan hati yang ditekankan oleh Indra Sjafri begitu mengakar pada anak didiknya. Kemampuan teknik sepakbola mereka meningkat. Sebagian dari mereka kini telah menerima tawaran bermain di klub-klub profesional, yang tentu dengan bayaran tinggi. Indra Sjafri malam itu mengucapkan terima kasih kepada jamaah Maiyah yang terus menerus mendukung dan mendoakan perjalanan tim nasional.

“Intinya, kalau Tuhan bilang kita sukses, maka kita akan sukses. Kalau Tuhan bilang kita dipecat, ya kita dipecat. Ikhlas saja, dan jangan lupa untuk berbisik kepada Tuhan dan jangan mendendam,” pesannya. Dua generasi tim nasional muda binaannya, era Evan Dimas dan era Egy Maulana, memiliki karakteristik dan kualitas berbeda, masing-masing memiliki keunggulan satu sama lain. Indra Sjafri menyampaikan, dua generasi itu memang berbeda. Hampir setiap pertandingan selalu dipenuhi penonton, tiket selalu habis terjual. Sikap mental mereka di lapangan pun patut diapresiasi. Mereka tak pernah melakukan protes berlebihan kepada wasit.

Satu hal yang membuat kita semua terkesan, yaitu saat mereka merayakan gol dengan bersujud dan bersyukur. Bagi Indra, sepakbola tidak hanya persoalan kalah dan menang, melainkan bagaimana para pemain memegang teguh kultur dan budaya Indonesia, sehingga pemain sepakbola menjadi bermartabat.

Islam tidak akan menjadi Islam bagi orang yang tidak menggunakan akalnya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2018)

“SEPAKBOLA BISA mempersatukan bangsa,” ujar Indra Sjafri meyakinkan. Ia menceritakan saat tur ke Aceh pada 2014 silam. 50 ribu tiket terjual habis, tidak tersisa, satu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Pagi harinya, seorang panglima GAM mendatangi Indra Sjafri, mengucapkan, “Coach Indra, baru tadi malam saya merasakan menjadi orang Indonesia.” Bagi Indra Sjafri, ini adalah bukti, sepakbola mampu mempersatukan bangsa, asal dikelola baik, dikelola dengan ikhlas dan jujur, dengan hati yang bersih.

Pak Indra turun langsung ke daerah pelosok, seperti Natuna, Atambua dan sebagainya, tujuan utamanya justru bukan mencari pemain-pemain berbakat, tetapi lebih kepada menumbuhkan rasa memiliki bagi masyarakat di daerah-daerah terpencil. Pak Indra ingin merangkul mereka, ingin melibatkan mereka, agar rasa memiliki masyarakat disana terhadap tim nasional semakin tinggi. Dengan melibatkan mereka dalam proses seleksi, tumbuh rasa memiliki dan bangga terhadap Indonesia. Hal ini lama tidak dilakukan PSSI, sudahlah kompetisi tidak menjangkau mereka, proses seleksi pemain juga tak dilibatkan.

Bagi Indra Sjafri, hidup berbangsa dan bernegara itu seperti permainan sepakbola. Ada yang berperan sebagai pelatih, ada yang menjadi wasit, ada yang menjadi pemain. Ada yang menjadi striker, ada yang menjadi bek, ada yang menjadi kiper, ada yang menjadi pemain sayap. Pemain tidak boleh menjadi pelatih, begitu juga sebaliknya, kiper tidak boleh memaksakan diri menjadi striker. Setiap orang memiliki peran dan tugas yang berbeda. Kesadaran akan peran ini membuat komposisi strategi permainan menjadi harmonis. Terakhir, Indra Sjafri berpesan, semaksimal apapun usaha kita, jangan lupa bahwa kita harus selalu mendekat kepada Tuhan. Karena Tuhan adalah yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu.

Setelah Indra Sjafri, Cak Nun menyoroti pembangunan yang berkutat pada sistem bukan manusianya. Seolah semua berjalan dan berproses tanpa ada peran manusia. Apa yang dilakukan oleh Indra Sjafri di tim nasional adalah membangun manusianya, bukan membangun sistemnya. Sepakbola dikelola dengan tulus, sabar, jujur dan ikhlas, maka akan terwujud sepakbola yang bermartabat. Selama ini, orang hanya mengukur menang dan kalah. Kemenangan adalah mencetak gol. Kita melupakan faktor utama sepakbola itu sendiri, bahwa pelakunya adalah manusia.

“Demikian juga negara, pemerintahan, Pilkada, Pilgub dan sebagainya, bukan manusianya yang menjadi fokus, padahal pelakunya adalah manusia. Jika manusia yang menjadi fokus, maka syarat utamanya adalah jujur, baik, ikhlas,” lanjut Cak Nun. Cak Nun berpendapat bahwa sepakbola urusannya bukan sekadar olahraga, tetapi juga akhlak, moral, sikap hidup, bahkan intelektual, karena didalamnya ada strategi, ada pembagian kerja dan peran.

“Sepakbola adalah spiritual,” tegas Cak Nun. Saat final Piala AFF U-19 tahun 2013 silam, penentu kemenangan Indonesia adalah pemain yang tidak diperhitungkan sebelumnya, ia mampu mengeksekusi tendangan pinalti dengan baik. Hal ini menyambung denngan paparan Syeikh Nursamad Kamba sebelumnya, dalam sepakbola pun ada dimensi ihsan. Bermainlah sepakbola dengan Allah sebagai audien utama, kalaupun engkau tidak melihat Allah di stadion maka yakinlah bahwa Allah ada di stadion melihatmu bermain.

“Islam tidak akan menjadi Islam bagi orang yang tidak menggunakan akalnya,” tegas Cak Nun. Kenapa pada forum maiyahan ada kedamaian meski berbeda-beda? Karena setiap manusia yang hadir saling menghormati, saling menghargai sebagai manusia. “Di Maiyah, engkau menemukan dirimu sebagai manusia, dan setelah menyadari bahwa dirimu adalah manusia, engkau akan menemukan Tuhanmu dan bergaul dengan Tuhanmu,” tutur Cak Nun.

Di Maiyah, engkau menemukan dirimu sebagai manusia, dan setelah menyadari bahwa dirimu adalah manusia, engkau akan menemukan Tuhanmu dan bergaul dengan Tuhanmu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2018)

MENJELANG DINI HARI, Cak Nun mempersilakan Kuncoro untuk berbagi. Sosok satu ini bisa dikatakan tokoh di belakang layar sepakbola Indonesia. Kuncoro sedikit menguak dunia sepakbola di Indonesia yang tidak dapat dilihat secara linier. Ada banyak hal di belakang layar yang justru lebih menentukan hasil akhir sebuah pertandingan. Industri sepakbola hari ini bukan hanya soal iklan, sponsor, transfer pemain dan hak siar saja, tetapi juga ada pengaturan skor yang kaitannya juga dengan mafia perjudian internasional.

Kuncoro memberi contoh negara Jepang, negara yang sukses mewujudkan mimpi mereka. Mereka menanamkan sejak dini kepada anak-anak kecil di Jepang untuk mencintai sepakbola. Film-film kartun bertemakan sepakbola diproduksi dan ditayangkan secara massif. Mimpi mereka adalah menjadi juara dunia 2050. Sebuah mimpi yang realistis untuk diwujudkan mengingat bagaimana Jepang membangun persepakbolaan mereka hari ini. Mimpi itu diwujudkan, sebab mereka menyadari bahwa sepakbola adalah permainan yang tekniknya bisa dipelajari. Rasa percaya diri mereka tinggi. Negara juga mendukung tumbuhnya iklim sepakbola dengan sangat baik. Berbagai fasilitas dipenuhi. Seperti yang diucapkan oleh Suratin, sepakbola adalah olahraga sejuta umat, maka seharusnya negara memfasilitasi itu.

Cak Nun terakhir berpesan, salah satu tantangan bangsa Indonesia adalah berani keluar dari zona nyaman. Lebih dari itu, segala proses perjalanan yang dialami oleh bangsa Indonesia musti disikapi seperti apa yang disampaikan oleh Pak Indra, yaitu dengan sabar dan ikhlas. Forum lantas mempersilakan Beben Jazz berkolaborasi dengan KiaiKanjeng. Syeikh Nursamad Kamba memuncaki maiyahan Kenduri Cinta edisi Januari 2018 malam itu dengan doa bersama.