Alles Gute zum Geburtstag, Kenduri Cinta

DUNIA INI begitu ramai, namun siapakah yang benar-benar mengerti isi dari keramaian yang sedang riuh rendah di perdebatkan hari-hari ini? Apakah itu keramaian dalam meraih jabatan, memupuk kekayaan atau mabuk ketenaran? Maka kuda-kuda pertama yang Mbah Nun utarakan ialah menyepi itu penting, agar kau benar-benar bisa mendengar dan memahami apa isi dari keramaian itu. Sebab mendengar dan paham itu lebih dari sekadar tahu, disanalah kemudian dialektika nurani pendidikan pada diri sendiri bermula.

Mau tidak mau, suka tidak suka, telah dikenal dunia internasional bahwa wajah Jakarta ialah Wajah Indonesia. Maka banyak orang pun berlomba-lomba menghimpun segala cita-cita hidupnya di Jakarta. Namun dari hampir 11 juta jiwa warga yang tercatat secara resmi tak semuanya terbutakan oleh penghancuran-penghancuran berkedok pembangunan, penjajahan yang berkedok demokrasi, serta kemunduran peradaban bertopeng kemajuan-kemajuan atau modernitas. Ada yang bertapa dalam ramai (topo ngrame) di tengah hingar bingar kehidupan ibu kota itu.

Bagi normalnya manusia yang telah berpendidikan, berpendapatan tinggi, dan mengisi posisi-posisi penting di perusahaan nasional, multinasional atau internasional di Ibukota, apa sih yang kurang dari Jakarta? Universitas ternama? Pendidikan terbaik? Tempat rekreasi? Tempat hiburan malam? Kafe? Bar? Namun tetap saja, fatwa hati tak pernah bisa mengingkari bahwa ada ‘sesuatu’ yang hilang dari mozaik bulatan diri sebagai manusia yang berasal bukan dari hal-hal diatas tadi. Jika tidak ia bisa memunculkan suatu lubang atau rasa kerinduan pada yang lebih sunyi, senyap dan sejati. Sebab dari keseluruhan hidup manusia itu melakukan proses pencarian, perjalanan diri menuju pertanyaan-pertanyaan sejati serta lebih hakiki. Untuk apakah hidup? Kenapa diadakan manusia di dunia ini? Apakah itu agama? Siapakah Tuhan?

Kaum Ghuroba Maiyah

Di tengah gemerlap ‘kemajuan’ zaman yang bisa dirasakan di Jakarta, ada kerumunan orang-orang yang memilih menyepi di Jumat malam, pekan kedua setiap bulannya. Mereka menyingkir dan mencoba memekakan mata batinnya di Telaga Maiyah bernama Kenduri Cinta.  Satu hari spesial yang dinanti-nantikan setelah 29 harinya berjuang dalam kepalsuan-kepalsuan dunia. Sebab di Maiyah pada kemurnian jiwa-jiwa yang hadir bertabur kemesraan menjadi pembasuh hati, serta antioksidan penyakit-penyakit Zaman Now. Bagi salikul Maiyah, mungkin ibarat menjalani hidup dalam dua dunia, dunia Maiyah dan dunia pada tahun 2018 ini seperti apa adanya.

Lewat Perawi Hadist, Abu Hurairah, Kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang-orang yang asing.” Kembali dalam keadaan asing karena sedikitnya yang mau menjalankan dan saling menyokong dalam menjalankan syari’at Islam padahal umatnya banyak.

Setidaknya perjuangan Maiyah dengan pindai Padhangmbulan sebagai ibunya telah hampir 25 tahun mewarnai kehidupan Bangsa Indonesia, namun pesan maksimal Mbah Nun yang termaktub dalam Mabda’ Maiyah adalah penumbuhan kesadaran bahwa mainstream atau arus utama sejarah bangsa yang disayangi dan diayominya itu sebagian besar meremehkan fakta Masyarakat Maiyah, menganggapnya tidak ada, tidak pernah sungguh-sungguh perduli terhadap apa yang dilakukannya, disepelekan dan direndahkan oleh media-media arus besar itu, sebagian kecil hanya menikmatinya secara konsumtif.

18 tahun sudah Masyarakat Maiyah Kenduri Cinta menebarkan cahaya mewarnai langit Jakarta. Membuka kembali catatan Mabda Maiyah dalam momen dan suasana siklus lima tahunan Indonesia, Mbah Nun dengan gamblang menuliskan, Masyarakat Maiyah, setelah sekian lama belajar kepada Allah dan Rasulullah seharusnya sudah memiliki kecerdasan sosial untuk menyadari kemurahan Allah dengan anugerah alam Indonesia, dan karena itu mensyukuri dan mengapresiasi dengan tidak membiarkannya dieksploitasi dan dieksplorasi oleh pasukan-pasukan Dajjal MataSatu, pada saat yang sama juga menyadari bahwa membiarkan semua itu terjadi adalah termasuk menganiaya diri sendiri. Masyarakat Maiyah meneguhkan kembali Mabdâ Maiyah, prinsip nilai Maiyah, hulu keberangkatan Maiyah, perspektif peletakan diri Maiyah, serta posisi dan sikap Maiyah, di tengah beragam konteks, tema kenyataan dan peta komplikasi masalah bangsa dan masyarakat Indonesia. Yakni : (Kuda- kuda Cinta Segitiga Allah-Muhammad-Kita) (Iman tanpa reserve hanya kepada Allah swt) (Keridhaan atas qadla-qadar Allah Swt) (Terus bekerja keras dan bersyukur) (Ibadah kasih sayang kemanusiaan) (Pengayoman kebangsaan) (Keteguhan independensi) (Kesetiaan nasionalisme) (Ketepatan meletakkan diri secara sosial, budaya dan politik) (Hati sumeleh, fikiran suci, jiwa penuh iradah dan amr Allah swt) (Meningkatkan kewaspadaan informasi dan kehati-hatian komunikasi). Dengan demikian apabila Masyarakat Maiyah masih terpenjara dan mandeg pemikirannya di dalam kurungan kecil yang memenuhi kepalanya dengan pertanyaan “A atau B kah yang berkuasa”, maka ia bersabar untuk membaca kembali kitab alam nilai Maiyah dari lembaran pertama.

Momen 18 tahun, momen kembali mengarsipi, menata, dan mengklasifikasi kembali apa-apa Nilai Maiyah yang pernah terumuskan dalam malam-malam panjang perhelatan berasas segitiga cinta ini. Berapa nilai-nilai yang sudah kita catat atau kita aplikasikan dalam hidup kita? Kepada diri sendiri, keluarga ataupun lingkungan juga institusi tempat kita bekerja? Di Jerman angka tersebut menjadi angka krusial sekaligus penanda seseorang beralih dari pemuda menuju dewasa. Sehingga diperbolehkan memiliki SIM Mobil, membeli rokok, membeli alkohol, pindah Wohnung/apartemen sendiri, juga berpergian seorang diri ke Negara yang entah seberapapun jauhnya sebagai bukti kemandirian mereka. Maka selamat menempuh usia 18 Tahun Kenduri Cinta, alles gute zum geburtstag. Teruslah memancarkan cahaya, menegakkan cinta, menuju Indonesia mulia.

8 Juni 2018
Baden Württemberg, Jerman