ALLAH AUDIENKU — BAHAGIALAH YANG TERASING

reportase kenduri cinta desember 2013

Tak biasa, Kenduri Cinta edisi Desember 2013 digelar bukan pada hari Jumat melainkan pada hari Sabtu, tepatnya tanggal 14 Desember 2013. Panggung tampak lebih besar agar dapat memuat bonang, saron, rebana, kendang, keyboard, drum, dan peralatan instrumen Kiai Kanjeng lainnya. Sebelumnya Cak Nun dan Kiai Kanjeng maiyahan di Boyolali, setelahnya langsung bertolak ke Jakarta. 

Setelah dibuka dengan pembacaan Alquran juz ke-15 dan salawatan, Kenduri Cinta dilanjutkan dengan prolog mengenai judul tema. Allah Audienku; Berbahagialah yang Terasing dapat dimaknai dengan mendasarkan pada informasi yang disampaikan oleh Allah sendiri bahwa tujuan dari ide besar penciptaan adalah penghambaan setiap ciptaan kepada penciptanya. Dengan kerangka ini, jelas bahwa Allah lah satu-satunya yang pantas menjadi subyek utama dalam setiap pekerjaan manusia. Namun ketika manusia berkarya, ukuran-ukuran output-nya adalah semata-mata untuk kepentingan manusia. Pembandingan karya yang satu dengan karya yang lain juga tidak pernah menghadirkan Allah. Kita bicara banyak soal copyright tanpa pernah menyadari bahwa seluruh ide dan eksistensi karya berhulu pada-Nya jua.

Setelah beberapa nomor salawat dari Kiai Kanjeng, diskusi sesi pertama dimulai. Hadir Ustaz Noorshofa Thohir dan Bapak Harja (Dosen STMT Trisakti).

Ustaz Noorshofa mengawali dengan kisah pada sebuah kitab saat Setan datang mengetuk pintu rumah Firaun. Setan memberi nasihat kepada Firaun bahwa sesetan-setannya Setan, tidak ada Setan yang mengaku dirinya Tuhan. Satu-satunya dosa Setan adalah kesombongan. Sementara Firaun dengan pendeklarasian dirinya sebagai Tuhan, telah tertutup pintu untuk berdialog dengan Tuhan yang sejati.

“Salat, puasa, baca quran, merupakan cara kita berdialog dengan Allah. Lutfi Hasan Ishaq itu teman saya di pesantren, tiap saat berdialog dengan Allah, tapi kenapa dialognya tidak berjalan? Sebab begitu sajadah kita tutup, putus sudah dialog kita dengan-Nya. Salat kita tertinggal di atas sajadah, puasa kita tertinggal di Ramadan, haji kita tertinggal di Mekkah,” ujar Ustaz Nurshofa. Begitu dangkalnya Allah jika melihat upaya kita berdialog dengan-Nya hanya pada gerak-geriknya. Yang terpenting adalah bagaimana kita berusaha mengaplikasikannya dalam aktivitas sosialnya.


Pak Harja sebagai dosen ilmu keuangan menilai betapa ilmu ekonomi sudah membodohi kita. Kalau sumber daya alam sifatnya terbatas seperti anggapan ahli ekonomi, berarti dalam logika kita Allah itu miskin. Allah Maha Kaya dan Maha Pemurah, hanya saja manusia yang tidak pandai bersyukur sehingga tidak punya kemampuan untuk memelihara. Dunia menjadi rusak karena kita tidak menghadirkan Allah.

Ketika dibuka kesempatan untuk bertanya, beberapa jamaah menanyakan hal-hal terkait judul, seperti: Apa bedanya terasing dengan mengasingkan diri? Bagaimana kita mampu berdakwah kalau kita terasing? Bagaimana menghilangkan sisi eksklusivitas agar meskipun terasing kita tetap bisa berbahagia bersama semuanya? Apakah ada penghijab antara kita dengan Allah?

“Ketika kita membuat apapun saja, apakah subyek utamanya adalah Allah? Kita hitung sendiri, apakah orang menjadi ustaz untuk melayani atau didorong oleh motif-motif ekonomi atau bahkan politik? Apa yang ada di dalam diri manusia ketika dia mengambil langkah pertama? Maka ketika ada orang yang mengorientasikan seluruh perbuatannya untuk semata-mata mendekat kepada Allah, dia otomatis akan menjadi asing atau aneh bagi masyarakatnya. Dia melawan arus. Yang mengasingkan bukan dirinya sendiri, melainkan komunitas di mana dia berada,” jawab Ibrahim. “Tentang hijab, ada istilah lain yaitu kafir – dalam bahasa Inggris menjadi cover. Allah sudah memberikan hidayah, tapi dirinya sendiri yang menolak atau menghijabi dari hidayah tersebut.”

Untuk menjawab mengenai hijab, Pak Harja menganalogikannya dengan sinyal ponsel yang hilang ketika kita berada di basement, misalnya. Yang pertama kita lakukan sebelum berdoa adalah memastikan bahwa kita tidak terhijab dengan Allah sehingga ada koneksi antara kita dengan-Nya.

“Sunyi itu penting, jeda itu penting. Kalau kita terlalu banyak bicara, diam itu penting. Kalau kita terlalu banyak makan, puasa itu penting.”

Emha Ainun Nadjib

BAHAGIALAH YANG TERASING

Tepat pada pukul 23.00, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng naik ke panggung, langsung mengajak jamaah untuk salawatan. Masih dalam suasana khusyuk, setelah itu nomor Hasbunallah Wa Nikmal Wakil dinyanyikan. Kemudian Cak Nun meminta Zainul dari Kiai Kanjeng melantunkan tiga kalimat pertama azan persis seperti yang dikumandangkan di masjid-masjid.

“Ada jarak sekitar empat detik antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya. Apakah yang dimaksud azan itu hanya kalimat-kalimatnya atau juga termasuk sela-sela yang tidak berbunyi? Sunyi itu penting, jeda itu penting. Kalau kita terlalu banyak bicara, diam itu penting. Kalau kita terlalu banyak makan, puasa itu penting. Untuk Kenduri Cinta yang selalu bersifat intelektual selama dua belas tahun terakhir, salawatan sangat penting supaya ada jeda sunyi di antara intelektualitas itu. Saya sedang merasakan betapa kata tidak bisa menyelamatkan kita, maka kita harus belajar tanpa kata dalam memproses sesuatu. Indonesia yang tingkat komplikasinya sudah begini luar biasa, salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan menyadari kesunyian dalam diri kita.

“Di stasiun-stasiun televisi, atas dasar pertimbangan kapitalisme, durasi jeda di antara kalimat-kalimat azan itu dikurangi. Padahal sunyi itu penting, seperti sakit dan derita yang kita perlukan untuk dapat tumbuh. Maka anak laki-laki disunat pada umur menjelang balig. Di samping untuk manfaat kesehatan, sunat juga berguna supaya mereka merasakan sakit yang serius sehingga darinya muncul sangat banyak hikmah, ilmu, dan kesadaran. Sama halnya dengan sakit yang dirasakan ibu ketika melahirkan; dengan rasa sakit itu dia memiliki pertimbangan-pertimbangan ibu dalam jiwanya,” jelas Cak Nun.

KUASAMU DAN KUASA TUHANMU SAJA

Pada maiyahan malam sebelumnya di Boyolali, Cak Nun menemukan bahwa terdapat fenomena pengkafiran, pembidahan, dan pemusyrikan di kota kecil itu. Jamaah yang terdiri dari orang NU maupun Muhammadiyah sama-sama rela untuk tahlilan. Bahwa tahlilan itu bukan merupakan keharusan, tapi juga boleh-boleh saja dilaksanakan, sebab dia tidak termasuk dalam rukun Islam dan juga tidak dilarang oleh Allah.

“Memperingati 3 harian meninggalnya ibu kita, misalnya, boleh-boleh saja. Mau 7 harian, 40 harian, 100 harian, 99 harian, 98 harian, tiap hari, atau bahkan sehari 10 kali, mengingat almarhum setelah itu menraktir orang kok dilarang-larang? Apakah kalau anda saya tuduh kambing, anda jadi kambing? Yang membuatmu kambing atau bukan adalah dirimu sendiri dan Allah,” ujar Cak Nun.

Menanggapi banyak pihak yang menilai Cak Nun sebagai seorang syiah, bahkan di Surabaya ada sebuah koran yang mengatakan beliau lebih berbahaya daripada syiah—Cak Nun menyikapi, “Saya ini Islam saja belum tentu apalagi syiah. Siapa yang bilang saya muslim? Apa buktinya? Apakah karena saya salawatan lalu anda simpulkan saya muslim? Tape recorder juga bisa salawatan. Apakah karena saya pakai peci? Komunis-komunis Rusia juga memakai peci seperti yang saya pakai ini. Jangan tuduh saya syiah, sebab muslim saja saya belum tentu.” Terkait proses pendamaian kasus Sampang dan kasus Puger, Jember, Cak Nun menambahkan bahwa yang sesungguhnya terjadi bukanlah konflik antara sunni-syiah, melainkan perkara politik di tingkat atas.

Beberapa hari sebelumnya, Cak Nun dan Kiai Kanjeng mementaskan Retrospeksi Musik Puisi di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Sejarah musik puisi berawal pada tahun 70-an ketika guru Cak Nun, Umbu Landu Paranggi, membuat puisi-puisi yang kemudian dilagukan. Cak Nun kemudian menulis banyak sekali puisi untuk duet bersama Ebiet G Ade. Ada sekitar 27 lagu jumlahnya, termasuk terjemahan puisi dari Emily Dickinson. Dulu disebut musik puisi, puisi musik, atau lagu puisi. Belakangan barulah musikalisasi puisi menjadi istilah yang sering digunakan. Musik puisi ini ada empat macam polanya. Pertama, puisi dibaca dengan diiringi musik. Kedua, puisi dibacakan berselang-seling dengan musik. Ketiga, puisi dan musik ajur-ajer menjadi satu; musiknya puitis dan puisinya musikal. Keempat, puisi dilagukan. Yang terakhir ini yang sekarang paling banyak dikenal.

“Yang Maha Menciptakan, ciptakanlah kembali dan perindahlah ciptaanmu yang baru. Tinggal seutas tali kecil nasib kami, dan pangkal tali itu terletak di jari-jari kasih sayang-Mu ya Allah. hanya Engkaulah yang bisa menolong kami.”

Emha Ainun Nadjib

MENGHANCURKAN KEHANCURAN

Sebelum melanjutkan, Cak Nun terlebih dulu menyapa seluruh teman-teman yang tidak dapat hadir tapi tetap mengikuti jalannya Kenduri Cinta lewat radio streaming. Ada yang di kota-kota seluruh nusantara, dan ada juga yang di Bulgaria, Istanbul, Jeddah, Jepang, Malaysia, dan Australia.

“Jamaah Maiyah sedunia ini kemarin dari tanggal 3 sampai 9 Asyura terlibat dalam wirid tahlukah. Tahlukah mengandung makna hancurnya kehancuran. Wirid ini ditujukan supaya bumi semakin cepat mengungkapkan dan mengeluarkan yang busuk-busuk supaya tidak menjadi bom waktu. Dalam hidup ini kita harus siap menghancurkan apa yang memang pantas dihancurkan, sebagaimana beras harus kita relakan hancur untuk mendapat kenikmatan nasi. Kita harus merelakan kehancuran kelas kita saat ini untuk sampai pada kelas berikutnya. Sedang terjadi percepatan keluarnya kenyataan-kenyataan yang terpendam, baik dari kehidupan teman-teman jamaah Maiyah maupun dalam level nasional. Indonesia yang sebenarnya semakin tampak,” terang Cak Nun.

Syekh Nursamad Kamba menambahkan uraian mengenai wirid tahlukah. Bahwa pada dasarnya dalam diri manusia terdiri dari dua unsur, yakni unsur materi yang bisa hancur dan unsur non materi yang kekal karena ada sesuatu yang oleh Allah ditiupkan ke dalamnya. Sekarang kita dilanda oleh ketergantungan kepada keinginan jasad yang tak akan ada habisnya. Pada titik tertentu ini menyebabkan disfungsi akal. Operasi penghancuran harus kita lakukan agar akal dari Allah kembali berfungsi sebagaimana mestinya sehingga Indonesia bisa kita miliki kembali. “Saya pengamal tarekat tapi saya meyakini bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak nafas manusia. Kalau kita wiridan, tidak masalah seperti apa formatnya; yang penting ada ketulusan dan kemurnian jiwa serta konsentrasi,” jelas Syekh Kamba.

KREASI DAN REKREASI

Kita bukanlah negara dengan 4 musim sehingga tidak tepat jika berada dalam satu irama kultur dengan mereka di mana ada bulan kreasi dan bulan rekreasi. Di Indonesia, setiap pekerjaan harus merupakan bentuk istirahat dari pekerjaan sebelumnya. Setiap kreasi harus rekreatif dan setiap rekreasi harus kreatif sehingga setiap pekerjaan produktif. Lelah menggendong anak, ganti cuci pakaian, lelah cuci pakaian, ganti bersih-bersih halaman.

“Kesehatan bukan karena kita istirahat dan istirahat bukan berarti tidur. Istirahat adalah melakukan pekerjaan yang lain dari pekerjaan sebelumnya, dan keduanya harus baik—syukur-syukur ada peningkatan level pekerjaan dari baik ke benar ke indah ke kemuliaan. Kalau beres manajemen ini, semuanya akan menyenangkan. Kita tidak pernah tidur tapi ditidurkan oleh Allah. Tidur yang baik adalah tidur dalam iradat Allah,” tutur Cak Nun.

Selanjutnya Kiai Kanjeng melantunkan dengan membawakan sebuah lagu Mesir yang dipopulerkan oleh Ummi Kultsum, Il Albiya’syaq Kulli Gamil. Lagu ini bercerita bahwa hati manusia merindukan keindahan dan keindahan paling indah adalah Allah.

“Orang yang tidak pernah melihat keindahan akan beku hatinya. Oleh karena itu dalam hidup beragama kita butuh seni, budaya, keterbukaan, supaya kita mampu melihat kehidupan yang indah sehingga hati menjadi hidup. Dalam Alquran Allah membuat perumpamaan: hujan yang diturunkan ke bumi menimbulkan getaran di tanah, lalu getaran itu menumbuhkan pohon-pohon. Demikian pula cara Allah menumbuhkan hati. Kalau ada orang yang keras hatinya, yang mengancam, cukup diperdengarkan keindahan padanya.

“Kalau anda meneruskan pengembaraan hati mencari keindahan itu anda tidak akan bisa berhenti sebelum sampai kepada Allah. Entah itu berpolitik, berkeluarga, atau bercocok tanam, teruskan niatnya sedemikian rupa supaya Allah menjadi subyek utamanya.”

Kiai Kanjeng lalu bawakan sebuah lagu dangdut berjudul Gelandangan, dilanjutkan dengan Give Me One Reason milik Tracy Chapman.

SIAPA SUBYEK UTAMAMU?

“Audien adalah pihak utama yang anda inginkan untuk  menyaksikan anda. Kalau anda tanam jagung, setelah mengaisi tanah, tabur biji, siram-siram sedikit, siapa yang pertama kali ingin anda kasih tahu? Tetangga, dirimu sendiri, atau siapa? Siapa yang sebaiknya menjadi audien utama dari pekerjaan anda menanam jagung? Untuk apa tetanggamu melihat padahal dia tidak bisa menumbuhkan jagung? Siapa pihak yang pasti mampu menumbuhkan biji jagung yang sudah anda tanam?

“Demikian pula kita dalam ber-Kenduri Cinta, dalam mengamalkan wirid tahlukah. Audien utama kita adalah Allah karena hanya Dia lah yang mampu membuat apa yang kamu lakukan mencapai hasil. Kalau anda menempatkan Allah sebagai audien utama, anda tidak akan stress. Setiap anda disakiti anda ingat Allah, tidak ada yang lebih disakiti ketimbang Allah. Setiap hari orang bilang iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, tapi nyatanya tidak. Ihdinas shirathal mustaqim, artinya berilah kami semua jalan yang lurus, ungkapan doa untuk semua, tapi yang dimaksudkan ternyata hanya untuk dirinya sendiri. Ini juga merupakan satu variabel kebohongan,” jelas Cak Nun.

INTERNET: PORNOGRAFI TOTAL

Hidup manusia diberi potensi untuk melampiaskan, maka Allah membuat konsep aurat—sesuatu yang harus ditutupi. Para nabi diutus untuk mengajarkan ilmu pengendalian. Aurat ini tidak hanya menyangkut bagian tubuh yang harus ditutup pakaian, tapi menyangkut dimensi-dimensi yang lebih luas. Ada aurat jasad dan aurat pikiran, yang masing-masing di-set-up dengan takarannya masing-masing supaya manusia tidak hancur.

Aurat jasad contohnya; Allah menciptakan telinga manusia hanya untuk rentang frekuensi pendek, mendesain mata manusia hanya mampu mamandang secara lurus, membatasi pertumbuhan kuku, rambut alis, tulang, dan sebagainya. Aurat pikiran contohnya; Allah tidak membiarkan manusia punya lantip waskita (red: kepekaan ekstra dan pengetahuan mendalam tentang hal-hal yang tersembunyi).

“Allah menciptakan pembatasan-pembatasan, maka jangan bodoh memperjuangkan kebebasan. Kebebasan harus diproporsikan sebagai wasilah atau cara, bukan pada ghayyah. Kalau kebebasan diperjuangkan sebagai tujuan akhir, akan hancur manusia. Anda tinggal pilih: mengendalikan atau melampiaskan. Sudah pasti manusia keliru-keliru, tapi kita mesti belajar tidak mengulangi kesalahan dan berusaha keras untuk khusnul khotimah.

“Kalau aurat dibuka semua, namanya pornografi. Internet merupakan pornografi total. Apa saja boleh dibuka karena di sana tidak ada audien, tidak ada pertanggungjawaban kepada siapapun. Internet adalah satu ruangan besar di mana semua orang telanjang bulat. Seburuk apapun bisa dikeluarkan di situ. Media massa kita juga hampir pornografi total; tidak ada pertimbangan apapun, tidak ada aturan-aturan pembatasan.

“Maiyah tidak perlu omong-omongan di internet. Kalau mau berdebat datang saja ke Kenduri Cinta atau janjian ketemu di suatu tempat. Jangan berdebat tanpa berhadapan wajah. Dengan muwajahah ada sorot mata, ada rasa sayang, ada tasamuh.”

DALAM SELENDANG CINTANYA

Berikutnya, Beben Jazz yang mengungkapkan kesannya sejak diperkenalkan dengan Cak Nun, Kenduri Cinta, Kiai Kanjeng, dan Maiyah. Itu merupakan bagian sangat berarti dalam lembar-lembar buku kehidupannya, “Saya belajar sangat banyak kepada Cak Nun, yang di Italia sudah digelari Maestro.”

Menanggapi Beben Jazz, Cak Nun bercerita singkat mengnai peristiwa di Italia itu. Ketika itu Kiai Kanjeng sebenarnya diundang untuk pementasan biasa di sebuah universitas. Tapi begitu mendarat, ada kabar Paus Johannes II sakit. Dua hari kemudian beliau meninggal dunia. Meninggalnya Paus berarti berhentinya seluruh kegiatan, termasuk sepak bola dan pementasan seni. Kiai Kanjeng diminta pentas untuk ikut menghormati meninggalnya Paus. “Dan itu tidak lantas membuat kita menjadi Katolik. Kita bisa kok bikin lagu bahkan untuk belalang yang meninggal. Ini semata-mata urusan kemanusiaan dan kebudayaan.”

Setelah pementasan itu, dua kota di Italia mengundang langsung Kiai Kanjeng. Di Teramo, pada Festival Teramo Citta Almondo, Walikota Teramo secara khusus selama 25 menit berpidato membahas musik Kiai Kanjeng yang dinilainya memiliki tingkat kreativitas yang canggih tapi tidak kompleks.

Di Napoli, Kiai Kanjeng diundang oleh seorang tokoh Katolik yang juga ketua panitia pembangunan masjid pertama di kota tersebut. Kiai Kanjeng pentas di Conservatorio Di Musica San Pietro A Majella, dimana rata-rata musisi klasik dunia pernah main di sana. Yang menonton adalah pejabat-pejabat tinggi, dan di situlah Cak Nun disapa sebagai Maestro.

“Maestro bukan berarti seorang ahli musik, tapi dia adalah yang njagani larinya musik ke sana jangan ke sini. Dia tidak harus bisa memainkan alat musik, tapi dialah yang mengerti rangkuman keseluruhan dari musik itu. Ini bukan kebanggaan, tapi kesenangan bahwa Kiai Kanjeng dihormati di mana-mana, kecuali di Indonesia. Kiai Kanjeng bisa main di komunitas apapun, diantara bangsa apa pun, di restoran, di mall, di pinggir jalan, di concert hall, di masjid, di gereja, di antara orang ateis. Kita adalah orang yang oleh Allah disembunyikan di dalam selendang cinta-Nya.”

PAWANG INDONESIA

“Kenduri Cinta ini kurang ngaji, kurang salawatan,” begitu yang diucapkan Toto Rahardjo di sesi selanjutnya. Dalam khasanah ilmu sosial, perubahan harus dicapai melalui gerakan sosial, tapi itu sudah tidak mungkin berhasil diterapkan untuk kondisi Indonesia saat ini. Diskusi sudah tidak cukup lagi, salah-salah nanti malah kepala kita tak kuat.

Sebuah kitab Jawa menyebutkan bahwa perubahan harus dimulai dari suara, salah satunya adalah dengan mocopat, sebuah bentuk wirid dalam bahasa Jawa. Kalau kita bandingkan wirid Jawa dengan wirid Arab, bahkan wirid Jawa paling keras yaitu wirid Ki Ageng Sela pun tidak memuat satu kalimat pun yang meminta Allah untuk menghancurkan, meluluhlantakkan, membinasakan. Dalam dunia Jawa tidak ada konsep musuh. “Menurut saya yang lahir dari wirid tahlukah adalah hasil dari refleksi itu juga.”

Cak Nun mengartikan saran-saran Toto sebagai ungkapan bahwa yang kita butuhkan saat ini adalah pawang Indonesia. Pawang menaklukkan macan bukan dengan kekuatan atau kepintaran, melainkan dengan resonansi kewibawaan. Begitu ada pawang, macan takluk dengan sendirinya. Tugas kita saat ini adalah mendekat kepada Maha Pawang supaya Dia bersedia mawangi Indonesia. Syarat utamanya adalah kita tidak boleh mengatur-ngatur pawang, maka kalimat awal dalam wirid tahlukah meminta bimbingan kepada Allah untuk mampu mengeluarkan kalimat yang tepat dan dijauhkan dari Setan.

TANGAN SILUMAN

Menjelang pukul 03.00 dini hari, Cak Nun mengajak jamaah seluruhnya memperbaiki posisi duduk untuk khusyuk memasuki alam kesadaran yang lebih tinggi dengan iringan gamelan Kiai Kanjeng.

“Pada 2014 kita terancam bubar, minimal pecah. Kalau pertahanan terakhir jebol, Indonesia tidak akan mampu bertahan. Yang anda alami: konflik apapun, fluktuasi berita-berita yang tidak ada ukurannya di media massa, infiltrasi-infiltrasi asing baik yang tampak maupun yang tidak, semua itu ditujukan untuk membuat anda rapuh dan bertengkar satu sama lain sehingga perampokan lebih mudah mereka lakukan.”

Cak Nun berpesan kalau ada batu yang terlempar, bukan tangan kita yang melemparkannya. Ada “tangan siluman” yang menggerakkan tangan kita untuk saling melempar batu di antara sesama kita sehingga saudara kita yang terkena lemparan batu itu menjadi lawan kita untuk selamanya. Berjuta-juta batu sedang dilemparkan ke seluruh nusantara, ada batu agama, batu syiah, batu perkebunan, dan batu-batu apa pun saja asalkan bisa membuat kita menjadi saling tidak percaya dan tidak berdaya. Kita semua sedang dicampakkan dalam rekayasa kerusuhan-kerusuhan.

Barangsiapa ingin Indonesia bubar, silahkan bertengkar, tuding-menuding, saling memfitnah, menggunakan kesempitan dan kedangkalan untuk menuduh kelompok-kelompok lain.

“Yang Maha Menciptakan, ciptakanlah kembali dan perindahlah ciptaanmu yang baru. Tinggal seutas tali kecil nasib kami, dan pangkal tali itu terletak di jari-jari kasih sayang-Mu ya Allah. Hanya Engkaulah yang bisa menolong kami.”