ALGORITME RAHMAT

reportase kenduri cinta edisi juni 2021

BULAN JUNI selalu menjadi momen yang istimewa bagi Kenduri Cinta. Karena bulan Juni adalah bulan kelahiran Komunitas Kenduri Cinta. Sebuah forum diskusi yang muncul di Taman Ismail Marzuki ini tentu saja pada awalnya tidak mungkin para pendirinya berani mencanangkan target untuk mampu bertahan hingga 20 tahun lamanya. Perjalanan ini dilalui sebisa mungkin dengan berbagai dinamikanya. Sebuah forum diskusi yang egaliter, mampu bertahan di tengah kerasnya ibu kota Jakarta. Menjadi titik temu bagi siapa saja yang telah merasakan keteduhan suasananya.

Kegembiraan yang dirasakan oleh semua para pelakunya sudah setahun lebih tidak dirasakan bersama. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk berkumpul bersama saat ini. Memang benar, saat ini berkumpul adalah sebuah kemewahan. Agak aneh rasanya jika menggunakan frasa ancaman, kenapa hanya berkumpul saja menjadi ancaman? Tetapi, memang itulah fakta yang harus kita hadapi saat ini.

Tentu tidak mengenakkan sama sekali. Mensyukuri 21 tahun perjalanan Kenduri Cinta dalam suasana yang serba terbatas. Tidak bisa melakukan Maiyahan seperti sebelumnya di Taman Ismail Marzuki, dengan jumlah orang yang juga tidak sebanyak biasanya, juga dengan durasi dan tata ruang juga tanpa pelantang suara yang memadai. Tapi, apapun itu, perjalanan 21 tahun Kenduri Cinta harus tetap kita maknai bersama.

Algoritme Rahmat. Sebuah judul yang diusulkan langsung oleh Cak Nun untuk menandai perjalanan 21 tahun Kenduri Cinta kali ini. Sudah pasti, apalagi kalau bukan karena rahmat Allah sehingga Kenduri Cinta mampu menapaki hingga tahun ke-21 dalam perjalanannya. Tentu saja, kita juga semua berharap bahwa hitungan ini tidak berhenti pada angka 21 saja. Cak Nun melengkapi tema kali ini dengan satu kalimat; Mengimani Sorga Syeikh Nursamad Kamba dan semua Sedulur Maiyah.

Memaknai rahmat atas anugerah dipersambungkannya Maiyah dengan Syeikh Nursamad Kamba, Bunda Cammana, Iman Budhi Santosa, Umbu Landu Paranggi hingga Kyai Muzzammil. Mereka yang telah memberi warna yang lebih semarak pada khasanah perjalanan Maiyah adalah rahmat Allah yang tidak mungkin untuk tidak kita syukuri.

Sinau Bareng di Pagi Hari

SALAH SATU hal yang sangat lekat dengan Maiyahan adalah berkumpulnya orang dalam jumlah yang banyak, dimulai sejak malam hingga menjelang subuh. Seperti yang pernah disampaikan oleh Cak Nun, bahwa Orang Maiyah adalah Man of All Season, secara mudah dipahami bahwa kita sebagai orang Maiyah harus mampu beradaptasi dalam segala situasi. Menjalani situasi pandemic seperti saat ini, sangat tidak elok jika kita memaksakan kehendak atas ego kita. Jalan kompromi harus dilalui, salah satu kompromi kita adalah dengan menyelenggarakan Maiyahan di pagi hari hingga siang hari. Sudah pasti, dengan protokol kesehatan yang ketat.

Awalnya, Kenduri Cinta edisi ke-215 ini sudah direncanakan akan diselenggarakan pada malam hari di tanggal 20 Juni 2021. Pada akhirnya, kita hanya bisa berencana. Setelah sebelumnya sudah mendapatkan izin untuk menggunakan sebuah lapangan di kawasan Jakarta Timur, terpaksa harus digeser lokasi pelaksanaannya. Waktu penyelenggaraannya pun harus diubah. Hal ini dilakukan karena merespons situasi hari-hari terakhir mengenai perkembangan pandemi Covid-19 di Jakarta. Dalam kurun waktu kurang dari 3 hari, para penggiat pun kembali memutar otak dan bekerja keras untuk mencari lokasi yang sangat representatif dan memenuhi persyaratan protokol kesehatan Covid-19. Akhirnya, dipilihlah Teras Joglo Ageng di wilayah Jakarta Selatan.

Begitu juga dengan publikasi yang disebar secara sangat terbatas. Penggiat Kenduri Cinta memutuskan untuk tidak secara massif menyebarluaskan informasi. Begitu juga dengan situasi di lokasi Maiyahan, semua Jamaah yang hadir pun menahan diri untuk tetap saling menjaga keamanan satu sama lain, tidak umuk untuk menyebarkan reportase langsung dari lokasi.

“Orang Maiyah punya algoritme berpikir dan algoritme batin dengan pemetaan keluar dan ke dalam dirinya  secara berbeda dari orang kebanyakan. Dan itu merupakan salah satu rahmat yang saya syukuri
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2021)

ACARA yang dimulai pada jam 8.30 WIB berlangsung lancar seperti biasanya. Cak Nun pun hadir sejak awal acara. Seperti Kenduri Cinta edisi Maret 2021 lalu yang dilaksanakan di Aula SMKN 27 Jakarta Pusat, semua yang memasuki area lokasi Maiyahan melewati screening ketat mulai dari pendataan hingga cek suhu tubuh. Penerapan protokol kesehatan pun diberlakukan dengan ketat. Begitu juga dengan Cak Nun yang datang ke Jakarta dengan moda transportasi darat. Bukan tanpa alasan, menggunakan mobil pribadi adalah pilihan paling aman dalam situasi seperti ini.

“Manusia itu dari zaman ke zaman itu mengikat dan memenjarakan dirinya sendiri”, Cak Nun mengawali Maiyahan pagi itu dengan merespons situasi akhir-akhir ini. Pilihan menggunakan moda transportasi darat dengan risiko durasi perjalanan yang lebih lama bukan merupakan sebuah pengorbanan yang berlebih, karena memang itu adalah pilihan yang bijak untuk saat ini. “Saya senang ketemu anda semua”, Cak Nun menyapa jamaah yang hadir.

Sebelum bulan puasa, Cak Nun bersama Koordinator Simpul sudah merencanakan untuk bertemu dengan para penggiat Simpul Maiyah yang dibagi berdasarkan zona lokasi. Di bulan Maret lalu, acara tersebut dilakukan di Sidoarjo dan Ponorogo. Kemudian, setelah tertunda karena satu dan lain hal, untuk zona Jawa Tengah diselenggarakan di minggu kedua bulan Juni ini di Wonosobo dan Demak.

“Orang Maiyah punya algoritme berpikir dan algoritme batin dengan pemetaan keluar dan ke dalam dirinya  secara berbeda dari orang kebanyakan. Dan itu merupakan salah satu rahmat yang saya syukuri”, Cak Nun melanjutkan sembari menjelaskan bahwa keinginan untuk berkumpul bersama seperti biasanya juga dirasakan oleh Cak Nun sehingga acara bertemu penggiat Simpul Maiyah di Jawa Timur dan Jawa Tengah itu dilaksanakan. Selain itu, Cak Nun juga ingin memastikan secara langsung, setidaknya dari Simpul Maiyah sendiri bahwa para penggiatnya telah berhasil melewati masa-masa yang sulit di masa pandemi  ini.

“Diantar anda sama Covid itu ada apa saja?”, Cak Nun memberikan alas diskusi di sesi awal. Jika kita jeli membaca seri Tetes di caknun.com akhir-akhir ini, Cak Nun kembali mengingatkan kita bahwa yang primer sejatinya saat ini adalah Allah. Sementara yang berkembang di dunia dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini tidak demikian. Manusia lebih mengutamakan ilmu pengetahuan untuk menjadi pijakan menghadapi situasi ini. Apakah ilmu pengetahuan tidak tepat untuk dijadikan pijakan? Tentu saja tepat. Sains memang pintu gerbang manusia untuk meneliti mengenai virus Corona yang saat ini menjangkit di seluruh dunia. Tetapi, yang ditegaskan oleh Cak Nun adalah bahwa jangan sampai manusia kehilangan kuda-kuda tauhidnya.

Jika digambarkan secara mudah, seolah-olah saat ini hanya ada manusia yang tidak berdaya yang sedang berhadapan dengan covid yang dianggap sengat berdaya, yang juga kemudian muncul varian mutasinya yang begitu cepat menyebar luas. “Hanya saja, masyarakat Indonesia ini kan sejak kecil dididik untuk melewati masa-masa ketidakjelasan, sehingga sangat sakti untuk melewati masa-masa yang tidak jelas seperti saat ini”, Cak Nun berkelakar dan disambut tawa jamaah.

“Anda kan asal-usulnya Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kemudian sifatnya (yang juga menjadi pijakan) adalah Laa haula walaa quwwata illa billah”, Cak Nun menambahkan. Tidak ada kuasa, tidak ada daya, kecuali pada Allah SWT. Tidak ada selain Allah yang berdaya, bahkan Rasulullah SAW sekalipun, hanya Allah. Begitu juga malaikat, jin, manusia, tumbuhan dan lain sebagainya. Hanya Allah SWT yang berdaya.

“Kita itu sama sekali tidak memiliki hidup kita”, Cak Nun menambahkan. Kita sebagai manusia sama sekali tidak mampu menumbuhkan diri kita sendiri, bahkan untuk menumbuhkan rambut kita, mengatur detak jantung kita, mengendalikan aliran darah, sampai urusan kencing pun kita tidak mampu mengaturnya. Pada posisi ini manusia seharusnya menyadari bahwa memang ia sangat tidak berdaya.

Cak Nun melanjutkan, bahwa dalam menyikapi situasi seperti pandemi Covid-19 seperti saat ini, di Maiyah sudah ada pijakan ilmunya. Tuhan berkuasa atas segala kejadian, dan terhadap kejadian itu kita memiliki 4 opsi. Ada kejadian, da peristiwa, ada penyakit atau ada apapun saja yang terjadi di dunia ini yang; pertama, diperintah oleh Tuhan. Kemudian yang kedua adalah yang diizinkan oleh Tuhan. Ketiga, yang dibiarkan oleh Tuhan dan yang keempat adalah yang merupakan adzab atau hukuman dari Tuhan.

Dalam melihat Covid ini, Cak Nun mengajak jamaah untuk tetap berusaha titis dalam mengambil sudut pandang. Mau seperti apapun, covid ini juga merupakan bagian dari Allah. Mungkin bisa saja covid ini adalah hasil dari kreatifitas manusia yang kemudian diizinkan oleh Allah untuk tumbuh, berkembang biak kemudian menyebar ke seluruh dunia, namun bisa juga covid ini dibiarkan oleh Allah. Tentu saja kita semua berharap bahwa covid ini bukan merupakan adzab dari Allah.

“Anda jangan pernah cemas, karena kecemasan anda bisa membuat Allah berkesimpulan bahwa anda tidak percaya sama Allah. Jangan sampai kita memiliki kecemasan apalagi sampai pada keputusasaan, sehingga Allah menyimpulkan bahwa kita tidak beriman kepada Dia dan tidak percaya keapda tanggung jawab Dia. Karena Allah yang bikin kita, maka Allah yang tanggung jawab atas diri kita
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2021)

TIGA LAPIS LANGIT DOA

CAK NUN menjelaskan, bahwa jika memang covid ini diperintah oleh Allah kehadirannya di tengah-tengah kita, atau setidaknya Allah mengizinkan kemunculannya, maka kita tidak perlu terlalu panik, karena Allah terhadap segala sesuatu yang Ia perintahkan atau Ia izinkan, selalu dibekali dengan perlindungan dan juga fasilitas. Tentu kita masih ingat bagaimana Cak Nun menjelaskan ayat-ayat Allah yang tidak difirmankan, seperti pada saat Nabi Musa membelah lautan. Allah sendiri yang memerintahkan Nabi Musa untuk memukulkan tongkat ke permukaan laut. Sementara yang tidak kita ketahui adalah bahwa Allah juga memerintahkan kepada air laut agar terbelah pada saat tongkat Nabi Musa menyentuh permukaannya. Jika kondisinya seperti mukjizat Nabi Musa itu, tentu kita tidak perlu panik, karena Allah pasti akan menyiapkan solusinya.

Cak Nun mundur satu langkah sejenak, mentadabburi beberapa ayat awal di Surat Al Baqoroh. Bahwa ketika kita melakukan sesuatu, perbuatan baik, berdakwah, mengingatkan orang lain, mengajak orang lain untuk berbuat baik, kita harus selalu waspada bahwa ada ayat Allah yang berbunyi; sawaaun ‘alaihim a andzartahum am lam tundzirhum laa yu’minuun. Bahwa sejatinya, batas kita pun hanya pada posisi mengingatkan. Dan juga, pada ayat yang lainnya Allah mengatakan; fii quluubihim marodhlo fazaadahumullahu marodhlo. Pada kondisi yang sudah terpojok, justru bisa jadi Allah sendiri yang kemudian menjerumuskan manusia, menambahi penyakit dalam hati manusia. Dan jika sudah demikian, maka manusia pun semakin jelas ketidakberdayaannya di hadapan Allah.

Salah satu dimensi dialektika antara manusia dengan Allah adalah dengan berdoa. Cak Nun menjelaskan bahwa berdoa itu tidak sama dengan meminta. Berdoa adalah sebuah dialektika kemesraan hubungan antara manusia dengan Allah. Dalam sebuah doa, manusia membawa harapan. Cak Nun menjelaskan bahwa puncak dari harapan yang dipanjatkan melalui doa adalah meyakini. Dalam satu seri Tetes; Tiga Lapis Langit Doa, Cak Nun menjelaskan posisi harapan dan keyakinan ini.

Ditambahkan oleh Cak Nun, bahwa jangan sampai kita melampaui batas hingga tahap kepastian. Manusia sama sekali tidak memiliki hak untuk memastikan atas apa yang ia yakini. Dalam khasanah Maiyah, Cak Nun sudah lama menjelaskan bahwa tugas kita sebagai manusia seperti seorang petani, menanam kemudian merawat apa yang kita tanam, sembari berharap untuk panen. Kepastian untuk panen tetap menjadi hak prerogatif Allah. Cak Nun mengingatkan bahwa yang harus dijaga oleh kita adalah jangan sampai kita tidak yakin atas harapan kita, kemudian kita berputus asa atas harapan kita kepada Allah. Dan bats tertinggi kita adalah meyakini atas harapan itu, bukan memastikan. “Jangan sampai keyakinanmu kebablasan menjadi kepastian”, Cak Nun mengingatkan.

Antara “Allah pasti melindungi saya” dengan “Saya yakin atas perlindungan Allah” itu memiliki rentang jarak yang sangat tipis. Pada titik inilah Cak Nun mengingatkan kita agar jangan sampai terpeleset melebih batas yang semestinya memang tidak boleh dilanggar oleh manusia. Atas algoritme rahmat Allah, kita berharap dan meyakini itu semua, tetapi kita jangan sampai memastikan apa yang memang menjadi hak prerogatif Allah atas hidup kita dan atas apa yang sudah kita lakukan. “Jadi sehari-hari, hatimu mencari presisi. Jadi jangan sampai anda putus asa, kemudian menyimpukan bahwa Allah tidak menolong, tetapi juga jangan memastikan bahwa Allah menolong”, Cak Nun Menambahkan.

“Anda nanti pulang ke rumah, melembutkan pandangan batinmu supaya anda tidak melorot menjadi putus asa”, Cak Nun memberikan satu lagi bekal tambahan bagi jamaah untuk menghadapi situasi seperti hari ini. Bagaimana diantara kita juga tidak memiliki pandangan yang kompak mengenai Covid, antara Pemerintah dengan para ilmuwan, dengan para dokter, dengan para tenaga kesehatan di lapangan pun acapkali tidak seragam langkahnya. Apalagi rakyat yang juga memiliki pandangan sendiri mengenai Covid. Cak Nun mengingatkan kembali bahwa kita semua memiliki landasan tauhid, maka hal itu seharusnya menjadi bekal utama untuk jangan sampai menihilkan peran Allah dalam kita menghadapi situasi pandemi ini. “Kalau anda berdoa, kan yang dilihat hatimu”, Cak Nun menambahkan.

Cak Nun mengingatkan kembali bahwa Allah memiliki ayat-ayat yang tidak difirmankan, maka kita juga harus memiliki kepekaan tersebut. Misalnya, saat kita ditanya oleh kawan kita; “Bagaimana kabarmu”, kemudian kita menjawab; “Alhamdulillah, sehat”, akan lebih baik lagi jika kemudian kita menambahkan; “Alhamdulillah, sehat. Karena Allah memang belum memberi saya sakit”. Karena memang begitulah hidup, bukan kita yang menentukan kita sehat atau sakit, kita hanya mampu mengupayakan agar kita tetap sehat. “Jadi, tolong ya anak-anakku sekalian, hatinya ditata kembali setiap hari. Jangan sampai melorot dari keyakinan menjadi ketidakpercayaan, bahkan sampai keputusasaan. Tetapi juga jangan sampai kebablasan sampai ke tinggak memastikan”, Cak Nun kembali menegaskan mengenai tiga lapis langit doa.

Ojo kewedèn lan ojo kemendel”, Cak Nun menambahkan agar kita jangan sampai pada tingkat terlalu takut, tetapi juga jangan sampai terlalu berani. Atau jika kita menggunakan khasanah jawa; ojo gumunan, ojo kagetan, lan ojo dumeh. Ada Covid, ya tidak perlu kagum dan juga kaget, toh memang kita hidup di dunia yang penuh dengan virus dan bakteri. Tapi juga ojo dumeh. Cak Nun menjelaskan bahwa “ojo dumeh” itu pagar untuk 2 terminologi sebelumnya; ojo gumunan, ojo kagetan. Sementara yang sering kita lihat dan juga terkadang kita alami sendiri akhir-akhir ini adalah kita melupakan pagar “ojo dumeh” itu tadi. Semakin terlena karena kita mudah kagum dan mudah kaget, kemudian terbius oleh pencitraan-pencitraan. Karena kalau sudah dumeh, maka kita akan mudah untuk meremehkan kemudian menyombongkan diri. Maka, kita jangan sampai meremehkan. Termasuk Covid ini juga kita jangan sampai meremehkan.

Banyak yang mengatakan bahwa Indonesia baru akan mencapai puncak dari gelombang pertama dari pandemi Covid-19 ini. Belum memasuki gelombang kedua saja kita sudah kalang-kabut, ketakutan. Belum lagi varian mutase dari Covid-19 ini sudah menyebar juga ke beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Dan kita juga tidak akan tahu akan sampai hingga berapa gelombang pandemi Covid-19 di Indonesia ini. “Ya kalau cuma sholat subuh, 2 rakaat. Lha kalau seperti sholat tarawih? 23 rakaat?”, Cak Nun berkelakar yang kemudian disambut tawa jamaah.

“Anda jangan pernah cemas, karena kecemasan anda bisa membuat Allah berkesimpulan bahwa anda tidak percaya sama Allah. Jangan sampai kita memiliki kecemasan apalagi sampai pada keputusasaan, sehingga Allah menyimpulkan bahwa kita tidak beriman kepada Dia dan tidak percaya keapda tanggung jawab Dia. Karena Allah yang bikin kita, maka Allah yang tanggung jawab atas diri kita”, Cak Nun melanjutkan. Dalam Al Qur’an Surat Hud ayat 6 Allah berfirman; wamaa min daabbatin fi-l-ardhli  illa ‘alallahi rizquhaa. Bahwa setiap makhluk yang diciptakan oleh Allah sudah ada rezekinya. Dalam Mocopat Syafaat edisi Juni lalu, personel KiaiKanjeng; Mas Doni, Mas Imam dan Mas Jijit menyampaikan pengalaman mereka selama pandemi ini dan membuktikan sendiri betapa Allah sangat Maha Pengasih dan Penyayang. Mereka sendiri membuktikan rumus bahwa rezeki Allah itu benar-benar  min haitsu laa yahtasib.

Selama kita mendayagunakan anugerah Allah, tangan kita gunakan untuk berkarya, kaki kita gunakan untuk melangkah, fikiran kita kita gunakan untuk mengkreatifi apa saja yang ada dalam hidup ini, terus berbuat baik, maka sesungguhnya tidak ada alasan untuk berputus asa.

Cak Nun kemudian memberikan informasi bahwa pada tanggal 7 Juli 2021 nanti, bertepatan dengan hari ulang tahun Cak Fuad, akan dirilis “Mushaf Al Qur`an, Tadabbur Mayah Padhangmbulan”, yang ditulis oleh Cak Nun bersama Cak Fuad. Mushaf tersebut akan dirilis di Malang.

“Tugas kita sebagai manusia adalah menanam kebaikan. Hasilnya adalah kehendak Allah
Ustadz Noorshofa Thohir, Kenduri Cinta (Juni, 2021)

MENGIMANI SORGA SYEIKH NURSAMAD KAMBA

USTADZ NOORSHOFA pagi itu hadir dan bergabung bersama Cak Nun di Panggung sejak awal. Ia bercerita bahwa sebelumnya istrinya sempat terpapar Covid-19 dan Ustadz Noorshofa pun harus menjalani karantina selama 14 hari, sementara istrinya harus dirawat di Rumah Sakit. Alhamdulillah, saat ini semua sudah sehat kembali. Di akhir Ramadhlan lalu, Cak Nun sempat bersilaturahmi ke kediaman Ustadz Noorshofa dan berbincang-bincang santai setelah Tarawih.

“Ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari sebuah kisah antara Raja dengan seorang Petani”, Ustadz Noorshofa bercerita tentang sebuah kisah perjalanan seorang Raja yang pada suatu hari berkeliling ke sebuah desa di wilayah kekuasaannya. Di sebuah ladang, ia mendapati seorang petani yang sudah tua renta namun masih sibuk menanam di ladangnya. Sang Raja pun kemudian turun dair kudanya dan menemui si Petani dan bertanya, untuk apa ia masih menanam padahal belum tentu ia akan merasakan panen. Si Petani menjawab, menanam itu urusan manusia, berjuang untuk mengolah tanah di ladang kemudian menanam benih, itu tugas manusia. Kita memang tidak akan pernah tahu apakah kita akan merasakan panen atau tidak, itu urusan Allah. Tugas manusia adalah berbuat baik.

Si Petani menambahkan, bahwa ketika benih yang ia tanam itu tumbuh, kemudian menjadi pohon besar yang rindang, lalu ada orang dating untuk berteduh, tentu itu akan menjadi sebuah pahala kebaikan. Sang raja gembira mendengar penjelasan si Petani, maka Raja pun memberi sekantung uang kepada Petani. Petani pun menyebut sebagai panen sebelum waktunya. Bahkan ketika pohon itu belum tumbuh, ia sudah memberi rezeki kepada yang menanamnya. “Tugas kita sebagai manusia adalah menanam kebaikan. Hasilnya adalah kehendak Allah”, lanjut Ustadz Noorshofa.

Ustadz Noorshofa menukil ayat pertama dari Surat Al Insan. Dari ayat tersebut, Ustadz Noorshofa mentadabburi perjalanan almarhum Syeikh Nursamad Kamba dan Kyai Muzzammil bersama Maiyah dan juga Kenduri Cinta khususnya. Perjalanan waktu yang tidak sebentar bagi mereka saat bersentuhan dengan kita semua Jamaah Maiyah. Sehingga apa yang dibawa oleh beliau berdua menjadi sesuatu yang berharga bagi kita semua. 21 tahun Kenduri Cinta bukan perjalanan yang sebentar, dan kita semua pasti berharap agar Kenduri Cinta ini terus berjalan menapaki tahun demi tahun, hingga entah kapan.

Ustadz Noorshofa mengingatkan agar kita semua benar-benar menghargai waktu yang kita miliki, sehingga kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi seluruh makhluk.

Mbak Fatin, istri Syeikh Nursamad Kamba juga turut berbagi rasa, mensyukuri 21 tahun Kenduri Cinta. Mbak Fatin merupakan salah satu penyair yang dulu sering berkumpul bersama penyair-penyair senior di Taman Ismail Marzuki. Dan Mbak Fatin juga ikut terlibat dalam proses Kenduri Cinta di tahun-tahun awal bersama teman-teman penyair lainnya. Maka tidak mengehrankan jika Kenduri Cinta tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan Taman Ismail Marzuki.

“Ini Kak Nur jika suatu hari bertemu dengan Cak Nun pasti akan sangat cocok”, Mbak Fatin saat itu bergumam, bahwa Cak Nun adalah orang yang cocok untuk bersahabat dengan Syeikh Nursamad Kamba. Sampai akhirnya pertemuan antara Cak Nun dengan Syeikh NUrsamad Kamba benar-benar terjadi, ketika Syeikh Nursamad Kamba ditugaskan menjadi atase pendidikan dan kebudayaan KBRI di Kairo, Mesir, mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Mesir meminta bantuan kepada Syeikh Nursamad Kamba agar Cak Nun dan KiaiKanjeng bisa hadir di Kairo. Syeikh Nursamad Kamba kemudian meminta tolong kepada Mbak Fatin untuk menghubungi Cak Nun agar bersedia dating ke Mesir.

Dan persahabatan antara Cak Nun dengan Syeikh Nursamad Kamba pun bermula dari momen pertemuan saat itu di Mesir. Sesuai dengan prediksi Mbak Fatin, bahwa Syeikh Nursamad Kamba sangat cocok dengan Cak Nun. Saking akrabnya, ketika saling berkirim SMS antara Cak Nun dengan Syeikh Nursamad Kamba, jika salah satu diantara beliau berdua lama dalam memblasa SMS, maka akan merasa gusar dan bertanya-tanya. Uniknya, masing-masing akan bertanya melalui istri masing-masing untuk mencari kebenaran informasi. Cak Nun bertanya kepada Mbak Via, kemudian Syeikh Nursamad Kamba bertanya kepada Mbak Fatin tentang kenapa SMS-nya belum dibalas.

Perjalanan Cak Nun, Mbak Via dan KiaiKanjeng ke Mesir tidak bisa terlepas dari peran Syeikh Nursamad Kamba. Cak Nun, Mbak Via dan KiaiKanjeng pentas di beberapa kota di Mesir, dengan jumlah penotnton yang tidak sedikit. Salah satu alasan kenapa saat itu KiaiKanjeng menjadi daya tarik bagi masyarakat Mesir, bukan hanya mahasiswa Indonesia yang ada di sana, karena KiaiKanjeng mampu membawakan lagu-lagu Umi Kultsum dengan aransemen khas KiaiKanjeng yang semarak.

Pengalmana perjalanan Cak Nun, Mbak Via dan KiaiKanjeng ke Mesir bukan hanya sebatas pentas musik saja. Rombongan bahkan menaiki Gunung Sinai, bersholawat di atas kapal saat menyebrang di sungai Nil. Bahkan sampai masuk di makam Fir’aun, dan diperlihatkan isi peti jenazah Fir’aun, yang tidak sembarangan orang boleh melihatnya. Ada banyak tempat-tempat yang dikunjungi oleh rombongan yang diluar dugaan bisa dikunjungi, yang tidak sembarangan orang bisa mengunjunginya saat di Mesir. Dan tentu saja itu berkat jasa Syeikh Nursamad Kamba.

Cak Nun menambahkan, keakraban Mbak Via dengan Syeikh Nursamad Kamba pun memiliki keunikannya tersendiri. Bahwa setiap ada momen pertemuan antara Syeikh Nursamad Kamba dengan Mbak Via, maka masing-masing akan saling bertukar perbendaharaan tebak-tebakan dan humor. Hal ini diamini oleh Mbak Fatin yang juga merupakan salah satu saksinya.

“Buya Kamba termasuk orang yang sukses ngajak aku sholat”, Sudjiwo Tedjo turut berbagi cerita persentuhannya dengan Syeikh Nursamad Kamba. Seme seperti Cak Nun, Mbak Fatin adalah orang yang memperkenalkan Syeikh Nursamad Kamba dengan Sudjiwo Tedjo. Pada satu momen, Sudjiwo Tedjo datang ke Jeddah, saat Syeikh Kamba bertugas menjadi atase Haji di KBRI Jeddah. Dan saat Mas Tedjo memasuki kamar yang sudah disediakan, sudah tergelar sebuah sajadah. Bagi Mas Tedjo, itu adalah pertanda dari Syeikh Nursamad Kamba agar ia sholat.

Momen lain yang juga sangat berkesan adalah saat Sudjiwo Tedjo rekaman lagu Asmaul Husna ditunggui oleh Syeikh Nursamad Kamba dan Mbak Fatin. Bahkan, Syeikh Nursamad Kamba turut melengkapi syair lagu tersebut. Keakraban yang terjalin antara Keluarga Cak Nun dengan Syeikh Nursamad Kamba juga dirasakan oleh Mas Sudjiwo Tedjo. Dikisahkan oleh Mas Tedjo, Istri Mas Tedjo sendiri akhirnya juga akrab dengan Syeikh Nursamad Kamba bahkan menjadi “polisi” bagi Syeikh Nursamad Kamba ketika makan. Istri Mas Tedjo yang mengingatkan mana makanan yang boleh dimakan atau tidak oleh Syeikh Kamba.

“Menurut saya, yang harus kita lakukan sekarang adalah, berbuat apapun saja yang menurut fikiran dan hatimu yang kompatibel terhadap rahmat Allah. Jadi jangan melakukan apa saja yang tidak satu gelombang dengan rahmat Allah”, Cak Nun menambahkan. Seperti yang sudah pernah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pun pernah menyampaikan bahwa yang membuat manusia diizinkan oleh Allah untuk masuk sorga adalah karena rahmat Allah. Maka, yang diperjuangkan oleh kita semua melalui berbuat baik adalah dalam rangka mendapat rahmat Allah.

“Rasulullah tidak pernah berdakwah dalam rangka mengislamkan orang. Tetapi yang diislamkan adalah perilakunya”, Cak Nun menambahkan bagaimana Rasulullah SAW dahulu juga dalam berdakwah merangkul semua golongan, terlebih saat itu ummat muslim posisinya dalah minoritas saat di Mekkah maupun Madinah. Begitu juga dengan Bahasa arab, Cak Nun menjelaskan bahwa jangan dipahami bahwa Al Qur`an isinya Bahasa Arab, tetapi yang harus dipahami adalah Allah menurunkan wahyu Al Qur`an menggunakan Bahasa Arab. Mudahnya, Cak Nun memberi contoh; Sutardji Calzoum Bachri menulis puisi dengan Bahasa Indonesia akan sangat berbeda dengan Cak Nun menulis puisi dengan Bahasa Indonesia. Maka, Allah menurunkan wahyu Al Qur`an dengan menggunakan Bahasa Arab karena Bahasa arab sudah di-install oleh Allah di dalam Al Qur`an, maka tidak ada satu pun penyair-penyair arab di zaman Rasululllah SAW yang mampu menandingi susunan kata-kata dalam ayat-ayat Al Qur`an, meskipun mereka sangat lihai dalam menyusun karya-karya sastra.

“Saya itu tidak percaya bahwa Syeikh Nursamad Kamba meninggal dunia”, Cak Nun menjelaskan bahwa dimensi kehidupan manusia itu tidak bisa didikotomi hanya dengan hidup dan mati di dunia. Sementara di Al Qur`an kita mengenal istilah kholidiina fiiha abadaan. Bagaimana semestinya kita memahami dimensi hidup dan mati? Kalau kita mati, lalu bagaimana mekanisme kita menjawab pertanayan-pertanyaan malaikat ketika di alam kubur? Maka pertanyaan Cak Nun selanjutnya adalah; manusia itu sejatinya makhluk jasmani atau ruhani?

Cak Nun mencuplik Surat Ali Imron ayat 169; Walaa tahsabannalladziina qutiluu fii sabiilillahi amwaataa bal ahyaa ‘inda rabbihim yurzaquun. Ada nomenkelatur Allah yang membuktikan bahwa orang-orang yang disangka oleh kita mati sejatinya mereka masih hidup dan bahkan ditanggung rezekinya oleh Allah. Manusia dengan keterbatasan ilmunya tidak mampu menjangkau kehidupan dan rezeki apa yang dimaksudkan oleh Allah Swt dalam ayat tersebut. Namun, setidaknya kita memahami bahwa algoritme Allah itu sangat kompleks dan tmemang seringkali tidak masuk akal bagi manusia. “Karena kita tidak mau belajar kepada Al Qur`an untuk memahami kehidupan yang dikehendaki oleh Allah, maka kita sampai hari ini, maka kita tidak pernah bisa memahami hakikat kehidupan yang sejati”, Cak Nun menambahkan.

“Hidup itu tidak sementara. Hidup itu abadi, kita itu abadi. Pol abadinya. Kholidiina fiiha abada. Yang sementara adalah tahap biologi, tahap materialisme. Bumi ini sementara, planet-planet ini sementara. Tapi kita tidak ikut hidup dalma kesementaraan. Kita hidup abadi, bahkan kekal abadi. Meskipun kita tidak tahu bagaimana bentuk kekal abadi”, Cak Nun menjelaskan lebih dalam. “Saya ini sama Syeikh Nursamad Kamba bukan hanya berhutang budi, tapi juga belum selesai perjuangannya. Ibaratnya ini kemarin rakaat pertama saja belum selesai, dan saya yakin akan ada rakaat kedua bersama Syeikh Nursamad Kamba”, Cak Nun menambahkan.

“Kita ngumpul Maiyahan seperti ini kan menikmati rahmat Allah. Jadi ini adalah pekerjaan sorga”, tandas Cak Nun. Energi yang muncul dalam setiap Maiyahan adalah energi bahagia, energi gembira, energi kebersamaan, energi sinau bareng. Termasuk sinau bareng untuk mentadabburi Al Qur`an.

“Rasa syukur kita atas 21 tahun Kenduri Cinta ini harus sebanyak mungkin kita kasih muatan-muatan rasa syukur kepada Allah, untuk supaya hari-hari berikutnya kita berada di dalam maziidattullah. Allah selalu memberikan tambahan-tambahan kepada hidupmu, berupa hidayah, ilmu, rezeki dan sebagainya, kesadaran baru, keinsyafan baru dan seterusnya.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2021)

DI MAIYAH, Cak Nun selalu mengajak kita untuk merdeka dalam mempelajari Al Qur`an. Misalnya, ayat Alif lam mim, dalam semua terjemah Al Qur`an selalu ditulis; hanya Allah yang mengetahui maknanya. Sementara, sejak awal Allah sendiri mewahyukan Al Qur`an dengan diawali perintah Iqro’. Cak Nun menggunakan pijakan perintah Iqro’ agar juga digunakan oleh kita sebagai pijakan awal untuk berani merdeka memahami Al Qur`an, sehingga tidak terkurung dalam tafsir-tafsir yang ada saat ini.

Mengapa demikian? Cak Nun menjelaskan bahwa Iqro’-nya seorang petani tentu berbeda dengan Iqro’-nya seorang sarjan. Seorang petani yang benar-benar Iqro’ terhadap alam, bisa jadi lebih andal dalam bertani daripada seorang sarjana pertanian, karena metode Iqro’-nya berbeda. Begitu juga, bukan berarti orang Arab yang menguasai Bahasa Arab dijamin lebih mampu untuk mengaplikasikan Iqro’ dibanding dengan orang yang tidak memahami Bahasa Arab. Cak Nun menegaskan bahwa hal ini merupakan bukti bahwa Bahasa Arab itu bukanlah Bahasa AL Qur`an, karena sejatinya Al Qur`an bisa di-Iqro’ oleh siapapun saja, bahkan oleh mereka yang sama sekali tidak memahami Bahasa Arab sekalipun. Sehebat-hebatnya manusia memahami Bahasa Arab tidak akan mampu membuat tandingan Al Qur`an, sekalipun 1 ayat. Dan Allah sudah menjamin itu.

Kembali ke surat Ali Imron 169, Cak Nun menggarisbawahi kata yurzaquun, bahwa Allah sendiri yang akan menjamin rezeki kita setelah hidup di dunia ini, setelah mengalami transformasi berupa maut. Cak Nun mengingatkan bahwa subyek dari pemberi rezeki itu adalah Allah. Sama hal dengan ayat lain di surat Ath-Thalaq ayat 2-3;  Wa man yattaqillaaha yaj’al lah makhrojan, wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib, wa man yatawakkal ‘alallaahi fahuwa hasbuhuu,Innallaaha baalighu amrihii, qad ja’alallaahu likulli syai ing qadran.

Dari ayat tersebut, manusia sebagai pelaku taqwa, sementara Allah menjamin solusi rezeki, bahkan dari jalan yang tidak disangka-sangka. Cak Nun mengingatkan bahwa di setiap rezeki kita selalu ada peran Allah, maka dalam Islam terdapat rumusan zakat, infaq, sedekah dan lain sebagainya, tidak lain adalah untuk dalam rangka agar manusia selalu ingat, bahwa di setiap rezeki yang ia terima dari Allah selalu ada peran Allah. “Dan yang selalu saya lakukan itu adalah saya yakin bahwa Allah benar-benar akan membuktikan itu (memberi rezeki). Dan keyakinan saya membabi buta terhadap Allah. Dan saya sangat yakin.”, tegas Cak Nun.

Sinau Bareng Kenduri Cinta edisi ke-215 dalam rangka mensyukuri 21 tahun Kenduri Cinta dan juga 1 tahun wafatnya Syeikh Nursamad Kamba siang itu dipuncaki dengan penampilan Krist Segara yang juga berduet dengan Mas Sudjiwo Tedjo, kemudian Mas Ian L. Betts menitipkan sebuah puisi “21 Tahun Kenduri Cinta” yang dibacakan oleh Mas Iwan Gunawan. Sebagai ungkapan syukur, Tri Mulyana kemudian memotong tumpeng bersama Cak Nun yang kemudian secara simbolis diserahkan kepada Ustadz Noorshofa.

“Rasa syukur kita atas 21 tahun Kenduri Cinta ini harus sebanyak mungkin kita kasih muatan-muatan rasa syukur kepada Allah, untuk supaya hari-hari berikutnya kita berada di dalam maziidattullah. Allah selalu memberikan tambahan-tambahan kepada hidupmu, berupa hidayah, ilmu, rezeki dan sebagainya, kesadaran baru, keinsyafan baru dan seterusnya”, Cak Nun memuncaki.