AL-BIRR

Reportase Kenduri Cinta APRIL 2019

Setelah diawali dengan pembacaan doa Tahlukah, forum maiyah Kenduri Cinta edisi bulan April 2019 dibuka. Tri Mulyana yang malam itu ditunjuk sebagai moderator, membuka diskusi dengan mengajak penggiat dan jamaah untuk mengelaborasi tema.

“Perbuatan baik sejatinya naluri setiap manusia,” kata Adi Pudjo mengawali. Adi berpendapat bahwa kebaikan-kebaikan yang dilakukan manusia merupakan tindakan naluriah dari peran khalifah yang telah tertanam pada setiap diri manusia. Maka Maiyah tidak hanya mengajak manusia untuk berbuat baik, tapi lebih dari itu, yaitu bagaimana menemukan kenikmatan dalam berbuat baik.

Malam itu, jamaah terlihat antusias merespon tema. Tak hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan, tetapi juga ikut menyampaikan pandangan mereka. Tak melulu tentang tema, beberapa jamaah juga mengemukakan keresahan hidupnya. Seperti seorang jamaah yang malam itu mengungkapkan kesedihan karena ditinggal menikah oleh kekasih hatinya. Salah satu jamaah justru membuka diskusi dengan merespon desain poster acara yaitu ilustrasi garuda yang terpecah-pecah. Menurutnya, seperti itulah cerminan bangsa saat ini, meski banyak yang lantang meneriakkan “Bhinneka Tunggal Ika” namun faktanya bangsa ini sedang terpecah belah.

Begitulah suasana forum Kenduri Cinta, siapa saja diberi ruang untuk berbicara tentang apa saja. Suasana kebersamaan telah menjadi daya tarik tersendiri dari forum ini. 60 lebih forum serupa telah terbangun di berbagai daerah dengan kemiripan yang sama. Terbuka, egaliter, guyub serta saling belajar bersama.

Interaksi yang terjadi tak hanya antara pembicara dan jamaah, tapi juga antar jamaah. Mereka saling merespon. Ketika ada yang menyampaikan bahwa seluruh kerusakan yang terjadi di Indonesia hanya bisa diubah oleh Allah Swt, jamaah lain merespon dengan menyampaikan “Kenapa harus menunggu Tuhan turun tangan, lantas apa tugas kita sebagai manusia?”

Forum Kenduri Cinta adalah arena pembelajaran bersama. Saling mengenal perbedaan dan belajar toleransi. Sebab toleransi hanya bisa dibangun dengan saling mengenal. Willingness to understand each other is the precursor to tolerance.

Forum diskusi juga membahas rumusnya Rasulullah SAW untuk menjadi orang baik, yaitu dengan mengamankan tiga hal dari orang-orang di sekitar kita: harta, martabat, dan nyawa. Asalkan bisa menjamin tiga hal itu maka beres kehidupan bermasyarakat kita. Sebab, seluruh persoalan bermuara pada tiga hal tersebut. Persoalan korupsi misalnya, terjadi karena ada ketidakamanan harta. Ketika berbicara persoalan maraknya perundungan, terjadi karena tidak mampu masyarakat untuk saling mengamankan martabat antara satu dengan yang lain. Menjadi orang baik ternyata bukan hal sulit jika kita mengikuti rumus itu.

Diskusi merambat ke persoalan yang lebih filosofis, jika berbuat baik adalah hal yang naluriah dari manusia, mengapa masih banyak orang yang melakukan perbuatan buruk? Mengapa orang beragama namun masih juga korupsi? Mandat khalifatullah pada sisi lain memang membuat manusia memiliki kemampuan serta kemungkinan untuk melakukan sesuatu di luar takdirnya, melakukan hal yang ia kehendaki. Ada waktu dan keadaan dimana Allah membiarkan kita melakukan apa saja.

Tema Kenduri Cinta malam itu adalah Al-Birr. Al-Birr merupakan salah satu dimensi kebaikan yang sifatnya sangat inti, sakral, skalanya vertikal, online langsung dengan Allah. Birrun berbeda dengan khoir, ma’ruf, ihsan, sholeh apalagi thoyyib. Kenapa kemudian orang yang menunaikan ibadah haji mendapat predikat mabrur, salah satu alasannya adalah karena wilayah birrun dalam ibadah haji bersifat sangat privat. Ibadah haji tak sekadar ritual ibadah semata, namun sebuah perjalanan spiritual yang sangat mendalam.

Kenduri Cinta adalah arena pembelajaran bersama. Saling mengenal perbedaan dan belajar toleransi. Sebab toleransi hanya bisa dibangun dengan saling mengenal.

KEBENARAN YANG PATUT

Setelah diskusi panjang, forum lantas diisi dengan aktivitas kesenian. Dhimas, jamaah Kenduri Cinta, malam itu membacakan puisi Cak Nun berjudul Kemana Anak-Anak Itu, dilanjutkan dengan penambilan musik dari Amesh Band. Setelah jeda puisi dan musik, Tri Mulyana bersama Fahmi Agustian tampil ke depan memoderasi diskusi sesi berikutnya. Hadir bersama mereka, Habib Husein Ja’far Al Hadad.

Malam itu adalah penyelenggaraan forum Kenduri Cinta yang ke-200. Selama kurun waktu 19 tahun terakhir, Kenduri Cinta telah menjadi oase di tengah ibukota. Forum ini dibangun oleh komunitas yang anggotanya telah banyak berganti, namun semangat dan nilai-nilainya masih kuat bertahan hingga hari ini.

Mengawali paparannya, Husein Ja’far menyoroti generasi millenial yang memiliki kecenderungan perilaku baru, memperbaiki perilaku generasi sebelumnya. Salah satunya dalam hal mempelajari agama. Husein Ja’far melihat forum-forum seperti Kenduri Cinta adalah celah yang harus dimanfaatkan untuk membentuk generasi millenial menjadi generasi yang berkualitas. Forum seperti Kenduri Cinta ini dinilai oleh Husein Ja’far telah menjadi medium yang mengakomodasi anak-anak muda dalam menemukan kesejatian nilai-nilai hidup.
Ia pun mencoba melakukan berbagai cara, memanfaatkan media-media yang populer di kalangan generasi milenial, seperti media sosial dan Youtube, untuk mengangkat pembelajaran agama. Tujuannya, agar anak-anak muda memiliki wawasan yang lebih luas tentang Islam.

Malam itu, Husein Ja’far mentadabburi ayat Laqod jaa’akum raasulun min anfusikum aziizun ‘alaihi maa anittum bi-l-mu’miniina rouufur-r-rohiim. Allah menunjuk pribadi Muhammad bin Abdullah untuk menjadi Rasulullah. “Muhammad adalah sosok manusia yang luar biasa. Seluruh hidupnya digunakan untuk berjuang mengajak manusia menuju kebaikan. Berbagai cara, metode dan pendekatan dilakukan oleh Rasulullah SAW agar seluruh umat manusia terselamatkan. Beliau mengalami penghinaan, penganiayaan, penderitaan namun tidak berkurang sedikit pun kemuliaan pada dirinya,” tutur Husein Ja’far.

Ia menambahkan, “In ahsantum, ahsantum li anfusikum, wa in asa’tum falahaa. Rasulullah SAW, meskipun dianiaya sedemikian rupa, seperti hendak menyampaikan pesan, bahwa jika kita melakukan penganiayaan kepada orang lain itu kerugiannya akan kita rasakan sendiri. Saat kita berbuat baik pun demikian. Maka alangkah indahnya jika kita semua berlomba-lomba dalam kebaikan. Rasulullah SAW tidak pernah sedikit pun marah atas penganiyaan yang ia terima, justru yang selalu ia cari adalah bagaimana caranya agar orang-orang yang menganiaya dirinya diampuni oleh Allah Swt, sehingga ia selamat ketika kelak di hadapan Allah.”

Merespon tema, Husein Ja’far menjelaskan bahwa istilah-istilah dalam Alquran meskipun ketika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya sama, tetapi memiliki kadar makna yang berbeda. Seperti kata khoir, ma’ruf, birrun, ihsan, dan sholeh, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya bisa sama: kebaikan. Tetapi, masing-masing kata sebenarnya memiliki presisinya masing-masing, sehingga tidak setiap kata tersebut bisa digunakan sama. Ditambahkannya, bahkan kata yang sama, misalnya khoir, di dalam Alquran akan memiliki makna yang berbeda ketika dijelaskan dalam ayat yang berbeda. Satu kata bisa memiliki makna yang berbeda di ayat yang lainnya. “Salah satu keagungan Alquran adalah tidak ada sinonim pada kata yang sama. Karena itu presisi di dalam Alquran itu adalah sebuah keniscayaan,” jelas Husein Ja’far.

Husein Ja’far menttadabburi Al-Birr dari Surat Al-Baqarah ayat 177, dimana yang dimaksud oleh Allah bukan tentang persoalan ke arah mana kita menghadap saat beribadah, namun lebih luas dari itu. Bahkan, di ayat tersebut Allah menjelaskan, mulai dari rukun Iman, rukun Islam hingga berbuat baik kepada sesama manusia. Semuanya tercakup dalam ayat tersebut. Sehingga, kata birr itu sendiri adalah sebuah konsep ritual ibadah kepada Allah yang bermuara pada spiritualitas pada setiap masing-masing pribadi.

“Forum seperti Kenduri Cinta ini adalah celah yang harus dimanfaatkan untuk membentuk generasi muda menjadi generasi yang berkualitas.”
Husein Ja’far, Kenduri Cinta (April, 2019)

Husein Ja’far menambahkan, pencapaian tingkat Birr tidak sekadar pada tata cara ritual ibadah. Misalnya dalam haji, bukan sekadar ber-ihram, thawaf, sa’i hingga wukuf saja, namun lebih dari itu, dampak positif setelah kita menunaikan haji itulah yang akan mengantarkan kita pada posisi Mabrur.

Husein Ja’far menganjurkan agar manasik haji di Indonesia bukan hanya tentang tata cara pelaksanaan ibadah, tetapi juga menggali nilai-nilai dan falsafah dari setiap ritual. Karena dari falsafah itulah mengapa kemudian ada derajat Mabrur dalam ibadah haji. Sama seperti salat, bukan sekadar dimulai saat takbiratu-l-ihram dan diakhiri dengan salam, kekhusyukan salat tidak terletak pada prosesinya, melainkan pada transendensi kita dengan Allah ketika salat.

“Salah satu tanda haji yang mabrur yaitu ketika berihram ia menyadari bahwa pada hakikatnya ia telanjang dari segala hal yang bersifat keduniawian, sama seperti ketika bayi yang baru lahir dari rahim ibunya,” tambah Husein Ja’far. “Bahkan pakaian yang sehari-hari kita kenakan saja diwajibkan untuk ditanggalkan oleh Allah, apalagi jabatan, strata sosial, latar belakang pendidikan dan sebagainya. Itulah identitas yang melekat sehari-hari dalam hidup kita yang harus kita tanggalkan ketika menghadap Allah. Haji yang mabrur bukanlah haji yang hanya bersifat ritualistik, tetapi juga spiritualistik. Sehingga ketika selesai menunaikan ibadah haji, ia lahir kembali menjadi manusia yang baru,” jelas Husein.

Melengkapi paparannya, Husein Ja’far menjelaskan bahwa salah satu dimensi kebaikan adalah ma’ruf. Husein berpandangan bahwa ma’ruf bisa dipahami dengan kata patut. Sebuah kebenaran harus disampaikan dengan kebaikan yang patut, sehingga menghasilkan keindahan. Pada akhirnya, kuncinya adalah jangan sampai kita membenci seseorang karena perilakunya, kalaupun kita harus benci, maka bencilah perilakunya bukan orangnya. Kita harus mampu bersikap adil dan tidak berlebihan dalam membenci atau pun dalam memuja orang lain.

Forum lantas dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Wahyu. Ia membacakan puisi Cak Nun yang pernah dipentaskan dalam drama teater Jangan Cintai Ibu Pertiwi. Menjelang pukul sembilan malam, Cak Nun hadir di forum. Tampak di sebelahnya Novel Baswedan, seorang penyidik KPK, yang malam itu ikut menghadiri Kenduri Cinta bersama koleganya.

Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” sapa Cak Nun membuka diskusi. “Mudah-mudahan Allah mempekerjakan kita untuk membangun apa yang seharusnya musti dibangun,” ucap Cak Nun yang kemudian mengapresiasi paparan-paparan Husein Ja’far sebelumnya. Secara khusus Cak Nun menyampaikan bahwa sapaan yang pantas kepada Husein Ja’far bukan Habib, melainkan Al Habib, “Habib itu everybody, tapi Al Habib itu someone.”

Cak Nun mengawali dengan mentadabburi Surat Al Maidah ayat 54, dimana dalam ayat tersebut terdapat kata yartaddu, merupakan kata dasar dari murtad. Cak Nun berpandangan bahwa orang yang murtad itu bukan hanya sekadar orang yang mengingkari keimanan dalam beragama, tetapi lebih luas lagi, yaitu orang-orang yang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan. “Teman-teman dari KPK ini bukan pahlawan, bukan orang hebat. Mereka hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan tidak akan melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan,” kata Cak Nun.

“Dalam Islam tidak ada konsep pahlawan. Saya tanya, anda dan saya ini orang hebat atau tidak?” Cak Nun bertanya kepada jamaah dan dijawab serempak, “Tidak!” “Kita semua bukan lah orang hebat. Siapa yang hebat? Allah Swt! Siapa yang kuat? Allah Swt!” tegas Cak Nun. “Saya ke sini tidak membawa pahlawan. Saya ke sini membawa pejuang,” ucap Cak Nun sambil mengantar perkenalan teman-teman KPK kepada jamaah.

Ditambahkan Cak Nun, yang dikenal dalam Islam adalah syahid, pejuang. Secara harfiah, kata syahid artinya adalah orang yang menyaksikan, orang yang bersaksi. Maka, orang yang mati syahid adalah orang yang diberi kesempatan oleh Allah untuk menyaksikan secara makrifat sebuah peristiwa yang sangat agung, maka jaminan orang yang mati syahid adalah surga Allah Swt.

“Sebenarnya, orang-orang di KPK yang memberantas korupsi itu melakukan karena cinta kepada koruptor.”
Novel Baswedan, Kenduri Cinta (April, 2019)

DEMI CINTA PADA KORUPTOR

Setelah membangun kesadaran bersama bahwa hanya Allah Swt yang paling kuat dan yang paling hebat, Cak Nun mengajak jamaah untuk menuliskan doa-doa. Cak Nun memberi contoh dengan doa: Ya Allah, lindungilah orang-orang yang dilemahkan orang lain di muka bumi ini. Beberapa jamaah kemudian turut menyampaikan usulan doa: Ya Allah, lindungilah kami dari rasa malas dan lupa. Ya Allah sadarkan para koruptor agar tidak memiskinkan bangsa Indonesia. Ya Allah kuatkanlah langkah kami untuk mengarungi hidup ini. Ya Allah berikanlah kekuatan agar kami menemukan tujuan hidup kami. Ya Allah, lindungilah kami dari hal-hal yang seharusnya tidak perlu kami ketahui, dan tunjukkanlah kami kepada hal-hal yang seharusnya kami ketahui. Ya Allah, lindungilah bangsa ini dari para pemberi harapan palsu. Ya Allah, bebaskanlah bangsa ini dari seluruh kegelapan dan kehampaan. Ya Allah lindungilah Indonesia dari kebencian.

Setelah doa-doa terkumpul, Cak Nun mengajak jamaah untuk melafalkan wirid Yaa Haafidz, Yaa Haafidz Ihfadzanaa, Yaa Rahman Yaa Raahiim Irhamnaa, melantunkan wirid dengan irama teratur. “Kita doakan teman-teman KPK ini dilindungi oleh Allah dengan cahaya Allah,” Cak Nun mendoakan, kemudian mempersilakan Novel Baswedan untuk berkenalan dan menyapa jamaah.

Novel Baswedan mengawali, “Saya ingin sedikit bercerita. Kalau di KPK itu yang diberantas adalah korupsi, yang dikejar adalah koruptor. Sebenarnya, orang-orang di KPK yang bertugas memberantas korupsi itu karena cinta kepada koruptor.” Dijelaskan Novel, orang yang berbuat kejahatan satu kali, lama-lama ia terjebak dalam perilaku jahat itu, hingga akhirnya ia tidak bisa keluar dari kebiasaan buruk. Sama halnya dengan koruptor, satu kali ia korupsi tidak ketahuan, dua-tiga kali tidak ketahuan, sampai akhirnya ia terjebak dalam kejahatan korupsi dan tidak bisa keluar. Hingga akhirnya ia ditangkap KPK, sebenarnya proses penangkapan adalah proses penyelamatan hidup koruptor agar tidak semakin terjebak dalam perilaku korupsi.

Novel menambahkan, setiap perilaku kejahatan selalu mengandung sifat adiktif, sehingga pelakunya akan merasa ketagihan untuk terus berbuat jahat, “Orang yang mencuri, akan terbiasa mencuri. Orang yang berbohong, akan terbiasa berbohong. Itu kodrat manusia.” Novel melanjutkan, “Orang yang mendapatkan uang dari hasil korupsi, selalu dihabiskan untuk perbuatan maksiat, hidupnya berantakan.” Novel lantas bercerita mengenai kisah koruptor-koruptor. Secara lahir, mereka terlihat senang karena memiliki uang banyak, tetapi secara batin para koruptor ini tidak pernah merasa tenang. “Tidak pernah ada koruptor yang keluarganya rukun, keluarganya bahagia. Tidak ada!” ungkap Novel.

“Tapi, cinta orang-orang KPK ini bertepuk sebelah tangan,” lanjut Novel. Banyak koruptor yang ditangkap kemudian jengkel kepada KPK, sehingga melakukan kezaliman dengan menyerang KPK. Apa yang dialami Novel Baswedan adalah bentuk kezaliman dari ungkapan cinta yang tidak terbalas kepada para koruptor.
Menyikapi penyerangan yang ia alami, Novel menyatakan bahwa apa yang ia alami bukan sebuah kesulitan. Baginya, apapun yang terjadi pada dirinya adalah sesuatu yang memang sudah ditakdirkan oleh Allah. Maka Novel menolak untuk dikasihani. “Tidak ada sesuatu pun yang menyusahkan hidup kita. Tinggal bagaimana kita melatih diri kita untuk sabar,” tutur Novel.

“Setiap kesulitan yang kita peroleh, insya Allah kalau kita ikhlas, Allah akan memberikan balasan berupa kebaikan yang lebih banyak, di dunia dan di akhirat. Semoga itu berlaku untuk kita semua, dan kita mampu menjadi orang yang seperti itu (sabar),” kata Novel. Ia menambahkan bahwa cobaan di dunia tidak selalu berupa kesulitan atau kesedihan, namun juga kegembiraan, kesenangan atau kebahagiaan.

“Setiap kesulitan, insya Allah, kalau kita ikhlas, Allah akan memberikan balasan berupa kebaikan yang lebih banyak, di dunia dan di akhirat.”
Novel Baswedan, Kenduri Cinta (April, 2019)

Pada kesempatan berikutnya, Cak Nun merespon, “Semua pada posisinya, semua pada proporsinya.” Cak Nun menegaskan, Novel Baswedan sudah menemukan ketepatan dalam menyikapi ujian hidup yang ia alami. Ada peristiwa yang Allah memerintahkan, Allah mengizinkan, Allah membiarkan, Allah mbombong atau menyesatkan. Dan jika Allah memerintahkan, maka Allah sudah menyiapkan fasilitasnya.

Mengenai apa yang dialami oleh Novel Baswedan, Cak Nun berkeyakinan bahwa Allah sudah menyiapkan seluruh fasilitasnya, sehingga Novel pasti mendapat berkah dari apa yang ia alami, karena itu telah sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Kepada pelaku kejahatan terhadap Novel, Cak Nun berkeyakinan bahwa Allah sudah menyiapkan balasannya.

“Allah membuat surga karena mencintamu. Allah membuat neraka juga karena Allah mencintaimu,” kata Cak Nun. “Allah menciptakan neraka supaya manusia kembali pada titik keseimbangan. Apapun yang memang baik untuk Indonesia, kita istiqomahkan untuk terus kita kerjakan. Berhasil atau tidak berhasil, bukan urusan kita. Urusan kita adalah bahwa kita tidak pernah berhenti untuk berjuang sampai kapan pun,” tegas Cak Nun.

Pada forum, Cak Nun juga menyampaikan bahwa Allah tidak maha kejam. Kata syadid di dalam Alquran diterjemahkan oleh Cak Nun sebagai kata dahsyat. Allah Maha Dahsyat. Sebab, tidak mungkin Allah kejam kepada apa yang Dia ciptakan. Sebagaimana pelukis tidak mungkin melakukan kekejaman terhadap lukisannya.

Menyegarkan suasana, Cak Nun lantas menceritakan kisah hidup yang jenaka dari Markesot, sahabat Cak Nun di Menturo, Jombang. Dalam hidupnya, Markesot tidak memberi ruang sedikit pun kepada kesengsaraan. “Anda jangan sampai kehilangan ruang untuk menikmati kehidupan dari Allah. Apapun keadaan hidup ini tidak penting-penting amat, karena yang penting adalah caramu memperlakukan hidup, caramu menemukan kenikmatan dalam keadaan apapun saja. Itu namanya bersyukur,” tutur Cak Nun.

Melanjutkan, Cak Nun malam itu menyampaikan bahwa ada tiga strata kehidupan manusia, yaitu nabi, raja dan hamba. Nabi Muhammad Saw pernah ditawarkan oleh Allah untuk menjadi Mulkan Nabiyya (nabi yang menjadi raja) seperti Nabi Sulaiman AS dan Nabi Daud AS, tetapi Nabi Muhammad Saw memilih menjadi ‘Abdan Nabiyya (nabi yang rakyat jelata). Rasulullah SAW tidak pernah menjadi khalifah, tidak pernah menjadi penguasa, tidak pernah merasakan puncak hirarki kekuasaan pemerintahan semasa hidupnya.

Selama 10 tahun di Madinah, Rasulullah Saw hanya menemani masyarakat Madinah, yang saat itu umat Islamnya hanya 15% dari penduduk Madinah. Dengan kelembutan hati, kebijaksanaan dan pengayoman, Rasulullah Saw bersama-sama penduduk Madinah menyusun Piagam Madinah yang kemudian menjadi konstitusi bersama.

“Kita adalah ‘Abdan Abdiyya (hamba yang mengabdi). Kita hanya hamba yang mengabdi, menghamba kepada kebaikan, menghamba kepada Allah Swt. Kita semua adalah ’Abdan ‘Abdiyya. Rakyat biasa yang mengabdi kepada Allah Swt, yang melakukan sesuatu yang memang harus dilakukan,” tutur Cak Nun.

Menjelang malam, Novel Baswedan dan teman-teman KPK berpamitan meninggalkan forum Kenduri Cinta. Jamaah mengiringi Novel pulang dengan melantunkan shalawat. Cak Nun kemudian memimpin wirid Yaa Haafidz Ihfadzanaa diiringi alunan musik dari kelompok musik jalanan. Dalam suasana khusyuk itu, Wahyu membacakan doa-doa yang sebelumnya dikumpulkan dari para jamaah.

“Kita adalah ‘Abdan Abdiyya, hamba yang mengabdi kepada kebaikan, menghamba kepada Allah Swt.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2019)

SPRITUALITAS IBADAH

Sesi diskusi berikutnya, Cak Nun menyikapi paparan Husein Ja’far terkait tadaburnya pada Surat Al Maidah ayat 54 dan kata ma’ruf, “Semua kebenaran yang ditemukan manusia bersifat relatif. Kebenaran yang ditemukan oleh Al Habib Husein tidak bisa saya batalkan, sebagaimana dia juga tidak bisa membatalkan kebenaran yang saya temukan, itu namanya ijtihad.”

Lebih lanjut Cak Nun sampaikan, kata khoir di dalam Alquran didahului dengan kata yad’uuna, sementara kata ma’ruf didahului oleh kata ya’muruuna; yad’uuna ila-l-khoir wa ya’muruuna bi-l-ma’ruf. Menurut Cak Nun, khoir adalah kebaikan yang sifatnya masih cair, masih universal sehingga dalam Alquran sifatnya anjuran dan ajakan. Jika khoir sudah bertansformasi menjadi ma’ruf, sifatnya bukan lagi anjuran, melainkan perintah atau paksaan.

Misalnya anjuran untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Berbuat baik disini belum padat, belum detail, masih universal. Tetapi jika sudah dipadatkan, maka bentuknya menjadi misalnya jangan menghina orang tua, jangan membentak orang tua dan sebagainya, dimana itu sudah menjadi hukum, sehingga bersifat memaksa.

“Ada saat di mana manusia memang harus di-fait-accompli untuk berbuat baik, bahkan dipaksa. Adanya negara adalah paksaan. Mau tidak mau kamu harus NKRI, mau tidak mau kamu harus Pancasila, mau tidak mau kamu harus Bhinneka Tunggal Ika. Hukum itu paksaan. Dia (hukum) boleh dipaksakan kalau sudah dianalisis secara ma’ruf,” lanjut Cak Nun. Hal itu selaras dengan kata ma’ruf yang berasal dari kata ‘arifa-ya’rofu ‘irfan, wa huwa ‘aarif, wa dzaaka ma’ruf. Singkatnya, kebaikan yang bersifat ma’ruf adalah kebaikan yang sudah dirumuskan, dianalisis, kemudian disepakati untuk menjadi aturan bersama, yang tentunya tingkat mudaratnya rendah.

Konsep ma’ruf dapat menjadi pijakan para pelaku pembuat rpoduk hukum, dalam menyusun regulasi dan undang-undang. Setiap produk hukum yang akan disahkan musti disimulasi dalam rangka memastikan rendahnya tingkat mudarat. Cak Nun mencontohkan regulasi tentang ujaran kebencian dimana sifatnya masih khoir, masih terlalu luas cakupannya. produk hukum harus detail, harus lebih padat. Yang dimaksud ujaran kebencian itu dari siapa, kepada siapa, bagaimana, bahkan ruang dan waktunya seperti apa, harus tepat penjelasannya.

“Alquran sangat lengkap, sangat lengkap. Tidak ada satu kata pun yang bisa anda ganti,” Cak Nun menegaskan dengan memberi perbedaan antara ma’ruf dengan khoir. Cak Nun lantas mengulas tentang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Rahmat adalah sesuatu yang sifatnya universal, semua makhluk mendapatkan rahmat. Begitu juga mawaddah. Sementara sakinah adalah sesuatu yang di-semoga-kan dengan berbekal rahmat dan mawaddah. Maka kalimat yang tepat bukan semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, tepatnya: semoga dengan bekal mawaddah dan rahmah menjadi keluarga yang sakinah. Sakinah dalam berkeluarga adalah sesuatu yang diperjuangkan terus-menerus sepanjang hidup.

“Sementara Al Birru adalah sebuah konsep kebaikan yang sangat spesial. Allah mengatakan, Al Birru manittaqo. Birr itu letaknya di dalam urusan yang sangat sakral dalam berhubungan dengan Allah,” lanjut Cak Nun. “Ma’ruf wilayahnya dalam urusan persambungan dan silaturahmi sesama manusia, sementara birr wilayahnya dalam urusan spiritual hubungan manusia dengan Allah. Maka yang disematkan dalam haji adalah mabrur, berasal dari kata birrun. Tidak ada doa semoga menjadi haji yang sholeh atau haji yang ma’ruf atau haji yang khoir, tetapi semoga menjadi haji yang mabrur,” tutur Cak Nun.

“Maiyah adalah sumbangan saya kepada Indonesia besok-besok, agar muncul manusia-manusia baru, dengan pikiran berbeda, punya keutuhan, kepribadian, kematangan, keseimbangan, punya sangkan paran yang tepat dalam kehidupannya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2019)

Malam itu hadir Wawan Purwanto, seorang pengamat intelejen yang juga sahabat Cak Nun. Wawan sampaikan, dalam dunia intelejen tidak dikenal lawan abadi, tidak ada juga kawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Jika kepentingannya sama, maka menjadi kawan. Sesama kawan bisa saling menikam, jika kepentingannya berbeda. Begitu pun politik, selama kepentingannya sama maka menjadi kawan. Ketika kepentingannya sama, partai-partai akan berkoalisi, dan ketika kepentingannya berbeda, mereka akan saling bermusuhan.

Menjelang pukul dua dinihari, forum diisi dengan penampilan musik dari Echa Paramita dan Anjar. Setelah penampilan musik, forum lantas dibuka untuk jamaah bertanya atau menyampaikan pendapatnya. Pertanyaan pertama adalah tentang bagaimana hidup yang sejati dan sejatinya hidup? Pertanyaan kedua adalah tentang apakah calon presiden 01 dan 02 sudah mempersiapkan skenario jika kalah, adakah akan terjadi kegaduhan? Pertanyaan terakhir tentang apakah manusia itu benar-benar memiliki kebebasan berdaulat atau masih didalam kekuasaan Allah?

Wawan Purwanto merespon pertanyaan mengenai skenario pasca Pilpres. Menurut pendapatnya, tidak akan terjadi keributan. Masing-masing kontestan akan menerima hasil akhir Pemilu. Keributan di media sosial merupakan hal biasa, dan mudah diredam. Menurut Wawan, pasca Pilpres, rakyat akan kembali dengan rutinitas, berjalan normal seperti biasanya. Kedua calon presiden adalah orang-orang baik yang tidak akan mengorbankan persatuan bangsa dan negara demi kepentingan politiknya. Menurut Wawan, ibarat pertandingan sepak bola, yang gaduh adalah suporternya, saling ledek, saling bully, saling sindir, saling nyinyir.

Cak Nun merespon, “Semua yang diungkapkan Mas Wawan membuat saya menjadi tenang, karena tadi malam saat acara di KPK, saya merasa cemas, karena harus berurusan lagi dengan Indonesia. Dulu tahun 70’an saya menulis Indonesia Bagian Dari Desa Saya, dalam artian Indonesia adalah bagian dari cinta saya. Indonesia saya kasih terus tanpa saya meminta apa-apa, maka saya ndak punya profesi, ndak punya kerjaan, ndak pernah minta gaji kepada siapa-siapa, tidak pernah mendapat sponsor dari siapa-siapa. Kenduri Cinta ini sudah 19 tahun bersih dari segala macam sponsor.”

“Tapi setelah 22 Mei 1998, satu hari setelah Pak Harto turun, saya memisahkan diri dari Indonesia. Jadi, saya bukan lagi bagian dari Indonesia hari ini, yang saya lakukan sekarang adalah mencoba mempersiapkan Indonesia besok, tapi hari ini saya tidak terlibat di Indonesia. Artinya, saya mencintai Indonesia tetapi kan bertepuk sebelah tangan. Karena saya melakukan apa saja, Indonesia tidak pernah mengapresiasi saya, Indonesia tidak pernah melihat saya, Indonesia tidak pernah mengenal saya. Saya tidak minta dihargai.

“Kenduri Cinta tidak pernah diapresiasi oleh siapapun, juga Mocopat Syafaat, Padhangmbulan, Gambang Syafaat, semua maiyahan kita tidak pernah dihargai oleh siapapun. Tidak oleh pemerintah, tidak oleh media, koran, majalah, tidak satu pun mereka kenal kepada aktivitas kita yang sudah berpuluh-puluh tahun ini.”

“Dari ilmu, peradaban, juga paradigma-paradigma yang kita temukan di sini tidak berguna bagi Indonesia. Saya realistis bahwa Indonesia bukan lagi bagian dari desa saya, dan saya bukan bagian dari Indonesia kecuali secara teknis saya adalah warga negara dan penduduk yang taat kepada hukum.”

“Selebihnya, maiyahan seperti Kenduri Cinta ini adalah sumbangan saya kepada Indonesia besok-besok. Mudah-mudahan muncul manusia-manusia yang baru, dengan pikiran yang berbeda, punya keutuhan, punya kepribadian, punya kematangan, punya keseimbangan, punya sangkan paran yang tepat, punya pangkal dan ujung yang tepat dalam kehidupannya, sehingga Insya Allah Indonesia akan berubah lebih baik dengan anda besok-besok menjadi pemimpinnya,” tutur Cak Nun.

“Jihad bukan soal menang atau kalah, yang penting anda tidak pernah berhenti berjuang.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2019)

PEJUANG, BUKAN PAHLAWAN

Malam itu, Cak Nun sangat mensyukuri satu hal, yaitu Novel Baswedan dan teman-teman KPK telah menemukan formula yang tepat bahwa proses hukum kepada koruptor yang dilakukan KPK adalah dalam rangka mengungkapkan rasa cinta mereka kepada sesama manusia di Indonesia. Novel telah menemukan kemuliaan atas ujian hidup yang sedang ia alami. Di podium Kenduri Cinta, Novel tidak berorasi dengan berapi-api, mengatakan hal-hal yang tidak tepat, namun Novel menemukan formulanya sendiri dalam menyikapi apa yang sedang ia hadapi. Mengingat dengan apa yang ia alami, dua tahun kasus teror yang belum juga ada kejelasan penyelesaiannya dari pemerintah.

“Di Kenduri Cinta, teman-teman KPK menemukan perspektif perjuangan, bukan perspektif pahlawan. Perjuangan melakukan apa yang memang harus dilakukan, tidak melakukan apa-apa yang memang tidak boleh dilakukan. “Jadi, perspektifnya adalah perjuangan, jihad bukan soal menang atau kalah. Tidak penting anda sukses atau tidak sebagai pemberantas korupsi, yang penting anda tidak pernah berhenti berjuang,” tegas Cak Nun.

Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini adalah benih-benih yang sedang ditanam, anak-anak muda bahkan anak kecil terlibat, duduk menekun berjam-jam, sabar mendengar, menyimak khasanah keilmuan. Atas iradah dan hidayah dari Allah, mereka semua bertahan untuk duduk dan berdiri, hingga menjelang subuh.

Menjawab pertanyaan tentang sejatinya hidup, Cak Nun menjelaskan bahwa setiap manusia berjuang mencari kesejatian hidupnya sendiri-sendiri. Justru proses mencari itu yang harus dinikmati. Cak Nun memberi nasehat, jangan sampai tentang kesejatian hidup juga copy-paste dari orang lain, kita harus menemukan genuine dari diri kita sendiri. Maka kesejatian hidup dan hidup yang sejati pada setiap orang berbeda-beda.

Menjawab pertanyaan lainnya, Cak Nun menjelaskan bahwa kebenaran Alquran tergantung pada sensorik akal dan hati kita masing-masing. Setiap kita memiliki kedaulatan penuh untuk mentadabburi Alquran. Bahkan sebenarnya Alquran sudah ada di dalam diri manusia, Allah memudahkannya dengan menurunkan wahyu melalui Rasulullah SAW.

“Ada tiga ayat Allah. Ayat-ayat di alam semesta, ayat-ayat di dalam diri manusia, dan ayat-ayat yang difirmankan dalam Alquran yang kita kenal sekarang ini,” Cak Nun jelaskan, “Rasulullah SAW, ketika masih muda mendapat predikat Al Amin karena ia mampu menemukan Alquran dalam dirinya.” Bahwa untuk menjadi manusia mulia, sebenarnya tanpa adanya Alquran juga sudah cukup, asal kita mampu menemukan Alquran dalam diri kita sendiri. Selain ada ayat-ayat yang tekstual, kita harus menemukan ayat-ayat yang tidak difirmankan, yang terdapat dalam diri kita dan di alam semesta.

Maka ada perbedaan antara ilmu dengan iman. “Manusia diberi akal dan pikiran agar bisa merumuskan hidupnya, tetapi itu tidak lebih dari 3% dalam hidupnya. Kalau anda tidak bisa merumuskan, tidak bisa menjangkau, pakailah iman, jangan diperdebatkan,” lanjut Cak Nun. Contohnya para pedagang, tukang ojek, supir taksi, setiap hari tidak akan mampu memastikan berapa banyak dagangan yang terjual, berapa banyak penumpang, karena itu wilayahnya iman bukan ilmu. “Maka iman itu nomor satu, karena kebanyakan hal dalam hidup ini hanya bisa dihadapi dengan iman,” jelas Cak Nun.

“Hanya Rasulullah SAW yang bisa menolong umat manusia. Tidak ada selain Muhammad SAW yang bisa menolong manusia di hadapan Allah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2019)

Cak Nun menuturkan, “Dalam Islam ada taqwa dan tawakkal. Allah pun bertransaksi, kalau anda ber-taqwa sama Allah, kalau dapat jalan keluar dari masalah, anda akan mendapatkan rizqi yang di luar perhitungan anda. Taqwa itu artinya be with Him all the time. Be with Him!” tegas Cak Nun.

Cak Nun kembali menegaskan bahwa wawasan, wacana, pemahaman yang kita dapat bersama di Maiyah adalah kebenaran yang sifatnya relatif. Agar kebenaran menjadi kebijaksanaan, harus disampaikan dengan kebaikan. Sebisa mungkin kita mengusahakan agar kebenaran yang kita yakini menghasilkan kebijaksanaan. Maka Cak Nun tak lelah untuk mengingatkan kepada jamaah agar tidak mengkultuskan sosok dirinya.

“Hanya Rasulullah SAW yang bisa menolong umat manusia. Tidak ada selain Muhammad SAW yang bisa menolong manusia di hadapan Allah,” ucap Cak Nun, “Saya tidak mampu memberi syafaat, hanya Muhammad SAW. Not even Musa, not even Ibrahim. Hanya Muhammad SAW, karena yang punya sertifikat hanya beliau. Yang punya sertifikat untuk menawar agar menolong kita di hadapan Allah.”

Melalui Surat Al Hujurat, Allah memberi peringatan kepada kita bahwa tidak ada satu pun manusia yang lebih tinggi derajatnya dari Rasulullah SAW. Manusia bahkan tidak boleh mendahului Allah dan Rasulullah SAW.

“Allah meminta kesungguhan hatimu. Allah meminta keikhlasanmu. Setelah itu, kamu kan nggak mampu, maka Rasulullah SAW menolongmu, maka Allah menganggapmu lulus,” tutur Cak Nun. Seperti halnya salat, tidak ada syarat salat harus khusyuk. Dalam ilmu fiqih yang diatur adalah salat diawali dengan takbir, kemudian ruku’, sujud, tahiyat dipungkasi dengan salam. Kalau tidak khusyuk, secara fiqih tetap sah asal urutannya benar, syarat dan rukunnya terpenuhi. Tetapi, khusyuk adalah urusan hati, urusan akhlak.

“Karena manusia punya akal, punya rasa, tidak perlu diatur oleh fiqih. Anda sendiri yang harus membuat agar salatmu khsyuk,” Cak Nun melanjutkan bahwa khusyuk terletak pada wilayah akhlak dan kemuliaan hati, jika kita tidak sungguh-sungguh dan tidak fokus kepada Allah ketika salat, maka secara akhlak kita tidak khusyuk, meskipun secara fiqih tetap sah.

Merespon pertanyaan tentang kedaulatan diri, Cak Nun menjawab bahwa meski manusia berdaulat, sebenarnya cuma sejengkal saja kemampuan kuasa manusia atas dirinya. Konsep berdaulat yang dimiliki manusia sejatinya adalah konsep kolaborasi peran dengan Allah, ada bagian yang memang harus dilakukan oleh manusia, namun sejatinya sumber utama inspirasi kehidupan manusia adalah Allah Swt.

Berkumpulnya jamaah di setiap forum maiyahan, menurut Cak Nun adalah keajaiban dari Allah, ‘ajibatullah. Bukan Cak Nun yang mampu membuat bertahan, duduk menekun berjam-jam, ikhlas mendengar dan menyimak ilmu, tetapi sepenuhnya adalah kehendak Allah. Kita semua yang datang dalam rangka merespon hidayah Allah.

Allahumma sholli wa sallim ‘alaa sayyidina Muhammad. Rasulullah SAW mendengar semua ketulusan hatimu. Rasulullah SAW sekarang juga sudah menawar kepada Allah agar kita semua diselamatkan,” Cak Nun berdoa. Pada sesi akhir, Cak Nun sampaikan bahwa Alquran adalah wahyu dari Allah kepada seluruh manusia melalui Rasulullah SAW. Melalui manusia yang terpilih, Allah menitipkan wahyu-Nya untuk disampaikan kepada kita semua. Jika kita mencermati, ada banyak ayat di dalam Alquran yang langsung menunjukkan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada manusia, misal ayat-ayat yang diawali dengan kalimat Yaa ayyuha-n-naas.

Kenduri Cinta edisi April 2019 dipuncaki dengan sholawat Alfu Salam bersama-sama, Cak Nun kemudian memimpin doa bersama.