2030 dan Keniscayaan

INDONESIA (DIRAMALKAN) HILANG di tahun 2030 bukan berarti terus lenyap begitu saja hilang di telan gempa bumi atau luluh lantak oleh sapuan tsunami yang maha dahsyat. Kalau lantas ‘bencana alam’ ada di tahun itu atau bahkan besok lusa terjadi karena Tuhan yang menghendaki tentu siapa yang bisa memprediksi. Bukan juga musnah akibat adanya perang dunia ketiga. Tapi kalau yang dimaksud kaitannya dengan tatanan masyarakat, eksistensi sebuah negara atau keberadaan sebuah sistem pemerintahan tentu dapat diprediksi dengan menggunakan parameter gejala-gejala sosialnya.

Bisa saja justru di tahun itu gedung-gedung megah tinggi menjulang di berbagai penjuru kota negeri ini, jalan-jalan dipadati kendaraan mewah, dengan kelengkapan teknologi yang sangat canggih dan gemerlap pusat-pusat perbelanjaan bertebaran menawarkan berbagai barang-barang mahal. Tapi bagaimana jika pada saat itu rakyat Indonesia bukan menjadi tuan rumah di negerinya? Anak-anak bangsa sekedar jadi pelayan toko-toko atau bagian cleaning service. Sementara owner dari kemajuan pembangunan itu adalah mereka yang saat ini sedang dan sudah menancapkan cengkeraman modalnya di negeri ini baik itu dari balik layar maupun yang terang-terangan.

Indikasi hilangnya kedaulatan bangsa Indonesia atas bangsanya sendiri mungkin dapat diabaikan oleh sebagian anak bangsa yang merasa bahwa arah gerak pembangunan infrastruktur yang terjadi dianggap sebagai sebuah prestasi. Pembangunan pesat dengan pembiayaan yang sebagian besar merupakan pinjaman asing dinilai sebagai bentuk kepercayaan asing berinvestasi ke dalam negeri. Namun kenyataan bahwa yang terjadi adalah perapuhan kuda-kuda Berdikari, berdiri di kaki sendiri justru dilupakan. Martabat sebagai sebuah bangsa besar yang semestinya menjaga marwah kedaulatan tidak lagi diutamakan. Mesin pembangunan dipacu bukan berdasarkan keadilan sosial, namun dengan bahan bakar berupa modal pinjaman asing yang sebenarnya adalah utang yang mesti dikembalikan. Bisa dikatakan pemerintah sedang menggadaikan harga diri bangsa di kancah internasional. Mental bangsa ini ditanamkan; lebih baik kenyang meskipun harus menjadi budak daripada lapar tetapi mulia mempertahankan harga diri bangsa.

Angka-angka digunakan untuk menampilkan data-data statistik yang dibuat seolah pinjaman pemerintah yang sebegitu besar jika dibandingkan dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya masih merupakan angka pinjaman yang rasional dan relevan. Padahal jika menggunakan logika umum, pada akhir periode ini utang pemerintahan pasti belum lunas, jadi utang mesti dibayar oleh pemerintah berikutnya. Supaya pemerintah pada periode ini dapat melunasi utang-utang-nya maka pemerintahan periode ini mesti berlanjut ke periode berikutnya. Logika ini sedang dibangun untuk menggiring opini publik, padahal jika di periode berikutnya utang pemerintah justru semakin bertambah itu juga mungkin saja terjadi, bahkan prosentase kemungkinannya sangat besar.

Mungkin akan ada penjelasan yang dirangkai dengan narasi semanis mungkin, supaya kondisi keuangan pemerintahan dan negara nampak baik-baik saja. Skema investasi dan pinjaman luar negeri dibandingkan dengan pendapatan domestik bruto dibuat sedemikian rupa sehingga berwarna hijau. Tapi siapa yang dapat menjamin bahwa utang-utang itu dapat dilunasi? Yang terjadi utang malah terus bertambah dan pembangunan terus membutuhkan biaya yang sumber pendanaan utamanya bukan berasal dari kas negara. Padahal pendapatan kas negara dari pajak sudah digenjot sedemikian rupa dan seluruh Bandan Usaha Milik Negara terus dipacu untuk berkontribusi menambah pendapatan kas negara. Proyek pembangunan infrastruktur terus berlangsung begitu pesat meskipun sumber pendanaan-nya bukan berasal dari kas negara. Jika ketergantungan terhadap utang terus berlangsung, bahwa di kemudian hari hasil pembangunan itu dibeli dan menjadi milik pihak asing bukanlah suatu hal yang mustahil. Dan kita akan menjadi tamu di Negeri sendiri, yang anehnya, kita justru semakin bergembira menyambut momentum tersebut.

Sudah lama di Maiyah kita belajar tentang perbedaan fungsi Negara dan Pemerintah, begitu juga dengan pemisahaan wilayah kas Negara dan kas Pemerintah. Karena antara Bendahara dan Kasir itu tugasnya jelas berbeda. Jika tugas dan fungsinya masih terus tercampur-aduk satu sama lain, kas Pemerintah yang periodisasi-nya lima tahunan tentunya menjadi rentan dan rawan bagi keberlangsungan kas Negara yang semestinya berkelanjutan. Padahal soal kas Negara dan kas Pemerintah ini baru sebagian persoalan dari seluruh persoalan Negara yang kompleks. Namun, dari kejelasan pembagian kas ini dapat dijadikan parameter untuk indikasi kedaulatan sebuah Negara. Kalau seorang suami yang pendapatannya hanya ratusan ribu dan memiliki tabungan hanya satu juta, tapi si Istri pinjam uang hingga empat milyar untuk membangun rumah dan membeli mobil mewah. Kemungkinan si istri punya kelebihan tertentu dalam urusan bisnis sehingga ada yang berani investasi dana sebegitu besar. Mungkin di tahun-tahun ini rumah tangga mereka nampak baik-baik sahaja, dan semoga hingga 2030 pernikahan mereka terus demikian, tapi siapa yang bisa jamin? Apakah Pemerintah memang sudah berhitung dengan matang, sehingga investasi yang masuk dari luar benar-benar akan menghasilkan keuntungan bagi Negara?