2017, Wa Ilaa Robbika Farghob

SEGITIGA CINTA, merupakan sebuah gagasan yang sejak lama diperkenalkan oleh Cak Nun kepada Jamaah Maiyah. Sebuah konsep yang menegaskan bahwa manusia sejatinya tidak akan pernah mampu menyelesaikan persoalannya sendiri tanpa bantuan dari Allah, sementara Rasulullah merupakan kekasih Allah yang sangat primer posisinya bagi Manusia itu sendiri. Cak Nun bahkan mengibaratkan, seandainya kita mengetuk pintu Allah tanpa kita “gondelan klambine Kanjeng Nabi”, maka Allah memiliki alasan yang sangat jelas untuk bersikap cuek kepada kita. Tetapi manakala kita mengetuk pintu Allah dengan melibatkan Rasulullah, maka Allah pun akan sungkan untuk tidak membukakan pintu.

Tepat 2 hari sebelum Kenduri Cinta edisi Januari 2016, sebuah ledakan bom terjadi di sekitaran Jalan Thamrin, lokasi yang tidak begitu jauh dari Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Tentu saja, karena peristiwa tersebut terjadi di Ibu Kota Jakarta, maka menjadi pusat perhatian nasional saat itu. Sejalan dengan konsep Segitiga Cinta, tema Kenduri Cinta saat itu merupakan tema yang meneguhkan kepasrahan total kita sebagai manusia kepada Allah atas semua persoalan-persoalan yang dihadapi. Karena kita menyadari bahwa semua persoalan dan penderitaan yang dihadapi saat ini, hanya bisa diselesaikan hanya dengan bantuan dari Allah. Maka, peristiwa Ledakan di bilangan Thamrin pun merupakan sebuah peristiwa yang juga tetap harus diambil hikmahnya.

Tetapi, semenderita apapun kita selama hidup di dunia ini, tidak akan pernah mencapai kesetaraan dengan penderitaan yang dialami oleh Rasulullah SAW. Sehingga, Cak Nun berkali-kali, hampir di setiap Maiyahan selalu membacakan surat At Taubah ayat 128-129 yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang sangat berat hati dan tidak tegaan kepada ummatnya, bahkan kepada kita yang terpaut ribuan tahun jaraknya dengan masa tugas beliau saat Nur Muhammad diwujudkan dalam Muhammad bin Abdullah saat itu. Ummatii, Ummatii, Ummatii… itulah kalimat yang diucapkan oleh Rasulullah SAW pada saat menjelang wafat. Bukan kata Zaujatii, Maalii, Baitii, yang terucap, tetapi Ummatii.

Salah satu muara hancurnya peradaban manusia hari ini adalah karena kufurnya manusia terhadap anugerah yang sudah diberikan oleh Allah. Sudah tidak terhitung lagi berapa nikmat dari Allah yang tidak disyukuri oleh manusia. Manusia seakan lupa bahwa tugas mereka di dunia adalah untuk menjadi Khalifah. Tugas yang tidak berat sebenarnya, tetapi juga pada kenyataannya tidak mudah untuk dilaksanakan. Keserakahan segelintir kelompok manusia yang ingin menguasai kekayaan alam pada akhirnya justru semakin menjauhkan dari terwujudnya sebuah Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghoffur.

Arab Spring, Balkanisasi, hingga PIGS merupakan satu contoh nyata bahwa ada segelintir kelompok manusia yang memang dengan serakah ingin menguasai sumber kekayaan alam yang ada agar dikuasai oleh mereka. Dengan mekanisme dan sistem yang sudah sangat terencana dan terkonsep dengan matang, kita semakin di-nina bobo-kan dengan konsep-konsep modern yang menawarkan surga sesaat. Semakin hari, kita semakin memahami bahwa terpilihnya seseorang menjadi Pemimpin hampir dipastikan tidak 100% ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat, bahkan prosentase kesejahteraan rakyat hanya porsi kecil dalam proses Demokrasi yang dianut oleh suatu Negara. Sehingga, tidak lahirnya Pemimpin yang berkualitas bukan karena memang tidak bisa lahir, melainkan lebih karena situasi dan kondisi yang ada tidak memungkinkan lahirnya Pemimpin ideal yang mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Rakyat hanya bisa bermimpi, bermimpi dan terus bermimpi akan lahirnya Pemimpin yang ideal. Lebih spesifik lagi, tidak lahirnya Pemimpin dari kalangan Islam melalui Partai Islam tidak hanya dikarenakan kegagalan Ummat Islam dalam menyatukan langkah melalui partai Islam yang ada, melainkan lebih dikarenakan oleh situasi, kondisi dan sistem politik di Indonesia saat ini . Sistem politik yang tidak memungkinkan Pemimpin Islam yang berkualitas dapat muncul di tengah masyarakat. Slogan lama semakin ditegaskan; Indonesia boleh berjaya, tetapi Islam tidak boleh berjaya di Indonesia.

Keadaan ini diperparah dengan fakta bahwa kehidupan Ummat Islam di Indonesia sendiri masih dihiasi dengan berbagai perpecahan-perpecahan internal yang tidak kunjung selesai. Persoalan-persoalan Fiqhiyah masih terus menjadi bumbu perpecahan Ummat Islam, begitu juga dengan persoalan Aqidah. Padahal sudah pasti, tidak mungkin Fiqih berjalan tanpa Aqidah. Fiqih dan Aqidah merupakan dua hal yang tidak bisa berdiri sendiri, keduanya harus berjalan bersama, saling bersinergi. Seperti halnya Bumi dan Langit. Manusia kebanyakan beranggapan bahwa apa yang terjadi di Bumi tidak ada hubungannya dengan Langit. Manusia kebanyakan beranggapan bahwa Bumi dan Langit merupakan dua entitas yang berbeda. Manusia semakin merendahkan dirinya dalam perdebatan apakah Bumi itu datar atau bulat.

Maiyah sejak jauh-jauh hari menegaskan bahwa peran yang diambil dalam menyikapi setiap persoalan yang dihadapi oleh Indonesia merupakan sikap yang menitikberatkan pada proporsionalitas sedekah. Maiyah merupakan pihak yang tidak memiliki kewajiban untuk mberesin semua persoalan yang ada di Indonesia. Tetapi, Maiyah bersikap stand by terhadap setiap kemungkinan-kemungkinan yang akan  terjadi. Orang Maiyah berkeyakinan bahwa tugas mereka hanyalah menanam dan terus menanam, sembari berharap kemurahan Allah agar mereka diberi kesempatan untuk menikmati panen. Semangat Ihdina-sh-shiroto-l-mustaqiim adalah semangat yang harus terus dijaga oleh setiap Orang Maiyah. Kesadaran bahwa naik turunnya Iman merupakan sebuah kodrat manusia, dimana setiap orang sangat mungkin keluar dari rel yang seharusnya mereka lalui, namun atas perjuangan mereka sendiri, mereka akan mampu kembali berada dalam jalur yang seharusnya mereka lalui.

Salah satu tantangan manusia pada zaman ini adalah kemajuan teknologi yang begitu pesat perkembangannya. Prosentase manusia gagap teknologi turun drastis. Sayangnya, semakin canggih perangkat teknologi informasi yang digenggam oleh manusia hari ini tidak berbanding lurus dengan kecerdasan yang mereka miliki. Turunnya angka manusia gagap teknologi ternyata menghasilkan jumlah angka manusia gagap informasi. Masyarakat saat ini begitu mudah digiring opininya melalui sebaran informasi yang begitu deras. Sementara filter informasi dalam diri manusia hari ini tidak terbangun secara kuat. Dunia kapitaslime modern melihat peluang yang sangat menjanjikan. Kita melihat banyak sekali orang yang memperkaya diri melalui internet, meskipun dengan cara-cara yang tidak benar. Di sebuah situs penyedia layanan video misalnya, ada ribuan video-video yang mencatut nama Cak Nun dan menyematkan judul-judul yang kontroversial, yang mana tidak lain dan tidak bukan tujuan utamanya adalah agar jumlah penonton video tersebut meningkat secara drastis. Semakin banyak orang yang menonton video tersebut, semakin banyak iklan yang muncul, dan semakin banyak pula uang yang mereka dapatkan. Hal yang sama juga terjadi pada sebaran informasi yang disebar melalui media sosial. Dengan memanfaatkan situs-situs yang memuat sebuah artikel dengan judul yang kontroversial, masyarakat hari ini sangat mudah diarahkan untuk mengunjungi situs-situs tersebut. Pengelola situs tersebut mendapatkan uang yang banyak, sementara masyarakat menikmati perpecahan-perpecahan atas dasar isu yang seharusnya tidak mereka perdebatkan.

Islam sendiri mengkalsifikasikan 4 jenis manusia; Ulil Abshar, Ulin Nuhaa, Ulil Albaab dan Ulil Ilmi. Keempat klasifikasi inilah yang kemudian menjadi semacam pagar bagi Ummat Islam agar mampu mengkondisikan dirinya untuk terus belajar, sehingga filter informasi dalam dirinya semakin hari semakin kuat, sehingga tidak mudah masuk angin ketika sampai kepada mereka sebuah informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Ada 3 hal yang menjadi titik berat Perjuangan Maiyah; Ziro’ah (menanam), Shoum (puasa) dan Sedekah. Manusia secara fitrahnya dianugerahi Syahwat dalam dirinya, Islam memberikan pagar berupa Shoum(puasa) agar manusia terbiasa untuk mengatur dan mengontrol syahwat dalam dirinya. Syahwat dalam diri manusia bukanlah hal yang buruk secara hakikatnya, namun kemudian Syahwat difahami dengan konotasi yang negatif. Puasa mengajarkan manusia untuk mampu mengelola syahwat dalam dirinya. Makan itu juga terdapat unsur syahwatnya, hanya saja manusia memiliki hak untuk mengelola syahwat dalam dirinya. Rasulullah SAW sendiri mengajarkan untuk makan sebelum lapar, kemudian berhenti makan sebelum kenyang. Metode yang sangat sederhana, tetapi memiliki nilai yang sangat mulia. Puasa mengajarkan orang untuk menahan diri ditengah kebiasaan manusia untuk melampiaskan.

Secara khusus, Cak Nun menyampaikan bahwa generasi muda hari ini setidaknya harus memiliki empat hal sebagai bekal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi; Aqidah dan Akhlaq, Disiplin, Manajemen dan Akuntansi yang terakhir adalah Informasi dan Teknologi. Empat hal ini wajib dimiliki dan dikuasai oleh setiap orang hari ini. Kita bisa melihat banyak sekali contoh-contoh orang yang tidak memiliki satu dari empat hal tersebut, hampir bisa dipastikan tidak beres hidupnya. Berulang kali Cak Nun menyatakan bahwa di Maiyah, Aqidah merupakan hal yang mutlak, tidak bisa diganggu gugat. Orang yang tidak terbiasa dengan kedisiplinan, maka hidupnya tidak akan teratur, lebih-lebih dalam hal akuntabilitas dan manajemen keuangan dirinya. Pesatnya perkembangan Teknologi Informasi hari ini tidak berbanding lurus dengan kualitas kecerdasan manusia hari ini. Tidak sedikit masyarakat yang mudah terprovokasi oleh berita-berita hoax yang berkembang di media sosial hari ini. Masyarakat kita saat ini adalah konsumen informasi, bukan produsen informasi, sehingga mereka hari ini hanya menjadi bahan eksploitasi kapitalisme semata.

Kita bisa melihat bagaimana isu-isu yang menjadi viral hari ini merupakan pertanda bahwa manusia tidak in line sekaligus juga tidak on line dengan Allah. Satu contoh, bagaimana Al Maidah ayat 51 hanya mempersempit pemetaan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah. Jika memang yang dipersoalkan adalah penistaan terhadap Al Qur’an, apakah kasus korupsi bukan merupakan perbuatan yang menistakan Al Qur’an? Sementara ada banyak sekali pelaku korupsi yang sebelumnya disumpah jabatan dengan menggunakan Al Qur’an. Apakah kemudian ucapan yang kasar dan menyakitkan dari mulut seorang Pemimpin yang menyakitkan hati rakyatnya bukan merupakan perbuatan yang menistakan Al Qur’an? Apakah kemudian Reklamasi dan Penggusuran bukan merupakan perbuatan yang menistakan Al Qur’an? Sepertinya memang Ummat Islam hari ini masih sangat perlu untuk lebih jauh dalam mentadabburi Al Quran. Ummat Islam harus lebih jernih dalam melihat sebuah persoalan. Ummat Islam harus lebih luas wawasannya agar mereka tidak salah langkah dalam menyikapi sebuah persoalan yang berkembang di sekitarnya.

Salah satu persoalan mengapa Ummat Islam di Indonesia hari ini tidak memiliki posisi yang strategis di berbagai lini adalah karena Ummat Islam belum mampu menentukan pada medan perang yang mana mereka semestinya terlibat. Ummat Islam di Indonesia terlambat menyadari bahwa saat ini yang terjadi di Indonesia adalah upaya besar-besaran perampokan dan penguasaan atas sumber daya alam dan aset-aset Negara yang ada. Indonesia tidak akan dijajah dengan cara seperti Arab Spring maupun dengan Balkanisasi. Tetapi, Indonesia dijajah dengan cara yang lebih halus dari itu. Sayangnya, Ummat Islam dan Rakyat Indonesia sendiri tidak menyadari bahwa upaya tersebut sedang berlangsung. Ummat Islam Indonesia dijadikan Gelandangan di Negerinya Sendiri. Rakyat Indonesia dikelabuhi secara intelektual, dininabobokan secara mental, ditipudaya secara politik dan hukum, ditelikung secara ideologi, dikanak-kanakkan melalui tayangan-tayangan di televisi, disesatkan pengetahuannya, dikebiri kesatriaannya, serta ditidak-seimbangkan cara pandang kehidupannya.

Tidak ada solusi lain bagi Bangsa Indonesia selain Solusi Segitiga. Bahwa persoalan yang dihadapi oleh Indonesia bahkan dunia hanya bisa diselesaikan dengan Solusi Segitiga. Maiyah memahami bahwa manusia, Indonesia bahkan dunia adalah sebuah bulatan yang berada didalam sebuah Segitiga; Allah-Muhammad-Manusia. Maiyah memahami bahwa bulatan-bulatan urusan dunia ada pada Koordinat tersebut. Hanya kepada Allah lah kita mencurahkan segala harapan kita akan perbaikan atas semua persoalan yang kita hadapi, sementara untuk mencapai itu semua kita memerlukan Rasulullah SAW sebagai “password” jika kita ingin mendapatkan pertolongan dari Allah. Seperti pemungkas dalam Surat Al Insyiroh, Wa ilaa robbika farghob, tidak ada jalan lain bagi kita, bahwa hanya kepada Allah-lah kita berharap.