Terima Kasih Indra Sjafri

Indra Sjafri. Pelatih sepak bola yang melambung namanya setelah mengantarkan Timnas U-19 menjuarai Piala AFF tahun lalu. Coach Indra, seperti kebanyakan pelatih sepak bola pada umumnya, merintis karir sepak bola dengan terlebih dahulu menjadi pemain. Satu-satunya klub sepak bola yang pernah ia bela adalah PSP Padang. Sebelum ia menjadi seorang pelatih sepak bola, ia pernah berprofesi sebagai kepala kantor pos di sebuah kantor pos di Sumatera Barat. Keberhasilannya membawa Evan Dimas dkk menjuarai Piala AFF U-19 tahun lalu seakan menghadirkan oase yang menyegarkan ditengah kemarau panjang sepak bola Indonesia yang tidak kunjung menghadirkan trofi juara sebuah turnamen bergengsi.

Jika ada sebuah pertanyaan: apakah yang bisa menyatukan suatu bangsa? Saya akan menjawab: sepak bola! Bukan tanpa alasan, cabang olah raga ini memiliki daya tarik tersendiri. Tengok saja perhelatan piala dunia yang digelar setiap 4 tahun sekali itu, 32 negara berjibaku dalam sebuah turnamen akbar yang diselenggarakan oleh FIFA. Ada banyak kisah menarik betapa sepak bola berhasil menyatukan sebuah bangsa. Tidak terkecuali di Indonesia, sepak bola merupakan olahraga favorit.

Meskipun hanya berprestasi dalam turnamen KU (Kelompok Umur), Indra Sjafri telah membuktikan bahwa anak-anak Indonesia mampu menjadi juara dalam sebuah turnamen. Lebih dahsyat lagi, Indra Sjafri membangun sendiri tim yang ia latih. Ia mencari sendiri pemain-pemain yang akan ia bina, sekian puluh nama yang diberikan oleh PSSI di tahun 2011 silam ternyata tidak masuk kedalam kriteria. Pemain yang ia bawa ke turnamen AFC Cup U-16 di Thailand saat itu gagal total. Indra Sjafri bahkan rela menggunakan uang pribadinya untuk berkeliling Indonesia guna mencari pemain-pemain berbakat yang sesuai dengan kriterianya.

Pelepas dahaga juara

Bersama Nur Saelan dan Jarot, bertiga mereka dijuluki Trio JIN (Jarot-Indra-Nur). Trio JIN ini kemudian mengajukan sebuah presentasi kepada PSSI pada tahun 2011, bisa dikatakan presentasi tersebut merupakan cetak biru masa depan sepak bola Indonesia. Dalam presentasi itu, mereka menargetkan 3 poin: Juara AFF U-19 2013, lolos ke Piala Asia U-19 2014 dan lolos Piala Dunia U-20 tahun 2015. Presentasi itu diterima oleh PSSI dan kemudian mereka bertiga bergerak berkeliling Indonesia untuk mencari pemain-pemain yang mereka nilai sesuai dengan kriteria yang mereka inginkan. Tidak banyak yang tahu saat itu bagaimana Indra Sjafri bersama Nur Saelan dan Jarot mencari pemain-pemain tersebut. Singkat cerita, terbentuklah Timnas U-19 yang kemudian kita mengenalnya setelah mereka menjuarai Piala AFF U-19 tahun lalu di Sidoarjo.

Target pertama berhasil mereka raih. Sebulan setelahnya, target kedua yaitu lolos ke Piala Asia U-19 tahun 2014 berhasil mereka raih dengan langkah mantap, mengalahkan Korea Selatan di pertandingan terakhir kualifikasi Piala Asia U-19 di GBK. Satu target tersisa: lolos Piala Dunia U-20 2015 di Selandia Baru.

Dalam perjalanannya, Indra Sjafri kembali dibenturkan konflik-konflik akut di federasi. Sempat akan dipecat di tengah jalan tanpa sebab yang jelas, PSSI akhirnya mempertahankan Indra Sjafri untuk tetap menangani Timnas U-19 di Piala Asia yang dihelat di Myanmar bulan lalu. Gangguan belum berakhir, PSSI meminta Indra Sjafri untuk “mencari uang” sendiri untuk pembiayaan pemusatan pelatihan dalam rangka persiapan mereka menuju turnamen Piala Asia U-19 bulan lalu. Tanpa saya jabarkan secara luas disini, anda pasti sangat paham dengan apa yang saya maksud. Setidaknya ada 41 pertandingan yang harus mereka jalani dalam kurun waktu 9 bulan, bukan hanya melintasi pulau-pulau di Indonesia, bahkan keluar dari benua Asia, Timur tengah dan Eropa. Bisa dibayangkan, usia pemain yang belum 20 tahun harus menjalani pertandingan uji coba dengan jadwal yang padat, dan disiarkan secara langsung. Benar adanya bahwa mereka mendapatkan jam terbang yang tinggi melawan pemain-pemain yang berbeda-beda. Tapi, sedikit sekali yang menyadari bahwa dengan banyaknya pertandingan tersebut yang disiarkan secara langsung berakibat fatal: terbacanya strategi yang dimainkan oleh Indra Sjafri.

Puncaknya, Timnas U-19 gagal mencapai peak performance saat turnamen yang sebenarnya di Piala Asia U-19 di Myanmar. Saya sendiri sebenarnya tidak optimis juga saat turnamen tersebut, demi menjaga suasana saat itu, sekalipun saya tidak pernah mempublikasi satupun kalimat pesimistis saat itu. Bagaimana mungkin ketika pemain-pemain sepakbola yang masih “suci” itu bertanding dengan membawa panji Indonesia tidak saya dukung? Alhamdulillah, kegagalan mereka di Myanmar tidak banyak yang mencerca. Bangsa ini sudah mampu membedakan, mana yang sejati mana yang bukan. Meskipun masih sangat sedikit yang menyadari betapa berat beban yang ada di pundak Evan Dimas dkk saat itu.

Timnas U-19 dan Maiyah

Seorang sahabat saya mengatakan; “Cak Nun memang tugasnya menemani orang-orang yang terpinggirkan.” Kalimat tersebut muncul ketika hari-hari dimana Indra Sjafri dan Timnas U-19 memiliki persambungan yang cukup intens dengan Maiyah. Dalam perjalanannya, Letto pun menyumbangkan sebuah karya yang khusus dipersembahkan untuk Timnas U-19 berupa sebuah lagu berjudul Hati Garuda.

Beberapa pertemuan baik secara personal maupun dalam forum-forum Maiyah benar-benar memberikan bekal yang tepat tidak hanya bagi coach Indra Sjafri sendiri, namun juga bagi seluruh tim official pelatih dan para pemain. Secara kasat mata, mereka memang gagal di sebuah turnamen level Asia. Saya menilai, kegagalan tersebut merupakan cambuk yang cukup keras bagi Evan Dimas dkk.

Persambungan yang harmonis ini berjalan dalam waktu yang cukup singkat, dalam kurun waktu kurang dari setahun, Indra Sjafri yang merupakan tokoh utama Timnas U-19 begitu cepat akrab dengan Maiyah. Peran Cak Nun yang memposisikan sebagai orang tua bagi Timnas U-19 ini sangat tepat. Peristiwa menemani Timnas U-19 ketika turnamen Piala Asia U-19 berlangsung benar-benar menjadi peredam suasana yang sangat kondusif. Jika dulu ketika Timnas sepak bola bertanding dalam sebuah turnamen dan kemudian gagal, maka akan kita kalimat-kalimat bernada hinaan dan cercaan yang sangat keras kepada para pemain. Tapi hal itu tidak terjadi pada Timnas U-19 ini. Sebuah tulisan Cak Nun saat itu menjadi peredam yang sangat ampuh menghindari cercaan dan cacian yang ditujukan kepada Evan Dimas dkk.

Merintis kembali Sepak bola sebagai pemersatu bangsa

Indikasi dipecatnya Indra Sjafri dari struktur Timnas U-19 pun sudah terbaca sejak kegagalan itu, ketika salah satu pengurus PSSI yang diwawancarai di Mekkah mengatakan bahwa Indra Sjafri akan dievaluasi. Vonis pemecatan hanya soal waktu saja. Dan hari ini, PSSI memastikan mendepak Indra Sjafri dari kursi kepelatihan.

Ironis. Ketika seorang pelatih asli keturunan, lahir dan besar di negeri sendiri justru tidak diberi waktu lebih untuk menangani anak-anak kita sendiri. Sungguh tragis, ketika kita diperlihatkan betapa federasi sepak bola kita tidak bisa menghargai seorang pelatih yang sudah mengorbankan segalanya demi membangun sepak bola bangsa ini, justru disingkirkan hanya karena ia gagal melampaui satu target yang ia ajukan sendiri. Ingat, target lolos piala dunia adalah target Indra Sjafri sendiri bersama Nur Saelan dan Jarot ketika memberikan presentasi di PSSI tahun 2011, bukan target federasi sepa kbola kita!

Begitu lama kita merasakan kemarau panjang akan sebuah prestasi dalam sepak bola, Indra Sjafri hadir mempersembahkan sebuah prestasi yang membuat bangsa ini tersadar bahwa sebenarnya kita memang mampu untuk mencapai titik puncak itu. Jika kita berlaku normal, trofi AFF U-19 hanyalah trofi Turnamen Kelompok Umur. Sebuah trofi yang tidak bergengsi untuk kita banggakan. Tetapi bangsa ini sudah terlampau jenuh karena hampir setiap turnamen yang diikuti oleh tim nasional Indonesia di tingkat ASEAN saja paling pol mencapai posisi runner up saja. Tapi, itulah yang terjadi. Kita benar-benar sedang haus, meskipun yang hadir hanyalah sebuah trofi bernama AFF U-19, itu sudah cukup melegakan dahaga kita.

Jerman, sebelum menjadi juara dunia 2014, terakhir kali menjadi juara dunia adalah tahun 1990 dimana saat itu mereka masih terbelah menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur. Prestasi terbaik mereka setelah bersatu menjadi sebuah negara bernama Jerman adalah Piala Eropa 1996 di Inggris. Berstatus sebagai juara bertahan, Jerman gagal total di Piala Eropa 2000. Meskipun di Piala Dunia 2002 mereka berhasil menembus ke partai final dan dikalahkan oleh Brasil saat itu. Federasi sepak bola mereka bersepakat untuk merintis kembali sepak bola mereka. Joachim Loew menyusun cetak biru pembinaan sepak bola Jerman. Setiap klub yang berlaga di bundesliga diwajibkan memiliki sebuah akademi sepak bola, jika tidak maka klub tersebut akan degradasi secara otomatis ke divisi 1. Sekian ratus sekolah sepak bola non-akademi mereka dirikan. 12 tahun setelah cetak biru itu dipraktekkan, Jerman menjadi juara dunia. Berbeda dengan Inggris, meskipun mereka memiliki kompetisi terfavorit saat ini (jika hitungannya adalah rating penyiaran), Liga Inggris berada di urutan teratas. Namun apa yang terjadi dengan tim nasional mereka? Pangeran Williams mungkin sudah lupa kapan Inggris menjadi juara dunia.

Yang seharusnya dilakukan oleh PSSI adalah mencontoh bagaimana Jerman membangun kembali sepak bola mereka. Benar adanya bahwa saat ini sepak bola tidak bisa dilepaskan dari keuntungan bisnis. Namun yang terjadi di Indonesia, keuntungan dari segi materi hanya dinikmati oleh sebagian pelaku sepak bola itu sendiri saja. Sepak bola modern seharusnya bersinergi satu sama lain, bukan saling bersaing hanya untuk keuntungan pribadi atau golongan. Jepang mencanangkan mimpi menjadi juara dunia di Piala Dunia 2050, ini artinya para pemain yang akan bertanding di Piala Dunia 2050 belum lahir. Menurut coach Indra Sjafri, kita tidak memiliki mimpi itu.

Indra Sjafri baru menjalankan cetak biru sepak bola Indonesia yang ia susun tersebut selama 2 tahun, dan berhasil meraih 1 trofi resmi dan 2 trofi turnamen kelompok umur di Hongkong. Federasi sepak bola kita ternyata tidak cukup memiliki kesabaran seperti yang dimiliki oleh federasi sepak bola Jerman. Federasi sepak bola kita tidak sepenuhnya ingin sepak bola kita berprestasi. Mereka tidak serius membangun suasana yang kondusif di negara ini dalam membangun sepak bola. Kompetisi sepak bola tidak pernah jauh dari kecurangan.

Indra Sjafri dengan segala keterbatasan yang ia miliki mampu mendapatkan 25 pemain yang bertalenta di Indonesia. Negara ini terdiri dari 33 Provinsi, jika saja PSSI kembali memberikan kesempatan kepada Indra Sjafri untuk kembali turun ke daerah dan membangun lagi sebuah tim sepakbola, bukan hal yang mustahil ia akan mendapatkan lebih banyak lagi pemain-pemain yang berkualitas. Dengan dukungan dana yang besar, infrastuktur yang mumpuni, sebuah hal yang sangat mungkin diwujudkannya sebuah tim nasional sepak bola yang berkualitas.

Apapun itu, salam hormat saya kepada anda, coach Indra Sjafri. Anda telah membuktikan bahwa bangsa ini sangat mampu untuk berprestasi dalam sepak bola. Anda juga telah membuktikan bahwa dengan anak-anak asli kelahiran bangsa ini, sebuah prestasi tertinggi dapat diraih. Sungguh benar apa yang teman anda sampaikan, anda memiliki pemain-pemain berkualitas, tetapi anda dan pemain-pemain yang anda bina berada di ladang yang tandus. #TerimaKasihIndraSjafri