Ngaji bersama Cak Nun dan Sabrang di Korea

Perjalanan Cak Nun ke semenanjung Korea kali ini dimulai dengan lawatannya di kota Busan. Setelah dua hari di kota Busan, Cak Nun kemudian bergegas menuju Seoul, ibukota Korea Selatan, untuk mengikuti forum diskusi berikutnya. Dari Seoul, selepas acara dihari jum’at (1/8) di Masjid Darussalam sore harinya, Cak Nun melanjutkan perjalanan menuju kota Uijeongbu yaitu sebuah kota yang terletak di ujung utara Korea Selatan, dekat dengan perbatasan antara Korea Selatan dan Korea Utara. Musholla Al-Ikhlas kota Uijeongbu tempat diadakannya diskusi bersama antara Cak Nun, Sabrang dan para tenaga kerja Indonesia (TKI) terbilang istimewa, karena tempat tersebut didirikan oleh pendatang dari Indonesia yang masuk ke Korea Selatan secara illegal.

Pembahasan diskusi menghangat hingga baru berakhir pada pukul dua pagi waktu setempat. Topik-topik sosial, politik dan keagamaan menjadi topik yang paling banyak dibedah, termasuk isu-isu khas “kaum rantau” seperti asimilasi kebudayaan, pergaulan sosial, dan lain-lain.

Pada pagi harinya, Cak Nun kembali melanjutkan perjalanannya, menuju kota Gimhae, Busan. Perjalanan ditempuh sekitar 7 jam dengan moda transportasi darat.

Kota Gimhae bukan tempat yang asing bagi Cak Nun. Januari lalu, ia pernah mengunjungi dan mengadakan forum-forum diskusi bersama para tenaga kerja asal Indonesia disana. Kali ini, “gerombolan” tenaga kerja asal Indonesia kembali menyambutnya dengan memenuhi seisi ruangan masjid, tempat diadakannya diskusi. Malam itu, forum dihadiri bukan saja oleh para pekerja asal Indonesia namun juga banyak mahasiswa yang ikut hadir berbagi pengalaman dan siap menimba ilmu dari Cak Nun.

“Ketika kita sudah menemukan cinta pada semua perjalanan, pada semua pandangan, pada setiap nafas, pada setiap ucapan, lama kelamaan kita benar-benar mengenal cintanya Gusti Allah.”
Sabrang

Melewati dunia dalam rangka menabung akhirat

Wabtaghi fiima aataaka-d-daaro-l-aakhiroh, walaa tansa nashiibaaka mina-d-dunyaa; di dalam kesibukkanmu dan kekhusyukanmu mencari akhirat, kamu jangan lupa dengan nasibmu di dunia,” Cak Nun mengawali diskusi dengan mengutip sabda Rasullullah. Cak Nun mengingatkan bahwa yang wajib itu mencari akhirat, namun selama proses mencari akhirat jangan serta-merta melupakan dunia. “Jangan lalu kelaparan, jangan terus tidak beli baju, jangan terus tidak mandi. Harus tetap ada pertahanan hidup di dunia.”

Skala prioritas perjalanan manusia sesuai ajaran Islam dan Rasulullah adalah mencari akhirat, hal ini kembali dikuatkan oleh Cak Nun dengan mengingatkan kembali niat awal para jamaah saat pertama kali datang ke Korea, untuk mencari dunia atau mencari akhirat.

“Ini yang membuat orang Korea bingung. Mereka bisa membangun gedung, bisa membangun jalan tol, bisa membuat hukum yang baik, tapi nanti kalau sudah selesai bekerja, mereka bingung. Nanti kalau sudah mati kemana? Kan tidak ada kejelasan, mereka tidak ada pengetahuan mengenai itu. Tidak ada teori, tidak ada ajaran, dan tidak ada perspektif, itu yang membuat mereka sering stres. Bagi mereka ini sudah selesai, pembangunan ini sudah top, Korea ini sudah hebat, tapi untuk apa ini semua? Nanti kalau ada gempa, habis semua ini.”

Cak Nun menjelaskan salah satu filosofi Jawa tentang hidup di dunia: neng ndunyo piro suwene, njur bali nang panggonane, yang bermakna: apa pentingnya dunia ini sehingga orang-orang bertengkar soal capres, habis-habisan bersaing. Karena bagi mereka, dunia adalah tujuannya, sementara pada “ayat” tadi: di dunia berapa lamanya. Bagi orang Jawa, secara metafor, di dunia itu hanya sekedar mampir minum. Dunia itu penting. Namun tetap, dunia adalah satu interval antara satu stasiun ke stasiun lain. Stasiun terakhir adalah akhirat.

“Kira-kira lebih sejahtera mana? Orang yang mencari dunia sebagai tujuan, ataukah orang yang melewati dunia dengan kerja keras dalam rangka menabung akhirat? Yang mana yang lebih produktif? Yang pertama atau yang kedua? Yang lebih beruntung adalah yang kedua. Silahkan ini dihitung, baik dihitung pada diri anda masing-masing maupun dihitung pada yang anda lihat di Indonesia.”

Cak Nun melanjutkan, “Saya sampai tua seperti sekarang ini tidak pernah bersaing. Tidak pernah mendaftarkan diri, tidak pernah nyaleg, tidak pernah nyapres, tidak pernah mendekat-dekati calon Presiden supaya dijadikan Menteri, tidak sampai ngemis-ngemis, menjilat-jilat. Jadi kiai juga tidak terlalu senang, jadi ustadz ya saya tolak. Saya lebih senang hidup biasa. Karena bagi saya, dunia itu hanya mampir minum sebentar, itu semua bukan tujuan.

“Tapi orang kebanyakan tidak percaya, disangkanya kalau dunia hanya menjadi jalan, maka kita mendapatkan sedikit dunia, padahal tidak. Secara harta benda, saya memiliki harta lebih besar daripada orang yang setengah mati hidupnya mencari harta, itu tanpa saya pernah niatkan mencari harta. Kita mendapatkan lebih daripada orang-orang yang mencari dunia. Anda lihat, Kiai Kanjeng itu dibanding grup lain pentasnya lebih banyak mana? Kiai Kanjeng sudah 22 tahun sekarang, dan tidak pernah berhenti (red: pentas). Kemarin 3 bulan full berkeliling terus. Kita tidak pernah iklan, juga tidak pernah promosi.

“Kiai Kanjeng sendiri juga ‘tidak jelas’, tapi bisa makan, bisa menyekolahkan anak. Karena yang terpenting skala prioritas kita itu adalah mencari Allah, mencari akhirat. Kalau istilah Kiai Kanjeng, anda baca surat Al-Isra’ ayat 1; pokoknya ada kejadian apa saja, berangkat atau tidak berangkat, hujan atau tidak hujan, itu semua kejadiannya hanya satu, yaitu diperjalankan oleh Allah. Kalau bahasa Arabnya: asraa bi’abdihi laylan.

“Kita itu hanya diperjalankan. Kalau anda kesini tidak digiring oleh Gusti Allah, ya kasihan anda. Kalau Gusti Allah yang menyuruh anda kesini, kalau ada apa-apa Gusti Allah yang melindungi. Tetapi kalau anda kesini nekat-nekat sendiri tanpa persetujuan Gusti Allah, kalau ada apa-apa, anda cari perlindungan sendiri. Ini satu pertimbangan hidup. Anda hidup itu, hidup sendiri atau disuruh Tuhan? Kalau disuruh Tuhan nanti kan anda dibiayai, dilindungi kalau apa-apa. Kalau anda mengeluh ke siapa? Ya, ke yang menyuruh. Kalau anda ke Korea tidak disuruh Tuhan, tidak anda kaitkan sama kehendak Tuhan, terus nanti kalau mengeluh, lalu Gusti Allah menjawab, “Lah yang nyuruh kamu ke Korea siapa? Sekarang mengeluh, dulu waktu mau ke Korea tidak ngomong sama Aku, setelah sengsara begini baru mengeluh kepadaKu.” Bagaimana kalau Gusti Allah menjawab seperti itu?

Asraa bi’abdihi laylan, Maha Suci Allah yang memperjalankan hambanya di malam hari. Apakah “malam hari” itu? Apa yang dimaksud dengan “gelap”? Cak Nun menjelaskan: “Anda tahu tahun depan apa yang terjadi pada diri anda? Bulan depan? Minggu depan? Besok pagi? Jadi gelap apa terang? Hidup itu gelap. Maka hidup itu mencari terang, karena hidup itu gelap. Karena gelap kita mencari cahaya, maka kita sholat di rumah, di kost, di masjid. Karena sholat itu pencahayan, satu kali sholat anda mendapatkan tambahan cahaya dari Allah.”

Kita itu hanya diperjalankan. Asraa bi’abdihi laylan, Maha Suci Allah yang memperjalankan hambanya di malam hari.

Cocokkan kehendakmu dengan kehendak Tuhan

Menyikapi kondisi Indonesia yang sedemikian rusaknya, Cak Nun mengibaratkan kondisi Indonesia seperti truk yang rusak parah. Truk Indonesia sedemikian besarnya, sehingga memperbaiki truk yang kecil saja kita sudah berkeringat apalagi memperbaiki truk besar Indonesia.

“Malingnya segitu banyaknya, tikusnya segitu banyaknya, kelihatannya kiai tapi maling, kelihatannya Menteri padahal perampok, kelihatannya anggota DPR padahal penjambret. Seperti itu kondisinya, mau anda jadi pemimpin Indonesia?” tanya Cak Nun kepada jamaah.

“Saya mau menjadi pemimpin Indonesia, asal yang menyuruh Gusti Allah. Tapi kalau yang menyuruh rakyat atau pemilu, tidak mau saya, untuk apa? Maka, hendaklah engkau hidup itu dicocokkan dengan kehendak Tuhan. Yassin ayat terakhir: innama amruhu idza aroda syai’an ayyaqula lahu kun fayakun, kalau anda punya kehendak, kalau anda sudah telanjur melakukan sesuatu, cepat-cepat konfirmasi sama Tuhan. “Ya Allah kalau ini tidak sesuai dengan kehendak-Mu, mohon halangi aku untuk meneruskan, tetapi kalau ini cocok dengan kehendak-Mu, Ya Allah, halangi setiap orang yang akan menghalangi pekerjaanku ini.”

Cak Nun mengkritisi perilaku transaksional yang selama ini banyak diterapkan di segala lini kehidupan. Perilaku transaksional wajar jika kita bisa menempatkan pada proporsi yang tepat, karena pada hakikatnya tidak semua aktifitas yang kita lakukan adalah transaksional.

Cak Nun mencontohkan seorang tukang becak yang bekerja keluar rumah membawa becaknya selama 12 jam. Apakah selama 12 jam itu dia melakukan transaksi ekonomi? Berapa jam dalam 12 jam itu mencari uangnya? Tukang becak itu bertransaksi hanya saat tawar menawar dengan penumpang. Setelah cocok harganya, maka selanjutnya tukang becak tinggal menggenjot becak, berdoa, dan bersyukur. Pikirannya sudah tidak boleh bertransaksi lagi. Cari uang itu cukup pada saat transaksinya saja, setelah itu berdoa dan bersyukur.

Cak Nun menambahkan, “Kekeliruan kita adalah seharian penuh mencari uang. Anda tidak perlu cari uang di Korea, waktu anda kontrak itu saja bertransaksi untuk cari uang, selebihnya anda kerja keras, berdoa, setia, meningkatkan kemampuan, bukan cari uang. Karena uangnya sudah pasti dapat, untuk apa anda cari uang? Misalnya saya ke Korea sini, tanya kepada panitia, ada transaksi tidak saya kesini? Saya kesini tidak mencari uang. Kalau anda sholat, pasti Gusti Allah kasih kemurahan. Bukan berarti anda mencari kemurahan. Makanya, jangan salah niat. Niatnya sholat, itu saja, karena pasti Tuhan kasih kemurahan, jangan sholat dalam rangka dapat pahala, itu berarti anda berdagang. Jangan anda mengeluarkan uang ke ustad 1 juta dengan harapan nanti berlipat-lipat jadi 20 juta, ya kalau begitu bukan shodaqoh namanya, itu namanya berdagang.”

“Hanya dengan konsep syukur kita menjaga kedekatan kita dengan Tuhan.”
Sabrang

Konsep bersyukur

Forum diskusi kembali menghangat dengan masuknya Sabrang dengan pandangan-pandangannya. Sabrang memaparkan beberapa hal, salah satunya tentang konsep bersyukur. Ia menggarisbawahi bahwa Nabi Muhammad diberi gelar paling ahli bersyukur. Sabrang menganggap meski konsep syukur telah dikenal dalam kehidupan keseharian, namun masih kebanyakan orang belum sepenuhnya memahami betapa berat bobot bersyukur.

Sabrang mengawali dengan sebuah pertanyaan, “Menurut sedulur-sedulur, Tuhan itu Maha memberikah?” Jamaah serentak menjawab, “Maha Memberi.” Sabrang melanjutkan pertanyaanya, “Yang diberi baik atau buruk?” Jamaah merespon,”Ada yang baik, ada yang buruk.” Sabrang menegaskan bahwa itu sudah merupakan satu logika, bahwa Tuhan Maha Memberi, memberi apapun.

Penjelasan berikutnya adalah berhubungan dengan pengertian: Tuhan itu berlaku sesuai dengan prasangka hambanya. Sabrang melanjutkan: “Tuhan Maha memberi apa, itu tidak pernah dikasih tahu. Entah itu memberi nasihat, memberi uang, memberi rejeki, itu semua tidak pernah dikasih tahu. Pokoknya Tuhan Maha memberi. Tuhan Maha memberi segala hal. Kalau anda bersyukur, tolong kasih contoh kepada saya, anda bersyukur apa.” Jamaah merespon, “Terima kasih sudah diberi kesehatan.”

Sabrang melanjutkan, “Jadi, kita mesti berprasangka baik kepada Tuhan, bahwa Tuhan memberi kita kesehatan, begitu kita balik ke yang pertama tadi, Tuhan Maha memberi titik-titik, diisi oleh Tuhan Maha memberi: kesehatan. Karena konsep yang kita omongkan bersyukur adalah kesehatan.

“Kalau misal kita ngomong lapar, karena kurang rejeki, kurang uang untuk makan. Kita bedakan ketika kita merespon dengan: Alhamdulillah Gusti Allah walaupun begini masih bisa hidup, maka Tuhan Maha memberi: masih bisa hidup. Jadi yang diberikan berikutnya adalah: masih bisa hidup. Kalau kita mengisinya dengan: Wah Gusti Allah tidak memberi rejeki ini, kurang-kurang terus, Tuhan Maha memberi: perutnya lapar terus. Itu yang mengisi titik-titik tadi kita sendiri, mengisi apa yang dimintakan kepada Tuhan adalah kita sendiri, dengan prasangka kita sendiri.”

Dengan konsep sepanjang itu dengan mudahnya Islam membuat konsep yang namanya syukur, karena ketika kita bersyukur pasti alasannya positif, kita mencari-cari alasan positif. Misal sudah tangan terpotong, kita bilang: untung tangannya yang terpotong, bukan kaki, alhamdulillah. Alasan bersyukur selalu alasan positif. Sehingga ketika Tuhan maha memberi titik-titik itu akan selalu diisi oleh hal yang positif, jadi follow up berikutnya adalah hal-hal yang positif.

“Hanya dengan konsep syukur kita menjaga kedekatan kita dengan Tuhan, menjaga prasangka baik kita dengan Tuhan, dan tidak pernah ngarani Tuhan harus seperti apa, diisi dengan hal-hal yang liar atau selalu diisi oleh hal-hal yang baik, jadi akal kita tertuntun untuk mencari alasan-alasan yang efektif sebagai doa, tanpa kita sadari,” lanjut Sabrang.

Dalam pemahaman Sabrang, konsep syukur memiliki peran sangat penting, meskipun yang disebut dengan syukur itu juga melewati beberapa tingkatan.

Tingkat pertama adalah: sabar. Pada tingkat ini, orang membutuhkan usaha untuk meredam diri sendiri. Setelah mampu bersabar, akan menuju tingkat berikutnya, yaitu: berprasangka baik. Di tingkat ini, akal kita masih mencari cara agar sesuatu yang dianggap tak enak dan negatif menjadi sesuatu hal yang positif. hal tersebut sudah merupakan peningkatan kualitas bersyukur.

Tahap berikutnya setelah berprasangka baik, adalah: ikhlas. Saat kita memberi atau ketika kita mendapatkan sesuatu, kita tidak pernah berhitung. Baru setelahnya meningkat ke: syukur. Tidak hanya melupakan tetapi meyakini bahwa itu semua adalah hal baik, semua pasti baik, isinya penuh terima kasih kepada Gusti Allah. Tidak ada kata lain selain terima kasih kepada Gusti Allah. Karena terkadang alasan kita berterima kasih adalah karena dibuka oleh perjalanan waktu. Tidak harus tahu sekarang, tetapi keyakinan syukur itu yang tertanam. Itulah ahli syukur, ketika dia bisa mensyukuri segala hal, tahu atau tidak tahu alasannya.

Tingkat yang paling tinggi adalah: meridai. Meridai Gusti Allah. Berpikirnya tidak hanya pada lingkaran kejadiannya tetapi juga berpikir bahwa ini sebuah perjalanan untuk kembali menuju ke Tuhan. Hatinya akan tenang, hatinya tidak akan goyah karena apapun, karena dia tahu jelek-baik-buruk-enak-tidak enak itu cuma pengalaman di dunia yang tidak ada hubungannya dengan kembali ke Tuhan. Itu hanya sebuah pengalaman, hanya sebuah cara untuk belajar bagaimana kembali ke Tuhan. Dan tingkat terakhirnya ketika kita sudah rida sama Tuhan, maka Tuhan akan meridai apapun yang kita lakukan.

Investasilah pada hal-hal yang bisa dibawa mati

Sabrang melanjutkan pemaparannya, “Kalau ilmu berinvestasi, kalau anda mau investasi uang, hukum ekonominya itu, investasilah pada hal-hal yang pasti. Semakin dia pasti, semakin kecil resikonya. Semakin dia tidak pasti, semakin spekulasi, maka semakin besar resikonya. Jadi, investasi yang paling aman, yang paling baik adalah kepada hal-hal yang pasti, itu rumus ekonomi modern.

“Mereka tidak pernah berpikir dalam hidup yang pasti itu hanya kematian, tidak ada yang lebih pasti daripada itu. Setiap manusia pasti mati. Jadi, kalau orang-orang modern mau berpikir lebih luas sedikit, ketika dia pakai ilmu investasinya, dia tahu dalam hidup yang pasti adalah mati, langkah logis berikutnya adalah investasi pada hal-hal yang bisa dibawa mati, untuk hal-hal yang setelah mati.

“Dan kita punya informasi, setelah mati itu ada apa saja. Di Islam amat banyak informasi itu. Kalau berdasarkan skala prioritas, mau berangkat dari agama, mau berangkat dari universitas, mau berangkat dari mana saja, logisnya prioritasnya adalah hal-hal setelah mati, bukan hal-hal sebelum mati.”

Cak Nun merespon, “Islam itu memberi tahu anda tentang mati dan sesudah mati. Anda punya konsep, makanya terus berpikir ada akhirat, ada surga, ada neraka. Jadi, ada informasi yang Anda percaya mengenai kehidupan sesudah mati. Dan mengenai itulah yang orang Korea bingungkan. Orang Korea itu tidak punya konsep apapun mengenai setelah mati itu bagaimana. Mereka hidup dalam ketidakpastian dan mereka takut kepada kepastian.

“Orang hidup itu tidak pasti hidup terus atau tidak kok. Keuntungan anda, kenapa anda lebih tenang hidupnya karena anda punya pengetahuan mengenai mati dan sesudah mati. Sekarang, mana yang lebih cocok dan layak untuk anda jadikan tujuan utama? Sebelum mati atau sesudah mati? Sama puasa saja mereka heran. Padahal dalam peradaban Jawa, orang yang paling cerdas itu orang yang dalam keadaan tidak kenyang dan tidak kelaparan, itu situasi fisik yang paling cerdas dan paling cerah. Kalau orang sekarang, kalau lesu tidak bisa mikir, kalau kenyang males mikir. Kita punya celah, situasi yang terbaik dalam hidup itu adalah sebelum kenyang, tapi jangan kelaparan. Kalau anda sudah kelaparan, itu harus makan, tetapi makanmu jangan sampai kekenyangan, itu situasi yang terbaik. Orang Korea heran dengan puasa itu, karena mereka pikir, makan itu energi, puasa itu tidak punya energi, begitu pola pikirnya, padahal tidak begitu.”

Jadilah orang yang patut menerima ilmu

Pada forum hari itu, Sabrang menambahkan bahwa ia belum pernah menemukan cerita Kanjeng Nabi yang tiba-tiba ceramah, selalu ada pertanyaan sebelumnya, kalau beliau tidak ditanya, beliau akan memancing dengan pertanyaan-pertanyaan semacam: Fulan, anda tahu tidak tentang ini? Kemudian akan ada respon: Saya tidak tahu, Kanjeng Nabi. Barulah beliau bercerita dan memberi tahu tentang suatu hal. Dan proses demikian itu—Nabi memberitahukan tentang suatu hal—selalu ada sebabnya yang sangat logis. Karena akan “mengganggu” perjalanan manusia, jika tiba-tiba ngomong tidak karuan.

Sabrang melanjutkan, “Ilmu itu bebannya berat, ilmu juga sangat bisa membebani manusia. Maksud saya begini: anak kecil TK, buang air besar dicelana, tidak dipukuli bapaknya karena dia tidak tahu bahwa buang air besar di celana adalah salah. Kalau anak SMA tahu-tahu buang air besar di celana, pasti dipukuli sama bapaknya, karena dia sudah tahu ilmunya. Jadi, ketika seseorang tahu ilmu dan dia belum siap menjalaninya, dia akan terbebani bukan tercerahkan.

“Apa tanda-tanda orang siap menerima sebuah ilmu? Yang saya ketahui, yaitu ketika dia bisa memformulasikan, ketika dia bisa merangkai sebuah pertanyaan, makanya ada mekanisme seperti itu (red: mekanisme Nabi memancing dengan pertanyaan). Karena ketika tidak ditanya dan saya tidak tahu pertanyaannya, maka saya tidak punya akses untuk mencari jawabannya tersebut, dengan begitu kita kerjasama untuk membuka pintu bersama.”

Beberapa hal kemudian ditambahkan Cak Nun, “Sabrang mengatakan ilmu itu mending jangan terlalu banyak, mending anda tahunya al-fatehah saja, tetapi dijalani secara sungguh-sungguh daripada al-fatehah belum dijalani tahu-tahu sudah masuk al-baqarah. Al-baqarah belum paham apa-apa pindah lagi ke an-nisa, al-maidah, dan lain-lain. Itu yang dimaksud Sabrang ‘ilmu sebagai beban’ dan belum tentu ‘ilmu itu sebagai pencerahan’. Makanya jangan banyak-banyak ceramah. Kalau bisa forum itu cukup seperti ini saja, misalnya salah satu dari anda baca hadits, lalu diskusi, “kalau menurut kamu gimana? Menurut kamu gimana?” sudah cukup begitu saja. Dan tidak perlu sejak awal siap, kalau menurut anda dengan yang lain berbeda, ya pasti saja, orang memang orangnya saja berbeda, kok harus sama?”

“Saya bilang di kampung-kampung, kenapa sih anda mengundang ustad? Kenapa anda tidak bergiliran khotbah, khotbah Jumat itu bergiliran diantara jamaah disitu, apa sih susahnya belajar khotbah jumat itu? Bacapun boleh, tidak masalah. Kenapa harus panggil ustaz? Kelemahannya adalah, anda tidak mengenal dirinya, anda tidak mengerti hidupnya dia, anda tidak bisa mencocokkan yang diomongkannya dengan kelakuannya sama atau tidak, berarti anda sangat rawan untuk dibohongi. Kalau yang khotbah itu diantara anda sendiri, pasti dia akan baik khotbahnya, karena tidak akan berbicara sesuatu yang tidak cocok dengan hidupnya. Kalau mengundang ustaz dari Jakarta, tidak apa-apa sekali-sekali untuk hiburan, tapi jangan ilmunya, kalau ilmunya untuk apa ilmu berasal dari orang yang tidak punya landasan kaburo maktan ‘indallahi antaquuluuna maa laa taf‘aluun.

“Maka disini, di masjid Al-Hidayah saya juga mengajaknya begini, melingkar beberapa orang, maiyahan. Seperti ini namanya majelis tausi’, kalau tausiah itu kan sesuatu yang diwasiatkan, tausi’ itu artinya dari kata wasi’a (luas). Jadi majelis tausi’ itu majelis dimana kita bertemu saling memperluas wawasan kita dimulai dari hadits, ayat, lalu dibahas saling berdiskusi.

Tausi’ ini sangat baik karena membiasakan untuk berbeda, dan berbeda tidak masalah, karena kebenaranku belum tentu kebenaranmu, karena tanggungjawabnya sendiri-sendiri. Jadi anda mulai malam ini jangan bilang kata Cak Nun, kata ustaz, kata pak kiai, mulai malam ini jangan ngomong itu lagi, tetapi langsung: kata saya begini, sebab nanti anda ditanya malaikat juga sendiri-sendiri. Anda hidup lahir sendiri, mati sendiri, dan anda mempertanggungjawabkan sendiri, jadi jangan ambil keputusan atas nama orang lain. Ambillah keputusan kalau anda sudah matang dengan masalah itu, baru anda ambil keputusan. Karena yang tanggung jawab anda sendiri. Yang dituntut Tuhan bukan kebenaran sejati, yang dituntut Tuhan adalah pencarian, menuju kesana, jujur, anda jujur terhadap apa yang anda cari.

“Jangan sekali-sekali bertengkar karena perbedaan paham tentang agama. Dan jangan mau anda dipaksa dan anda jangan memaksa orang. Dan jangan menyalahkan satu sama lain. Kalau kita tidak mempunyai keluasan hati, kebebasan pikiran untuk mengijinkan dan memaklumi orang lain berbeda dari anda, celaka itu.

“Kebenaran sejati itu tidak terletak pada lidah dan mulutmu, tetapi terletak di niatmu, dan niat baikmu, bukan terletak pada ekspresinya. Sekarang ini umat Islam sangat sempit. Masjid Al-Hidayah ini jangan sampai dimasuki orang-orang yang mempersempit anda.”

Sesi Tanya Jawab

Jamaah bertanya, “Saya lihat di youtube, Mas Sabrang pernah berbicara, bahwa otak kita tidak dirancang untuk memproses masa depan, tetapi otak kita dirancang untuk memproses masa sekarang dan masa lalu. Orang yang kehidupannya berat biasanya otaknya digunakan untuk memproses masa depan, seampuh-ampuhnya tidak bakal bisa dipakai. Saya minta penjelasannya dari mas Sabrang, mungkin itu bisa dipahami ketika semua itu terjadi, tapi ketika sebelum terjadi itu kita biasanya membuat planning A, B, C, dan seterusnya. Kadang itu kita dibingungkan oleh planning kita sendiri”

Merespon langsung pertanyaan dari jamaah, Sabrang kembali bertanya, “Kalau pengalaman mas sendiri, keakurasian planning itu berapa persen kira-kira?”

Ia menjawab, “20-30 persen, Mas.”

Sabrang memberikan penjelesan, “Seperti Cak Nun bilang tadi, masa depan itu sangat gelap, karena kita tidak tahu rencana yang sangat rinci, sangat baik, itu bisa rusak hanya karena hujan 5 menit. Jadi masa depan itu benar-benar gelap, kita tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi ketika kita melihat masa lalu, semuanya kan sangat terang, karena semua sudah terjadi, semua sudah menancap di ingatan, tapi yang kita ambil adalah pelajarannya, kita bisa niteni apa yang sudah terjadi.

“Misalnya begini, ketika ada orang tua meninggal, setelah meninggal biasanya ada pembahasannya begini: “oh iya ya, pantes saya kemarin mimpinya seperti ini” atau “oh iya ya, dia sebelum meninggal begini-begini…” itu hanya terang ketika kejadiannya sudah datang, ketika belum datang kita tidak tahu. Tetapi kita bisa belajar, ternyata ada informasi yang datang duluan sebelum kejadiannya, informasinya apa bisa kita pelajari agar kita bisa lebih menggambarkan masa depan itu seperti apa. Karena masa depan itu seperti sebuah novel yang ditulis oleh semua yang hidup di dunia, semua mempunyai hak nulis apa kejadian berikutnya, jadi kan tidak pasti, hanya mengira-ngira.”

Banyak ilmu di dunia dipelajari dari apa yang sudah dialami dan sudah terjadi. Dengan begitu kita tidak perlu memberatkan diri berkonsentrasi tentang masa depan harus bagaimana.

Sabrang: “Masa depan itu kita tanam sekali saja, kemudian kita lanjutkan belajar dari apa yang sudah kita alami, karena itu semua sebenarnya adalah persiapan kita untuk memahami apa yang di depan. Semakin kita melangkah, semakin paham, semakin melangkah lagi, semakin paham lebih banyak lagi, begitu terus. Kalau kita sudah bisa memprediksi apa yang akan terjadi, pasti akan ada anomali lagi.

“Ketika kita sudah bisa melihat batu, kita akan selip sama yang kerakal, ketika kita sudah bisa melihat kerakal, kita selip sama kerikil, kita sudah bisa melihat kerikil, kita selip sama pasir. Bisa liat pasir, kita selip sama debu, dan seterusnya itu tidak berhenti terus menerus. Tetapi kan kita bisa belajarnya bukan dari masa depan, tapi apa yang sudah terjadi sebab dan akibatnya, juga efeknya.

“Saya kasih satu contoh lagi, misalnya cinta. Kita tidak bisa melihat cinta itu sebagai satu entitas. Kita disini belajar tentang cinta, kelihatan eskalasi cintanya. Ketika kecil kita sangat cinta dengan diri kita sendiri. Ketika remaja mulai suka dengan orang lain, seolah-olah cinta sama orang lain, tapi sebenarnya kita mengharapkan balasan, sebenarnya kita tidak mencintai orang lain, kita hanya belajar seolah-olah mencintai orang lain, sebenarnya kita mencintai diri kita sendiri dengan jalan melalui orang lain. Setelah remaja, nanti kita sama istri ketemu cinta yang berikutnya sama anak, kalau dengan istri bisa luntur, kalau sama anak nyawapun bisa diserahkan, itu benar-benar murni cinta untuk orang lain. Lihat eskalasinya dari cinta pada diri sendiri, cinta seolah-olah untuk orang lain, dan benar-benar cinta untuk orang lain.

“Perhatikan orang-orang tua yang sudah mapan hidupnya, pasti dia akan cari komunitas, kumpulan RT, kumpulan arisan, kumpulan bola, dll. Karena naluriah dia ingin mengekspresikan cintanya pada komunitas yang lebih besar, dia butuh koneksi yang lebih besar, cintanya tumbuh lebih besar lagi, tidak hanya untuk satu orang, tetapi orang lain pada konsep yang lebih banyak lagi.

“Kalau kita bisa melihat polanya, skalanya dari kecil, aku, orang lain, orang lain satu, orang lain dua, orang lain banyak, ternyata skalanya semakin besar, hingga menemukan “oh ternyata yang paling besar adalah cinta kepada Gusti Allah.” Nanti akhirnya cinta pada semua hal yang diciptakan oleh Tuhan, tidak bisa menemukan apapun yang tidak dicintai.

“Ketika kita sudah menemukan cinta pada semua perjalanan, pada semua pandangan, pada setiap nafas, pada setiap ucapan, nanti lama kelamaan kita benar-benar mengenal cintanya Gusti Allah itu sendiri. Karena cinta itu sendiri hanya produk. Cinta itu kata kerja, cinta itu akibat dari sebuah rindu, tapi ada sesuatu lubang di hatimu, di hatimu kangen sesuatu entah kita paham atau tidak.

“Itu sebab, ketika kecil tahunya hanya kesenangan, coba di isi dengan kesenangan, mencari dengan kepuasan, tapi itu karena tidak sejati pasti akan hilang, nah kerinduan itu tadi di jawab oleh cinta yang bermacam-macam. Kalau kita mengerti rindu itu sebenarnya apa, kita pasti akan tahu cinta yang bisa menjawab itu apa. Rindu itu yang sebenarnya cantelan (red: pegangan) kita ketika lahir di bumi, modalnya hanya rindu.

“Ketika kita dilahirkan di bumi, kita lupa perjanjian apa dengan Allah, lalu kita ditaruh di tengah hutan, tidak tahu harus kemana, tidak tahu harus mencari siapa, pokoknya hidup. Kita tidak pernah dikasih tahu harus kembali ke Tuhan, dan gimana-gimana, kita tidak tahu. Lalu apa pegangannya manusia, pegangannya rindu itu tadi. Kita bisa melihat mahluk “dibawah” kita, kita bisa melihat cahayanya. Coba perhatikan tumbuhan, dia selalu mencari cahaya. Kita bisa melihat cahaya matahari, kita bisa melihat tumbuhan, dia dalam levelnya “dibawah kita”. Kita juga mencari cahaya, rindu itu adalah cahaya yang selalu memancar, yang kita cari. Tapi memang pegangan rindu tadi yang melahirkan cinta, La illaha illa Allah.”

Cak Nun menambahkan, “Tahun 1975 saya pernah menulis puisi Di dalam diriku ada ruang amat luas tak terbatas, dan kalau kita tidak punya kerinduan itu, anda sudah tidak bisa hidup. Kerinduan itu kita juga tidak jelas, rindu kepada apa, siapa, bahkan kebanyakan orang tidak mengerti bahwa kamu itu rindu, tapi kan anda terus terbangun dari tidur, apa sebabnya bangun, lalu berdiri, kemudian mandi, itu karena anda sedang menuju sesuatu. Kalau anda tidak punya kerinduan, anda tidak mau menempuh apapun, tidak mau melangkahkan kaki.

“Kerinduan itu yang membuat kita jalan, meskipun anda tidak sadar bahwa itu kerinduan. Kalau ngomong tasawuf, Tuhan itu bikin kita karena Dia ingin mengalami rindu. Dia membikin kita agar ada interval Aku rindu kepada mahluk-Ku, yang sebenarnya adalah Aku sendiri. Supaya ada cinta dan dialektika, maka mahluk-Ku ini Aku kasih kerinduan juga kepada-Ku.”

Dunia adalah satu interval antara satu stasiun ke stasiun lain. Stasiun terakhir adalah akhirat.

Forum kembali menghangat dengan tanya jawab, salah satu jamaah bertanya, “Apakah ada bidah yang disunnahkan, kalau ada contohnya apa saja?”

Cak Nun menjawab: “Menurut anda bidah itu apa? Bidah itu apa yang Kanjeng Nabi tidak pernah melakukan, tidak pernah menyuruh, tidak pernah menganjurkan, itu namanya bidah. Maka pelaku bidah pertama adalah Abu Bakar, karena Kanjeng Nabi tidak pernah menyuruh menjadi khalifah, malah jadi khalifah, kalau dijumlah pelaku bidah itu banyak, setelah itu Umar lebih lagi. Quran dikumpulkan itu bidah, karena Rasulullah tidak pernah menyuruh, coba bagaimana itu? Jadi kalau anda dituduh ahli bidah, anda jawab saja “alhamdulillah memang dekat saya dengan Umar,” disambut tawa oleh jamaah.

Cak Nun melanjutkan, “Hidup itu butuh bidah, cuma ada bidah yang menguntungkan dan bermanfaat, ada bidah yang merugikan dan buruk. Nah disini pertengkaran lagi, coba sekarang daftari apa yang pernah dilakukan Abu Bakar dan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah itu berarti bidah, baik maupun buruk. Jadi jangan gampang dipengaruhi apa-apa, sebab setiap anda berbicara, setiap apa yang Anda lakukan itu harus keputusanmu pribadi, sebab nanti yang tanggung jawab anda sendiri. Anda pikir ustazmu nanti yang bantu anda di akhirat? Anda ini jangan mau ditimpa sesuatu tanpa anda menanyakan.

“Saya kasih tahu ilmunya saja, yang namanya bidah itu hanya berlaku didalam lingkup ibadah mahdoh, ibadah mahdoh itu rukun islam; syahadat, salat, puasa, zakat dan haji. Di dalam lima hal itulah terjadi bidah atau tidak terjadi bidah. Di luar itu semua, tidak ada bidah, yang ada haram, makruh, mubah, sunnah, wajib.”

Kehangatan forum malam itu tak terasa mengantarkan waktu hingga menjelang pukul 02:00 waktu setempat, seakan waktu tidak cukup untuk membahas berbagai macam ilmu. Akhirnya diskusi malam itu dipuncaki doa bersama, untuk kemudian pagi harinya Cak Nun, Sabrang dan mbak Via maiyahan di Ulsan University, Ulsan Gwangyeoksi, Daehak-ro.