Negara Indie

04musik copy
Meski Purwokerto sepanjang hari diguyur hujan, namun semangat penggiat Juguran Syafaat tetap utuh. Beberapa penggiat bahkan sudah berada di lokasi sejak Ashar. Menjelang malam, tata panggung, backdrop, sound system dipersiapkan. Karpet-karpet juga telah digelar.

Setelah Isya, dulur-dulur dari Banyumas, Purwokerto, Cilacap, Kebumen, Kroya dan Purbalingga mulai ramai berdatangan. Hadir pula sedulur dari komunitas Maiyah Gambang Syafaat, Semarang.

Tepat pukul 21.00 WIB, Kukuh membuka acara Juguran Syafaat dengan mengajak hadirin untuk bersama membaca dan mengirimkan Al-Fatihah kepada jamaah Maiyah se-Nusantara, juga kepada para sesepuh dan kepada Muhammad Ainun Nadjib. Pembacaan Al-Fatihah malam itu juga ditujukan untuk salah satu jamaah Maiyah dari Mandar (Sulawesi Selatan) yang tengah berduka cita. Jamaah menyambung dengan pembacaan surat Al-Hujurat secara tartil dan terpimpin.

Indie bukan hanya genre musik, tapi mereka adalah aktivis-aktivis atau para pejuang yang sebenarnya menggunakan musik sebagai alat untuk menyampaikan perjuangannya.

MUSIK INDIE, MUSIK SWADAYA

Setelah tadarus Al-Quran, acara dilanjutkan dengan pembahasan pada tema. Azmi Alatas, Riza dan Ifa lantas diminta untuk untuk memberikan pandangannya tentang musik indie. Ketiganya telah dikenal di Purwokerto bukan hanya sebagai pelaku musik indie, namun juga sebagai organizer beberapa event yang berkonsep swadaya, salah satunya acara Purwokerto Bersatu.

Azmi mengawali diskusi. Ia telah berkecimpung di dunia musik indie dari tahun 1998, sejak ia masih kelas 2 SMP. Kini ia membentuk band indie Soul Saver yang beraliran hardcore.

Azmi menjelaskan, jika membicarakan musik indie —atau musik independen atau musik underground atau non-mainstream, ada juga yang mengatakan musik bawah tanah— pada dasarnya bukan persoalan bentuk, tapi lebih kepada persoalan prinsip. Mengapa kemudian mereka masuk dalam kategori indie? Azmi berpendapat, “Kita berangkat dari sebuah dialektika, sebuah antitesa dari kondisi realitas.” Menurutnya, industri musik hanya mengakomodir mereka-mereka yang mempunyai skill bermusik, sehingga ada anggapan bahwa hanya orang-orang yang punya skill yang bisa berekspresi atau berkesenian. Selain itu, industri musik juga hanya melayani orang-orang yang mempunyai jaringan atau akses ke pemilik modal. Sehingga meskipun ada orang yang tidak memiliki skill bermusik namun bermodal, mereka bisa tetap berkarya musik. Dalam sisi nilai, Azmi juga berpendapat, karya musik mainstream tidak menyampaikan kenyataan atau realitas kepada masyarakat. Seolah keadaan baik-baik saja, padahal ada banyak masalah sosial yang terjadi di sekeliling kita.

Berangkat dari hal tersebut, Azmi menambahkan, lalu muncullah gerakan protes. Bahwa —dari sisi skill— apakah kemudian orang yang hanya memiliki sedikit kemampuan, tetapi dia memiliki hasrat untuk berekspresi atau berkesenian yang kuat, kemudian tidak memiliki akses belajar? Maka dari sinilah muncul gerakan belajar bersama, muncul gerakan bahwa dengan “tiga kunci” itu pun adalah sebuah karya musik. Yang kedua, persoalan “modal” yang kemudian memunculkan gerakan solidaritas bahwa dengan patungan seadanya, dengan kolektivitas, bisa membuat event dan berkarya, misal membuat album karya musik.

Azmi menjelaskan, “Inilah solidaritas. Inilah sebuah bentuk protes. Ketika pasar memperkaya mereka yang sudah kaya, lantas bagaimana cara kita berkarya? Maka disitulah proses kolektif itu muncul. “Jadi, nanti teman-teman yang membuat band, membuat lagu, membuat album, yang mengkonsumsi dan yang membeli ya teman kita sendiri. Ada sebuah perputaran disana. Untuk event, terkadang industri dengan sponsor membuat batasan-batasan genre musik. Maka temen-temen akhirnya bagaimana membuat lingkaran kolektif untuk membuat event sendiri.

“Yang terakhir, ketika berbicara pada persolan sosial tadi. Lagu atau musik di pasaran, jarang sekali yang berbicara tentang persoalan sosial, jarang sekali yang berbicara soal ketimpangan. Disitulah kemudian ada gerak kesadaran untuk kita belajar bersama-sama menyadarkan masyarakat bahwa kita ini sedang mengalami krisis, kita ini sedang mengalami persoalan-persoalan. Maka di komunitas indie banyak sekali yang mengusung tema-tema kritis. Sekalipun dalam perkembangannya sempat mengalami distorsi misi, arahnya jauh menjadi lebih kompleks.

“Ada yang tidak lagi berbicara mengenai permasalahan sosial, namun berbicara tentang ego. Tetapi berbicara tentang ego itu pun dalam bentuk kritik. Sebagai contoh, kritik yang menceritakan tentang hilangnya disorientasi seseorang, tentang kebingungan arah, tentang kegalauan yang itu merupakan kritik terhadap pola-pola egosentris seseorang.

“Banyak yang masuk ke kalangan indie itu tidak hanya semata-mata karena ingin beda, atau ingin unik. Ada sejarah yang cukup panjang. Pada awalnya kita memang sangat terpengaruh terhadap hal-hal impor, tetapi makin kesini semakin bertambah zaman, kesadaran untuk mencoba proses dialektik dengan budaya kita sendiri itu kita coba lakukan. Bukan lagi terjebak pada bentuk bahwa seorang punker itu harus mohawk, atau seorang skinhead itu harus botak dan membawa jargon-jargon dari Inggris, tapi kita coba berbicara pada persoalan-persoalan yang ada di Indonesia.

“Kalau kita berbicara tentang indie, bukan hanya genre musik, tapi sebenarnya mereka adalah aktivis-aktivis atau para pejuang yang sebenarnya menggunakan musik sebagai alat untuk menyampaikan perjuangannya. Pertanyaannya, bermusik itu untuk mendapatkan materi atau berupa kesadaran? Inilah yang membedakan antara mainstream dengan non-mainstream. Prinsip independensi atau prinsip merdeka terus dibawa meskipun mereka itu di dalam industri. Kita coba komparasikan dengan musik mainstream, dimana kita sudah tidak lagi peduli dengan apa yang diusung, tetapi pasar mau mengkonsumsi itu, itu oke. Dan kini sudah tak jarang, mereka atau band mainstream justru lebih banyak kalah kualitasnya dibandingkan band-band indie.”

Kusworo kemudian mengaitkan musik indie dengan perjalanan kebangsaan Indonesia. Bahwa kita bisa mengidentifikasi Indonesia itu jenis bangsa seperti apa, manusianya seperti apa, dengan kita mempelajari bahwa ternyata ada juga musik yang independen, ada juga musik yang tidak terbeli oleh industri. “Kalau kaitannya dengan negara, sekarang semua negara didorong, dipaksa untuk menjadi negara industri. Sebelumnya ada imperialisme dan kolonialisme, bahkan gerakannya semakin besar tajam setelah revolusi industri. Hampir semua negara —disadari atau tidak disadari— menjadi negara industri. Sementara, kalau belajar dari perjalanan nenek moyang masa silam kita, jangan-jangan ada kemungkinan bangsa Indonesia ini bukan bangsa industri. Musik ini bahasa universal, kalau anda bertemu dengan bangsa lain yang barangkali tidak sebahasa dengan anda, tapi melalui bahasa musik, anda tidak perlu mencerna (bahasa mereka) karena ada bunyi yang irama dan nadanya sudah disentuh dengan sentuhan estetika, kita tinggal menikmati,” tambah Kusworo.

Ifa menambahkan, bahwa musik underground itu bukan melulu musik cadas dengan vokal tidak jelas. Tapi underground itu lebih ke gerakannya. Indie itu merupakan kata serapan, sebenarnya kita sudah lama mengenal kata swadaya, swadana, cuma karena kekinian, akhirnya kita pakai indie, independen.

MUSIK DALAM KONTEKS KEBANGSAAN

Kusworo lalu mempersilakan Titut Edi bicara. “Indonesia ingin seperti Singapura, Indonesia ingin seperti Arab, Indonesia ingin seperti Amerika, ini ndak bagus. Saya itu kagum, orang kalau sudah sekolah tinggi ingin nyulap desanya menjadi desa industri. Ini gila. Sebab kalau semua menjadi negara industri, nanti yang jadi orang tani siapa? Nanti kiamat, saling bunuh-bunuhan. Dipikir tanah kita dijual, dijadikan pabrik, kita bekerja disitu, bisa membeli motor, tapi kita tidak punya sawah,” ujar Titut Edi.

Diskusi lalu disambung dengan penampilan musik dari Riza yang mengusung seni noise, dimana suara-suara noise dari mixer dan alat elektronik dipadupadankan menjadi sound art. Riza bercerita bahwa dia ingin menciptakan gestur suara, dimana itu adalah dasar dari seluruh chord musik. Bagi Riza ini adalah pencarian spiritualnya, sama seperti bentuk suluk dan dzikiran. Ifa menambahkan bahwa Riza mencoba menangkap suara yang biasa kita abaikan sehari-hari. Analoginya adalah, jika kita bisa mendengar orang sedang berbicara di depan kita, maka seni yang Riza tampilkan adalah suara kendaraan yang lewat yang sering kita abaikan.

Agus Wibowo, dari Gambang Syafaat Semarang, ikut memberikan perspektifnya tentang musik. Ia sampaikan bahwa peradaban kita sebenarnya diciptakan tidak jauh-jauh dari suara. Kita punya budaya tembang, pupuh dan lain-lain. Budaya suara kita dekat sekali dengan tradisi spiritual, tradisi yang mengharmonisasi antara alam internal dengan alam eksternal.

Hardi, salah satu praktisi pendidikan di Banyumas, yang merupakan penggemar radio frekuensi, merespon apa yang ditampilkan oleh Riza. Hardi bercerita seharusnya kita mampu berkomunikasi dengan alam ini dengan frekuensi-frekuensi tertentu. Misal dengan tanaman berapa hertz, ini bisa menjadi kunci produktivitas tersendiri oleh petani seperti Titut.

Rizky menambahkan, bahwa ruang diskusi ini membuat larut, sehingga kita lupa akan kebisingan yang terjadi diluar. Seperti berita di media akan kenaikan BBM, kekayaan maritim dan lain sebagainya. Jika memang nantinya Indonesia memilih untuk menjadi negara yang sama sekali berbeda dari kebanyakan, kita disini sudah siap menikmatinya.

Endro dari Purbalingga lalu memandu melantunkan Hasbunallah dengan diiringi oleh gitar dan organ sederhana. Rizky menafsirkan bahwa wirid Hasbunallah adalah wirid yang sangat romantis. Analoginya, seperti Kusworo pergi ke kota, berniat untuk ke mall, nonton bioskop dan makan bakso. Baru saja men-stater motor, pacarnya SMS mau datang ke rumah. Maka semua kebahagiaan yang terbayangkan kalau pergi ke kota sudah terwakilkan dengan bertemu dengan pacar yang datang ke rumah. Hasbunallah itu adalah kebahagiaan yang kita kejar itu, ketika Allah datang saja sudah cukup. Tapi kenapa wirid ini tidak terjadi, kemungkinannya pertama karena hubungan kita dengan Allah tidak jelas dalam konsep berpikir kita. Kemungkinan kedua adalah kita sudah termakan oleh pendangkalan tafsir dari semua wirid.


Lagu Ibu Pertiwi dibawakan dengan apik oleh Endro dan teman-teman. Sedulur yang hadir ikut juga melantunkan bersama-sama. Ditengah musik, Agus Sukoco membacakan puisi karyanya yang berjudul Ibu Kandung Anak-Anak Nusantara. Sebuah puisi tentang kegelisahan sebagai anak bangsa di tengah kondisi Indonesia yang kehilangan dirinya.

“Kalau ngomong negara tadi, kenapa kita memburu kemajuan dengan ukuran yang seperti, kalau disebut maju harus seperti Singapura, harus seperti Amerika, harus seperti Jepang. Itu karena kita tidak menemukan siapa diri kita. Kalau dalam khasanah spiritual dalam konteks personal, kita tidak paham man arofa nafsahu faqod arofa rabahu. Kita bawa ke konteks siapa diri kebangsaaan kita, sehingga kalau sudah tahu diri kita, kita tahu tujuan kita, kita berada pada orbit yang tepat, sehingga kita tidak nabrak-nabrak, berada pada jalan yang tepat. Ibu pertiwi itu selama ini kita pahami sebagai pengertian yang reduktif, yaitu lemah karo banyu tok. Padahal ibu pertiwi adalah diri sejati kebangsaan. Ibu pertiwi adalah tuan rumah nusantara yang kemudian dipalsukan oleh struktur sosial dan struktur politik hasil dari kesepakatan-kesepakatan global,” ujar Agus Sukoco.

Agus Wibowo dari Gambang Syafaat menambahkan bahwa ketika kita akan melanjutkan pembangunan, pasti kita harus tahu dulu, arsiteknya itu kepenginnya apa. “Nah ini kita niru atau nyontek arsitek dari luar. Sehingga kita bingung, mau membangun bangsa kita sendiri tetapi dengan gaya dan corak yang sebenarnya bukan ciri khas kita sendiri. Kalau soal maju atau tidak maju, dalam struktur masyarakat Jawa itu justru majunya seseorang ketika dia rela untuk mundur. Maka ada tiga terminologi: ing ngarso (di depan) harus memberi contoh gambaran-gambaran kehidupan, dia harus memberikan informasi bahwa kehidupan itu ada penderitaan ada luka, jegal dan sikut-sikutan. Dan tuladha disini untuk memberikan bekal untuk si generasi berikutnya tangguh. Ketika generasi sudah berangkat, yang di depan tadi berada di tengah. Ing madyo (di tengah) mangun karso, sehingga di tengah-tengah itu membangun keinginan, membangun pembangunan mental yang mumpuni. Setelah mumpuni, generasi ini berada di depan, kemudian si pendidik akan ada dibelakang, tut wuri handayani. Nah ini yang terbalik di dunia modern. Dunia modern itu disebut maju ketika meninggalkan orang lain, ketika orang lain terseok-seok dan jauh untuk mengejar baru itu dibilang maju. Tetapi untuk kita, dalam termoinologi Jawa itu mundur. Karena itu sama saja memenggal jonggo itu sendiri. Sehingga apa yang kita lihat sebagai Indonesia itu hanya sebagian kecil dari bangsa kita dan dari apa yang sebenarnya arsitek kita membangun,” ujar Agus Wibowo.

Agus Wibowo juga menceritakan tentang Kerajaan Jenggolo yang sekarang peninggalannya justru banyak di luar negeri, seperti Thailand. Jenggolo mempertahankan adatnya sehingga sangkan paran-nya tidak lepas. “Kapasitas kita untuk menjadi manusia yang unggul itu sudah diindikasi dengan beberapa hal yang Allah titipkan kepada kita. Karena segala hal itu titah, harus dikhalifahi, makanya harus dipelajari. Tumbuhan, tanah, api harus dipelajari. Orang-orang kita memilih peradaban yang merohani, artinya mengenali diri sendiri untuk mengenali kepribadian kita yang hakiki,” ujarnya.

03Diskusi-Sesi-1 copy

DIRI SEJATI KEBANGSAAN

Sukoco ikut menambahkan, “Kalau ngomong ibu pertiwi, saya mau membuat satu ilustrasi. Bangsa kita itu pernah melahirkan peradaban besar: Mataram Kuno, Sanjaya. Pernah melahirkan Sriwijaya, pernah melahirkan Singasari, pernah melahirkan Majapahit. Dan terakhir anak bontotnya bernama NKRI. NKRI ini bukan satu-satu anak yang pernah dilahirkan bangsa kita. Inilah diri sejati kebangsaan. Yang pernah diperankan oleh leluhur kita, yang secara fisik mati karena ada ukuran atau batas umur. Tetapi diri sejati kebangsaan ini tidak pernah mati.”

Agus Sukoco juga katakan bahwa orang Indonesia adalah orang yang hidupnya berada dalam kesadaran bertuhan. Maka disebut ketuhanan yang maha esa, orang yang berada dalam kesadaran ketuhanan yang maha esa, maka output sosialnya: kemanusiaan yang adil dan beradab, sebuah sikap universal yang tidak dibatasi oleh semangat primordial. Yaitu berbuat bukan karena seagama, sesuku, sedarah, tapi karena kemanusiaan. Orang dengan semangat universalisme berkemanusiaan akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mempersatukan, yang mempersaudarakan, maka: persatuan Indonesia. Dengan semangat mempersatukan, maka ketika ia mengambil keputusan maka ia bermusyawarah yang dipimpin oleh hikmah. Bukan voting. Apa itu hikmah? Saripati kebenaran. Orang yang sudah keracunan materalisme tidak akan pernah membaca, tidak bisa mendengar hikmah.

“Misalnya seperti ini, saya sedang naik motor, tiba-tiba ada telepon masuk yang tidak bisa saya terima dengan saya tetap berkendara maka saya berhenti. Setelah saya selesai telepon, kemudian ada orang datang minta tolong ke saya. Oh, ternyata Tuhan menciptakan mekanisme saya ditelepon orang, ternyata saya untuk menolong orang yang ada disitu. Pada saat Tuhan sedang menciptakan mekanisme saya ditelepon orang, dalam peristiwa saya ditelepon orang, ada bahasa Tuhan yang bilang: Gus tulungi kae wong (red: Gus, tolong orang itu), tapi bahasa Tuhan melalui bahasa kejadian. Dan paham materialisme tidak akan sampai pada ceruk terdalam dari kejadian, yaitu hikmah. Hikmah itu suara Tuhan. Di dalam setiap peristiwa, suara Tuhan itu saya rumuskan menjadi kata-kata manusia, kata kata budaya. Sehingga saya tidak berhenti pada kesadaran bahwa saya sedang ditelepon saja. Selesai. Tetapi didalamnya ada perintah Tuhan saya harus menolong orang yang datang disitu,” jelas Agus Sukoco.

Ibu pertiwi adalah diri sejati kebangsaan. Ibu pertiwi adalah tuan rumah Nusantara.

Dan orang yang berkumpul bermusyawarah dengan dipimpin oleh hikmah, artinya orang-orang yang mengambil keputusan dalam negara—entah Perda, Perpres, undang-undang atau apa saja—adalah orang-orang yang bisa mendengarkan hikmah. Sehingga keputusan dari hasil musyawarah yang dipimpin oleh hikmah adalah keputusan yang obyektif, proporsional, maka dia disebut dengan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Nah orang yang berjiwa pancasila inilah yang disebut diri sejati bangsa Indonesia.

“Rumusan siapa pancasila ini? Rumusan pendiri bangsa, mereka sangat tahu bagaimana membuka pintu bagi anak bangsa untuk memasuki keadaran diri sejati kebangsaan. Jadi siapa yang berkesadaran itu? Adalah kesadaran pancasila dia akan menjadi diri sejati kebangsaan. Dia kan menjadi tumpuan rumah dari bangsa nusantara. Selama ini paham materialisme meracuni kita bahwa yang tuan rumah itu ya yang paling pantas ngomong negara, camat, bupati, gubernur, presiden, padahal mereka belum tentu tahu pemahaman kesadaran pancasila seperti ini. Jadi meskipun bakul gorengan, kalau dia berkesadaran pancasila, dia menjadi tuan rumah bangsa indonesia.

“Tuan rumah inilah yang nanti pelan-pelan akan terus berjalan menuju entah apa kelahiran nanti setelah NKRI. Karena dulu Majapahit pernah dilahirkan, sekarang NKRI pernah dilahirkan, nanti akan ada penyempurnaan dari NKRI ini yang sekarang sedang carut marut. Cepat atau lambat. Tetapi bagaimana cara menyempurnakannya? Kita tidak tahu. Kita hanya menjalani kewajaran hidup dan kesejatian hidup saja. Kapan momentumnya tidak tahu. Rasulullah itu dapat ayat itu 6.666 ayat. Rasulullah tidak ngeyel ketika baru dapat ayat 100 kemudian menanyakan: kapan selesainya? Tidak mungkin Rasululah seperti itu. Dia hanya menjalani-menjalani saja, dari ayat ke ayat itulah perjalanan sejatinya, sampai Allah memberi momentum sempurna Islam sebagai agamamu.

“Jadi, yang kita lakukan adalah bertahan berada dalam kesadaran diri sejati maka kita akan seperti perjalanan Rasulullah meniti jengkal waktu dari detik ke detik mendapat informasi dari Allah sampai nanti Tuhan menciptakan momentum bagi kita, siapa saja yang berkesadaran bangsa Indonesia menjadi pelaku dari kelahiran nusantara yang lebih besar, lebih sempurna dan lebih beradab dari sekarang yang kita alami. Itulah diri sejati kebangsaan. Pintunya dibuka melalui pancasila, redaksi yang luar biasa.

“Kesadaran diri kebangsaan sejati ini tidak bisa melalui pendekatan materi. Kesadaran seperti ini tidak bisa didapatkan dengan kita memenuhi syarat-syarat formal administratif. KTP, itu kan syarat formal kewarganegaraan, status hukum sebagai orang Indonesia dalam konteks warga negara. Tetapi sebagai diri sejati kebangsaan, meskipun punya KTP tidak punya KTP, diakui tidak diakui, itdak ada urusan. Yang penting dia berkesadaran bangsa Indonesia. Yang bisa diperjualbelikan adalah kewarganegaraan, makanya ada orang Korea bisa lebih leluasa daripada orang kita. Itu yang diperjualbelikan. Tetapi diri sejati kebangsaan tidak bisa dijualbelikan kepada siapapun.

“Di Mocopat Syafaat kemarin, membahas Sultan Hadiwijaya yang mempunyai anak kandung bernama Pangeran Benowo, dan punya anak tiri yang namanya Sutawijaya. Kanjeng Sunan Kalijaga lalu memandati Ki Juru Mertani untuk membangun satu struktur politik yang namanya Mataram Islam. Yang nanti tahtanya diserahkan kepada Raden Sutawijaya, setelah jadi raja bergelar Panembahan Senopati yang menjadi Hamengkubuwono sampai sepuluh saat ini. Itu sayap satu anak, tapi sayap yang tidak terbaca oleh sejarah adalah ada langkah kultural dan gelombang tadi yang sepenuhnya adalah langkah dan strategi-strategi yang dilakukan oleh Pangeran Benowo. Dia merintis pesantren yang di generasi ketujuh Mbah Hasyim, ini dapat momentum menjadi pelaku kelahiran NKRI. Sunan Kalijaga seolah-olah sudah sangat tahu bahwa akan datang Belanda, dajjal dalam bentuk penjajahan, yang akan mengacak-acak Nusantara. Maka dibuat satu struktur politik yang nanti fokus Belanda, ternyata habis energi dan biayanya fokusnya mengacak-acak keraton, karena dia nampak, dia berbentuk formal, sampai lahir perjanjian Giyanti, memisah Jogja dan Solo. Itu dihabisi semua. Tapi Belanda lupa dan sepenuhnya tidak membaca, ada gelombang kultural, ada gelombang kesejatian yang justru melahirkan ledakan dahsyat pada momentum Mbah Hasyim ini sehingga lahirlah NKRI. Tapi ada gunanya juga Jogja dibikin, karena ada keraton Jogja.

“Ketika kita mendeklarasikan diri menjadi negara merdeka, dunia menuntut: negara apa yang merdeka, kamu tidak punya negara kok? Kemudian bersepakat yang merdeka adalah negara Jogja, ibukota pertama di Jogja. Jogja melegitimasi kelahiran bayi perkasa yang namanya NKRI, yang hari ini sedang kurang darah karena ada peristiwa-peristiwa politik. Tapi tidak tahu, bahwa dajjal kapitalisme telah menghancurkan NKRI melalui peristiwa politik, melalui peristiwa dagang. Tidak tahu bahwa ada orang-orang sejati yang sedang menempuh perjalanan sejati. Dan teman-teman semua disini insya Allah, akan menjadi ledakan dari lahirnya kebangkitan NKRI yang lebih besar dari hari ini, ada penyempurnaan-penyempurnaan yang hari ini tidak diduga oleh siapapun. Karena Barat sekarang melalui misi globalisasi, kapitalisasi, akan habis energinya menghabisi struktur formal dan bentuk formal negara kita. Tapi meraka tidak tahu bahwa kekayaan yang utama kita adalah kekayaan rohani, perjalanan-perjalanan kultural yang hari ini sedang kita lakukan. Mereka tertipu, ada gelombang besar yang nanti akan datang. Kita nyicil malam hari ini.

“Saya hidup dengan keyakinan ini. Ada orang yang berkeyakinan mencari uang, ya terserah. Kayakinan saya bahwa ada tugas besar kenapa kita diturunkan ke bumi. Apa iya hidup hanya cari bahan makan dan tidur saja? Ada yang lebih sejati, yaitu perjalanan menempuh dan berdialog dengan Tuhan sampai Tuhan menunjukkan dan membuat momentum tadi. Pangeran Benowo tidak tahu kapan mau jadi ‘bayi sempurna’, baru jadi sampai generasi ketujuh, yaitu Mbah Hasyim. Berapa ratus tahun? Pangeran Benowo juga tidak terburu buru membuat bentuk apa nantinya, Pangeran Diponegoro juga tidak terburu memerdekan diri, ndak. Mereka sangat paham, sangat adab. Dia menunggu petunjuk Tuhan terus maka bergerak, bergerak sampai Tuhan menciptakan momentum, ndilalah, Hiroshima mendadak dibom. Tiba-tiba kita punya kesempatan untuk memproklamirkan diri. Lah apa nanti peristiwa kita menemukan kesejatian kebangsaan kita, kita tidak tahu. Kita jalani saja. Sebagaimana Rasulullah meniti dari waktu ke waktu menerima ayat demi ayat, menerima petunjuk demi petunjuk,” Agus Sukoco melengkapi pembahasan malam itu dengan cermat.

Yang kita lakukan adalah bertahan dalam kesadaran diri sejati, seperti Rasulullah meniti jengkal waktu dari detik ke detik untuk mendapat informasi dari Allah.

Azmi lalu merespon penjelasan Agus Sukoco dengan perspektif tentang bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa, dimana mindset kita hanya terjebak pada bhineka tunggal ika saja, tapi tan hana dharma mangrwa-nya lupa. Dimana tidak ada pengabdian yang mendua. Pengabdian kepada siapa lagi kalau bukan kepada Tuhan? Ini adalah bentuk syahadat bangsa kita sejak dari dulu.

“Kita sebenarnya jauh sudah beragama sebelum ada paham-paham impor dari luar. Kita sudah beragama berbangsa. Memang dalam urusan state (bernegara) kita belum sempurna, tetapi dalam konteks nation (berbangsa) kita sudah selesai. Buktinya dari lima sila, dan bhineka tunggal ika, ini negara dibangun berdasar dari sebuah analisa dari kondisi obyektif geografis orang-orang atau pribumi-pribumi setempat yang mendiami termasuk mereka-mereka yang non pribumi.

“Kenapa hari ini, mindset kita terarahkan ke globalisasi? Karena kita mengamini bahwa Amerika itu adidaya, kita mengamini bahwa parameter kemajuan adalah kemampuan negara lain untuk mengeruk kekayaan negara tetangganya. Kenapa bukan santunnya seseorang kepada orang lain? Yakinnya seseorang kepada Tuhan? Kenapa bukan sebuah memaknai sebuah kejadian itu paramater peradaban?” pungkas Azmi.

Wiratno dari Purwokerto merespon forum seperti ini adalah bentuk forum hakikat yang tidak sembarang orang bisa masuk kedalam pembahasannya. Wiratno kemudian menyumbangkan lagu Ibu Pertiwi namun dengan bahasa Jawa, diiringi dengan musik Endro.

Mugi dari Banjarnegara merespon bahwa kehidupan dalam bernegara ini sama seperti kehidupan seseorang. Dalam menapaki kehidupan yang baru kita selalu melakukan upacara terhadap pencapaian-pencapaian baru. “Bangsa Indonesia itu pernah dimodali Tuhan, dengan diberi konsep yang bernama Hindu. Dengan konsep Hindu, bangsa Indonesia mampu melahirkan Mataram Kuno pada abad ke-8. Ketika dimodali Budha, maka lahirlah Sriwijaya, Singasari dan Majapahit. Dan sekarang nambahi modal, Islam. Seandainya Islam dipahami secara benar, secara komperehensif maka ini modal luar biasa yang dulu bangsa kita pernah dimodali Hindu Budha dan terakhir dimodali Islam. Itu ibaratnya dulu kita dimodali pisau, bisa membuat kandang ayam, sekarang kita diberi modal golok, malah yang terjadi tidak bisa membangun apa-apa, malah meruntuhkan bangunan yang lama. Dengan cara berpikir ini, maka kita tidak akan menyebut yang lain salah. Persoalannya sekarang bagaimana kita mendayagunakan fasilitas dari Tuhan berupa konsep Islam ini, yang hari ini direduksi sedemikian rupa hanya kotak-kotak, alat perbenturan satu sama lain,” tambah Agus Sukoco.

Menurut Agus Sukoco, orang yang memiliki kesadaran kebangsaan sejati sudah tidak tersekat oleh suku dan warna kulit. Siapapun bisa memiliki kesadaran ini. Orang dengan kesadaran ini sudah bahkan tidak lagi terkotaki oleh negara. Sudah tidak ada Malaysia, Amerika, Arab. Maka ada konsepsi hamengku buwana, hamengku bumi. Ini sifatnya alam. Kesadaran ini tidak boleh dirusak. Maka Rasulullah bukan hanya memiliki tugas lokal regional tapi juga rahmatan lil alamin. Global universal.

Tepat pukul 01.15, wirid Padhang Mbulan dilantunkan bersama-sama oleh para sedulur yang hadir. Suasana khusyuk dinikmati semuanya. Kemudian sebuah lagu Fatamorgana dipersembahkan oleh Endro dan dulur-dulur Purbalingga. Agus Sukoco kemudian memberikan hadiah CD Album Tahta Cinta karya dulur-dulur Purbalingga kepada Wiratno, sebagai bentuk apresiasi kepada Wiratno sebagai sedulur yang datang dan disepuhkan di Juguran Syafaat.

Nomor selanjutnya berjudul Untuk Simbah Guru, dilantunkan kembali oleh Endro dan dulur-dulur Purbalingga. Titut mempersembahkan karya spontanitas puisi kolaborasi dengan musik. Kolaborasi yang unik dan asyik dari Titut selalu membawa warna berbeda disetiap bulannya. Azmi dan Hardi menutup diskusi dengan memberi kesimpulan-kesimpulan. Lagu Syukur dinyanyikan bersama sebagai bentuk rasa syukur akan silaturahmi yang indah dan penuh barokah ini.

Tepat pukul 02.00, acara dirampungi dengan bersalaman melingkar.

[Teks: Hilmy Nugraha]