Mukadimah TANAH TUMPAH DARAHKU

BERSANDAR DI TUMPUKAN TOMBAK, busur, pedang dan rongsokan senjata, terbaring dipenuhi ratusan anak panah yang menancap disekujur tubuh. Penuh luka, bermandikan darah merah menghitam, Bisma tergolek tanpa daya. Nafasnya tersengal menggapai udara subuh, linangan air mata darah nyaris menutupi sorot mata penuh penyesalan. “Duh Gusti maaf kesalahanku, meski tak sanggup lagi aku menyaksikan anak-cucuku saling membantai, izinkan aku menyaksikan akhir Perang Baratayuda ini, untuk menebus kesalahanku dimasa lalu.”Setengah sadar, bayangan 5 bocah Pandawa berlarian bersama 100 bocah Kurawa disekitar seorang pincang yang sedang memangku seorang bocah disebelah orang-orangan sawah. Canda-tawa mereka mengiang ditelinga sang Bisma. “Paman, aku ingin menjadi orang-orangan sawah untuk mengusir burung-burung yang hendak merampok padi kita yang sebentar lagi panen.” Arjuna berlari manja dan disongsong Yamawidura, lantas didudukan dipangkuan kirinya. “Arjuna bodoh, kita bunuhi dengan panah saja burung-burung itu,” sanggah Duryudana yang sedari tadi dipangkuan kanannya.Bocah-bocah Pandawa dan Kurawa mulai merapat duduk melingkari Yamawidura, menanti pengajaran dari sang kakek Bisma. “Hahaha, sebelum itu, kalian mesti belajar untuk mengolah tanah, menanam benih, mengairi, memupuk dan merawat sawah kalian sendiri. Sehingga berbuah dengan baik, supaya ada padi siap panen yang akan kalian jaga.” Sembari berdiri, Yamawidura menggendong Duryudana dan Arjuna, menyambut kedatangan Bisma ditengah mereka.

“Jika kalian ingin jadi petani, ikutilah apa yang disampaikan paman kalian.” terang Bisma sambil menurunkan kedua bocah dari gendongan Yamawidura. “Tapi, kalian adalah para ksatria yang kelak akan menjadi penerus pemerintahan Negara Astina. Jadi, selama kalian mampu memerintah rakyat dengan baik, urusan pangan dapat kalian kendalikan meski kalian bukan seorang petani,” sambung Bisma menjelaskan. Seperti biasanya, Pandawa-Kurawa lebih menyukai pengajaran Bisma ketimbang Yamawidura. Sementara, Yamawidura lebih memilih berbaur dengan Rakyat Astina di sawah-sawah, pasar-pasar dan jalanan. Yamawidura sangat mengasihi Pandawa-Kurawa, namun lebih menyayangi anak-anak mereka dan Rakyat Astina.

Bisma mulai pulih kesadarannya, lirih menggumam “Oh Yamawidura, andai saja kubiarkan Pandawa-Kurawa belajar proses dan kemandirian hidup sejak dahulu. Mungkin, perang saudara ini tak akan berlangsung dan pertumpahan darah tak terjadi.”

Embun pagi bercampur cipratan darah yang mengental diujung rerumputan Lapangan Kurusetra sebagian tertimbun lumpur bercampur darah. Para prajurit Astina mulai bersiap perang, berbaris sekenanya. Hari kesekian sejak Baratayuda dimulai, Adipati Karna menjadi Senopati Perang pasukan Kurawa melawan Arjuna dari pihak Pandawa. Kedua pihak pada posisi yang sama-sama kuat, yang berarti juga keduanya sama-sama lemah. Namun nafsu kedua pihak ingin membantai lawan terus memuncak, keduanya meyakini kebenaran ada dipihak masing-masing.

Seorang pria tampan berkalung senopati menghampiri Bisma yang tergeletak. Sorot matanya tegas, namun terkesan congkak. “Paman Bisma, restumu kuharapkan untukku memenangi peperangan ini.” Karna meremas jemari Bisma, seolah mencoba mengurangi luka derita yang sedang menimpanya.

“Oh Karna, maafkan aku. Kau tak perlu restuku untuk membunuh adikmu. Namun aku merestuimu, jika kau bersedia kembali ke Awangga dan membatalkan perang ini. Temuilah Yamawidura, libatkan dia dalam mengurusi Ibu Kota Awangga, niscaya Negara Astina akan lebih makmur dengan bimbingannya.”

“Paman Bisma, Awangga selalu tergantung Astina. Jika Astina sampai diurus oleh pesolek semacam Arjuna, yang ada justru Astina akan semakin terpuruk. Paman Bisma tahu persis siapa Pandawa, lantaran rakyat sedang kasmaran pada Arjuna, bukan berarti dia selalu benar. Bagaimana mungkin Astina dipimpin oleh orang yang ingin jadi orang-orangan sawah?”


“Tanah tumpah darahku” tanpa tahu maksud dari penggalan lirik lagu itu, sejak taman kanak-kanak, kita diwajibkan menghafal dan menyanyikannya, Indonesia Raya. Bahkan sampai sekarang, Indonesia sebagai Tanah Airku, lebih diterima untuk mengacu pada luasan politis-geografis daratan-lautan di Asia Tenggara ini. Sedangkan, Indonesia sebagai tanah tumpah darah, sepertinya tidak mudah untuk dipahami maksudnya. Apakah itu mengacu pada tanah yang diperebutkan dengan perjuangan yang berdarah-darah oleh para pendahulu kita, atau bagaimana?

Tentu, istilah tanah-air dan tanah tumpah darah ini digunakan bertujuan untuk memupuk nasionalisme para pemuda pejuang kebangkitan nasional Indonesia Raja. Bahwa Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Ambon dan lain sebagainya, yang berkumpul pada Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 sepakat bahwa perlu ada persatuan dan kesatuan Indonesia di luasan wilayah, diantara suku-suku bangsa, dan pada berbagai bahasa Nusantara ini. Perlu ada penggalangan fisik politik untuk melawan Kolonial Belanda pada saat itu dengan Satu Nusa, Bangsa dan Bahasa. Namun pada saat ini, masih relevankah ‘sumpah pemuda’ itu untuk membangkitkan kembali nasionaliame Indonesia yang semakin terpuruk?

Banyak ditemukan dimana-mana merosotnya nasionalisme Indonesia. Seperti bangunan yang tinggi besar namun keropos-keropos ada disekujur tubuh Negara-Bangsa Indonesia. Demokrasi liberal yang bukan kelahiran Indonesia itu, begitu dipaksakan untuk menopang bangunan. Demokrasi dipaksakan menjadi tiang-tiang kokoh yang tajam, namun dipasang secara serampangan, sehingga semakin mengoyak lantai, dinding dan atap, bahkan tiang-tiang dan pondasi bangunan negara-bangsa Indonesia tertusuk-tusuk olehnya. Bukannya menyangga, malahan semakin memperbanyak lobang-lobang menganga. Anehnya banyak yang tersinggung, banyak yang tidak terima jika kita mengingatkannya. Entahlah, apakah mesti dibiarkan genderang perang berbunyi, ataukah cukup dengan tidak ikut serta prosesi demokrasi liberal yang tanpa tujuan ini? Cukupkah kita dengan tidak menambah beban negara-bangsa yang semakin rapuh itu dengan tidak bergantung kepada Negara? Ataukah ada cara lain supaya tanah tumpah darah kita ini tidak disia-siakan atau menjadi sia-sia?

Tiga setengah abad sebelum kemerdekaan, sejarah dengan airmata bercucuran, ibu-ibu yang kehilangan anak-anaknya, istri-istri yang ditinggal suaminya, anak-anak yang ditinggal orang tuanya, kekasih yang terpaksa terpisahkan. Sejarah penuhkeringat, luka-luka, bertupahan darah dan berserakan kematian untuk melahirkan bangsa ini. Indonesia tumpah darahku, “Aku” para Syuhada yang lantang meregang nyawa demi mempertahankan Tanah air. “Aku” para Syahid pejuang-pejuang yang mengesampingkan ke-aku-an pribadinya, rela menyerahkan nyawanya demi kemerdekaan hidup anak-cucu-keturunannya, demi martabat mereka yang saat itu diinjak-injak, diremehkan oleh penjajah hak hidup berbangsa. Tapi, kemana anak-anak itu saat ini? Kemana mereka?

Anak-anak itu sekarang menjadi pelacur-pelacur politik kekuasaan. Anak-anak itu berkubang lumpur kebudayaan sampah. Anak-anak itu saling hujat, saling bunuh, senang mencari-cari kebusukan saudaranya, bahkan bergembira ria memakan bangkai saudaranya. Anak-anak itu hilang akal, berpesta pora, mabuk kekuasaan. Sampai-sampai anak-anak itu menonjolkan kegagahannya dengan bangga memperkosa Ibu Pertiwi, menelanjangi bahkan memucikarii, tanpa segan menggadaikan bahkan menjualnya.

Kenduri Cinta 11 Juli 2014 “Tanah Tumpah Darahku”, akankah tema kali ini tidak hanya sekedar tema saja, namun “Tanah Tumpah Darahku” dalam arti sesungguhnya. Selamat berpuasa.

9 Juli 2014 — Dapur Kenduri Cinta