Mukadimah KEMERDEKAAN MAIYAH

BHARATA YUDHA berakhir, kemudian sunyi.

Sangkakala kemenangan berbunyi bersahutan, namun tak ada kemeriahan justru dengung haru yang mendayu pilu. Panji panji Amarta compang-camping berkibar, sedangkan Panji-panji Astina berserakan bercampur lumpur dan jasad tanpa nyawa yang bergelimpangan.

Redup sinar mentari senja menerpa wajah Yudistira yang berdiri diapit keempata saudara Pandawa. Takada roman muka kemenangan pada wajah mereka. “Bergembiralah saudaraku, bukankah kemenangan ini yang kalian harapkan? Bukankah perang ini telah menentukan penerus pemerintahan Astina selanjutnya?” Sang Dwarawati memecah suasana dengan senyuman yang tak dapat ditafsirkan dengan kata.

Tak ada yang menyahut, selain air mata yang tumpah tak terbendung. “Hmmm, Jelitheng kakakku. Kalau saja sejak awal kau katakan bahwa yang penting bukan siapa yang memenangkan perang, tapi bagaimana pemerintahan Astina dapat memakmurkan rakyatnya, mungkin tak perlu kematian Kurawa dan Guru Durna.” geram Werkudara.

“Seno… Seno, mungkinkah sebaliknya, mungkinkah jika tidak kalian menangkan perang ini, maka tak pernah akan ada kemakmuran di Astina dan Amarta?” tambah Sang Dwarawati.

“Oh, titisan Wisnu, apakah ini berarti jika Kurawa dan Pandawa rukun sejak awal Baratayudha tidak akan terjadi?”. Arjuna bertanya sembari mengusap air mata dipipinya.

“Yang pasti Rakyat Astina tidak terganggu oleh ketidak-rukunan kalian”, Sang Dwarawati menggelengkan kepala penuh wibawa. “Teruslah cari kemenangan dan kemerdekaan sejati. Setidaknya kalian tahu jika sedang mengalami kemenangan palsu.” Sri Bathara melanjutkan perkataannya dengan senyum teduh menghibur.


Kalau saja setiap komunikasi dan interaksi sosial dalam keluarga, bertetangga, lingkungan kerja, pabrik, kantor, sekolah, pasar, desa dan kota, lokal, nasional dan internasional didasari kemesraan cinta kasih hakiki, mungkin forum seperti Kenduri Cinta ini tidak kita butuhkan dan tidak menjadi wajib lagi.

Kalau saja setiap organisasi/lembaga sosial, entah itu berupa paguyuban, komunitas, Parpol maupun perusahaan, entah itu lingkup keluarga, RT/RW, Desa/Kelurahan hingga negara-bangsa-dunia, senantiasa mementingkan kepentingan bersama dan hanya bertujuan sebagai lembaga penyalur Rahmat Tuhan Semesta Alam, sepertinya tidak menjadi wajib adanya Masyarakat Maiyah.

Persoalannya praktek organisasi/lembaga acap kali tidak berpihak terhadap kepentingan bersama, bahkan keberadaannya hanya dijadikan alat sistematis untuk mentlikung kepentingan bersama dengan memanipulasi Rahmat Tuhan, termasuk keberadaan negara-negara-bangsa. Sementara diantara kita masih saja ada yang diam-diam dan terang-terangan menyebar dendam permusuhan karena tidak siap untuk bermasyarakat.


Romantisme kekalahan dan kemenangan sering kali menyederhanakan sejarah yang sesungguhnya. Realitas proses sering tercecer dan terabaikan dikarenakan perhatian hanya tertuju pada hasil menang/kalah dari pertandingan. Hanya goal-goal yang dikenang, sedangkan konsistensi dan keuletan team dan pelatih saat berlatih terlupakan.

Sehingga, kemerdekaan hanya dikenang sebatas sejarah seremonial deklarasi kemerdekaan suatu bangsa dari penjajahan bangsa lainnya, seolah kemerdekaan itu tidak ada kaitannya dengan campur tangan bangsa-bangsa lain selain kedua bangsa itu. Begitu banyak rangkaian peristiwa yang tak nampak pada panggung sejarah, menjadi lipatan-lipatan sejarah yang terlupakan.


Persoalannya bukan sekedar bagaimana supaya Pandawa dapat memenangkan Baratayuda dan mengalahkan Kurawa. Tapi, dalam pertunjukan wayang perlu ada yang menyiapkan panggung, menyiapkan gamelan, ada penonton, ada kerjasama yang harmoni antara dalang, sinden, dan nayaga (penabuh gamelan), supaya dapat menjadi pertunjukan yang indah dan dapat dinikmati penontonnya.

Masalahnya, saat ini wayangnya ingin jadi Pandawa semua, bahkan ada wayang yang ingin memerankan dalang, dalangnya tidak hanya seorang dan mereka saling berebut wayang, sindennya hanya joged-joged, dan semuanya ingin jadi pemain tidak ada yang bersedia jadi penonton. Padahal dalam realitas sosial, setiap pribadi memerankan perannya masing-masing sekaligus menjadi penonton bagi yang lainnya.


Ketika Semut-semut bersaing antar sesama dan saling mengalahkan, maka gotong royong yang menjadi ciri khas mereka akan hilang. Begitu juga Gajah yang karena tidak ingat akan kemampuannya, maka hanya dengan ikatan rantai rapuh-pun menjadi tak berdaya.

Sedangkan sekawanan Sapi yang dipelihara oleh para Naga dengan cara kekeluargaan semu, akan dengan rela memeras susunya sendiri, menggemukkan tubuhnya, membiakkan generasinya dengan sukarela menjadi santapan para Tuan Naga.

Itulah puncak sukses penjajahan, yaitu pada saat yang dijajah tidak menyadari bahkan dengan senang hati untuk tetap dijajah.

“Kenali siapa dirimu? Tentukan ‘terbang’-mu!” menjadi hal yang mendasar dalam bermaiyah. Jika Perkutut manggunglah sebagai Perkutut, tidak perlu iri pada Murai yang pandai berkicau. Jika Emprit bergerombolah sebagai Emprit. Jika Ayam Jago berkokoklah dengan lantang dipagi hari dan tidak perlu berharap mampu menyaingi Elang mengepakan sayap ke tinggi angkasa. Dan, jangan sangka menjadi Macan itu bahagia, justru dia menderita karena mesti memangsa untuk kebutuhan perutnya.


Maka lumrah, jika muncul desakan dari dalam untuk mewujud (to be) lembaga/organisasi pada sekumpulan orang yang intens berkomunikasi dan memiliki niat dan tujuan bersama, begitu pula yang terjadi pada orang-orang Maiyah.

Bedanya, eksistensi wujud Maiyah justru bukan pada para individu jamaah maupun organisasi/lembaganya, namun eksistensi Maiyah ada pada kebersamaan dalam cinta segitiga Allah Muhammad dan kita dalam sebuah masyarakat yang mengimani bahwa aktor utama dari berubahan nasib kaum adalah Allah SWT, masyarakat yang ridha pada qadla qadar-Nya, masyarakat yang bekerja keras, bersyukur dan mementingkan kepentingan bersama, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, mengayomi bangsa-bangsa, memahami batas kemerdekaan dan kemerdekaannya, menjaga kesetiaan nasionalisme, inilah Masyarakat Maiyah.

Boleh dari suku bangsa apa saja, dari disiplin ilmu, bidang profesi dan agamanya apapun, secara perorangan maupun berkelompok, dapat bergabung dalam Masyarakat Maiyah asalkan berkomitmen menjalankan prinsip dan nilai-nilai Maiyah.

Masyarakat Maiyah Kenduri Cinta pada tanggal 15 Agustus 2014, seperti biasa mengadakan maiyahan bulanan di Plaza Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kali ini mengambil tema Kemerdekaan Maiyah, semoga penghapus penjajahan diatas dunia ditemukan.

Jakarta, 14 Agustus 2014 — Dapur Kenduri Cinta