Milad Nahdlatul Muhammadiyin dan Relaunching Majalah Sabana

Sabana-4-coverrr-724x1024Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib (Rubud EAN) di Jalan Wates km 2,5 Gang Barokah No. 287, Kadipiro, Bantul, Yogyakarta, malam itu dipenuhi oleh jamaah dan juga masyarakat Maiyah. Padatan jamaah sudah tampak mulai dari pendopo hingga dihalaman parkir. Malam itu diadakan acara Milad Nahdlatul Muhammadiyyin (NM) yang ketiga serta re-launching majalah Sabana edisi keempat dengan format baru.

Memasuki pukul delapan malam, Haryanto dari Nahdlatul Muhammadiyin membuka acara tersebut dimulai dari mendengarkan mars Nahdlatul Muhammadiyin yang liriknya ditulis langsung oleh Cak Nun yang kemudian diaransir oleh Novi Budianto bersama Kiai Kanjeng, mars tersebut pertama kali diperdengarkan pada tanggal 9 Agustus 2011 tiga tahun silam. Setelah itu Adib selaku panitia memberikan sambutan yang kemudian dilanjutkan dengan orasi budaya Pensiun oleh bapak Mustofa W Hasyim yang sebelumnya menjabat sebagai redaktur pelaksana “abadi” di majalah Suara Muhammadiyah selama 21 tahun, momentum pensiun beliau tersebut juga sekaligus menjadi penanda bahwa beliau akan aktif secara total di Nahdlatul Muhammadiyin yang sudah memasuki tahun ketiga.

“Pensiun bukan sebuah titik untuk berhenti,” kata Mustofa. Dalam orasinya, Pak Mustofa menceritakan kisah hidupnya hingga bersentuhan dengan dunia jurnalistik. Dimulai belajar dari buku dan media, hingga memberanikan diri mewawancarai seseorang bermodalkan teknik wawancara yang dipelajarinya dari buku. Di tahun 1989, Mustofa merantau ke Jakarta dan mendapatkan pelatihan di Balai Kewartawanan selama satu tahun. Disinilah Mustofa merasa mendapatkan “gemblengan” pendidikan jurnalistik paling keras di seluruh dunia. dari teori hingga praktek. Berbagai cerita unik mewarnai proses pendidikan jurnalistik Mustofa. Dari disuruh editing berita, ikut digusur oleh Satpol PP (Pamong Praja) hingga pernah ditodong senjata api oleh aparat keamanan. Pak Mustofa pulang kampung ke Yogyakarta dan menjadi redaksi harian Masa Kini. Pak Mustofa merasa senang menjadi wartawan, karena bisa bertemu dengan siapa saja.

Hingga sampai dengan saat ini Pak Mus sudah menulis novel sebanyak 16 buku. Novel-novel itu terinpirasi dari fakta-fakta yang ditemui selama perjalanan menjadi wartawan ke seluruh Indonesia. Selain kewartawanan, Mustofa juga bergelut dibidang penerbitan buku. Dimulai dari masuknya beliau di LP3Y (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta), sebagai anggota divisi kliping. Pekerjaannya adalah menyeleksi berita yang masuk, setiap hari harus membaca 7 hingga 8 koran. Buku pertama yang beliau buat adalah buku klipingan dari berita tertentu yang dikumpulkan kemudian dijadikan buku. Mustofa lalu diajak untuk bergabung oleh Sholahudin Press, penerbit baru milik UGM.

Pak Mustofa bercerita awal mulanya mengapa dirinya suka menulis buku, itu ketika ayahnya yang seorang tentara suka bercerita mengenai zaman perang, sehingga cerita-cerita itu kuat melekat dalam ingatannya, kemudian dituangkan kembali oleh beliau ke dalam tulisan. Terkait dengan Nahdlatul Muhammadiyin, Pak Mustofa merasa senang dengan adanya lembaga ini, karena memang sejak kecil suka berorganisasi. Mulai dari yang kecil-kecil seperti kepanitiaan tarawih anak-anak hingga pada Nahdlatul Muhammadiyin kini.


Setelah Bapak Mustofa menyampaikan orasi budaya Pensiun-nya, acara dilanjutkan dengan re-launching majalah Sabana yang dibuka oleh Toto Rahardjo. Secara simbolis, Slamet Riyadi, pemimpin majalah Sabana memberikan majalah Sabana dengan format yang baru kepada Presiden Komunitas Lima Gunung Tanto Mendut. Kemudian Cak Nun mulai sesi dengan penjelasan transformasi majalah Sabana dari majalah sastra menjadi majalah kebudayaan.

Cak Nun memperkenalkan penggiat-penggiat Sabana yang hadir malam itu, antara lain Slamet Riyadi, yang merupakan penyair dan aktivis jurnalistik, ada juga Iman Budi Santosa, penulis berbagai buku puisi dan tentang budaya Jawa. Cak Nun mengajak yang hadir untuk kilas balik ke era Persada Studi Klub (PSK). “Sekarang Anda tidak bisa merasakan, di waktu itu yang namanya kesenian, puisi, estetika begitu penting, begitu bermartabatnya di dalam nilai kebudayaan masyarakat. Sekarang kan bahkan nabi sudah tidak ada harganya,“ ujar Cak Nun.

Ada Teguh Ranusastra Asmara dan Suwarno Pragolapati. Warno adalah orang yang mendokumentasikan segala sesuatu tentang kesenian di Yogyakarta. Dari kliping berita tentang seni hingga karcis bis terekam sempurna oleh Warno dan sekarang tersimpan di perpustakaan EAN. Ons Untoro dari Rumah Budaya Tembi hadir pula pada acara malam itu. Ons Untoro merupakan teman berproses Cak Nun dan teman-teman PSK yang dulu aktif di rubrik sastra Insani. Selain itu ada juga Eka Ardhana yang di Sabana edisi kali ini menulis tentang perjalanan kreatifnya dari Riau ke Jogja. Juga hadir Budi Sarjono yang dulu ketika di PSK aktif dalam bidang penulisan cerpen, pada Sabana edisi kali ini juga menuliskan cerpennya.

“Ini bukan majalah. Ini adalah lapangan dimana Anda berhubungan dengan sumber-sumber Anda. Sumber-sumber Anda tidak perlu jauh-jauh. Cukup Cak Fuad, Pak Nursamad Kamba, Pak Mustofa W Hasyim, Toto Rahardjo, dan juga teman-teman Sabana, saya, ya hanya itu lah.

“Ini segmennya sudah jelas, teman-teman Maiyah dan komunitas ini. Dan ini bukan majalah Indonesia bukan majalah kebudayaan nasional. Ora ngurusi Indonesia, ora ngurusi opo-opo. Ngurus wong sing dadi sumur, karo sing nimba ning sumur (red: hanya mengurusi orang yang jadi sumur, sama yang menimba sumur). Hanya begitu saja,“ Cak Nun melanjutkan.


Cak Nun dan Iman Budi Santosa mulai menggali tulisan-tulisan apa saja yang dimuat Sabana edisi kali ini. Dimulai dari rubrik Khasanah, berjudul Piwulang Estri. Iman Budi Santosa menjelaskan bahwa tulisan ini adalah bentuk reportase yang ditulis Tegus Ranusastra Asmara yang bersumber dari kegiatan Manu Jayatmaja yang aktif nguri-nguri kabudayan Jawi di Yogyakarta.

“Teguh dan Mas Amir Sutoko kita beri tugas menggali Mas Manu. Karena Mas Manu yang Katolik ini kita kejar dua hal, yang pertama beliau mengatakan, ilmu yang tertinggi adalah Ashadu ala illa ha ilallah,” ujar Cak Nun. “Tolong dipahami dulu makna kata asyhadu itu dulu. Dicicil ini dulu, ndak usah dalam-dalam dulu,” Cak Nun menambahkan. “Yang kedua, Mas Manu mengatakan, besok-besok peradaban dunia akan sangat berubah dan akan lebih feminis sifatnya. Kalau sekarang kan sifatnya sangat maskulin, sangat ingin menguasai, sangat ingin menjajah, sangat ingin mengkooptasi. Dan Mas Manu mengatakan, ke depan aksara Jawa akan dikawinkan dengan aksara Arab yang dipakai untuk Al-Quran. Huruf berbeda dengan aksara,” ujar Cak Nun. “Kita harus pelajari pelan-pelan tentang ini, di tengah situasi sejarah kita yang dibesarkan oleh huruf Latin. Sekarang penulisan Arab ke Latin itu sudah kacau balau. Dan itu dipelopori oleh orang Arab itu sendiri. Karena orang Arab tidak menguasai barat. alladzi oleh mereka ditulis allathi. Karena mereka tidak kenal kepada roso bunyi sejak awal. Ibunya bunyi mereka tidak kenal,” lanjut Cak Nun.

“Jadi ini saya sekedar menggoda Anda mengenai aksara. Daripada Anda pusing tentang segala sesuatu yang akan jadi penyakit dalam hidup Anda, di wilayah politik, wilayah sosial kebudayaan, wilayah pasar bebas, mending Anda khusyuk dengan pembelajaran-pemebalajaran yang sejati dalam hidup Anda. Dan itu akan menjadi aura yang baik untuk keluarga Anda. Dan akan menjadi resonansi yang tepat untuk masa depan seluruh masyarakat kita.”

Cak Nun memaparkan dulu setelah UUD ’45 di amandemen sehingga MPR tidak berperan lagi, maka secara kebudayaan kita mendapatkan akibat kita ini seperti yang hanya pegang pisau dapur. Mungkin masih punya pedang, tapi sudah tidak punya keris. Negara ini tanpa sesepuh, negara ini tanpa kenegarawanan.

“Ternyata kita sekarang tidak hanya kehilangan wilayah panembahan, begawan, kasepuhan, yaitu keris itu tadi. Kita sudah kehilangan pedang juga. Kita tidak bisa medang Singapura, kita tidak berani tanding sama Malaysia, kita tidak berani tanding dengan siapa-siapa. Karena kita tidak punya pedang lagi. Pedang itu paralelnya adalah ksatria. maka judul Kenduri Cinta (lingkar Maiyah di Jakarta) Bayang-Bayang Para Ksatria itu mengingatkan kepada jamaah Kenduri Cinta bahwa pementasan seniman Lima Gunung itu sangat menggambarkan watak ksatria kita,“ jelas Cak Nun.

“Pada jaman dulu, seniman tidak mau diatur. Sekarang, kita boleh mengaturnya untuk kepentingan bersama. Kalau jaman dulu, terserah dia mau menulis apa. Saya adalah seniman yang tidak pernah menutup diri untuk diatur. Saya mau diatur. Tapi bareng-bareng lho ya. Untuk kebaikan bersama, saya mau diatur. Dramanya harus gimana, adegannya harus gimana seberapa panjangnya, pelakunya gimana-gimana, saya mau diatur, tapi untuk perundingan bersama. Karena saya tidak menyembah drama, saya tidak menyembah teater, saya tidak menyembah dunia tulis menulis, saya mempersembahkan karya tulisan, drama dan apapun ini untuk kemanusiaan dan kebudayaan.”


Budi Sardjono kemudian diminta menjelaskan tentang intisari cerpen yang dibuatnya dan dimuat oleh Sabana. Kemudian Iman Budi Santosa melanjutkan penjelasan tentang rubrik-rubrik di Sabana. Tulisan selanjutnya dari Djoko Passandaran yang termasuk Ragil malioboro yang menulis tentang bagaimana isi keindahan puisi Umbu Landu Paranggi.

Cak Nun sedikit menceritakan pengalamannya bersama Kiai Kanjeng keliling 4 kabupaten di Kalimantan, sewaktu kerusuhan Sampit antara Suku Dayak dan Madura. Kemudian ada tulisan dari Cak Fuad dalam kolom Kisaran, yang berjudul Antara Agama dan Budaya dalam perspektif Islam. Cak Nun menjelaskan bahwa Cak Fuad ini adalah rujukan ilmiah utama ilmu Maiyah.

Deded Er Moerad menulis tentang riwayat lahirnya musik puisi yang lahir tahun 70-an di Malioboro. Dari poetry reading, poetry singing, hingga berbagai macam modifikasi perpaduan musik dan puisi. Iman Budi Santosa ikut menulis dalam Sabana kali ini, berjudul Wajah Nusantara Dalam Peribahasa. Beliau bercerita sejak tahun 80-an sudah mulai mengumpulkan peribahasa nusantara dari Aceh sampai Papua dan kini sudah terkumpul 852 halaman. Beliau mempersilahkan para jamaah untuk bisa mengakses kumpulan peribahasa ini, untuk dipelajari bersama. “Di masyarakat Madura terdapat peribahasa yang artinya: daripada menjadi ekor ular besar, mendingan jadi kepala ular kecil. Dan sekarang terjadi dalam wilayah politik kita,” ujar Cak Nun.

Rubrik selanjutnya bernama Talang, Ceret, Gentong. Diisi oleh tulisan Cak Nun, berjudul Kenapa Semut Beranak Sapi. Ini adalah tafsir nekat Cak Nun atas lagu dolanan Semut Ireng, Anak Sapi. Bangsa kita adalah bangsa semut, yang hidup sangat bergotong royong. Sistem sosialnya luar biasa, organismenya luar biasa. Dan sangat komunal, lincah, tidak bisa dibunuh orang. Bisa dibunuh, tapi masih banyak. Dan tidak bisa dikalahkan oleh siapapun, sehingga kita bikin suit, semut bisa mengalahkan gajah. Tapi cita-cita kita menjadi sapi. Padahal sapi tugasnya hanya tiga selama hidupnya, disuruh membajak sawah, diperah susunya, dan jika sudah tua disembelih. Kita disuruh membajak sawah, padahal itu adalah sawah kita sendiri, nanti hasil panen itu diberikan kepada petani internasional. Kita diperah susunya melalui Freeport, Newmont.

Selanjutnya ada rubrik Rumpun yang berisi rekaman peristiwa tentang event Banawa Sekar di Trowulan kemarin. Cak Nun menjelaskan tentang tahap-tahap lanjutan Banawa Sekar yang masih akan dikerjakan Maiyah. Ada juga kiriman tulisan dari Hongkong yang berisi tentang kegiatan sastra yang berlangsung pada komunitas buruh migran Hongkong. Cak Nun bangga dengan kemampuan para buruh migran di Hongkong, begitu trampil, rajin, kuat, dan tangguh. “Disini tukang becak aja punya filsafat dalam hidupnya, kalau di luar negeri, harus dosen dulu baru bisa berfilsafat.”

Cak Nun kembali mengajak yang hadir untuk memasuki kisah-kisah uniknya pada tahun 70-an dan mengambil hikmah tentang psikologi watak manusia yang begitu luas. Termasuk Umbu Landu Paranggi, Cak Nun menceritakan bahwa dulu ia suka menyuruh Cak Nun menulis, kalau ada apa-apa ”Em, kamu yang nulis ya,” lama-kelamaan Cak Nun mahir menulis. Dari sini Cak Nun menegaskan begitulah guru, dia tidak mengajarkan melainkan merupakan atmosfer yang merangsang muridnya.


Acara kemudian dikembalikan kepada Haryanto untuk memulai diskusi dengan para penggiat Nahdlatul Muhammadiyin. Pak Marzuki memperkenalkan semua simpul-simpul srawung Nahdlatul Muhammadiyin yang tersebar di kiblat papat, yaitu Kyai Abdul Muhaimin, Pak Muhidin dari Wonolelo, Pak Hardi dari lereng Merapi. Pak hardi merupakan pencetus ijtihad “arabe digarap, jowone digowo”.

Kyai Abdul Muhaimin memulai testimoninya tentang Nahdlatul Muhammdiyin, diskusi pada forum seperti ini tidak hanya pembicaraan pada level fisik, tapi juga berbicara pada level spiritual. Pak Hardi dari lereng Merapi berbicara tentang kebudayaan Jawa yang hampir luntur. Pak Muhidin berbicara tentang kegelisahannya sekarang, dan berharap daerahnya, Wonolelo, bisa menjadi tempat untuk ‘ndeder kastrio’ bersama dengan jamaah Maiyah dan Nahdlatul Muhammadiyin.

Setelah itu moderator membuka sesi tanya jawab dan mempersilakan beberapa penanya untuk ikut berinteraksi. Penanya pertama menanyakan kenapa dari presiden pertama sampai presiden terakhir tidak ada yang berkumis? Cak Nun menjawab dengan berkaca dari timnas U-19. Tentang ideologi timnas U-19 yang sangat menjadi diri sendiri dalam bermain sepak bola.

“Ideologi terpenting dari U-19 adalah, dadio satrio (red: jadilah kesatria). Jadilah dirimu sendiri. Dan ini ternyata bukan hanya masalah sepak bola, tapi juga petani, seniman, hingga beragama. Bukan terus menjadi orang Arab dalam beragama, jika kita berteknologi maka menjadi orang Barat,” jelas Cak Nun.

“Bukan urusan budaya, bukan urusan nasionalisme, tapi ini adalah urusan akidah. Akadmu dengan Allah adalah kamu ditakdirkan menjadi orang Indonesia. Itu adalah lembaran akad kita dengan Allah. Bahwa presiden belum ada yang berkumis karena belum ksatria. Masih wandu. Katanya demokrasi tapi presiden yang memilih parpol. Katanya negara tapi malah ada pasar bebas.”

Sesi tanya jawab menjadi puncak pada acara milad Nahdlatul Muhammadiyin dan re-launching majalah Sabana tersebut, kemudian ditutup tepat pukul 00:35 WIB, diakhiri dengan doa bersama oleh Kyai Abdul Muhaimin.