Menemukan Ika Dalam Bhinneka Lampung

Untuk ketiga kalinya Sekala Selampung diadakan, edisi kali ini pada tanggal 20 September 2014 di lapangan Kopri. Bertajuk Menemukan Tunggal Ika Dalam Bhineka Lampung. Dalam kegiatan tersebut selain dihadiri oleh Cak Nun, juga dihadiri oleh penyair Isbedy Setiawan, Yuli Nugrahani, Heri Wadoyo (Wakil Bupati Tulangbawang), Kodratul Ikhwan, dan tokoh-tokoh agama serta tokoh adat di Lampung. Pada awal acara, Yuli Nugraharani membacakan karyanya yang diambil dari cerpen dan sketsa yang berjudul Daun-daun Hitam. Cerpen tersebut berisikan nilai-nilai toleransi dalam menghormati keragaman keyakinan dan keragaman cara pandang masyarakat Indonesia.

Ikram Baadilah sebagai ketua pelaksana dalam sambutannya menyatakan bahwa dari acara Sekala Selampung yang telah diadakan sebelumnya membawa berkah yakni terselenggaranya Pilgub, Pilpres, Pileg dengan aman. Tema yang diusung pada Sekala Selampung jilid tiga ini adalah bermaksud untuk menyatukan Ika dalam Kebhinekaan Lampung, dimana nilai-nilai yang ada pada budaya, suku, dan keyakinan dapat ditransformasikan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan dalam kebhinekaan Lampung. Sambutan selanjutnya adalah Arman Diah dari PT CPB, penyelenggaraan acara Sekala Selampung adalah bentuk nyata perusahaan dalam membangun ekonomi masyarakat Lampung yang tidak meninggalkan proses pengembangan budaya. Kemudian Kodratul Ikhwan dari Kesbangpol Lampung memberikan sambutan mewakili Gubernur Lampung. Dalam sambutannya, pemerintah sangat mendukung kegiatan Sekala Selampung. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sekala dalam konteks tasawuf adalah seperti hati yang luas, artinya dengan banyaknya keberagaman dan unsur-unsur yang ada di Lampung kita dituntut untuk memiliki hati yang lapang dalam menerima keberagaman. Keberagaman adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana yang diisyarahkan dalam Al-Quran: Inna jaalnakum shu’uban wa qobaila li-taarafu.

Setelah sambutan-sambutan dari pihak terkait acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Isbedy Setiawan diriingi oleh musik komunitas Seribu Bulan. Moderator acara Bapak Sugiyanto mengundang beberapa pihak yang diundang ke panggung secara khusus untuk berkontribusi sesuai kapasitasnya. Dijelaskan juga bahwa Sekala Selampung merupakan forum bersama maka setiap yang datang diharapkan dapat menyemai benih kebersamaan di bumi Lampung. Selanjutnya acara dibimbing oleh Cak Nun.

“Kalau ingin membangun, yang dibangun adalah Lampung supaya gado-gado yang bernama Indonesia akan lebih hebat. Jangan membangun Indonesia sebab Indonesia tidak ada kalau Lampung tidak pernah dibangun.”

Emha Ainun Nadjib

INDONESIA BAGIAN DARI LAMPUNG

Mengawali forum, karena fokus diskusi kali ini adalah menemukan tunggal ika di dalam bhinneka-nya Lampung, agar tidak abstrak Cak Nun mengajak untuk menata dahulu cara berfikirnya. Pertama, melakukan identifikasi siapa diri kita, ibarat sepak bola, kita ini gelandang, striker, atau kiper. Kalau seseorang sudah punya identifikasi terhadap dirinya baru ia bisa menempatkan dirinya. Selanjutnya adalah menentukan lokasi, kalau seseorang adalah gelandang maka dia tidak akan di depan kiper, dia pasti akan berada dua tahap di depan kiper dan satu tahap di belakang striker. Setelah mengidentifikasi dan menentukan lokasi, maka tahapan selanjutnya adalah memahami mau berbuat apa, mau pergi kemana, dan mau menendang bola ke siapa.

Melengkapi penjelasan tersebut, Cak Nun meminta untuk mendoakan U19 yang akan bertanding melawan Barcelona. Sebelumnya U19 agak dikacaukan oleh “mafia”, sehingga mereka dijebak untuk tidak ke Eropa melainkan ke Brunei. Maka Cak Nun turun tangan untuk membenahi kembali lokasi dan identifikasinya, sehingga akhirnya U19 bisa diberangkatkan ke Spanyol. Cak Nun berharap U19 dapat mengangkat harga diri kita bersama, karena U19 sudah mengalahkan seluruh kesebelasan Asia. Maka Lampung diharapkan bisa menjadi U19 nya NKRI.

Untuk memperjelas identifikasi siapa sebenarnya Lampung, Cak Nun memberikan pertanyaan, “Lampung itu bagian dari Indonesia ataukah Indonesia bagian dari Lampung?” Serempak menjawab: Indonesia adalah bagian dari Lampung. Jadi Indonesia adalah ibarat gado-gado. Kalau semua unsur-unsur yang menjadikan gado-gado diambil semuanya, mulai dari kubisnya, kolnya, lontongnya, togenya, dst, maka gado-gado menjadi tidak ada. Sehingga kalau Lampung, Melayu, Sunda, Madura, Jawa diambil, maka Indonesia menjadi tidak ada. Jadi kalau ingin membangun, yang dibangun adalah Lampung supaya gado-gado yang bernama Indonesia akan lebih hebat. Jangan membangun Indonesia sebab Indonesia tidak ada kalau Lampung tidak pernah dibangun.

“Sekarang orang tidak boleh jadi orang Lampung, orang Jawa. Hari ini orang disuruh jadi orang Indonesia. Kalau Jawa katanya dibilang kuno, kalau omongin Gajahmada katanya Jawa sentris, kalau omongin Siliwangi katanya Sunda sentris. Kalau kamu tidak boleh menjadi kubis, kacang, toge dsb, maka gado-gado tidak akan pernah ada. Jadi Indonesia harus minta tolong kepada Lampung, kepada Jawa, kepada Sunda. Dan Lampung harus benar-benar Lampung, sebab kubis harus benar-benar kubis. Bangun Indonesia itu adalah bangun Lampung. Indonesia hanya tinggal menumpang saja, nanti mereka tinggal enak di Jakarta, karena mereka tidak ikut apa sebab yang bekerja keras adalah masyarakat Lampung,” tutur Cak Nun mengawali acara.

“Sekala Selampung masih benih. Sehingga Sekala Selampung perlu waktu dan kewajiban untuk menanam, kemudian menumbuk padi, dan selanjutnya memasak berasnya.”

Emha Ainun Nadjib

TERMINOLOGI; BENIH, PADI, BERAS, NASI

Panduan dalam hidup itu baik masyarakat di sebuah kota, akar tanaman di sawah, nilai, kurikulum itu panduannya hanya terdiri dari empat: 1. Nasi, 2. Beras, 3. Padi, 4. Benih. Kalau nasinya bermanfaat atau bosok itu karena ada variabel-variabel lainnya. Dalam metodologi akademis, ada input, proses sistem, output, dan outcome. Output-nya bisa bagus tapi belum tentu outcome-nya bagus.

Di dalam Al-Quran ada ayat-ayat yang berupa nasi. Maksudnya adalah ayat-ayat yang tinggal di impelementasikan. Misal perintah salat, tidak perlu mempertanyakan kenapa harus begini dan kenapa begitu, pokoknya tinggal dilaksanakan tidak perlu diolah-olah lagi. Ayat-ayat yang sudah baku ini namanya adalah mahdhoh, yang dikenal oleh umat sebagai Rukun Islam. Fa’mansyaa afal yukmin, famansya afal yakfur. Tidak perlu bertanya kenapa kok salat lima kali sehari. “Terserah filosofisnya apa, kalau saya filosofinya adalah: Jangankan disuruh salat lima waktu disuruh apa saja saya mau. Wong itu saya bayar pajak kepada Allah. Allah kasih saya segala macam dan saya hanya diperintah untuk salat lima waktu apa susahnya. Dan dalam fiqih tidak ada kewajiban untuk salat khusyuk. Namun secara moral itu tidak sah. Maka dalam salat, khusyuk adalah akhlak kita ketika bertemu dengan Allah.

Dalam Al-Quran selain ada ayat yang bersifat nasi juga ada ayat yang bersifat beras, yang mesti dimasak dahulu sebelum dimakan. Cak Nun mengambil contoh mengenai poligami. Di dalam Al-Quran ada perintah “Kalau kamu takut tidak bisa berbuat adil maka satu saja.” Cak Nun melempar pertanyaan kepada jamaah, adakah yang berani menjawab ayat tersebut dengan mengatakan “Tenang Tuhan, saya bisa berbuat adil kok.” Cak Nun sendiri menyatakan bahwa beliau tidak berani menjawab dengan gagah “dapat berbuat adil”. Penjelasan ini bermaksud bagaimana cara kita berfikir. Kalau ada sesuatu dalam hidup kita, apakah ini sudah nasi ataukah masih beras. Demikian juga ilmu di kampus, bisa ilmu tersebut jadi belum nasi, belum beras, atau mungkin juga belum padi. Maka mahasiswa harus menanam ilmu yang baru benih itu, untuk kemudian dirawat, memanen padinya, menumbuknya, memasaknya. Baru setelah itu bisa dimanfaatkan sebagai nasi.

Selain ayat nasi dan beras, di dalam Al-Quran juga terdapat ayat yang sifatnya masih padi. Sehingga mesti ditumbuk agar supaya menjadi beras dan selanjutnya dimasak untuk jadi nasi. Bahkan banyak ayat-ayat yang sebenarnya masih merupakan benih, maka kita mesti tanam kalimat Allah di dalam kehidupan yang nyata agar kita mengalami simulasi. Cak Nun memberikan contoh, di dalam Al-Quran Allah berfirman: Robbana maa kholaqta hadza bathila, yang artinya: Ya Allah sungguh-sungguh tidaklah Engkau menciptakan segala sesuatu ini dengan sia-sia. Untuk dapat menemukan dan menyatakan kalimat tersebut maka kita perlu melakukan penelitian atau pengamatan dalam kehidupan sehingga kita bisa menemukan kekaguman kepada Allah, setelah itu baru bisa menyatakan Robbana maa kholaqta hadza bathila. Jadi kalimat tersebut adalah ayat untuk melakukan penelitian.

Kalau dalam hidup menemukan sesuatu yang membuat kita takjub kepada Allah, maka kita ucapkan Allahuakbar. Mengucapkan atau mengaplikasikan sesuatu pasti ada asal-usulnya, jadi kalau seseorang mengucapkan Allahuakbar berarti ada sesuatu yang besar yang terjadi di dalam dirinya. Azan yang dikumandangkan lima kali sehari, disela-sela antara azan satu dengan azan yang berikutnya kita mesti melakukan penelitian dan penghyatan terhadap kehidupan, sehingga ketika Allahuakbar itu diucapkan benar-benar pernyataan yang didasarkan atas kekaguman kita dari penelitian dan penghayatan.

“Alangkah indahnya kalau azan itu benar-benar punya makna, dimana anda meneriakkan Allahuakbar berangkat dari kekaguman anda kepada kehidupan yang diciptakan Allah SWT,” ungkap Cak Nun.

“Selain ayat nasi dan beras, di dalam Al-Quran juga terdapat ayat yang sifatnya masih padi. Sehingga mesti ditumbuk agar supaya menjadi beras dan selanjutnya dimasak untuk jadi nasi.”

Emha Ainun Nadjib

TRANSFORMASI DARI BENIH MENJADI PADI, BERAS, DAN NASI

Pada Sekala Selampung yang ketiga ini Cak Nun menanyakan, “Apakah Sekala Selampung ini menurut anda sudah nasi, beras, atau masih benih?” Semua menyepakati kalau Sekala Selampung masih benih. Sehingga Sekala Selampung perlu waktu dan kewajiban untuk menanam, kemudian menumbuk padi, dan selanjutnya memasak berasnya.

Cak Nun lebih lanjut meminta, agar Sekala Selampung selanjutnya diharapkan dapat diselenggarakan secara bersama-sama dengan ada komite yang menjadi subjek utama dan di-support oleh CPB dan EO-nya. Sehingga yang menjadi tuan rumah adalah para jamaah yang hadir. Kemudian fokus utama dalam Sekala Selampung adalah bukan tokohnya melainkan bareng-bareng memikirkan Lampung. Cak Nun menegaskan, “Resminya saya adalah bukan orang Lampung. Saya ini teman anda ikut mikirin Lampung, ikut menyayangi Lampung. Jadi saya tidak boleh menjadi fokus dan tidak boleh menjadi tokoh utama disini.”

Ki Hadjar Dewantoro mengajarkan tiga tahap: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Ketiga tahap tersebut merupakan tahap-tahap kematangan pemimpin. Pemimpin yang benar-benar adalah pada tahap pertama dia mampu memberikan teladan kepada rakyatnya. Kemudian setelah rakyatnya hampir bisa melakukan apa yang telah dilakukan pemimpinnya, maka pemimpin harus mundur satu langkah, bareng-bareng bersama rakyatnya (ing madyo mangun karso), kalau tadi pemimpin di depan maka sekarang dia harus berada di tengah-tengah bersama rakyatnya. Kemudian puncak pemimpin adalah tut wuri handayani. Maka pemimpin yang sejati adalah setelah kasih contoh, teladan, uswatun hasanah, kemudian dia bareng-bareng rakyatnya tidak mbagusi dan tidak petita petiti, bahkan dia berani berada hanya dibelakang-belakang saja. Sekarang yang terjadi di Jakarta adalah tut wuri hanjegali.

DSC_0376

MASA KINI, MASA DEPAN DAN MASA SILAM

Mekanisme yang mengajarkan masa kini, masa depan, dan masa silam adalah Nabi Khidir. Dalam Al-Quran dikisahkan Nabi Musa belajar kepada Nabi Khidir. Akhirnya disepakati Nabi Musa boleh berguru kepada Nabi Khidir dengan satu syarat tidak boleh bertanya. Pelajaran pertama, Nabi Khidir membocorkan perahu merupakan pelajaran tentang masa sekarang. Kedua, Nabi Khidir mencekik anak kecil yang merupakan hak preogratif Khidir yang tidak bisa dilakukan oleh siapapun yang lain, dalam kisah kedua anak yang dicekik tersebut besok-besok akan menjadi orang yang sangat berpengaruh dan berkepribadian yang kuat, tapi dia akan menjadi orang yang kafir, maka semua orang yang ada disekitarnya termasuk bapak-ibunya akan menjadi kafir. Jadi sebelum sang anak berkembang, Khidir membunuhnya atas perintah Allah. Kisah kedua mengandung makna tentang masa depan. Selanjutnya pelajaran ketiga adalah terkait dengan masa lalu, dimana Nabi Khidir meneggakkan pagar, hal ini dilakukan karena dibawah pagar tersebut terdapat harta karun dari abad-abad masa silam. Cak Nun menjelaskan bahwa ini merupakan ilmu manajemen waktu yang urutannya: masa kini, masa depan, dan masa silam.

Acara kemudian diselingi oleh salawatan yang dipimpin oleh Komarudin, mahasiswa dari IAIN Raden Intan. Selanjutnya Cak Nun meminta moderator untuk mempersilahkan para pembicara yang lain.

Dari Keuskupan Tanjung Karang, Suster Brigita dipersilahkan untuk lebih dahulu urun pemikiran mengenai pembahasan dalam acara Sekala Selampung tersebut. “Dari sejak awal Cak Nun berbicara sampai sekarang, hati saya tentram sekali, damai rasanya menjadi orang Lampung. Meskipun saya bukan orang Lampung, namun saya adalah bagian dari orang Lampung.” Mengenai pembahasan kebhinekaan, disampaikan, bahwa Lampung yang memiliki bermacam-macam suku, bahasa, dan budaya sangat penting forum-forum seperti sekala selampung untuk diperbanyak sehingga sosialisasi mengenai isu-isu perdamaian dan keberagaman semakin digaungkan di bumi Lampung, agar Lampung menjadi bumi yang damai untuk kita tinggali.

Salah satu narasumber, Azis, mengatakan, “Lampung sangat multiplural dari berbagi aspek dan juga sangat potensial untuk menjadi sebuah konflik. Untuk meminimalisir konflik-konflik tersebut menurut saya kegiatan atau forum-forum semacam ini untuk kebersamaan. Kalau kita mengacu di dalam Al-Quran, dikatakan: Qul ya ahlal kitabi ta’alau ila kalimatin sawa’in bainana wa bainakum. Intinya adalah dari keanekaragaman ini kita harus mencari persamaannya, jangan mencari perbedaannya. Maka saya setuju jika forum-forum semacam ini akan dikembangkan lebih lanjut, meskipun ada atau tidak ada Cak Nun, forum ini mesti jalan.”

Ketua Umum Asosiasi PSSI Lampung, Bapak Hartanto Wijaya menyambung narasumber sebelumnya, “Berbicara mengenai bhineka tunggal ika, kita bisa melihat dari sumpah pemuda. Dimana sumpah pemuda dicetuskan di rumah keturunan orang Tionghoa. Sumpah pemuda diawali bukan dari politik, melain dari seorang sastrawan yaitu Mohammad Yamin yang membuat puisi tentangnya. Ini merupakan sebuah bentuk motivasi kita untuk mencerminkan kita kedepan, yang akhir-akhir ini budaya korupsinya begitu besar. “

Cak Nun merespon dari ketiga pembicara mengenai kebersamaan. Berangkat dari ide untuk memperbanyak kegiatan yang merupakan kebutuhan bersama dan disukai bersama disampaikan oleh Bapak Azis. Ide tersebut menurut Cak Nun kalau mereka bersama-sama, mereka akan saling menjaga untuk menyelamatkan satu sama lain. Mengenai pluralisme, Cak Nun menyatakan bahwa dirinya bukan seorang pluralis. Pluralisme itu ciptaan Allah, bukan ideologinya manusia, Allah memang menciptakan segala sesuatu bermacam-macam. Di dalam surat Al-Hujurat terdapat ayat: min dzakarin wa untsa, itu artinya ada karakter kelelakian dan ada karakter keperempuanan. Dan itu muncul kadang-kadang pada lelaki, pada wanita, pada pohon, pada masyarakat. Setiap laki-laki memiliki kelembutan, berarti dia punya karakter perempuan. Setiap perempuan punya ketegasan, berarti dia juga memiliki maskulinitas. Allah sendiri menampilkan dirinya sebagai rahman dan rahim yang menjadi icon-nya. Dimana Allah menampilkan dirinya lebih keibuan daripada kebapakan, bukan berarti bapak-ibu, sebab Allah tidak laki-laki dan tidak perempuan.

“Manusia jangan ge-er terhadap pluralitas, sebab itu bukan manusia yang membangun, melainkan Allah yang menciptakan seperti itu. Kita yang harus merawatnya, mencari harmoninya. Keragaman itu bukan hanya suku, karakter, tapi juga bidang kegiatan. Selama ini kalau orang sepak bola tidak mengenal kesenian, kalau orang puisi tidak mengenal sepak bola. Di Maiyah, itu semua saya buktikan bahwa semuanya nyambung.”

Cak Nun mengatakan, “Ayo kita ciptakan pusat jala. Jadi setiap sisi jala ini bisa ngumpul. Sehingga sepak bola dan kesenian itu bisa saling bermanfaat.” Tanggal 31 Agustus kemarin anak-anak U19 datang ke Kadipiro, nyanyi bareng bersama Kiai Kanjeng, diskusi mengenai ksatria, mengenai sepak bola orisinal. Kenapa U19 bisa menang? Itu karena Pak Indra Sjafri dan U-19 menolak berkiblat kemanapun kecuali berkiblat kepada Indonesia dan dirinya sendiri,” menurut Cak Nun ini merupakan ilustrasi agar Lampung jangan berkiblat ke Jawa, “Jawa adalah bagian dari wacanamu, sebab Lampung adalah Lampung, harus kamu temukan Lampungmu.”

“Kalau ayam jadilah ayam. Karena kalau kamu menjadi ayam, kamu tidak lebih rendah dari burung meskipun burung bisa terbang. Jangan ayam ingin menjadi burung. Apalagi anak-anak muda sekarang, makan tempe pikirannya ingin ayam goreng. Kalau yang dihadapanmu tempe, nikmatilah tempe, cintailah tempe, maka dia akan nikmat dan menjadi kebaikan. Makanya kalimatnya adalah: Hasbunallah wani’mal-wakîl, ni’mal-mawlâ, wani’man-nashîr. Jangan berbuat baik, lakukanlah kebaikan dengan menemukan kenikmatannya, jangan sampai berbuat baik tapi tersiksa. Temukan dirimu wahai Lampung. Maka Indonesia akan jaya, karena Lampung adalah Lampung.”

“Keragaman itu bukan hanya suku, karakter, tapi juga bidang kegiatan.”

Emha Ainun Nadjib

SEMUT IRANG, ANAK-ANAK SAPI

Cak Nun melanjutkan, “Pelajari organisme semut, organisasinya, masyarakatnya, aturannya, struktur sosialnya. Indonesia persis seperti semut ireng. Semut ireng sangat istiqomah. Umpamanya ada semut yang melapor kepada pemimpinnya ada gula di suatu tempat, maka pemimpinnya akan mengirimkan pasukan ke tempat gula tersebut tersebut dengan melalui jalan yang sudah ditandai oleh semut yang melapor tersebut. Kalau ada semut yang mengangkut segumpal kecil gula, pasukan semut itu tidak akan berhenti dan tidak akan menoleh sebelum sampai ke tujuan meskipun ada segumpal gula yang lain yang lebih banyak. Bandingkan dengan pejabat sekarang, belum selesai menjadi Walikota sudah ingin jadi gubernur, karena ada gula yang lebih besar. Kalau sapi pekerjaannya hanya tiga: dicocok, dikasih tali, diperbudak untuk membajak sawah. IMF, Singapura, China, Amerika, Israel semua bersatu padu untuk memperbudak sapi-sapi. Itu kerjaan pertama. Sapinya hanya dikasih satu keranjang, hasil panennya yang menikmati adalah para penjajah. Nanti kalau sapi sudah tidak produktif, maka ia akan disembelih. Soeharto tidak produktif lagi, disembelih.”

Bapak Bambang Djoko perwakilan dari Paguyuban Jamur Kusuma Prov. Lampung mengatakan, “Perbedaan atau keragaman adalah keniscayaan, yang secara kodrati adalah ciptaan Allah SWT, yang harus kita cari intinya adalah bukan keberagaman itu, melainkan di ke-eka-an. Yakni pemahaman terhadap suatu kebutuhan yang sama dalam jiwa kita masing-masing mengenai perbedaan yang kodrati. Di dalam perbedaan itu ada kebutuhan yang sama di dalam diri manusia, akan perlunya dengan manusia yang lain. Apapun keyakinan kita dan suku kita, pada dasarnya yang kita butuhkan adalah pertama pemahaman tentang kebutuhan atas manusia yang lain itu adalah hal yang penting. Di Lampung ada suatu budaya yang luar biasa di masyarakat Lampung yakni nengah nyapur, yang artinya bersilaturahim dengan warga yang lain. Ada empat yang saya ketahui yang menjadi adat istiadat yang sangat mendasar yaitu: Nemui Nyimah, Nengah Nyapur, Bejuluk Beadek, Sakai Samboyan.”

Wakil Bupati Tulang Bawang, Bapak Heri melanjutkan, “Lampung sudah berabad-abad menerima pendatang luar dengan sangat baik tanpa terjadi konflik apapun. Ini merupakan sebuah modal besar bagi lampung untuk bergerak dan mencakrawalakan dirinya kedalam percataruan yang bukan hanya secara nasional, regional, tapi juga internasional. Seperti benang merah yang ditarik oleh Cak Nun, Lampung sangat memperkaya Indonesia. Lampung bukan muktah, tapi Lampung punya gurat penting bagi republik ini.”

Kawan Amir, mahasiswa IAIN Raden Intan dari Malaysia yang turut hadir pada Sekala Selampung mengatakan, “Satu kunci di Indonesia adalah pancasila. Pancasila penting bagi Indonesia karena keragaman, budaya, dan orang-orangnya. Di Malaysia juga beragam, namun lebih banyak di Indonesia. Hal yang ingin saya tegaskan adalah kita tidak perlu berbeda pendapat, yang penting adalah menjaga keharmonian kita dalam beragama.

Cak Nun meminta Kawan Amir untuk membandingkan kemudahan dan kesulitan antara pluralitas Malaysia dan Indonesia. Sebab di Malaysia agak berbeda antara Melayu, China, dan India, yang persaingannya sampai tingkat modal, ekonomi, persaingan politik, dan seterusnya. Sementara di Indonesia adalah kultural, kuncinya di Indonesia adalah tidak ada orang Jawa yang bertengkar dengan orang Sunda, yang ada adalah dipicu oleh ketidakadilan yang akhirnya kembali pada sentimen-sentimen golongan atau suku. Jadi kunci kebersamaan adalah terjaminnya keadilan, asal adil semua akan merasa lega. Dan karena di Indonesia masih agak rawan terhadap ketidakadilan, maka bisa muncul konflik-konflik di daerah, yang biasanya disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi.

“Seperti yang kita tahu, di Malaysia kelompok yang terbesar adalah Melayu, China, India. Mereka berbeda dalam setiap kuantitas dan kualitas. Kalau Melayu dalam bekerja biasa saja. Kalau China sangat mengusai sektor perdagangan begitu juga dengan India namun lebih produktif dalam pembuatan,” sambung Kawan Amir.

“Perbedaan atau keragaman adalah keniscayaan, yang secara kodrati adalah ciptaan Allah SWT.”

“Dulu konflik Ambon, Maluku, dan Poso, tema sebenarnya adalah internasional. Maka Lampung jangan sampai tidak punya resistansi untuk menolak intervensi dan provokasi yang petanya sesungguhnya adalah global,” ungkap Cak Nun.

Kalau konflik Sampit terjadi ketika ada orang Madura menulis pelabuhan Sampang Dua di pelabuhan Sampit. Sehingga menyinggung harga diri orang Dayak disana, maka timbulah konflik. Cak Nun bertugas ketika itu agar supaya konflik Sampit tidak melebar ke barat. Dibuatlah forum semacam Sekala Selampung di 4 kabupaten: Mempawah, Rasau Jaya, Pontianak, dan Sanggau. Dalam forum tersebut Cak Nun mempertemukan seluruh masyarakat Madura dan Dayak pada malamnya, yang sore sebelumnya sudah dipertemukan kepala suku Dayak dan kepala masyarakat Madura. Dan Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa di 4 kabupaten itu. Peristiwa ini Cak Nun ungkap agar tidak terjadi di Lampung. Di Lampung terlihat ideal, yang semestinya menjadi contoh bagi seluruh Republik Indonesia, yang kalau ada masalah pasti ada perusahaannya, yang konstelasinya ada pemilik modal. Sehingga konflik yang muncul berasal dari atas, kalau di Sampit dari bawah. Di lampung tidak mungkin muncul konflik dari bawah. Jadi acara seperti ini adalah untuk menyirami secara terus menerus perdamaian dan kenikmatan kebersamaan seluruh masyarakat Lampung.

IMG_20140920_220031

RESPON JAMAAH

Bapak Jasmadi: Dengan keberagaman yang sudah ditetapkan ini, setiap orang tidak bisa menolak kalau sudah dilahirkan disuatu suku. Maka dengan suku-suku yang menjadi bhinneka ini yang terpenting adalah bagaimana kita bisa beramal yang berkualitas untuk Lampung. Artinya mari kita majukan dengan profesi dan keahlian masing-masing untuk Lampung, sehingga apa yang tadi disampaikan oleh Cak Nun tadi mengenai bagaiman Lampung memperoleh jati dirinya, ini harus dimulai dari kesadaran yang terdalam dari diri kita semua.

Bapak Yunus (Penggiat Anti Korupsi): Banyak sekali nilai-nilai filosofis yang sudah lahir sebelum lahirnya Indonesia. Dari kecil saya ingat sekali setiap ibu saya marah, dia akan ngomong “untuk apa kamu hidup, kalau kamu tidak punya harga diri”. Orang Lampung adalah orang yang sangat terbuka, pemahaman saya adalah selalu menjaga silaturahmi, negah nyepur, selalu hadir ditengah-tengah dan bercampur. Menghilangkan latar primordial. Setiap saya ngomong Lampung dengan ibu saya, dan jika tiba-tiba ada tamu orang Jawa datang, maka kami secara otomatis akan berbicara bahasa Indonesia. Agar sang tamu bisa langsung beradaptasi. Kemudian ada prinsip nemuh nyimui, artinya menghormati tamu atau pendatang. Jadi sebenarnya tidak ada masalah dengan transmigrasi di Lampung, tidak ada masalah latar personal terkait suku dan ras. Selanjutnya ada bejuluk beudak, semacam tatakrama dalam pergaulan. Kalau ada pemahaman bahwa konflik-konflik yang terjadi saat ini lebih karena sifat personal, saya sepakat bukan itu alasannya melainkan hanya persoalan keadilan.

Nasrul (Mahasiswa IAIN Raden Intan): Saya pernah baca buku karangan Pak Afif tentang tasawuf, beliau menuliskan begini: sebenarnya setiap manusia dilahirkan dengan kemampuan untuk dapat mencari Tuhan, apapun agamanya, seorang atheis pun dia memiliki kemampuan untuk mencari Tuhan. Hal ini dibuktikan dengan, ketika manusia itu dalam kondisi terdesak dia akan mencari sebuah pertolongan. Dan ketika pertolongan itu tidak dapat diperoleh dari manusia, maka dia akan mengungkapkan pertolongan itu lewat harapan atau yang kita sebut doa. Kemudian kondisi saat ini, terkadang dengan semangat agama yang tinggi dan tidak dimbangi dengan kemampuan yang baik, maka itu akan menimbulkan hal yang negatif. Kadang terjadi hal mengatas namakan Tuhan dengan bertakbir sebagai alat legitimasi supaya gerakan itu terlihat suci atau baik. Saya pikir yang menjadi realitas saat ini adalah sesungguhya ketika manusia itu paham dengan ajaran agamanya dan ketika itu total mempelajari agama itu, saya yakin nilai-nilai yang diajarkan oleh agama adalah perdamaian. Terkait ini saya butuh tanggapan dari Cak Nun.

Jamaah: Lampung adalah Indonesia kecil yang bisa dibayangkan untuk Indonesia lebih besar. Sebab ketika masuk Lampung, yang identik bukan bahasanya yang dikenal melainkan Indonesianya yang dikenal. Kalau tadi kata Cak Nun membicarakan tentang gado-gado, Lampung ini sudah jadi gado-gado. Namun siapa yang mampu menjadi airnya? Gado-gado tanpa air tidak akan menjadi apa-apa, asam tetap menjadi asam sebab dia tidak bisa membaur dengan yang lainnya. Dalam kondisi seperti ini, mestinya Pemerintah hadir menjadi air namun hari ini tebalik kita terus yang mengasih air ke Pemerintah. Saya minta deteksi dari Cak Nun, kalau Lampung ini sudah menjadi gado-gado kira-kira yang bisa menjadi air agar gado-gado terasa nikmat itu siapa?

“Secara espitimologi, yang lebih tepat adalah Bhineka Manunggal Ika. Jadi ada ajektifnya, ada kata kerjanya.”

Emha Ainun Nadjib

DSC_0384

Cak Nun merespon pernyataan dari para jamaah.

Kembali ke bhineka tunggal ika. Bhineka tunggal ika disebut di dalam kitab pararaton dan sutasoma. Tunggal ika tidak urusan manusia, melainkan penyatuan politis, antropologis, dan spiritual oleh penguasa atau pemimpin pada abad 12, untuk supaya tidak bentrok antara orang Hindu dan Budha. Jadi tunggal itu maksudnya Budha dan ika maksudnya adalah Siwa. Maka sebenarnya maksud dari tunggal ika adalah levelnya level Tuhan. Ketika dulu orang di pulau nusantara ini belum mengenal Allah SWT, isim-nya masih Siwa, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal. Kemudian datang Al-Quran, Tuhan memperkenalkan dirinya sendiri dan memberikan nama-namanya, sifat-sifatnya kepada manusia, yang sebelum itu manusia melakukan pencarian sendiri.

Mengenai Allahuakbar yang dipakai oleh untuk kepentingan tertentu, menurut Cak Nun: Allahuakbar banyak dimensinya, namun Allahuakbar tidak cocok untuk gagahi orang. Allahuakbar adalah output dari ketakjuban kita kepada kehidupan. Dari rasa syukur yang sangat tinggi. Jadi Allahuakbar diucapkan oleh hamba pada posisi yang paling lemah dan tidak berdaya. Yang Maha tinggi dan Maha Agung adalah Allah dan kita sangat rendah, kini Allahuakbar malah dipakai untuk mengancam orang. Jadi kita ini terpotong-potong, Islam disobek-sobek menjadi kepingan-kepingan kain yang tidak karu-karuan.

Kemudian mengenai informasi yang begitu mudah diakses. Cak Nun bertanya apakah menurut anda mahasiswa itu masyarakat informasi, karena mereka browsing, googling? Kalau menurut Cak Nun, itu namanya budak informasi. Karena kalau anda menguasai informasi, berarti anda menjadi sumber informasi. “Hari ini kejadiannya lain, anda diperbudak oleh informasi yang masuk ke anda, itu berarti anda bukan masyarakat yang menguasai informasi, tapi anda dikuasai oleh informasi. Cak Nun menyatakan bahwa beliau tidak pernah menonton TV Indonesia selama 15 tahun. Kalau di pesawat ada koran saya selalu menoleh ndak akan saya baca, karena saya tahu informasi yang lebih A1 dari pada yang ada di koran, kalau di koran kan hanya bau kentut, artinya dia tidak ngerti yang kentut siapa maka yang ditulis baunya saja. Soal informasi mohon hati-hati, berjuanglah untuk menjadi sumber informasi, jangan jadi korban informasi. Dimana hari ini media sosial, membuat anda tidak terkontrol, mau maki-maki siapapun nggak ada masalah. Saya mohon izin, tidak punya akun twitter dan facebook.

“Hancurnya bangsa Indonesia dan hilangnya ksatria itu ketika akhir Mojopahit ketika perampok-perampok Portugis mulai menguasai perairan Nusantara. Mereka hebat merampoknya karena mereka memiliki meriam. Sementara kapal Majapahit bentuknya agak bulat, tidak lonjong, hal ini diakarenakan urusannya adalah ekonomi, untuk ekspor rempah-rempah, beras dan macam-macam. Jadi mereka tidak siap untuk perang. Begitu kapal Majapahit dirampok, mereka terus buat kapal kecil untuk angkut barang, tapi ada tentara atau prajuritnya. Tapi tetap Majapahit kalah, karena Portugis pakai meriam. Sementara bagi orang Majapahit yang namanya Ksatria adalah berani berhadapan, kalau ngelempar dari jauh itu namanya pengecut. Meriam, rudal itu adalah melempar dari jauh. Sejak itu ke-ksatria-an menjadi tidak penting, maka sekarang kita menjadi bangsa yang tidak ksatria sama sekali. Menipu orang dari belakang, nyikut, subversi, kemarin mengusulkan pemilihan tidak langsung sekarang dia yang tidak setuju dengan pemilihan tidak langsung.

“Di Irian Jaya ada suku yang pakai panah dan ada suku yang pakai tombak. Suku yang pakai tombak adalah pemberani, karena dia berhadapan. Kalau pakai panah itu kan dari jauh, tidak berhadapan. Facebook, twitter itu panah, tidak jantan, diajak berhadapan belum tentu berani.”

Cak Nun menambahkan mengenai bhinneka tunggal ika. Secara espitimologi, yang lebih tepat adalah: bhineka manunggal ika. Jadi ada ajektifnya, ada kata kerjanya. Maka yang bhineka ini manunggal menjadi gado-gado dengan syarat kubisnya tetap kubis, kacangnya tetap kucingnya. “Kalau sekarang menjadi tidak jelas, sebab sekarang yang penting adalah rasa ayam dari pada ayam. Makanya film kartun sampai ke tingkat pembuatan kartun yang orang-orangan, yang seperti orang bener, namun bentuknya gambar. Ini sebenarnya menunjukan bahwa manusia sudah tidak percaya kepada manusia, manusia merasa tidak aman kepada sesama manusia, maka mereka buat manusia-manusian, presiden-presidenan, menteri-menterian.

“Terakhir, yang masih saya panik dan cemas adalah teman-teman China. Orang Jawa di Lampung tapi sudah menjadi tuan rumah. Jadi meskipun yang satu Lampung, yang satu Jawa, yang satu Jawa Timur tidak masalah sebab kita sama-sama tuan rumah. Tapi teman-teman china ini masih banyak yang belum merasa di tuan rumah, dia masih merasa tamu. Ini harus kita bereskan baik usaha dari kita maupun dari teman-teman China. China harus menunjukan ajur-ajernya supaya benar-benar mereka kita akui sebagai tuan rumah. Sekarang masih tamu dia. Jadi jangan pikir Ahok akan lancar-lancar saja. Ini masalah kultural dibawah masih belum beres, dan diatas juga harus hati-hati, jangan pikir seperti tidak apa-apa. Ini sekam saja. Saya tidak anti China, buktinya teman-teman saya China banyak sekali, santri saya China banyak sekal, ini ndak ada masalah, kalau kemanusian tidak ada masalah saya, tapi untuk konteks politik Indonesia nanti dulu. Saya ingatkan nilai yang berubah di Indonesia, Islam pada abad ke-8 tidak diterima di Indonesia karena yang membawa adalah kaum pedagang, tapi ketika yang datang adalah syekh-syekh, ulama-ulama, maka semua ikut Islam di seluruh pulau Jawa. Siapakah syekh-syekh dan ulama-ulama itu? Mereka adalah kelas yang oleh masyarakat setempat adalah brahmana, mereka spiritualis, mereka adalah orang yang alim, punya kemulian dan kepandaian ke-Tuhan-an. Ketika itu di hukum Singosari, Kediri, Majapahit terdapat kementerian yang mengurusi kaum Sudra dan orang asing. Jadi orang asing itu karena tamu, maka dia di letakkan sebagai Sudra. Saya tidak mengatakan Sudra itu jelek. Tetapi memang ada tingkatan. Di zaman Islam datang itu orang yang paling dijunjung adalah kaum Brahmana (orang mulya). Jadi urutannya adalah orang mulya, orang pintar, orang berkuasa, orang kaya.”

“Kita ini terpotong-potong, Islam disobek-sobek menjadi kepingan-kepingan kain yang tidak karu-karuan.”

Cak Nun bertanya, “Di masyarakat kita hari ini siapa yang paling atas?” Jamaah menjawab, “Orang kaya.” Cak Nun melanjutkan. Dibawahnya orang kaya ada orang berkuasa, dibawahnya orang berkuasa ada orang kuat, dibawah orang kuat ada orang pintar, maka orang pintar setinggi-tingginya paling menjadi staf menteri. Karena orang berkuasa lebih tinggi daripada orang pintar, maka presidennya sama sekali tidak perlu pintar. Yang paling bawah hari ini adalah orang baik. Maka sekarang orang baik tidak punya kerjaan, akhirnya ustaz jadi profesi karena tidak dihormati di masyarakat.

Struktur, mekanisme, dan mobilitasnya hari ini adalah orang kaya paling atas. Meskipun dia berkuasa tujuannya adalah ingin menjadi orang kaya. Kalau dia kuat tujuannya berkuasa supaya kaya. Kalau dia pintar, yang penting dia nyantol orang berkuasa supaya punya kekuatan untuk kaya. Semuanya ingin kaya.

Terakhir Cak Nun menyampaikan. Di Lampung yang penting adalah manunggal ika-nya, tapi bhinneka-nya jangan hilang. Kalau Indonesia Raya, bhinneka-nya tidak diakui, yang laku adalah tunggal ika dalam strategi nasional. Di Lampung tekanannya adalah pada bhinneka, terus kita kerjakan manunggal untuk menjadi gado-gado yang enak dengan tetap mempertahankan kubisnya, kacangnya, lontongnya. Kacangnya jangan pura-pura kacang, Jawanya jangan pura-pura kacang. Jawanya harus benar-benar Jawa, Lampungnya harus sangat Lampung supaya menjadi Indonesia yang benar-benar gado-gado yang enak.

Di akhir disampaikan bahwa Sekala Selampung telah disepakati untuk menjadi wadah dalam proses pencarian bersama-sama mengenai makna kebhinekaan dan manunggal ika. Sekala Selampung telah menjadi milik bersama, untuk pertemuan selanjutnya dari pihak IAIN siap menyediakan pertemuan berikutnya. Acara Sekala Selampung ditutup dengan berdoa bersama oleh Gus Mus.

[TEKS: Karyadi – FOTO: SADIKIN]