MENEGAKKAN PAGAR MIRING

Reportase Kenduri Cinta oktober 2014

MEMASUKI PUKUL DELAPAN malam, forum maiyahan Kenduri Cinta edisi Oktober 2014 dimulai dengan tadarus. Jamaah yang sebelumnya cair, perlahan makin memadat di bibir panggung, membaca Al-Fatihah, surat Yaasin dan surat Al-Kahfi, disambung lantunan wirid Hasbunallah, Padhangmbulan dan Sohibu Baiti.

Nabi Musa diperintah Allah untuk belajar tentang kehidupan kepada sosok yang bernama Nabi Khidlir. Singkat cerita, setelah keduanya bertemu, Nabi Musa diperbolehkan mengikuti perjalanan Nabi Khidlir dengan satu syarat: tidak boleh mempertanyakan apapun yang akan dilakukan oleh Nabi Khidlir selama perjalanannya tersebut. Dalam proses perjalanan itu terjadilah tiga peristiwa. Pertama, peristiwa Khidlir membocorkan kapal. Kedua, peristiwa mencekik seorang anak kecil hingga meninggal. Ketiga, peristiwa menegakkan pagar yang miring.

Setelah melalui berbagai peristiwa tersebut, Nabi Musa tidak mampu menunaikan syarat yang disepakati di awal, Nabi Musa bertanya kepada Khidlir mengapa ia lakukan hal-hal tersebut. Akhirnya Nabi Khidlir memutuskan untuk menyuruh Nabi Musa menjauh darinya. Kisah lengkap ini terdapat dalam Surat Al-Kahfi. Sosok Nabi Khidlir merupakan sosok yang sangat sedikit sekali informasi mengenainya. Menurut Ibrahim, bisa saja Nabi Khidlir muncul dalam kehidupan kita sehari-hari, namun kita tidak menyadarinya.

“Pagar juga bisa diartikan sebagai batas. Jika pagar dalam diri kita kuat, maka tidak akan kita menyakiti orang lain.”

MENEGAKKAN PAGAR MIRING — Kenduri Cinta

PAGAR SEBAGAI BATAS

IBRAHIM mengorelasikan peristiwa menegakkan pagar miring dalam cerita perjalanan Nabi Musa bersama Nabi Khidlir dengan konteks keadaan Indonesia. Menurutnya, bisa saja bahwa yang tersembunyi di bawah pagar bukan berupa harta benda yang berbentuk fisik seperti emas dan harta karun. Bisa saja harta tersebut wujudnya tidak kasatmata, seperti kebudayaan, kearifan-kearifan atau tangguhnya mental rakyat Indonesia yang bisa menjadi sebuah kekuatan yang tersembunyi.

Irfan menambahkan, bahwa “pagar” tidak selalu berbentuk fisik, terlihat kasatmata. Seperti kisah Adam dan Hawa ketika dihukum karena memakan buah khuldi, secara fisik mungkin saja tidak ada pagar. Dari kisah itu, menjelaskan bahwa pagar telah diajarkan Allah kepada manusia. Pagar juga bisa diartikan sebagai “batas”. Dalam Islam, pagar yang dibangun dalam diri kita adalah Rukun Islam yang diatur dalam Alquran dan Hadits. Guna pagar tersebut adalah untuk menghindarkan kita dari perbuatan-perbuatan yang merugikan diri kita sendiri. Jika pagar yang kita bangun dalam diri kita kuat, maka kita tidak akan menyakiti orang lain.

Eko Tan, salah satu jamaah yang setiap acara Kenduri Cinta selalu berada di baris depan, berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Khidlir merupakan bentuk “operasi intelijen”, karena informasi yang tersimpan dari setiap peristiwa tersebut merupakan informasi yang sebenarnya efek dari peristiwa yang akan terjadi di masa depan.

“Bisa saja Nabi Khidlir muncul dalam kehidupan kita sehari-hari, namun kita tidak menyadarinya.”

Pembicara berikutnya, Adi Pujo, mengajak untuk mengidentifikasi dimanakah pagar tersebut? Berada dalam diri kita atau di luar diri kita? Ia berpendapat bahwa “pagar” itu ada dalam diri manusia, yaitu ilmu pengetahuan. Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya dengan perkembangan generasi muda saat ini yang sangat dimanjakan oleh internet. Kemudahan mengakses informasi di dunia maya, bisa berakibat pada malasnya anak-anak muda untuk membaca buku atau bertanya kepada orang yang lebih pandai dan lebih paham. Sedang pada faktanya, informasi di dunia maya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Pengetahuan yang didapat di internet justru melemahkan kemampuan berpikir, karena yang dicari di internet merupakan bentuk kesimpulan, bukan proses dan analisis.

Adi Pudjo mengibaratkan anak muda saat ini sedang berdiri di sebuah halaman yang ia bangun sendiri pagarnya, dan melihat kehidupan dengan menggunakan teropong. Tanpa harus pergi keluar dari halaman, ia merasa sudah melihat peristiwa di luar pagar. Menurut Adi, keberadaan internet tidak salah, namun kita juga harus membangun “pagar” kita sendiri.

Menambahkan tafsir tentang “pagar”, Irfan sampaikan bahwa di Kenduri Cinta baik jamaah maupun penggiatnya, sudah memiliki pagar yang sama-sama dipahami. Jamaah datang ke Kenduri Cinta membawa bekal sendiri, beli kopi sendiri, bayar parkir sendiri dan ikut partisipasi ngencleng untuk pembiayaan juga dilakukan atas kesadaran sendiri. Pagar yang sudah berdiri kokoh ini harus dijaga bersama. Tanpa disadari dalam diri kita sudah tertanam, bahwa untuk berbuat baik tidak memerlukan aturan.

Cak Nun yang malam itu tak hadir, sampaikan beberapa kata kunci melalui pesan singkatnya yang bisa digunakan sebagai input diskusi: menegakkan pagar miring, semester III kuliah Nabi Khidlir: kapal (NKRI) sudah dan makin bocor, mencekik anak kecil (pembunuhan generasi muda di segala bidang). Maiyah diamanati menjaga harta masa silam dengan “menegakkan pagar miring” di atas harta itu. Ditegakkan supaya tidak kentara ada harta. Jadi, Maiyah sedang tidak boleh kentara tahapan revolusinya. Juga jangan dilupakan ketika Nabi Khidlir menolak usul Nabi Musa untuk meminta upah dari pekerjaan menegakkan pagar miring.

“Di Kenduri Cinta, Anda bisa ngomong tentang apa saja, meski tak berhubungan dengan tema dan tetap diterima dengan baik. Inilah komunitas Jazz sebenarnya.”

MENEGAKKAN PAGAR MIRING — Kenduri Cinta

AKAL BUKAN PAGAR UTAMA

Berikutnya, Yudi Syamhudi Suyuti dari PPRN menyatakan bahwa ideologi di Indonesia sudah mati karena sudah tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Menurut Yudi, ibarat sebuah mesin, ideologi di Indonesia sudah rusak dan untuk kembali membangunnya diperlukan kultur yang kuat. Kultur penduduk Indonesia adalah gotong royong. Dahulu ketika belum diperkenalkan uang, alat tukar dalam perniagaan di nusantara adalah emas, namun tidak ada pernah ada fenomena “orang kaya baru” seperti sekarang. Masyarakat membelanjakan hartanya sesuai kebutuhannya, tidak ada keinginan untuk merasa paling kaya, untuk ingin selalu dihormati.

Menjelang tengah malam, Ustaz Noorshofa ikut bersama berbagi ilmu. Menurutnya, yang paling utama dibenahi dalam konteks “menegakkan pagar miring” di Indonesia adalah tentang kepatuhan kita terhadap orang tua. Menganalisa hikmah kisah pertemuan dan perjalanan Nabi Khidlir dan Nabi Musa, Noorshofa sampaikan tafsirnya bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Khidlir merupakan representasi bahwa sejatinya manusia pada titik tertentu tidak akan mampu menjangkau hanya dengan akalnya. Peristiwa menegakkan pagar miring dilakukan karena Nabi Khidlir diberi kemampuan oleh Allah untuk melihat sebuah rahasia yang tidak terjangkau oleh manusia lain, bahkan Nabi Musa pun tidak mampu membaca rahasia tersebut. Disinilah letak pentingnya iman, karena iman mampu menjangkau sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal.

Seperti halnya peristiwa isra dan mikraj yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW, Allah hanya menceritakan dengan jelas peristiwa isra, namun peristiwa mikraj tidak diceritakan dalam Alquran, karena manusia tidak akan mampu menjangkau peristiwa mikraj tersebut dengan akalnya. Jangankan untuk menembus langit lapis ketujuh, menembus langit pertama saja manusia belum mampu. Tidak selamanya manusia hanya mengandalkan akal dan logikanya, pada suatu waktu ia harus mengandalkan imannya.

“Ada dua jalan untuk memahami cinta; mencintai orang lain atau mencintai diri sendiri.”

MENEGAKKAN PAGAR MIRING — Kenduri Cinta

CHORD MIRING

MENJELANG dini hari, Beben tampil ke forum. Sosok musisi penggerak Komunitas Jazz Kemayoran satu ini sudah tidak asing lagi bagi jamaah Kenduri Cinta. Selama lebih dari satu tahun terakhir, ia selalu menyempatkan diri untuk datang dan berkontribusi, bukan saja dengan lantunan musik Jazz-nya, namun juga sering kali berbagi ilmu kehidupan. Malam itu, kembali ia menegaskan bahwa dengan hadir di Kenduri Cinta, ia selalu merasa mendapatkan energi yang besar, padahal sebelumnya ia kelelahan dengan jadwalnya yang padat di berbagai acara. “Di Kenduri Cinta, anda bisa ngomong tentang apa saja, meski tak berhubungan dengan tema dan tetap diterima dengan baik. Inilah komunitas Jazz sebenarnya,” ujar Beben mengapresiasi forum.

Dalam konteks “pagar miring”, ia menafsirkan hal tersebut berdasar ilmu Jazz. Dalam karakter Jazz, selalu terdapat chord atau bunyi nada yang bisa dikatakan miring, namun nada tersebut dalam Jazz justru merupakan sebuah tantangan. “Chord sejati yang seharusnya dipergunakan justru di chord yang miring. Chord yang umum justru bisa menjadi yang sebaliknya,” Beben memaparkan sembari memetik-metikkan gitarnya dengan chord-chord miring yang dimaksud. Beben menjelaskan bahwa sesuatu yang “miring” belum tentu seharusnya “lurus”, bisa jadi memang letaknya harus “miring”, seperti halnya chord yang baru saja dimainkan yang notabene adalah chord miring, justru bisa menjadi lebih indah diperdengarkan daripada chord yang normal pada umumnya.

Beben, Raras dan seorang gitaris kelompok musik Senar Senja, Febri, malam itu memainkan Blue Moon dan Agua de Beber. Setelahnya, Raras berduet dengan Febri membawakan lagu berjudul Lokananta, sebuah lagu yang mereka ciptakan untuk mengapresiasi sejarah panjang sebuah studio rekaman musik legendaris yang berada di Surakarta.

MUSUH ITU DALAM DIRI KITA

Menjelang pukul dua, ratusan jamaah masih tampak memadati plasa Taman Ismail Marzuki yang berada di bilangan Cikini, Jakarta Pusat. Suatu pemandangan langka untuk ukuran ibukota, ratusan orang masih duduk bersama, ngaji dan berdiskusi.

Melanjutkan forum, Sabrang kemudian diminta naik ke atas panggung mengisi lajur narasumber. Sabrang mengawali, “Kambing tidak memiliki akal untuk berpikir dalam memutuskan rumput mana yang boleh dimakan atau tidak, dengan adanya pagar maka ia mengetahui bahwa ada batas yang tidak boleh ia lewati. Berbeda dengan manusia yang membutuhkan pagar yang tidak hanya berwujud fisik dan bisa dilihat kasatmata, namun manusia juga membutuhkan sebuah pagar yang tidak kasatmata. Salah satunya adalah hukum atau aturan. Hukum atau aturan yang sudah disusun berdasarkan kesepakatan bersama pun masih saja suka dilanggar. Jadi pagar macam apa yang bisa memagari manusia? Bahkan ada konsep bahwa adanya aturan adalah untuk dilanggar. Kemudian pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah: lantas untuk apa dibuat aturan jika kemudian dilanggar?”

Menurut Sabrang, konsep dasar dari sebuah pagar atau hukum dibuat adalah agar manusia terlindung dari ancaman manusia lain. Dalam arti lain, pagar dibuat untuk melindungi seseorang yang di dalam pagar terhadap ancaman atau serangan dari seseorang atau sesuatu dari luar pagarnya. Demikianlah premis awal yang dibangun oleh Sabrang. Namun hal ini menjadi kontradiktif saat kita tahu bahwa musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Bagaimana pagar yang didesain untuk melindungi musuh dari luar dapat memberikan perlindungan terhadap musuh yang ternyata ada di dalam pagar?

Sabrang mengajak jamaah untuk kembali merenungi bahwa musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Selama ini kita sering menganggap bahwa Iblis adalah musuh terbesar manusia karena dia yang memiliki hak dari Allah untuk “menggoda” manusia di bumi. Pada kenyataannya, Rasulullah SAW setelah perang Badar mengingatkan kepada umat manusia bahwa musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri.

Menurut Sabrang, yang dilakukan oleh Iblis adalah menciptakan musuh dalam diri manusia. Contohnya adalah konsep cita-cita menjadi kaya yang justru menjebak manusia kehilangan keseimbangan dalam menjaga kuda-kuda dalam dirinya. Hampir semua orang saat ini ingin menjadi orang kaya, maka yang terjadi adalah mayoritas dari manusia bertujuan menjadi orang kaya, bagaimanapun caranya.

“Bagaimana melawan musuh terberat yaitu diri sendiri itu? Pagar bagaimana yang harus saya ciptakan?” tanya Sabrang. Kata kuncinya adalah: musuhmu adalah dirimu sendiri. Ketika dirimu semakin pandai, musuhmu semakin pandai. Ketika musuhmu semakin bijaksana, musuhmu semakin bijaksana. Ketika dirimu semakin kuat, musuhmu semakin kuat. Ketika dirimu semakin waskito, musuhmu semakin waskito. “Kalau saya melawan dia (red: diri sendiri) dengan kekerasan, maka dia akan melawan dengan kekerasan yang sama dengan yang saya keluarkan. Dan apabila kekerasan melawan kekerasan yang sama kuatnya maka yang terjadi adalah kehancuran,” lanjutnya. Menurut Sabrang, yang harus dilakukan oleh manusia adalah menjadi lautan yang menampung musuh terbesarnya itu, bukan menjadi lawan bagi musuhnya.

Maka, melawan diri sendiri apakah harus menegakkan pagar untuk menciptakan batas antara diri kita dengan musuh terbesar kita yang notabene adalah diri kita sendiri? Menurut Sabrang, pagar dalam diri manusia adalah bagaimana kita bisa menampung diri kita sendiri, bagaimana kita bisa menerima diri kita sendiri, dan bagaimana kita bisa mengidentifikasi bahwa musuh kita adalah bagian dari diri kita sendiri. Sebab itu bagian dari diri kita tetapi jangan biarkan itu menjadi diri kita, itulah pagar atau batas yang seharusnya kita bangun. Apabila pagar dalam diri kita itu sudah terbangun, maka pagar di luar diri kita sudah tidak perlukan lagi. Karena saat kita sudah tidak menjadi ancaman bagi diri kita sendiri, maka kita bukan lagi ancaman bagi manusia lainnya, dan jangan lupa bahwa musuh terbesar adalah yang berada di dalam pagar itu sendiri. Yang harus dibangun bukanlah pagar batasan, tetapi pagar bagaimana memahami diri sendiri secara seutuhnya.

Malam itu Kenduri Cinta juga dihadiri oleh tamu spesial dari komunitas Maiyah Mocopat Syafaat Jogja, yang juga seorang penyair, beliau adalah Mustofa W Hasyim. Beliau membacakan dua buah puisi “rusak-rusakan” yang sudah menjadi ciri khasnya selama bertahun-tahun. Mustofa W. Hasyim merupakan salah satu sastrawan asli Yogyakarta yang sudah bersinggungan dengan Cak Nun sejak tahun 70-an. Mustofa W Hasyim selalu membuat suasana menjadi segar penuh tawa karena setelah membaca puisi setiap baitnya, ia mengomentari puisinya sendiri. Puisi kedua yang dibawakan oleh Pak Mustofa W Hasyim berjudul Zaman Bingung.

“Ketika dirimu semakin pandai, musuhmu semakin pandai. Ketika musuhmu semakin bijaksana, musuhmu semakin bijaksana.”

MENEGAKKAN PAGAR MIRING — Kenduri Cinta

CINTA, SURGA DAN NERAKA

Forum tanya-jawab. Beberapa jamaah mengemukakan pendapatnya dan bertanya. Pertanyaan jamaah beragam, dari hal praktis, fikih, hingga pertanyaan filosofis mendalam.

Sabrang menjawab pertanyaan tentang batasan-batasan dalam diri manusia serta konsep cinta, surga dan neraka. Menurutnya, cinta membuat kita belajar tentang batasan “siapa aku” dalam diri kita sendiri. Ketika manusia masih kecil, konsep “aku” masih hanya dalam batas tubuhnya sendiri dan apa yang menyenangkan bagi dirinya sendiri. Ketika menginjak remaja, manusia seolah-olah mencintai orang lain, namun sebenarnya yang dilakukannya adalah mencintai diri sendiri melalui orang lain. Ketika seseorang sedang kasmaran atau berpacaran, “aku” dalam dirinya semakin luas, bukan hanya dalam dirinya sendiri melainkan juga pada diri kekasihnya. Seorang lelaki yang mendapati kekasih hatinya diganggu oleh orang lain akan merasa tersinggung, bahkan bisa marah untuk mempertahankan “aku” dalam diri kekasihnya tadi. Begitu juga ketika ia sudah menikah dan punya anak, “aku” dalam dirinya akan lebih luas lagi, mencakup pada diri istri dan anaknya. Seorang ayah sebagai kepala keluarga akan berjuang habis-habisan untuk mempertahankan harga diri dan martabat keluarga. Konsep “aku” dalam diri manusia akan meluas seiring perjalanan waktu yang ia lewati.

Ketika seseorang menjadi pemimpin, maka “aku” yang ia miliki harusnya mencakup wilayah yang lebih luas lagi, yaitu seluruh rakyat yang ia pimpin, dan seluruh apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ketika seorang pemimpin tidak memiliki “aku” dalam wilayah yang luas tersebut, maka dia tidak akan pernah mampu menjadi pemimpin, karena “aku” yang dia bela masih dalam wilayah yang sempit. Pada kenyataannya di Indonesia saat ini, para anggota parlemen kita, cakupan “aku”-nya paling mentok hingga batasan partainya sendiri, tidak mencakup pada rakyatnya yang notabene adalah yang mereka wakili di parlemen. Seandainya semua anggota parlemen memiliki konsep “aku” yang mencakup hingga wilayah rakyat, maka yang terjadi dalam musyawarah apapun adalah untuk mencapai mufakat demi kebaikan rakyatnya, bukan demi kepentingan partai atau golongannya saja, karena memiliki kesadaran “aku” yang sama luasnya.

“Yang harus dibangun bukanlah pagar batasan, tetapi pagar bagaimana memahami diri sendiri secara seutuhnya.”

Sabrang melanjutkan dengan sampaikan satu kisah hikmah yang terjadi pada masa-masa berakhirnya kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Seorang penggembala kambing mendapati kambingnya diterkam serigala. Si penggembala ini merasa heran, kenapa serigala itu berani memangsa kambingnya, padahal di hari-hari sebelumnya ia tidak pernah mendapati seekor serigala pun mendekati kambing gembalaannya. Ia bergumam dalam hati; “Apakah Khalifah Umar sudah tidak ada?” Seketika ia pergi ke pusat kota, ia mendapati sebuah berita bahwa Khalifah Umar baru saja dibunuh. Pada cerita itu, kita bisa melihat sebuah hirarki kepemimpinan yang pengaruhnya sangat luas. Ia—kepemimpinan—mampu membuat kambing rakyatnya aman dari terkaman serigala. Ketika pemimpin tersebut mati, maka rasa aman itu hilang.

Dalam konsep kepemimpinan di Jawa, raja tidak memerintah rakyatnya, raja hanya menyusun sebuah aturan atau policy yang kemudian aturan tersebut dijalankan oleh patih. Syarat seorang raja menyusun sebuah aturan, dia harus sudah mengenali konsep “aku” yang lebih luas, bukan hanya sekedar dirinya sendiri, namun juga mencakup kehidupan rakyatnya, bahkan ia harus memiliki konektivitas baik dengan alam dan Tuhannya.

Menanggapi pertanyaan jamaah tentang puisi yang membebaskan, Mustofa W Hasyim menjelaskan bahwa kata bisa digunakan untuk mengunci namun juga bisa digunakan untuk membebaskan, tinggal kembali ke kita dalam menggunakan hal tersebut untuk apa. Salah satu contoh bahwa kata bisa digunakan untuk mengunci adalah yang kita kenal sekarang dengan stigma. Misalkan kata jihad, yang kini dikunci menjadi suatu perbuatan buruk. Stigma tertentu juga terjadi pada kata dakwah. Mustofa W Hasyim kemudian secara runut menjelaskan proses bagaimana penstigmaan terjadi, dimulai dari trauma menjadi phobia dan kemudian menjadi stigma.

Menyambung Mustofa W Hasyim, Sabrang lalu menceritakan sedikit tentang proses lahirnya seorang pemimpin di Jawa. Konon, dibawah tanah keraton Jogja terdapat sebuah bangunan yang lebih tua dari keraton, dalam bangunan tersebut terdapat 12 kamar, dimana kamar-kamar tersebut menjadi tempat penggemblengan seorang calon raja sebelum dia menjadi raja. Sebelum menjadi raja, seorang calon raja harus lulus penggemblengan dalam 12 kamar tersebut. Ujian pertama adalah ia dimasukkan ke dalam kamar pertama yang sangat gelap selama 40 hari, dalam kurun waktu tersebut ia diharuskan menerangi kamar yang gelap itu dengan tubuhnya sendiri, entah bagaimana caranya. Jika ia tidak mampu, maka ia dinyatakan tidak lulus dari ujian di kamar pertama, dan tentu tidak bisa memasuki kamar kedua untuk menghadapi tantangan selanjutnya. Bisa dibayangkan betapa sulitnya menjadi seorang pemimpin saat itu, karena syaratnya sangat berat. Dari hirarki ini, jelas, rakyat dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kesadaran “aku” yang sangat luas, sehingga ia memiliki koneksi yang baik kepada alam dan Tuhannya. Hirarki ini tidak akan ditemukan dalam konsep demokrasi.

NABI KHIDIR MENEGAKKAN PAGAR MIRING

Surga dan neraka menurut Sabrang hanyalah soal perbedaan konsep tentang cinta. Ada dua jalan untuk memahami cinta: mencintai orang lain atau mencintai diri sendiri. Tidak ada kelengkapan tanpa salah satunya, karena yang lengkap adalah mencintai diri sendiri dan mencintai orang lain dan menemukan kesatuannya. Yang harus dicari adalah dari mana memulainya? Jika kita memulainya dari mencintai orang lain, maka hasil akhirnya adalah surga, sebaliknya jika mulainya dari mencintai diri sendiri maka akhirnya adalah neraka.

Semua yang disebut dosa, akarnya adalah mencintai diri sendiri lebih dari mencintai orang lain. Sedangkan semua yang disebut pahala, akarnya adalah mencintai orang lain lebih dari mencintai diri sendiri. Jika ada 10 orang memiliki konsep mencintai orang lain lebih besar dari mencintai diri sendiri, yang terjadi adalah mereka akan saling melayani satu sama lain. Bukankah itu surga? Namun jika 10 orang berkumpul dimana konsep mencintai diri sendiri lebih besar dari konsep mencintai orang lain, yang terjadi adalah saling bertentangan satu sama lain, karena konsep “aku” yang mereka miliki masih sebatas dirinya sendiri. Dan sudah dipastikan akan menjadi neraka.

Maka, seharusnya yang dilakukan oleh manusia adalah menentukan dimana dia akan memulai; mencintai diri sendiri atau mencintai orang lain. Dari konsep “aku” ini, dapat disimpulkan bahwa yang berhak memimpin sebuah masyarakat adalah seseorang yang mencintai orang lain lebih besar dari mencintai dirinya sendiri, yang “aku”-nya semakin luas yang lingkupnya lebih luas dari dirinya sendiri.

Menjelang akhir acara, Sabrang menjelaskan mengapa Cak Nun mengangkat tema Menegakkan Pagar Miring. Tema ini berdasarkan cerita perjalanan Nabi Khidlir dan Nabi Musa, bahwa 3 peristiwa tersebut saat ini juga sedang dialami oleh bangsa ini. Dalam 3 peristiwa yang terjadi yang dialami Nabi Khidir dan Nabi Musa, merupakan proses menyelamatkan masa depan dengan representasi yang berbeda satu sama lain.

Peristiwa membocorkan kapal merupakan representasi peristiwa saat ini, Nabi Khidir membocorkan kapal untuk menyelamatkan nelayan dari ancaman perampok yang akan menghadang di depannya. Peristiwa mencekik seorang anak merupakan proses menyelamatkan masa depan orang tua dari anak itu. Nabi Khidir diberi kemampuan untuk melihat apa yang akan terjadi di masa datang, bahwa anak yang dicekik hingga mati tadi memiliki potensi besar untuk mengafirkan kedua orang tuanya di masa depan.

Sabrang juga jelaskan mengapa yang diambil untuk tema bulan ini adalah peristiwa ketiga: menegakkan pagar miring. Posisi Maiyah menurut pandangan Cak Nun adalah: dalam rangka menegakkan dan menjaga pagar yang sudah miring di Indonesia. Maiyah menjaga harta karun yang belum dipahami oleh masyarakat secara luas saat ini, tetapi jamaah Maiyah secara keseluruhan menjaga harta karun tersebut untuk kebaikan di masa yang akan datang, jamaah Maiyah secara ikhlas dan istiqomah menjaga harta karun tersebut.

Lewat pukul 3 dini hari Kenduri Cinta edisi Oktober dipuncaki dengan doa bersama dipimpin oleh Ibrahim.