MENEBUS NUSANTARA

Reportase Kenduri Cinta mei 2014

Nusantara adalah bangsa yang besar, bangsa yang memiliki kekayaan luar biasa, dengan sejarah besar dan selalu kita banggakan, mengapa ternyata saat ini justru seakan kita tidak memiliki apa yang ada di nusantara ini? Realitanya hampir semua aset bangsa ini tidak sepenuhnya menjadi milik rakyat Indonesia. Jika kita menggunakan terminologi gadai, maka kita akan mendapati bahwa nusantara saat ini yang seharusnya menjadi milik kita, saat ini ternyata penguasaan nusantara justru bukanlah pada pemerintah Indonesia saat ini. Hampir semua sumber daya alam nusantara saat ini berada di tangan pihak asing yang mengelolanya. Sehingga kita merasakan bahwa nusantara saat ini sedang digadaikan, dan sudah saatnya kita sebagai pemilik sah nusantara untuk menebus nusantara yang tergadaikan ini. Entah siapa yang menggadaikan, tetapi kita memiliki keharusan untuk menebusnya. Itulah tema besar yang akan dicoba untuk didiskusikan pada forum Kenduri Cinta malam itu.

Tepat pukul delapan malam Kenduri Cinta edisi Mei dibuka dengan pembacaan surat Yaasin, kemudian dilanjutkan dengan membaca Alquran juz 17. Jamaah yang sudah hadir di pelataran parkir Taman Ismail Marzuki mulai merapat ke dekat panggung, sebagian ada yang naik ke panggung untuk ikut membaca Alquran. Acara kemudian dilanjutkan dengan salawatan yang dipimpin oleh Sholeh dan beberapa teman-teman penggiat Kenduri Cinta. Andrean yang malam itu berperan sebagai moderator acara mengajak jamaah untuk kembali mengingat sejarah Indonesia saat zaman penjajahan Belanda, dimana ketika itu orang-orang pendatang menjadi penguasa, sedangkan orang pribumi asli menjadi kasta terendah, menjadi kacung. Jika kita melihat keadaan saat ini, ternyata tidak jauh berbeda.

TRI PILAR NUSANTARA

Berikutnya giliran Ibrahim menyampaikan pemaparannya, ia menjabarkan sedikit tentang kondisi organisasi komunitas Kenduri Cinta dan mengajak jamaah untuk ikut bergabung pada aktivitas-aktivitas Kenduri Cinta. Ibrahim juga mengundang jamaah untuk ikut berpartisipasi dalam beberapa kegiatan rutin selain forum bulanan Kenduri Cinta, diantaranya adalah forum reboan, juga kegiatan literasi, dengan mengirimkan tulisan/esay/artikel/opini ke redaksi Kenduri Cinta.

Rusdianto membuka diskusi dengan mengajak peserta acara untuk tidak terlalu risau dengan situasi politik Indonesia. Menurut Rusdianto, apabila kita benar-benar ingin “menebus nusantara”, salah satu yang kita lakukan bisa dengan mulai mengganti kata indonesia dengan nusantara. Mental rakyat Indonesia sudah sangat teruji. Jika kita mau jujur, rakyat sebenarnya sudah tidak perduli dengan pemilihan presiden, siapapun presiden yang akan terpilih nantinya tidak ada tujuan lain selain giliran merampok. Rusdianto menyadari bahwa pergantian rezim pemerintahan setelah Orde Baru ternyata hanya melahirkan “Soeharto” baru dan jumlahnya lebih banyak, dengan tujuan yang sama, yaitu bergiliran merampok aset negara.

Andre Dwi Wiyono selanjutnya memaparkan pandangannya tentang kenusantaraan. Menurutnya, pandangan bahwa istilah nusantara muncul pertama kali di kitab Negarakertagama, ketika Gajah Mada mengikrarkan sumpah amukti palapa, adalah kurang tepat. Pada masa Singosari istilah nusantara telah ada. Istilah tersebut muncul ketika kemampuan Singosari dalam penguatan-penguatan daerah karena perubahan dari kekaisaran Cina yang pada saat itu sangat agresif.

Menurut Andre, ada tiga poin utama untuk menjadi kunci atau rumusan utama bagi seorang pemimpin di negeri ini untuk merubah nusantara, yaitu ketauhidan, theosofi dan keteladanan. Jika kita melihat struktur kerajaan Majapahit, pertama yang harus dilihat adalah negara gung yang letaknya di Trowulan, dikelilingi oleh beberapa negara bagian yang dikuasai oleh saudara-saudara raja yang berkuasa saat itu. Struktur yang lebih luas, di luar negara gung adalah negara-negara yang mengelilingi Majapahit, yaitu Lampung, Dhamasraya, Palembang, Madura dan Bali. Kemudian yang lebih luas lagi adalah yang disebut sebagai nusantara yang meliputi wilayah yang lebih luas lagi seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan kerajaan-kerajaan yang berada di semenanjung melayu. Mitreka satata adalah konstruksi struktur yang lebih luas lagi dari nusantara. Yang termasuk dalam mitreka satata ini seperti kerajaan-kerajaan yang terdapat di Thailand, Myanmar dan Kamboja.

Hal menarik lainnya dalam konteks nusantara, yaitu tentang bentuk sebuah negara. Pada zaman kerajaan Majapahit dulu setiap negara melakukan tiga bentuk konsolidasi, yaitu konsolidasi wilayah, konsolidasi politik dan konsolidasi spiritual. Dalam negara Majapahit, desa adalah sebuah wilayah yang berada di bawah kekuasaan Tumenggung. Ada tiga warna desa saat itu, yaitu desa yang berbasis pertanian dinamakan wanua dengan seorang pemimpin yang biasa disebut petinggi/pethani. Desa kedua adalah awuku yang dikepalai oleh lurah atau demang yang berbasis politik, prajurit atau militer. Yang ketiga adalah desa yang berbasis spiritual dengan pemimpin yang disebut sebagai rama. Konstruksi tiga desa ini adalah yang disebut sebagai Tri Pilar. Apabila kemudian kita benar-benar ingin Menebus Nusantara, maka Tri Pilar inilah yang seharusnya kita gali lebih dalam. Apabila kita ingin membicarakan nusantara, maka kita sebenarnya adalah membicarakan desa seperti zaman Majapahit. Ada tiga konstruksi yaitu geososio politik, geososio ekonomi dan geososio budaya. Hal ini musti diserasikan untuk supaya memberikan suatu warna dalam wacana besar tentang nusantara.

“Kalau engkau sudah rida kepada penderitaanmu, maka engkau diberi kebahagiaan oleh Allah.”
Emha Ainun Nadjib

Kenduri Cinta kali ini dihadiri oleh Dr. Aziz Khafia, MSi mantan Wasekjen Bamus Betawi yang terpilih menjadi anggota DPD pada pemilihan legislatif 9 April yang lalu. Ia mengakui bahwa setelah bergabung dengan Maiyah Kenduri Cinta banyak hal yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Menurut Dr. Aziz, apabila kita ingin merubah nusantara, yang perlu kita lakukan adalah merubah diri kita sendiri, baru kemudian kita melakukan langkah yang kita sebut sebagai “menebus nusantara”.

Ustaz Noorshofa Thohir kemudian memuncaki diskusi sesi kedua ini dengan pembahasan mengenai isra dan mikraj. Di dalam Alquran tidak ada kata mikraj, hal ini dikarenakan peristiwa mikraj adalah sebuah peristiwa yang tidak bisa dijelaskan dengan akal pikiran kita, sampai kapanpun manusia tidak akan mampu menembus dimensi mikraj. Oleh karena itu, untuk “menebus nusantara” ini pun rasanya sulit melaksanakannya. Karena kuncinya itu tadi bukan hanya isra yang bersifat vertikal, namun juga harus mikraj yang bersifat horisontal.

Ustaz Noorshofa kemudian bercerita tentang sebuah peristiwa dimana terdapat tiga orang yang suatu hari terjebak dalam sebuah gua yang tertutup batu besar. Ada sebuah rumusan bahwa apabila doa kita ingin diijabahi oleh Allah maka berdoalah dengan kekuatan amal baik yang pernah kita perbuat. Dari cerita ini kita dapat mengambil hikmah bahwa di saat kita mampu menolak perbuatan maksiat yang mampu kita lakukan meskipun orang lain tidak tahu, itu merupakan kebajikan yang luar biasa. Begitu juga berbakti kepada orang tua dan perbuatan amanah merupakan kebajikan yang luar biasa. “Tiga kebajikan ini ternyata mampu membantu doa manusia agar diijabah oleh Allah SWT. Maka, mari kita gunakan kekuatan kebajikan yang pernah kita perbuat agar Allah membantu kita untuk Menebus Nusantara,” Ustaz Noorshofa memungkasi penjelasannya.

“Di Maiyah kita mencari kesejatian dan keabadian dengan melewati sebuah jalan yang sudah pasti banyak yang tidak abadi dan tidak sejati.”

PARTIKEL TUHAN DAN NUSANTARA

Sekitar pukul setengah dua belas malam, jamaah yang hadir semakin ramai, suasana Kenduri Cinta semakin hangat. Cak Nun kemudian naik ke forum bersama Sabrang dan Agung dari Turangga Seta, untuk diskusi lanjutan.

“Kalau sesuatu terjadi dalam hidup anda, membahagiakan atau menyedihkan bisa dinilai bagaimana sikap Allah terhadap kejadian itu. Yang pertama adalah Allah cuek (acuh) dan dibiarkan, yang kedua adalah Allah tidak peduli dengan kejadian tersebut. Yang ketiga adalah Allah mengizinkan. Yang keempat adalah apa yang anda alami, apa yang anda lakukan setiap hari itu sama persis dengan apa yang Allah perintahkan,” Cak Nun mengawali.

Syeikh Nurshamad Kamba bulan lalu pernah mengingatkan bahwa untuk mendapatkan rido Allah itu tidaklah sulit, justru rido kita kepada Allah yang terkadang lebih sulit kita berikan. Kita lebih sering mengeluh atas apa yang Allah gariskan kepada kita. Kita lebih sering berekspektasi tinggi, ketika harapan yang tinggi itu tidak tercapai, yang kita rasakan adalah kekecewaan dengan kemudian kita mengungkapkan kekecewaan itu dengan kemarahan kepada Allah, menganggap bahwa hidup ini tidak adil. Begitulah manusia.

Cak Nun kemudian mengajak jamaah untuk mundur satu-dua langkah untuk kembali belajar bertanya bukan selalu mencari-cari jawaban, karena saat ini kebanyakan manusia ternyata dalam bertanya saja masih banyak melakukan kesalahan.

“Kalau ternyata nanti anda mengalami suatu peristiwa setelah pilpres yaitu peristiwa yang tidak anda setujui dan tingkat ketidaksetujuan anda itu sangat mendalam ke hati anda, maka pada akhirnya anda tidak akan rida. Jadi anda sekarang harus mempersiapkan diri dan hati anda untuk rida kepada apa yang anda sangat tidak setuju.”

“Lebih gampang mana rida berilmu dengan rida tanpa ilmu?” tanya Cak Nun. “Saya ingin mengatakan kepada anda, tolong dijaga ketidaktahuan anda kepada Indonesia supaya tidak sukar meridai apa yang akan terjadi. Hanya orang bodoh yang terlalu tidak mengetahui apa-apa yang meletakkan kepemimpinan di Indonesia ini sebagai hal yang wajib.”

Cak Nun melanjutkan setelah menanyakan persentase primer-sekunder calon presiden yang ada saat ini dalam kehidupan dan mengajak jamaah untuk menggunakan terminologi hukum Islam dalam menyikapi pemilihan presiden yang akan dihadapi dalam beberapa bulan ke depan. Apakah itu wajib, sunah, makruh, mubah, halal atau haram. Setiap jamaah diminta oleh Cak Nun untuk menentukan dimana posisi Pilpres dalam kehidupan masing-masing dengan terminologi hukum dalam Islam tersebut. Sebagian jamaah merespon: sunnah; namun sebagian besar jamaah justru menempatkan wacana proses pilpres yang saat ini marak pada posisi: mubah.

“Anda akan menjadi kader yang dari Indonesia yang sejati yang sekarang sedang membuang sampah. Jadi sekarang anda jangan percaya kepada penilaian orang terhadap seseorang, karena orang melihat apa saja sekarang berdasarkan kepentingan atau kedengkian, jadi setiap orang agar belajar jernih atas dirinya masing-masing.

“Anda jangan percaya kepada penilaian orang terhadap seseorang, karena orang melihat apa saja sekarang berdasarkan kepentingan atau kedengkian, jadi setiap orang agar belajar jernih atas dirinya masing-masing.”
Emha Ainun Nadjib

MUDZAKAR DAN MUANNATS

Cak Nun kemudian memberikan metode cara pandang dengan terminologi mudzakkar dan muannats. Mudzakkar adalah simbol dari penyifatan dari maskulinitas, sedang muannats adalah femininitas. Di dalam diri setiap laki-laki maupun perempuan terdapat keseimbangan antara maskulin dan feminin. Secara fisik, sangat jelas seseorang itu laki-laki atau perempuan, namun secara psikologis dia memiliki keseimbangan sifat maskulin dan feminisnya.

Sifat maskulin adalah segala sesuatu yang sifatnya menanamkan, menentukan atau mencetuskan kehidupan. Sedangkan feminin adalah sesuatu yang sifatnya di tanami dan memelihara apa yang sudah ditanami pada dirinya. Sifat maskulin memiliki karakter yang keras dan padat, sedangkan feminin memiliki sifat mengalah, fleksibel, luwes, legowo dsb.

Jika kemudian kita menarik garis lurus, Jakarta adalah ibu-kota bukan bapak-kota. Hal ini dikarenakan “ibu” merupakan konsep tentang pusat peradaban. Bahkan Indonesia kita sering menyebutnya sebagai ibu pertiwiAllah sendiri menempatkan dirinya pada konsep maskulinitas, namun itu bukan berarti bahwa Allah memiliki gender. Dari sekian sifat Allah banyak kita temui sifat maskulin seperti Aziizun, Qowiyyun, Dzul Quwwatin, Qoohirun dsb. Tetapi ada juga sifat yang feminim seperti Ro’uuf, Rahman, Rohiim, Lathiif dsb. Allah menampilkan diri-Nya kepada manusia ternyata justru lebih feminim. Satu contoh yang sering kita ucapkan setiap hari adalah kalimat basmalah, “Bismillahirrohmaanirrohiim“.

Terminologi mudzakkar dan muannats ini jika digunakan dalam situasi politik di Indonesia maka Indonesia ini harus muannats (feminim), karena sudah ada mudzakkar global seperti Amerika, Israel, Singapura, sekutu, IMF, dsb. Yang akan direstui menjadi presiden adalah yang paling muannats.

Terminologi ini juga bisa digunakan untuk menerka peta koalisi partai politik menjelang pemilihan presiden berdasarkan suara partai yang didapatkan dari hasil pemilihan legislatif bulan kemarin. Ada yang perolehan suaranya bersifat mudzakkar, dia bisa bersifat muannats. Ada suara yang sifatnya muannats justru mampu bersifat mudzakkar. Cak Nun memancing jamaah agar tetap ikut mengamati dan memperhatikan situasi politik Indonesia meskipun jamaah di awal tadi sudah menyatakan bahwa politik Indonesia hukumnya adalah mubah.

Sifat maskulin dan feminim ini juga diperlukan dalam seni tilawah Alquran dan azan. Seorang qaari‘ atau muazin harus tepat menentukan tinggi rendahnya nada dan suara yang digunakan. Hal ini diperlukan agar suara yang dilantunkan terasa indah untuk diperdengarkan.

“Justru karena laa ilaaha kita sampai kepada illallah.Jangan sampai kita setiap hari kita selalu mengucapkan illallah tetapi tidak mengetahui laa ilaaha-nya.”

Sekarang ini yang paling penting dalam bersikap kepada Indonesia adalah anda harus mengetahui yang tidak sebelum anda mengetahui yang iya. Dan jangan lupa bahwa Allah akan memberikan iya ketika engkau sudah ikhlas dengan seluruh yang tidak itu tadi. Anda jangan percaya kepada penilaian orang terhadap seseorang, karena orang melihat apa saja sekarang berdasarkan kepentingan atau kedengkian, jadi setiap orang agar belajar jernih atas dirinya masing-masing,” lanjut Cak Nun.

Sabrang ikut memberikan pandangannya tentang tema Menebus Nusantara. Karena diawal Cak Nun sudah mengawali diskusi bahwa malam ini kita mundur satu-dua langkah untuk belajar bertanya, Sabrang kemudian melemparkan beberapa pertanyaan yang mendasar; menebusnya kepada siapa?

Sabrang kemudian melemparkan pertanyaan lagi, apakah pemimpin dan penguasa itu sama? Karena kita sekarang hampir selalu menyamakan pemimpin dengan penguasa tanpa mempertanyakan apakah pemimpin dan penguasa itu sebuah konsep yang sama atau berbeda? Kalau demokrasi ini memang kemudian menghasilkan pemenang, apakah itu tidak melawan konsep musyawarah untuk mufakat yang didalamnya tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah karena yang dicari adalah jalan tengah untuk kemudian bergandengan bersama untuk berjuang bersama. Tetapi yang terjadi dalam demokrasi di Indonesia sekarang adalah siapa yang menang maka dia yang berkuasa, dan yang kalah menjadi pihak yang tidak memiliki hak untuk mengeluarkan aspirasi. Bukankah hal ini pada dasarnya melanggar prinsip musyawarah untuk mufakat?

Sabrang melanjutkan pemaparannya, dalam sebuah kerajaan terdapat konsep parentah ageng yang didalamnya terdapat empat generasi yang terlibat di dalamnya: raja, pangeran, permaisuri, ibu dan nenek sang raja. Keempatnya ikut dalam memutuskan yang kemudian disabdakan oleh sang raja. Sehingga, konsep kekuasaan mutlak seorang raja itu tidak ada. Ternyata demokrasi yang ada sekarang tidak lebih canggih dari sistem kerajaan zaman dahulu.

Sabrang kemudian ‘memancing’ Agung Turangga Seta yang malam itu ikut hadir di acara dengan sedikit memberikan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang nusantara kepada beliau. Agung kemudian ikut menyampaikan pandangannya, “Kita kadang-kadang menerima dengan mentah dari pelajaran yang kita pelajari di sekolah sampai perguruan tinggi, mungkin banyak hal yang harus dipertanyakan ulang terutana yang terkait dengan sejarah.”


Menyambung, Agung menjelaskan tentang Trowulan yang jika dibandingkan dengan Jakarta yang sebagai pusat ibukota apakah Jakarta itu masyarakatnya homogen? Kemudian kita melihat Trowulan, apakah Trowulan pernah menjadi pusat ibukota Majapahit? Hal ini patut kita pertanyakan kembali karena ini menjadi masalah yang mendasar jika kemudian ternyata ditemukan fakta bahwa Trowulan bukanlah ibukota pusat pemerintahan dan administrasi Majapahit. Sehingga kemudian ada konsekuensi untuk merevisi literatur sejarah yang ada.

Agung melanjutkan pertanyaan kedua, kalau memang kekuasaan Majapahit dikatakan wilayahnya mencapai luas Indonesia saat ini apakah iya hanya membutuhkan kota kecil sebesar Trowulan untuk menjadi pusat pemerintahan dengan wilayah yang tidak seluas Jakarta dan bangunan yang sangat sedikit?

Apabila kemudian kita melihat Mataram, apakah sebuah benteng di Kotagede membuktikan bahwa Kotagede pernah menjadi pusat pemerintahan Mataram saat itu? Agung terus memberikan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan keadaan geografis Indonesia dan literatur sejarah yang ada di Indonesia.

“Jalan Anyer-Panarukan apakah benar-benar dibangun oleh Daendels dalam waktu seribu hari?” lanjut Agung. Kita ternyata kurang peka mempertanyakan literatur sejarah terkait jalan Anyer-Panarukan ini apakah benar-benar dibangun oleh Daendels atau memang sudah dibangun sebelumnya oleh manusia nusantara kemudian diakui oleh Daendels. Karena jika ditelisik lebih dalam, apakah mungkin saat itu yang dalam keadaan perang Daendels dengan sangat cepat mampu membangun jalan tersebut? Sedangkan kita melihat sekarang, jalur pantura setiap tahun tidak pernah selesai diperbaiki, padahal zaman sekarang bisa dikatakan lebih modern dari zaman penjajahan Belanda saat itu?

Agung kembali melemparkan pertanyaan-pertanyaan, salah satunya tentang pabrik gula yang tersebar di banyak tempat di nusantara. “Kalau memang pabrik gula itu dibangun untuk kepentingan Belanda tentunya akan dibangun pada wilayah yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan Belanda saat itu, yaitu berada di Batavia. Tetapi pada faktanya pabrik gula justru banyak dibangun di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jika kita melihat masyarakat sunda rata-rata lebih menyukai minuman yang tawar, berbeda dengan masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang cenderung menyukai minuman yang manis, jadi sebenarnya pabrik gula ini dibangun atas kepentingan Belanda atau kepentingan masyarakat nusantara saat itu. Jadi, pabrik gula ini benar-benar Belanda yang membikin atau hanya diakui oleh Belanda bahwa mereka yang membikin?”

Pada layaknya pabrik gula selalu ada mesin yang beratnya mencapai 100 ton, mesin tersebut tidak bisa dirangkai secara terpisah. Apakah logis benda itu dibangun di Belanda kemudian diangkut kesini, padahal jembatan yang paling modern di Indonesia saat ini saja hanya mampu menahan beban maksimal 60 ton, belum lagi jika kita mempertanyakan infrastruktur jalan raya saat itu apakah logis benda seberat 100 ton dibawa dari Belanda ke Indonesia? Jika kemudian kita mempercayai bahwa benda itu dibikin oleh Belanda di Indonesia, dimana mereka membangun benda tersebut? Apakah benar masyarakat Belanda saat itu adalah masyarakat yang terampil pandai besi sehingga mampu merancang sebuah pabrik gula?

Mengenai kereta api di Indonesia, Agung juga menyampikan banyak pertanyaan, “Kalau misalkan rel kereta api dibikin oleh Belanda dibawa dari negaranya dan dibawa ke Indonesia, apakah jika kita mengumpulkan seluruh rel kereta peninggalan Belanda itu cukup ditampung di Amsterdam?”

Secara akal sehat, rasanya tidak mungkin Belanda yang membangun kereta api di Indonesia. Karena penduduk Belanda sendiri ternyata bukanlah masyarakat pandai besi, belum lagi kekayaan sumber daya alam Belanda yang tidak memiliki tambang besi sebesar yang dimiliki Indonesia, apakah masuk akal bahwa infrastruktur kereta api itu dibangun oleh Belanda? Ini baru tentang rel kereta api, belum sampai lokomotif kereta api. Kalau memang dibangun oleh Belanda, kenapa pabrik tempat untuk merakit kereta api itu dibangun di Madiun? Apakah masuk akal, ketika zaman peperangan, Belanda dengan mudahnya mengangkut barang seberat itu dari Batavia dibawa ke Madiun untuk membangun kereta api? Atau jangan-jangan itu adalah karya manusia nusantara yang kemudian hanya diakui oleh Belanda.

“Jangan-jangan bangsa kita dulu nggak kalah secara teknologi, cuma masalahnya adalah kita kalah claim,” respon Sabrang kemudian memberikan kesempatan kepada beberapa jamaah untuk ikut merespon pemaparan Agung.

Foto: Agus Setiawan

Foto: Agus Setiawan

PARTIKEL TUHAN

Sesi diskusi kemudian diserahkan kepada Jamaah. Sebagian merespon dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan pemaparan yang disampaikan sebelumnya oleh narasumber, sebagian lagi bertanya tentang hal lain yang tidak dipaparkan oleh para narasumber. Sebagian jamaah juga ada yang membacakan puisi dan ada yang nembang sebagai reaksi mereka dalam merespon diskusi.

Salah satu pertanyaan dari jamaah adalah tentang penemuan “partikel tuhan” dimana penemunya dianugerahi nobel fisika. Ia ingin Sabrang menjelaskan kepadanya apa yang dimaksud dengan “partikel tuhan” tersebut. Pertanyaan lainnya adalah tentang eksistensi Atlantis, dan perkembangan teknologi bahasa dan hubungannya dengan runtuh dan tumbangnya sebuah peradaban.

Sabrang merespon, “Partikel-tuhan (higgs boson) sebenarnya adalah terminologi yang dibuat oleh media agar gempar. Gampangnya gini aja, partikel-tuhan itu dasarnya adalah seperti proton, elektron, dsb. Tapi yang tidak tahu adalah bagaimana partikel tersebut kemudian memiliki massa,” jelas Sabrang.

Sabrang mencontohkan dengan tongkat kayu yang dimasukkan ke dalam air kemudian dengan tongkat tersebut, kita dapat menggerakkan air. Ketika kita menggerakkan tongkat, terjadi sebuah interaksi antara tongkat dengan air yang kemudian menghasilkan gelombang air sesuai dengan kecepatan tongkat yang kita gerakkan. Esensinya, higgs boson itu sama dengan teori tersebut.

Ada sebuah pengetahuan yang sedang ramai di dunia fisika saat ini, yaitu percobaan quantum, percobaan tentang cahaya. Cahaya itu memiliki dua sifat; gelombang dan partikel. Sifat cahaya ini ketika dia bersifat gelombang maka dia berbeda dengan ketika dia bersifat partikel. Pada sebuah percobaan cahaya yang ditembakkan ke sebuah layar yang terdapat dua lubang, di belakang layar tersebut terdapat sebuah tembok yang menjadi titik akhir tembakan cahaya. Percobaan pertama dilakukan dengan menembakkan cahaya dari sebuah senter ke arah layar tersebut, ternyata hasilnya adalah citra garis-garis di tembok, hal ini menunjukkan bahwa cahaya bersifat gelombang. Pada percobaan yang kedua, dipasanglah sebuah detektor di dekat layar, ternyata hasil citra cahaya tersebut di tembok adalah gelap-terang, hal ini menunjukkan bahwa cahaya bersifat partikel. Ketika cahaya bersifat partikel, maka area yang semakin jauh dari pusat cahaya, maka area tersebut menjadi lebih gelap. Sedangkan ketika bersifat gelombang, hasil citra yang dihasilkan adalah garis-garis yang digambarkan dengan keadaan gelap-terang. Jadi kesimpulannya adalah, semua hanya potensial kecuali kesadaran melihat. Ketika ada kesadaran melihat, maka benda yang dilihat menjadi nyata.

Kalau dunia ini ada wujudnya, ada pohon, batu dan sebagainya, Pertanyaannya adalah kesadaran mana yang melihat? Teori yang mampu menjawab pertanyaan ini hanya teori Agama, jawabannya adalah kesadaran Tuhan. Bahwa ada Tuhan yang mengawasi ini semua. Kesimpulan ini cukup membuat gusar para fisikawan. Karena ternyata fisika tidak pernah bisa lepas dari Agama. [red: klik tautan untuk referensi tentang Bell’s Theorem dan Delayed Quantum Eraser]

Menjawab pertanyaan salah satu jamaah yang bertanya tentang “bahasa”, Sabrang menjelaskan, menurut Pak Manu yang merupakan salah satu dari lima orang di dunia yang saat ini mampu membaca huruf Sansakerta, bahasa Sansakerta itu lahir di sungai Rin di Jerman sekitar 6.000 tahun yang lalu berkembang luas di India. Tetapi kita punya bahasa yang lebih tua, yaitu Kawi. Lahirnya ribuan bahasa inilah yang disebabkan oleh akulturasi persambungan antara Kawi dan Sansakerta, jika ingin mempelajari lebih dalam lagi tentang bahasa maka bacalah kitab Prawedha.

Cak Nun ikut melengkapi respon tentang partikel-tuhan. Dalam dunia tasawuf dikenal sebuah kemesraan Tuhan dengan manusia bahwa Tuhan menyatakan “Aku ini berlaku berdasarkan sangkaan hambaku kepadaku.” Dalam term filsafat Yunani kuno ada sebuah pernyataan “aku sadar maka aku ada”. Pada tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah tidak yang lain selain Allah. Bahwa Allah kemudian mengatakan “kun” dengan perintah-Nya, kemudian Dia menyebarkan cinta-Nya dengan “yakuun“, kemudian Allah bermesraan dengan “yakuun” itu seperti partikel dan gelombang dalam dunia fisika. Terkadang partikel, dan terkadang gelombang. Ketika manusia menyadari bahwa tidak ada selain Allah dalam kehidupan di dunia ini, maka semuanya akan terasa kecil.


Agung merespon pertanyaan tentang Atlantis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Agung dkk sejak 1988, ada sebuah kecurigaan tentang adanya sebuah peradaban yang tersimpan dan bersembunyi di Indonesia bahkan hingga saat ini. Kecurigaan yang pertama adalah tentang bangunan Taman Sari di Yogyakarta. Salah satu kepercayaan raja-raja Jawa zaman dahulu adalah persinggungan dengan ratu kidul, atau yang biasa disebut dengan Nyai Roro Kidul. Keberadaan terowongan di Taman Sari menguatkan sebuah fakta bahwa para raja-raja melakukan komunikasi dengan Ratu Kidul ini dengan menggunakan terowongan di Taman Sari ini.

Ada suatu cerita bahwa aktivitas gunung-gunung berapi dikendalikan dari pantai selatan. Ketika Merapi erupsi tahun 2010 yang lalu, Agung dan timnya mengumpulkan sampel pasir yang ternyata kadar garamnya cukup tinggi. Diketahui kemudian bahwa beberapa bulan sebelum Merapi erupsi, ternyata beberapa pantai di selatan Yogyakarta terjadi abrasi.

Tahun lalu Agung melakukan eksperimen dengan menyebar sekitar 600 batu di pantai Pandan Simo dan pantai Samas. Batu yang disebar kedua pantai tersebut kemudian diberi tanda yang berbeda dan ditanam di dalam tanah. Ketika terjadi abrasi di dua pantai tersebut, kemudian batu tersebut hilang. Anehnya, batu-batu tersebut muncul sebagai batu vulkanik yang keluar dari gunung Kelud saat meletus beberapa bulan yang lalu. Saat ini sedang akan dilakukan eksperimen kedua yaitu dengan mengumpulkan benda-benda material yang tidak alami seperti tutup botol, botol minuman, pita, spanduk dsb, kemudian ditanam di bibir pantai selatan, untuk kemudian membuktikan cerita bahwa gunung-gunung berapi dikendalikan dari sebuah peradaban di pantai selatan. Karena saat ini, di beberapa pantai selatan sudah terjadi abrasi, pada saat yang bersamaan beberapa gunung berapi berstatus waspada, siaga, dsb.

 

SABRANG melengkapi penjelasan tentang konsep kesadaran tuhan. Kesadaran pada manusia saat ini adalah tingkat kesadaran yang memang hanya difahami oleh manusia. Misalnya adalah tetes air hujan yang pasti akan kembali ke laut dengan berbagai cara yang berbeda, dengan kesadaran tetes hujan ada yang mengalir di sungai, ada yang mengalir di got, ada yang terserap oleh tanah dan sebagainya hingga akhirnya sampai ke laut.

Begitu juga batu, ia memiliki kesadaran batu yaitu kesadaran ada. Ayam, pohon dan makhluk hidup yang lain juga memiliki kesadaran, yaitu kesadaran tumbuh dan bertahan hidup, sehingga tanggung jawab yang dimiliki oleh mereka hanyalah tumbuh dan bertahan hidup.

Manusia memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi lagi, yaitu kesadaran memahami dirinya sendiri. Ketika manusia bercermin, ia memiliki kesadaran bahwa yang ia lihat adalah dirinya sendiri, bukan makhluk lain. Manusia sudah berada pada tingkatan kesadaran memilih, sehingga kemudian freewill-nya diletakkan secara utuh dalam diri manusia. Makanya orang jawa ketika memperlakukan semua benda itu dengan memanusiakan, karena dia tahu bahwa benda tersebut dalam proses perjalanan.

“Setiap manusia itu pasti melakukan penelitian, baik sengaja maupun tidak sengaja.”
Sabrang

Cak Nun menambah pemaparan Agung, berdasarkan persinggungan Cak Nun dengan Agung bahwa ada 18 titik di pulau Jawa yang menyimpan lipatan-lipatan yang menyimpan peradaban-peradaban yang tersembunyi, namun hal ini masih bersifat asumsi, belum sampai pada tahap kesimpulan. Cak Nun mengibaratkan seperti sebuah software, bahwa sebuah software yang ter-install dalam sebuah komputer, tidak semua file bisa dibuka atau dibaca oleh satu software. Software microsoft word tidak akan mampu membaca file ekstensi .cdr misalnya, apalagi sistem operasi berbasis DOS, jelas tidak akan mampu membaca file tersebut, jangankan .cdr, bahkan file ekstensi .jpeg saja tidak bisa dibuka di sistem operasi berbasis DOS.

Cak Nun memungkasi diskusi puncak Kenduri Cinta kali ini dengan memberi pesan kepada jamaah agar pengetahuan yang diterima pada malam ini agar diproses untuk diteliti lebih lanjut agar tidak hanya menjadi jamur di akal dan fikiran. Dan apabila ternyata kemudian memilih untuk tidak memproses pengetahuan tersebut lebih lanjut lagi, maka sebaiknya agar segera dibuang dari kepala agar tidak menjadi jamur. Setiap manusia itu pasti melakukan penelitian, baik sengaja maupun tidak sengaja. Al-Quran juga memiliki kesadaran-kesadaran yang berbeda satu sama lain, ada ayat yang memiliki kesadaran diskusi, ada juga ayat yang memiliki kesadaran perintah, ada ayat yang memiliki kesadaran merayu, kesadaran menggoda, kesadaran kasih sayang dan sebagainya.

Segala sesuatu musti ditempatkan pada tempat yang sebaik-baiknya, ada yang harus ditempatkan di hati dan pikiran, ada yang harus dipegang di tangan kanan, ada yang cukup diletakkan di tangan kiri, ada juga yang hanya pantas ditempatkan di dalam dompet yang hanya dilihat sesekali saja.

Kenduri Cinta Mei 2014 dipuncaki dengan menyanyikan lagu Padamu Negeri yang dipimpin oleh Cak Nun dan ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh Rusdianto.