Mempelajari kembali “Bhinneka Tunggal Ika”

Wacana Resmi

Pemahaman resmi yang dipercaya dan dianut secara nasional: Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”.

Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.

Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.

Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:

“Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,

Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”

Terjemahan:

“Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.

Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?

Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal

Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran”

Coba buka pintu sedikit dulu :

1. Yang ‘satu’ dalam teks itu adalah Budha dan Syiwa, bukan manusia. Pengetahuan tentang ‘Budha’, ‘Syiwa’, ‘Brahma’ dst adalah hasil ijtihad positif manusia pada kurun sejarah tertentu untuk mencari, menemukan dan ‘merumuskan dengan batas pengetahuannya sendiri’ menjadi Jina dan Siwa itu. Kelak Muhammad saw dititipi informasi oleh Allah swt DZAT-nya, SIFAT (99/102 dst)-Nya, agar menjadi landasan ilmu dan methodologi kekhalifahan manusia untuk memformulasikan ISIM pada JASAD-nya.

2. ‘Bhinneka’ bukan karya makhluk. Bukan ide manusia. Itu ide Allah (yang di era lahirnya teks itu diraba dan disebut Jina dan Siwa. Bhinneka itu gagasan penciptaan keragaman dan ke-BERJODOH-an oleh Allah yang menyangkut apa saja, siapa saja, dari partikel alam (fisika, matematika, biologi dst) hingga maqam kemanusiaan (ilmu sosial, kebudayaan, politik, peradaban). Bhinneka itu SUNNATULLAH, tidak perlu diperdebatkan. Yang perlu dilakukan oleh para Khalifah adalah menelitinya. Dan itu membutuhkan waktu yang tidak cukup meskipun hingga Kiamat. Jadi yang dicapai manusia bukan “pengetahuan yang sombong tentang yang dia anggap kebenaran”, melainkan “kerendah-hatian untuk terus menerus mencari kebenaran dan memperluas pikirannya, hatinya, jiwanya.

4. “Tunggal Ika” adalah fakta Uluhiyah atau kasunyatan ke-Tuhan-an, bukan hakekat kemakhlukan atau kemanusiaan. Yang makhluk dan manusia adalah “Bhinneka”.

5. Diteliti kembali apa benar “Ika” berarti “itu”: ‘kuwi’, ‘iko’, ‘kae’.

6. “Ika” apa benar tidak terkait dengan “Eka”, “Esa”, “Esang”. Bermakna “Satu”. Satu ada Dua-nya ada Tiga-nya. Tapi “Tunggal” adalah satu-satunya, tidak ada dua tiga empatnya. “Tunggal Ika” mungkin maksudnya: ke-Ika-an Tuhan itu Tunggal, beda dengan ke-Ika-an makhluk.

7. Dengan labirin makna seperti itu “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai formula nasionalisme tidak akan pernah tercapai. Ummat manusia dan sebuah Bangsa tidak punya kemungkinan untuk mengambil hakekat Tuhan pada dirinya. “Tunggal Ika” itu DZAT Tuhan, hanya bisa diaplikasi sekilas dan parsial oleh SIFAT manusia, hanya bisa berpura-pura untuk men-JISIM-kan pada JASAD (kenegaraan, kebangsaan) mereka.

8. Yang terjauh yang bisa dilakukan oleh manusia atau Bangsa hanyalah “Manunggal Ika”: proses ‘ingin’, proses berjuang ‘untuk’, melakukan perjalanan ‘menuju’. Manusia hanya berada di ‘kata kerja’, di posisi ‘doa’. Hanya Tuhan yang ‘menjadi’ atau sejak semula ‘adalah’ Tunggal Ika. Pada kehidupan manusia, yang terdekat dari Tunggal Ika adalah ‘Cakrawala”.

9. Sebuah bangsa sebaiknya memposisikan diri pada proses perjuangan “Bhinneka Manunggal Ika”. Sebab kalau manusia meng-Allah-kan dirinya, aplikasi hidupnya pasti hanya “Bhinneka sok Tunggal Ika”.Dalam kehidupan bangsa yang sedang kalian bicarakan ini, “Bhinneka”nya jelas, karena ciptaan Allah. Tapi mana “Tunggal Ika”nya di dalam praktek ketata-negaraannya, dalam sistem politik dan sosial yang disusunnya, di dalam setiap sisi “governance”nya, di setiap detail dari mekanisme kepemerintahannya? Coba berangkat dari setiap fakta kenegaraan dan kepemerintahan yang sebelah mana saja, yang besar maupun yang kecil.

10. Menerapkan “Tunggal Ika” ke Lagu Kebangsaan saja mustahil. Lagu “Indonesia Raya” pakai notasi Jawa, Sunda, Melayu, Papua dll akan menimbulkan perpecahan besar. Akhirnya nasionalisme Lagu Indonesia Raya adalah solmisasi kebudayaan Barat.

Yogyakarta, 25 Agustus 2014