Maiyah Itu Adalah …

( 1 )

Maiyah adalah di mana saja kita berada — di rumah, ditempat bekerja, di rumah ibadah maupun dipasar, dijalan dan di manapun saja — selalu kita bersama Alloh dan Rosululloh. Kapan saja kita sadar maupun tidur, di pagi hari, siang, sore, atau malam hari — selalu kita bersama.

Maiyah adalah membangun perlawanan Badar yang sabar dan berilmu matang terhadap segala tindakan membangun rumah-rumah yang menjauhkan manusia dari Alloh dan Rosullulloh, terhadap konsep pasar dunia yang menyepelekan Alloh, terhadap manajemen penataan kehldupan yang mendhalimi Alloh dan Rosululloh.

( 2 )

Maiyah adalah dengan siapapun saja kita berada — dengan keluarga, dengan teman-teman, dengan masyarakat, bahkan ketika kita sedang berada di tengah makhluk-makhluk Alloh yang memusuhi kita — selalu kita bersama Alloh dan Rosululloh.

Maiyah adalah perlawanan Badar yang sabar dan berilmu matang terhadap segala kekuasaan yang tidak menghadirkan Alloh dan Rosululloh di dalam bangunan keluarga-keluarga manusia, di dalam peta pergaulan masyarakat.

( 3 )

Maiyah adalah apapun yang kita alami — kegembiraan atau kesedihan, kekayaan atau kemiskinan, kesepian atau tidak kesepian, di kesunyian atau di keramaian, dalam keadaan sehat atau sakit, dalam kekalahan atau kemenangan — selalu kita bersama Alloh dan Rosululloh.

Maiyah adalah perlawanan Badar yang sabar dan berilmu matang terhadap segala macam sistem dan ideologi kehidupan yang membangun kesedihan manusia, yang memiskinkan manusia di tengah luasnya rahmat dan rizqi Alloh, yang mengucilkan kemanusiaan, yang menyakiti dan menyakitkan manusia, yang memenangkan energi setan dan menindas Rahman-Rahim Alloh didalam bangunan negeri dan negara manusia.

( 4 )

Maiyah adalah apapun sebab-sebab kehidupan yang menimpa kita — ketika dijunjung atau dicaci, ketika dipuji atau dihina, ketika ditemani atau dikucilkan, ketika diangkat atau dijatuhkan, ketika disayang atau tak diperdulikan, ketika disapa atau diacuhkan, ketika diberi atau dicuri — akibatnya hanya satu: ialah selalu kita bersama Alloh dan Rosululloh.

Maiyah adalah perlawanan Badar yang sabar dan berilmu matang terhadap segala jenis kebudayaan, segala jenis benda teknologi, sastra dan lagu, kesenian dan kerajinan, berita dan hiburan — yang menjunjung kebodohan dan mencaci ilmu, yang memuja kekonyolan dan melecehkan derajat manusia, yang membiayai besar-besaran kehinaan nilai, yang menghancurkan kehormatan makhluk Alloh, yang mencuri Rahmat Alloh untuk kepentingan sendiri.

( 5 )

Maiyah adalah apapun yang kita jumpai atau menjumpai kita — batu, air langit, dedaunan, cahaya, kegelapan, kaca, keburaman, peristiwa, sejarah, revolusi dan amuk, peluru, otoritas yang memalsukan kekuasaan Tuhan, angin, nafas dan seluruh badan kita sendiri — rnembawa kita untuk selalu bersama Alloh dan Rosululloh.

Maiyah adalah perlawanan Badar yang sabar dan berilmu matang terhadap segala bentuk kekuasaan dan pemerintahan yang memperlakukan alam dan kehidupan manusia untuk makar kepada kehendak suci Alloh yang di-informasikan melalui Rosullulloh.

( 6 )

Maiyah adalah apapun yang mengepung kita dan menyerbu kita — roh halus, jin setan, energi liar, santet dan tenung, dzat-dzat makar, rudal, kelicikan penguasa, kesombongan cendikiawan, getaran-getaran kejahatan dalam ilmu dunia dan kendaraan informasi, nafsu kaum munafiqin, tipuan kaum musyrikin dan rayuan kaum dholimin — tidak mengakibatkan apa-apa kecuali istiqamah kebersamaan kita dengan Alloh dan Rosullulloh.

Maiyah adalah perlawanan Badar yang sabar dan ilmu matang untuk membangun Daulah Maiyatullah, kebersamaan dengan Alloh dan Rosululloh, kerajaan syukur kepada Alloh dan pemerintahan terima kasih kepada Rosululloh, beriringan dengan idzinillah dan qudntillah membaur seluruh alam dan kehidupan manusia bersama Rosululloh untuk bertasbih dan bersujud kepada Alloh.

Maiyah — Luasan

Maiyah Putih

Warga Kiai Kanjeng Sepuh berkeliling ke mana-mana, ke rumah-rumah masyarakat, ke alun-alun, lapangan masjid atau kelurahan, gedung olah raga, jalan raya, trotoar atau dimana pun saja: melakukan maiyahan — Bercelana putih, berbaju putih, bertutup kepala putih. Belum tentu karena mereka orang-orang alim (istilah ini sungguh menggelikan), religius, rajin shalat, suntuk wiridan.

Pakaian putih-putih itu bukan kostum pentas, dan sama sekali tidak diperuntukkan bagi siapa pun yang melihatnya. Pakaian putih itu mereka peruntukkan bagi diri mereka sendiri. Mereka itu orang-orang yang mengerti bahwa hidup mereka masih kotor, masih banyak dosa dan maksiat, kepada rnanusia maupun maksiat kepada Alloh. Maka mereka memerlukan dorongan dan rangsangan untuk melakukan proses pembersihan diri “reresik“. Maka putih-putih itu mereka tujukan kepada suasana hati dan konsentrasi pikiran mereka sendiri, agar kalau bisa jangan menerus-neruskan yang kotor-kotor, yang belum tentu baik dan benar, yang tidak sejati dan tidak abadi.

Jadi benar-benar pakaian putih itu bukan show custome bagi para penonton atau siapapun, melainkan untuk dirinya sendiri. Kalau pun kepada Tuhan mereka persembahkan putih-putih itu, bukan untuk melaporkan kesucian, melainkan justru untuk mengakui kehitaman.

Maiyah Bunyi

Mereka membawa alat-alat musik dan bernyanyi-nyanyi, terkadang berteriak-teriak, disaat lain menggeremang atau bahkan memekik. Apa gerangan yang mereka bunyikan? Nyanyian-nyanyian bersama kepada Allah SWT. Tidak kita sebut untuk Allah SWT. Sebab kalau bernyanyi kepada Allah SWT, bisa kita lakukan dimana saja tanpa harus menghadap Allah SWT, asal nyanyiannya kita peruntukkan bagi Allah SWT. Kata kepada dipilih untuk menggambarkan dinamika proses, suluk -menempuh perjalanan rohaniah — menuju atau kepada Allah SWT. Jadi tatkala mereka memekik-mekik, sesungguhnya hati mereka berlari sekencang-kencangnya ke keharibaan Allah SWT — tentu dengan rasa malu yang sangat atas banyak dosa-dosa.

Kenapa shalawatan, wiridan, berdzikir, mengaku dosa kok pakai musik? Karena manusia itu khalifahtulloh, mandataris yang ditunjuk oleh Allah SWT untuk mengurus dirinya sendiri dan alam semesta. Khalifah itu pengelola, manager, direktur kehidupan, eksekutif badan pelaksana.

Para khalifah alias direktur-direktur ini menentukan apakah saron dibunyikan untuk mengiringi tayuban atau memperindah peryataan cinta kepada Allah SWT. Mereka yang mengambil keputusan apakah biola digesek, keyboard dipencet, seruling ditiup, perkusi ditabuh, terbang ditampar — untuk memeriahkan tarian atau lagu-lagu yang tidak terjamin keamanannya di depan pandangan nilai Allah SWT, ataukah dipakai untuk memper-asyik lagu pujian-pujian atas keagungan Allah SWT. Tentu saja, asalkan jangan lantas orang adzan diiringi biola, orang sholat ditabuhi pakai gendang, orang thawaf diiringi genderang massal.

Maiyah bukan ibadah mahdloh. la hanya kegiatan budaya yang menggali inspirasi dari Agama. la hanya me-religius-kan pelaku budaya. la hanya aktivitas sosial budaya yang tidak merelakan dirinya kalau hanya diperuntukkan buat yang bukan Allah. Karena Sabbaha lillahi maa fis samaawaati wa maa fil ard, seluruh makhluk yang dilangit dan di bumi ini bertasbih kepada Allah SWT. Dan para khalifah Kiai Kanjeng Sepuh tahu, bahwa yang bertasbih kepada Allah itu bukan Jin dan Manusia, tapi juga benda-benda, saron, biola, seruling, terbang, bahkan capung, rumput, daun-daun kering. Bukankah Allah tidak menggunakan kata man fis samaawaati, melainkan maa fis samaawaati.

Maiyah Kata

lnna ma’ya Robbi,” tutur Musa, Nabi alaihissalaam, untuk meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. Muhammad Rasululaah SAW, juga menggunakan kata sama — di gua Tsur, tatkala dikejar-kejar oleh pasukan musuh — untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar, sahabat beliau, Sayyid kita Rodhlialloohu ‘anhu: “La takhof wa la tahzan, innalloha ma’anaa“. Jangan takut jangan sedih, Allah ada menyertai kita.

Jadi, asal usulnya dan ma’a, artinya dengan, bersama, beserta. Ma’iyyatullaah, kebersamaan dengan Allah. Ma’iyyyah itu kebersamaan, Ma’anaa, bersama kita. Ma’iya, bersamaku. Lantas kata-kata dan bunyi Arab itu ‘kesandung’ oleh lidah etnik kita menjadi Maiya, atau Maiyah, atau Maiyahan. Mengenai lbu Bapakmu, hal anak cucu para keponakan dan sanak famili, tentu kau ucapkan lnnahum ma’tya, sesungguhnya (mereka) bersamaku. Bersamaku artinya bukan ke mana-mana ubyang-ubyung bareng, makan bareng, mandi bareng. Maknanya substansial, haqiqiyyah. Kalau engkau bersamaku berarti engkau adalah bagian dari hatiku.

Engkau adalah salah satu serat-serat dari struktur perasaanku. Kalau engkau riang, aku gembira. Kalau engkau berduka, aku menderita. Kalau engkau disakiti, aku mengaduh. Kalau engkau disengsarakan, aku menangis. Kalau engkau ditimpa masalah, itu juga masalahku. Kalau engkau memerlukan, aku mengupayakan pemenuhan. Kalau engkau membutuhkan, aku mengusahakan ke-beres-an. Engkau dan aku sayang menyangi, kasih mengasihi, tolong menolong, bela membela satu sama lain.

Maiyah Sosial

Kepada teman-teman, kepada para tetangga, kepada sesama ummat, masyarakat, warga negara, sesama manusia, apapun saja sukunya, bangsanya, golongannya, kelompoknya, organisasinya, kepercayaan dan pendapatnya — tidak layakkah, atau bahkan tidak seyogyanyakah, atau siapa tahu tidak haruskah — engkau dan aku ucapkan dan ikrarkan juga: Innahum ma’iya, sesungguhnya mereka semua ada bersamaku, dan sesungguhnya aku ada bersama mereka?

Kiai Kanjeng Sepuh berkeliling ke mana-mana, menembus berbagai sisi, segmen, lapisan, golongan, wilayah, daerah, dan jenis sosiologis masyarakat untuk menumbuhkan pertanyaan dan kesadaran inna ma’iya semacam itu.

Adakah dengan tetanggamu, masyarakat dan bangsamu, engkau tidak bersedia tolong menolong, melainkan mengancam? Tidak bersedia saling setia, melainkan saling khianat? Tidak mau saling membela, melainkan saling menghancurkan? Tidak siap saling ikhlas melainkan saling tidak rela? Tidak saling mengharapkan kebahagiaan bagi yang lain, melainkan diam-diam mensyukuri penderitaan mereka?

Maiyah Bahasa

Bahasa kenegaraan Maiyah itu nasionalisme. Bahasa mondialnya universalisme. Bahasa peradabannya pluralisme. Bahasa kebudayaannya heterogenisme, atau kemajemukan yang direlakan, dipahami dan dikelola. Metode atau manejemen pengelolaan itu namanya demokrasi.

Bahasa ekonomi Maiyah adalah tidak adanya kesenjangan penghidupan antara satu orang atau suatu kelompok dengan lainnya. Tapi ini terlalu ideal dan utopis: jadi mungkin lebih realistis kita pakai ungkapan Maiyah adalah proses dinamis menyempitnya atau mengecilnya jarak atau kesenjangan penghidupan di antara manusia. Diproses secara sistemik-kolektif jangan sampai ada yang terlalu kaya sementara lainnya terlalu fakir. Kadar maiyah semakin tinggi dan kualitatif berbanding lurus dengan semakin mengecilnya kesenjangan itu.

Di dalam teori Maiyah nasionalisme, selalu ditemukan adanya banyak pihak, ada banyak wajah, ada banyak warna, ada banyak kecenderungan dan pilihan. Masing-masing pilihan itu menggunakan wamanya sendiri-sendiri, wajahnya sendiri-sendi dan kecenderungan sendiri-sendiri. Setiap mereka menghidupi dan menampilkan dirinya masing-masing. Sehingga pada semuanya tampak sebagai bhinneka. Berbagai perbedaan itu tidak membuat mereka berperang satu sama lain, karena diikat dan prinsip ke-ika-an, yakni komitmen kolektif untuk saling menyelamatkan dan mensejahterakan.

Demikianlah berita gembira berdirinya Republik lndonesia dulu. Sikap Maiyah di antara berbagai pilihan itu adalah kesepakatan untuk saling menyetorkan kebaikan dan kemashlahatan untuk semua.
Di era sejarah Orde Baru, berlangsung policy politik nasional atau strategi kebudayaan di mana para ‘masing-masing’ itu dilarang menunjukkan kemasing-masingannya. Maksudnya baik, orang jangan menonjolkan siapa dirinya, bagaimana wajahnya dan apa wamanya. Semua dipersatukan, diseragamkan, identitas masing-masing disembunyikan semaksimal mungkin. Ode Baru berprinsip Tunggal Ika.

Maiyah adalah Bhinneka Tungga lka. Yang Batak ngomonglah dengan logat Batak. Yang Bugis ya dialek Bugis. Yang Madura ya cengkok Madura. Tak ada perlunya ditutup-tutupi, sepanjang ada kesepakatan untuk saling melindungi, saling menyayangi dan memproses tujuan kebahagian bersama.
Yang Budha, berpakaianlah Budha. Yang Katholik, Katholiklah. Yang lslam, lslamlah. Omswastiatu tak usah diganti Padamu Negeri. Haleluya tak usah diganti Tanah Tumpah Darahku. Shalaatullaah salaamullaah tak usah diganti lbu Kita Kartini — Heterogenitas itu cukup dijaga oleh satu prinsip: saling memperuntukkan dirinya bagi kebersamaan. ltulah Maiyah.

Maiyah Lingkaran

Dulu Kiai Kanjeng pentas dan diletakkan di panggung. Mereka ditonton oleh penonton. Kiai Kanjeng Sepuh yang bermaiyah tidak berada di panggung dan tidak ditonton oleh siapa-siapa.
Mereka melingkar, sehingga terserah orang lain akan bergabung menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya atau tidak. Kiai Kanjeng Sepuh tidak mempertunjukkan musik dan suaranya kepada penonton. Mereka hanya bemyanyi, bersholawat, benrwirid, membaca puisi, atau apapun, tetapi yang ada di hadapan mata kesadaran mereka adalah Alloh SWT. Maka pada kebanyakan momentum selama ber-maiyah, tak seorangpun di antara mereka yang tidak memejamkan mata. Karena mata wadag hanya sanggup melaporkan penglihatan tentang hal-hal yang sepele: materi, benda-benda, gedung-gedung, lembaran-lembaran uang, kecantikan wanita dan kegantengan lelaki, menara pencakar langit. Dan itu semua bersifat sementara dan sangat gambar hancur.

Kiai Kanjeng Sepuh serak-serak suaranya untuk Alloh habis bunyinya untuk mencintai-Nya. Bemyanyi, membunyikan alat musik, berkeringat, untuk memelihara hubungan dengan Alloh. Karena Alloh sebagai pengasuh, penyantun, tempat bergantung — tidak bisa diperbandingkan dengan polisi, tentara, menteri ekuin, presiden, pemerintahan, konglomerat, distribusi modal atau apapun saja yang dituhankan oleh sangat banyak orang.

Alloh SWT berjanji kepada kekasih-Nya untuk menjalankan empat fungsi, asalkan oleh para kekasih-Nya dibeli dengan taqwa dan tawakkal. Peran pertama, Alloh SWT sebagai pemberi jalan keluar, solusi atas masalah apa saja: coba sebutkan satu masalah yang Alloh tidak sanggup menyelesaikan!

Peran kedua Alloh sebagai penabur rizqi melalui jalan, cara, metoda dan modus yang semau-mau Dia. Sehingga para kekasih-Nya tidak bisa menduga atiau memperhitungkannya. Para kekasih Alloh SWT tinggal terima jadi, terima matang — anugerah rejeki yang mereka beli dengan “mata uang” taqwa dan tawakkal. Ah, apa sih taqwa? Angen-angen Alloh kapan saja. Menjadikan Alloh sebagai tuan rumah bathin kita. Tawakkal adalah taqwa yang diperdalam, ditancapkan, dihujamkan terus menerus.

Peran ketiga Alloh SWT sebagai manager dan akuntan. Kalau berasmu menipis, jangan memfitnah dengan mengganggap Alloh SWT bersikap acuh tak acuh atas keadaan dapurmu itu. la managermu, ia atur nafkahmu, ia jamin penghidupan keluargamu. Engkau cukup menyetor taqwa dan tawakkal.

Peran keempat Alloh SWT adalah menjadi humasmu, public relation-mu. Keperluanmu atas seseorang atau suatu pihak, kebutuhanmu terhadap akses ini atau itu, disampaikan oleh Alloh kepada yang bersangkutan. Engkau cukup memberi “honor” taqwa dan tawakkal.

Azas Maiyah

  1. Segitiga cinta Allah — Muhammad — Manusia
  2. Perniagaan Dunia — Akherat (untung rugi dimata Allah)
  3. Tidak keliru menentukan cara/jalan dan Tujuan (hancur karena menuhankan dunia)
  4. Peradaban Lingkaran (dari Innalillahi sampai revolusi roda)
  5. Kebenaran— Kebaikan — Keindahan (komposisi 3 dimensi nilai kehidupan)
  6. Langit — Bumi (bangunan meninggi dan meluas)
  7. Azas maslahat Mudharot (identifikasi diri dan perbuatan)
  8. Fardhu a’in — fardhu kifayah (tahu mana yang utama dan mana yang tidak utama)
  9. Mempersatukan muhajirin dan anshor (mentauhidkan kebudayaan)

Ikrar Maiyah

  1. Agar supaya kita saling menjamin, bahwa di dalam lingkaran kita tidak ada kotoran-kotoran batin, kepalsuan niat, kecurangan fikiran, atau apapun yang membuat Muhammad menitikkan air mata dan membuat Alloh mengurangi atau bahkan membatalkan kasih sayangnya kepada kita.
  2. Agar supaya perjalanan hijrah demi hijrah kita tidak disesatkan oleh arus masyarakat, oleh Alloh atau oleh diri kita sendiri.
  3. Agar supaya perjalanan jihad kita tidak disertai oleh dendam dan ketakaburan.
  4. Agar supaya perjalanan ijtihad kita tidak dilalimi oleh mahluk apapun, serta tidak melalimi diri sendiri.
  5. Agar perjalanan mujahadah kita dianugerahi bekal iman dan istiqomah, bekal kekuatan dan muthmainnah, bekal penghidupan yang barokah, pintu rejeki yang membuka lebar-lebar asas perjuangan kita, pintu kegembiraan, keasyikan uluhiyah, serta perlindungan dari Quwatihi wa haulih.

Maka:

  • Kami berkumpul melingkar menghadap-Mu dan memunggungi dunia.
  • Kami berkumpul melingkar menumpahkan cinta kepada-Mu, karena telah dilukai hati kami oleh cinta dunia, negara serta golongan-golongan manusia.
  • Kami berkumpul melingkar menyanyikan lagu-lagu untuk kekasih-Mu karena ummat manusia lebih menyukai kepalsuan.
  • Kami berkumpul menciptakan lingkaran kebersamaan antara harnba-hamba yang dilemahkan oleh pelaku-pelaku kekuasaan dan keuangan.
  • Kami berkumpul merapatkan lingkaran kebersamaan antara hamba-hamba yang dilalimi oleh kebohongan dan kemunafikan kaum mutakabbirun.
  • Kami berkumpul memadatkan kesatuan antara hamba-hamba yang diremehkan dan kini mengerti bahwa diremehkan. Antara hamba-hamba yang ditindas dan kini mengerti bahwa ditindas, antan hamba-hamba yang direndahkan dan kini mengerti bahwa direndahkan, antara hamba-hamba yang dibuang dan kini mengerti bahwa dibuang.
  • Kami berkumpul menghidupi lingkaran kesadaran, kepahaman dan kemengertian akan dusta dan kebohongan dunia.
  • Kami berkumpul membangkitkan pengetahuan dan ilmu bahwa kami dibodohkan, difitnah, dimusnahkan, dan dibunuh sebelum kematian.
  • Kami berkumpul menebar jaring lingkman para pecinta-Mu, para pecinta kekasih-Mu, para pecinta kesejatian, para pecinta kebenaran yang sungguh-sungguh kebenaran, para pecinta cinta yang benar-benar cinta.
  • Kami berkumpul melingkar bersholawat bersama-Mu serta bersama para malaikat-Mu untuk manusia agung pilihan-Mu, Muhammad SAW.
  • Kami berkumpul merangkai lingkaran ma’iyyatul hubbi, ma’iyyatul haqqi, fii ma’iyyatillahi’jalla jalalah.

Negeri Maiyah

Kebersamaan dengan Alloh dan Rosullulloh berarti (berdasarkan pembidangan):

Bermaiyah:

  • Kepada Alloh
  • Kepada Rosullulloh
  • Kepada Aulia & Ulama
  • Kepada diri sendiri
  • Kepada sesama Jamaah Maiyah
  • Kepada sesama Kaum Muslimin
  • Kepada sesama saudara sebangsa
  • Kepada sesama ummat manusia
  • Kepada negara dan pejabat
  • Kepada alam/bumi/tanah air

Bermaiyah:

  • Mental (nafsiyah)
  • Moral (khuluqiyah)
  • Intelektual (‘aqliyah)
  • Spiritual (ruhaniyah)

Bermaiyah:

  • Bidang kemanusiaan
  • Bidang sosial budaya
  • Bidang ekonomi
  • Bidang politik dan negara
Diposting kembali dari dalam rangka menyambut Haflah Maiyah Se-Nusantara, 30 Desember 2009