Khalaqah Baginda Khidlir

Mengintip Baginda Khidlir

1. Kita semua siapapun, di dalam atau di luar Maiyah, secara obyektif tidak memiliki kualitas Musa apalagi Khidlir, tidak punya nilai darma hidup seperti beliau berdua, juga tidak berada pada maqam sebagaimana kemuliaan Musa apalagi Khidlir.

2. Akan tetapi kuasa dan perkenan Allah yang absolut, membuat kita tidak perlu memperbandingkan diri kita dan siapapun dengan Khidlir dan Musa. Kehendak dan perintah Allah bisa membuat sezarrah kuman menghancurkan Raja sekuat apapun dan kekuasaan Kerajaan sebesar apapun.

3. Kesaktian Baginda Khidlir mutlak milik Allah, kehebatan Musa dan kedahsyatan tongkat maupun telapak tangannya hanya pinjaman sementara dari Allah. — Sebiji buah membuat sejarah besar supra-peradaban, Raja yang berkuasa atas ratusan juta manusia bisa akan dipermalukan dan diperhinakan ke kerendahan dan jurang kehancuran justru oleh singgasana yang didudukinya dan mahkota yang disandangnya.

4. Pinjaman kedigdayaan Baginda Khidlir oleh Allah Maha Pemiliknya tidak diletakkan pada posisi untuk menghancurkan Firaun. Makrifat ilmu dan kebijaksanaan Khidlir yang merangkum seluruh putaran semesta waktu, lipatan-lipatan zaman dan peradaban, serta kehampir-sempurnaan pengetahuannya tentang seluruh hakekat penciptaan oleh Allah — tidak diinstruksikan untuk memimpin kebangunan tamaddun ummat manusia agar “gemah ripah loh jinawi” dan “baldatun thayyibatun wa Robbun Ghofur”.

5. Di samping “Khidlir yang Allah menyembunyikan identitas sejarahnya”, “route masa kini, masa depan, masa silam”, “kenapa misteri ruh dan wujud Khidlir diletakkan di lembar-lembar kisah Gua Kahfi yang remang-remang secara ilmu apapun pada zaman apapun”, “Musa (pejuang, rohaniasan, intelektual, politisi, tentara dlsb) yang tidak (harus) lulus”, bahkan Mursyid Agung Khidlir meninggalkan atau mengusir Musa “hadza firaqun baini wa bainak” dst dst dst — bisakah Jamaah Maiyah menemukan Khidlir, Musa, Kahfi beserta kandungan-kandungannya di hamparan Nusantara hari ini?

Tahukah engkau ‘ongkos’ agar diterima Baginda?

Yogyakarta, 17 Oktober 2014
Muhammad Ainun Nadjib

KERJO OPO MAKARYO (BEKERJA ATAU BERKARYA)

Seusai wirid dan salawat bersama, Harianto memulai acara Mocopat Syafaat yang pada bulan ini membahas tema Khalaqah Baginda Khidlir. Tema yang di diskusi sesi pertama ini adalah Makaryo.

“Di Jawa ada istilah makaryo, ada kerjo, ada nyambut gawe, ada ngasto, ada glidik, ada samben, ada macem-macem. Kenapa kita harus berbeda? Ini kita harus gali. Kalau mesin itu kita sebut jam kerja mesin, jam kerja pabrik. Untuk benda-benda yang sifatnya mekanik itu orang nyebutnya: kerja. Lha kok manusia kok disebutnya sama kayak mesin. Ada beda ndak dengan makaryo?” buka Harianto.

Harianto mempersilakan tamu dari mitra srawung Nahdlatul Muhammadiyyin, yaitu Pak Lurah Banu dari desa Dlingo, Bantul. Pak Banu yang sebelum menjadi lurah berprofesi menjadi pemulung kertas, menyampaikan, “Dalam bekerja, satu hal yang kita angkat (di desa Dlingo) bahwa kehidupan ini berimbang antara hak dan kewajiban. Hukum kekekalan energi. Kalau kita mau menghasilkan desa yang luar biasa, desa yang berkarya, tetap kita harus melaksanakan kewajiban-kewajiban kita. Kalau kita menuntut hak kepada Allah besar tapi kewajiban yang kita lakukan kecil, maka mudah bagi Allah mengambil hak-hak yang telah diberikan,” ujar Pak Banu.

Pak Banu berhasil menurunkan angka kemiskinan di desanya, dan karena prestasinya itu, ia mendapatkan 2 kali penghargaan dari pemerintah kabupaten. Pak Banu meyatakan bahwa: negara mau bubar silakan, tapi Dlingo tidak akan pernah bubar. Warga masyarakat benar-benar bekerja dan tidak pernah memikirkan hasil. “Saya harapkan rekan-rekan mahasiswa bisa nantinya kembali ke desa. Desa butuh manusia yang berkualitas. Usia desa dengan usia Indonesia itu lebih tua desa. Sekarang kita seharusnya berkarya, bukan sekedar bekerja. Kalau bekerja itu menjalankan alat, kalau berkarya itu menciptakan pekerjaan,” tambah Pak Banu.

Harianto menambahkan, “Orang Jawa bilang, kerjo kuwi mung samben (kerja itu hanya sambilan), bukan berarti kerjo samben (kerja sampingan). Ada pekerjaan utama yaitu menjalankan hidup ini sebagaimana mestinya, maka kerjo itu samben. Maka itulah kenapa orang Jawa membuat istilah ngasto, ngasto itu artinya membawa. Pekerjaan itu dikuasai, bukan menguasai diri.

“Kalau bekerja itu hanya orientasinya untuk mendapatkan upah, materi. Tetapi kalau makaryo itu lebih jauh daripada itu. Makaryo itu lebih pada orientasi optimalisasi potensi diri yang dimiliki. Jadi kalau yang satu produktivitas diukur dari kapasitas berapa banyak pekerjaan yang diselesaikan, tapi kalau makaryo produktivitas diukur dari kreativitasnya, dari idenya. Dan ini tradisi yang dimiliki oleh bangsa kita, bangsa makaryo, bukan bangsa kerja.”

“Kalau dalam Jawa ada idiom tuna sathak bathi sanak, yang artinya rugi sedikit tetapi untung jadi saudara. Apapun yang kita lakukan itu sekarang ini sangat profit oriented. Ini yang dilakukan Rasulullah sebenarnya. Rasulullah berdagang untuk mencari saudara, sehingga dia bisa diterima di kalangan apapun. Masyarakat Jawa sudah melakukan hal ini sejak lama,” Makmur menambahkan.

“Sekarang kita seharusnya berkarya, bukan sekedar bekerja. Kalau bekerja itu menjalankan alat, kalau berkarya itu menciptakan pekerjaan.”

U19 DAN POSISI MAIYAH

Setelahnya, Cak Nun, Mbak Via bersama Indra Sjafrie naik ke atas panggung. Indra Sjafrie baru saja memimpin timnas U19 bertanding untuk piala Asia di Myanmar. Cak Nun bersama Mbak Via turut menemani perjuangan timnas U19 dengan ikut datang di setiap pertandingan di Myanmar.

“Jangan terlalu percaya kepada mulut, tapi percaya kepada sorot mata. Satu benda itu tetap satu benda, yang berubah itu adalah kita memandang benda itu. Apa itu benda makanan, apa itu manusia, apa itu peristiwa. Itu selalu tetap, tapi yang berubah cara pandang kita,” Cak Nun mengawali, “Kambing menghadapi emas, itu tilang tileng to? Tapi kalau kamu, kan beda. Kalau anak kecil tidak tahu bedanya uang dengan layangan. Kalau ada layangan dikejar, kalau ada uang tidak dikejar. Jadi hidup itu sebenarnya tergantung pada perkembangan software-mu, aplikasi-aplikasimu lengkap atau tidak. Kalau aplikasimu gitu aja, mesti akan keliru lagi dalam memilih pemimpin.”

Cak Nun kemudian menyapa penonton setia AdiTV yang selalu hadir pada setiap acara maiyahan di Jogja. Cak Nun juga mengucapkan terima kasih kepada para kru yang bertugas yang setia meliput hingga sampai pukul 3 dini hari. Satu nomor lagu kemudian dilantunkan oleh Kiai Kanjeng, Melempar Setan, disambung dengan lagu Kelahiran, sebagai bentuk apresiasi kepada timnas U19 atas sebuah kelahiran dan kebangkitan nusantara.

“Ada yang sedang menuju ke kehancuran dan kematian, dan ada yang sedang menuju kebangkitan dan fajar. Tinggal anda mau ikut yang mana. Atau di dalam diri anda ada bagian-bagian dalam diri anda yang akan harus anda tinggalkan, harus menjadi sesuatu yang aus, tapi ada sesuatu potensi dalam diri anda yang akan mulai tumbuh, mulai pagi, mulai memancar mataharinya. Jadi seluruh gejala sosial, politik, kebudayaan, bahkan peradaban dalam waktu yang agak panjang, kita sedang menyongsong kematian dan kelahiran. Jadi, tidak penting presiden 5 tahun dan 5 tahun berikutnya, karena kita sedang berada di masa pancaroba atau peralihan peradaban yang sangat serius mendalam dan panjang,” sambut Cak Nun.

Mbak Via lantas bercerita saat menemani timnas U19 di Myanmar beberapa waktu lalu. “Ternyata saya sama Cak Nun itu diatur Tuhan untuk berangkat kesana memang tidak untuk teriak-teriak bergembira, merayakan kemenangan. Dan saya sangat bersyukur malam itu bisa berada disana, berposisi bersama anak-anak dan juga Pak Indra, paling tidak ikut menanggung sedikit saja kekecewaan teman-teman.”

Cak Nun: “Pada saat sarapan pagi di Myanmar, Evan nyamperin saya, meminta untuk belajar ngaji, ingin jadi imam salat. Dan ketika pada saat workshop dengan saya, semua anak ketika itu menangis, yang dipikirkan adalah orang tuanya. Ketika saya tanya: apa yang paling membuat anda bahagia? Semua bilang yang membuat bahagia adalah kalau bisa membuat orang tua tersenyum. Yang membuat sedih, yaitu orang tua yang sedih karena melihat kelakuan kita. Jadi semua adalah anak-anak yang baik,” tambah Cak Nun.

“Ada yang sedang menuju ke kehancuran dan kematian, dan ada yang sedang menuju kebangkitan dan fajar. Tinggal anda mau ikut yang mana.”

Cak Nun lalu mempersilakan Indra Sjafrie berbagi pengalaman. Indra Sjafrie mengawali dengan meminta maaf kepada jamaah karena belum mampu mencapai target bersama yaitu lolos piala dunia. Indra meyakini bahwa ada hal-hal positif atas kejadian kemarin.

“Harusnya kita bersyukur, telah melahirkan 25 anak terbaik bangsa. Mereka telah mempersembahkan juara AFF, setelah 22 tahun Indonesia tidak pernah meraih satu prestasi pun; yang kedua, mereka lolos ke piala asia; yang ketiga, mereka mengalami kompetisi level asia. Mereka juga yang memberikan secercah harapan kepada Indonesia, mereka juga yang menaikkan rating-rating TV, mereka juga-lah yang menghasilkan uang-uang untuk pembinaan sepak bola Indonesia, mereka juga-lah yang menghadirkan Cak Nun ke sepak bola Indonesia, itu yang paling penting menurut saya. Kedepan kami berjanji, mau di PSSI atau tidak di PSSI, kami tidak akan pernah menyerah untuk membina sepak bola Indonesia.

“Alhamdulillah, 25 anak itu kini diperebutkan klub. Berarti mereka sudah mempunyai masa depan yang lebih baik pada sebelumnya. 22 anak juga sudah ditanggung kuliahnya oleh UNY dan 1 oleh UGM. Kami sebagai pembina dan pelatih, sangat bersyukur kepada Allah atas berkah yang diberikan kepada kami.

“Teman saya mengatakan, saya punya bibit tetapi dibesarkan di tanah yang tandus. Saya sebagai seorang pelatih tahu persis, bahwa tidak akan mungkin kita mencapai peak performance yang pas kalau perjalanan periodesasi persiapan kita dari tahap 1 tahap 2 tahap 3 tidak berjalan sebagaimana mestinya,” jelas coach Indra.

Indra Sjafri juga sampaikan harapannya, “Jepang menargetkan juara piala dunia tahun 2050, berarti orangnya belum lahir. Dia sudah canangkan dari sekarang. Mulai dari Perdana Menteri Jepang sampai RT-nya mengamini itu. Kita itu yang kurang. Ibarat orang mau berprestasi, ketika sudah berprestasi malah ditarik, agar tidak berprestasi lagi, semacam lomba panjat pinang. Untuk kami, siapapun nanti yang jadi pengurus PSSI itu tidak masalah, yang penting nyaman bagi kami untuk bekerja.”.


Cak Nun melengkapi, “Korea Selatan itu membina U19-nya sejak umur 12 tahun, Myanmar sejak umur 6 tahun. Jadi tim lain membina lebih dari 6-8 tahun. Hasilnya ada yang lebih buruk dari kita, sementara U19 kita ini hanya 2 tahun. Juara ASEAN trus Juara Piala Asia. Prestasi itu tidak bisa dicapai tim-tim dewasa selama 20 tahun terakhir. Ketika saya nulis di Detik, saya benar-benar sedang mengabdi kepada anak-anak saya. Ini sudah bangkit, bahwa kalah itu tidak masalah. Karena Korea Selatan—yang tanahnya subur, uangnya banyak—itu tidak lolos, dan pembinaannya 4 kali lipat pembinaan kita, juga negara-negara lain. Jadi sejak awal, saya sudah tahu bahwa, kalaupun tidak lolos, itu tidak akan berkurang cinta saya kepada mereka. Bahkan mungkin mulang ngaji suwe-suwe.

“Anak kecil, Rek. Anak umur 18-19 tahun. Kamu jangan pikir mereka orang dewasa, sejak awal ketika saya nulis di Detik itu: anda punya anak ndak yang berumur 19 tahun? Kamu bebani, kamu politiki, kalah ekonomi, kalah budaya, sekarang U19 kamu marah-marahi. Mudah-mudahan sekarang konstelasinya menjadi obyektif.

“Berapa kali kita pakai pelatih asing, berapa kali kita kirim anak-anak kita ke Spanyol, ke Belanda, kemana-mana dan gagal semua 20 tahun ini. Justru yang diterapkan Pak Indra adalah: kita menjadi diri kita sendiri. Kita belajar kepada mereka tapi kita tetap menjadi diri kita sendiri. Itu yang saya sebut, ada ‘pemain sepak bola’ dan ada ‘manusia sepak bola’. Pemain sepak bola itu sama, semua harus profesional; kalau manusia sepak bola itu hatinya hati manusia, bukan hati pemain sepak bola saja. Caranya, struktur syarafnya, struktur berpikirnya, motivasinya, asal usulnya kan manusia Indonesia. Dan budaya Indonesia beda dengan manusia Brazil atau Belanda atau Spanyol. Wong Spanyol yang sudah Spanyol saja, juara dunia, hari pertama kalah kok, kalau kita mau ngomong kalah. Nah, manusia Indonesia yang bermain sepak bola, berbeda dengan manusia Spanyol yang bermain sepak bola. Yang harus ditemukan oleh formula kepelatihan adalah memahami manusia Indonesia. Manusia Indonesia kan macem-macem. Nah, ini mungkin yang selama ini belum tersentuh.”

“Di atas hukum ada keadilan, di atas keadilan ada nurani, karena keadilan masih filsafat, diatas filsafat ada ruh, itu namanya nurani.”

Cak Nun juga bercerita tentang budaya di Myanmar yang mirip dengan budaya pedesaan di Indonesia. Keterbelakangan dan ketertutupan Myanmar membuat rakyatnya tidak punya kreasi terhadap karya-karyanya, baik dalam bentuk bangunan, budaya, kuliner, cara menyajikan makan hingga cara berpakaian. Tapi keutamaan orang Myanmar adalah jujur, barang hilang pasti kembali dan tidak ngemplang dalam menarif taksi.

“Kata Nabi Khidlir: kalau mau melihat ke depan, membacalah ke belakang. Hari ini, lihat kemarin, hari ini lagi, liat besok, kemarin. Hari ini membocorkan kapal, besoknya mencekik anak kecil, terus yang ketiga adalah menegakkan pagar miring yang ada harta masa silam dibawahnya. Rutenya seperti itu.” jelas Cak Nun, “Jadi anda ingat, membocorkan kapal itu peristiwa hari ini, mencekik anak kecil itu peristiwa masa depan, karena alasannya Khidlir adalah, ini anak akan orang kafir orang tuanya akan ikut, maka saya bunuh sekarang. Maka kita terus berkaca ke masa silam untuk menegakkan pagar miring dan Maiyah bertugas untuk menjaga harta rakyat kita ini, jangan sampai dihabisin, jangan sampai dijual-jual. Justru pagar yang miring kita tegakkan supaya orang tidak tahu bahwa dibawahnya ada harta pada masa silam itu.”

Jamaah kemudian merespon. Ari, jamaah dari Jogja, bertanya perihal respon Indra Sjafri mengenai dipanggilnya Evan Dimas dan Maldini ke timnas senior. Jamaah lainnya, Prasetyo, berkomentar bahwa dia mengharapkan juara dunia nanti adalah yang liganya jauh dari “pasar”.

Merespon jamaah, Indra Sjafri tentang apakah Evan Dimas bisa masuk timnas senior: bahwa yang harus diperbaiki pola komunikasinya. Jangan seseorang dipilih karena opini koran, bahwa Evan Dimas, Maldini itu bagus. Seharusnya pelatih timnas senior berkomunikasi dengan pelatih timnas U19, siapa saja yang pantas dicoba untuk dimasukkan ke timnas senior. Sekarang yang tepat bukan apakah Evan Dimas bisa masuk timnas senior, tetapi yang pas adalah: bagaimana Evan Dimas bisa pulang ke rumah orang tuanya, dia selametan dan bersyukur, setelah itu baru ke timnas senior.

“Di Indonesia, federasi yang bikin pemain. Kita bikin 35 pemain terbaik hadir. Setelah itu klub yang berebut pemain. Kalau di Eropa terbalik, pemain harus disiapkan oleh klub-klub. Tim nasional mengambil pemain dari klub, tetapi di Indonesia mungkin memang sudah ditakdirkan serba terbalik seperti ini,” ujar Indra.

Cak Nun berharap bahwa setelah ini terdapat evaluasi yang cukup positif di kubu PSSI sehingga tidak akan ada lagi ulangan-ulangan sejarah kelam di dalam internal yang sudah terjadi hingga sekarang ini. Cak Nun dan Kiai Kanjeng mengajak jamaah berdiri dan kemudian memandu jamaah yang hadir untuk bersalawat Maulidun Nur bersama.

“Pekerjaan tertentu merupakan istirahat bagi pekerjaan sebelumnya, dan pekerjaan sesudahnya merupakan istirahat bagi pekerjaan sebelumnya lagi.”

MENGINTIP KHIDLIR

usai salawatan, Cak Nun kemudian mempersilakan Kyai Muzammil, Kyai Marzuki, Mustofa W Hasyim, Sabrang dan Pak Harianto untuk mengisi diskusi sesi berikutnya.

Cak Nun mengawali, “Dalam Maiyah itu tidak ada capek. Karena pekerjaan tertentu merupakan istirahat bagi pekerjaan sebelumnya, dan pekerjaan sesudahnya merupakan istirahat bagi pekerjaan sebelumnya lagi. Jadi, kalau dalam kebudayaan modern anda mengenal ada fase kreasi dan fase rekreasi. Yang kita lakukan, setiap kreasi harus sebisa mungkin rekreatif dan setiap rekreasi harus sebisa mungkin kreatif. Jadi tetap produktif, tetap kreatif.”

Mustofa W Hasyim lalu mempersilakan Joko Kamto (personel Kiai Kanjeng), untuk membacakan puisinya tentang Khidlir, yang berjudul Sejarah Yang Tersembunyi Diantara Merapi dan Merbabu. Puisi ini bercerita tentang pertemuan Sunan Kalijaga, Juru Mertani, Kanjeng Ratu Kidul dan Nabi Khidlir yang kemudian menelurkan gagasan adanya kerajaan Mataram baru.

Cak Nun merespon puisi tersebut dengan memberikan beberapa penjelasan, “Adegan ini terjadi ketika Mataram belum berdiri. Jadi ketika Joko Tingkir—atau Mas Karebet atau dia yang bergelar Sultan Hadiwijaya atau pemerintah Pajang—memindahkan keraton dari Demak ke daerah Kartasura. Mohon anda tahu, yang paling panjang umurnya kan Sunan Kalijaga, beliau ini sudah aktif sejak awal-awal ketika Majapahit akan runtuh karena bencana alam. Ketika peralihan dari Majapahit ke Demak, operator politiknya Sunan Kalijaga, ketika itu beliau masih berumur 30 tahun. Berarti setelah Demak, beliau sekitar 60 tahunan, ketika ini terjadi beliau di atas 70 tahun. Berarti Ki Juru Mertani sekitar 50 tahun, karena yang akan dijadikan Ki Juru Mertani menjadi Raja Mataram setelah Hadiwijaya adalah Sutawijaya, yang ketika itu berumur belum 30 tahun,” terang Cak Nun.

“Saya ingin menggambarkan kepada anda, Juru Mertani itu 3 berteman. Gelarnya ketika tua adalah Ki Mandaraka, Patih Mandaraka, tetapi dalam perguruan dia disebut Ki Juru Mertani. Dia berteman dengan Ki Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan ini bapaknya Sutawijaya, Raja Mataram pertama. Jadi Sunan Kalijaga ini, sampai Mataram berdiri, kemudian generasi ketiga Mataram yaitu Ki Ageng Mangir Wonoboyo kedua, mereka besanan dengan anaknya Brawijaya di Gunungkidul, itu Sunan Kalijaga masih ada dan masih segar, ketika itu umur beliau mungkin hampir 100 tahun. Dan Sunan Kalijaga itu diatas 100 tahun umurnya. Juru Mertani adalah orang yang dipercaya Sunan Kalijaga untuk mengawal peralihan dari Pajang ke Mataram. Sedangkan yang mengawal dari Majapahit ke Demak adalah Sunan Kalijaga bersama Sunan Kudus,” Cak Nun menambahkan.


Melanjutkan forum, Cak Nun tambahkan, “Yang kita pahami bukan berapa umurnya atau bagaimana posisinya, tetapi bahwa sejak dulu nenek moyang kita itu melakukan penyelamatan-penyelamatan darurat. Untuk diketahui, faksi parpolnya, kalau Sunan Kudus itu PPP, PKS, jadi satu. Kalau Arya Penangsang itu Syiah, kalau Joko Tingkir itu ya salat tapi ya abangan. Juru Mertani ini muridnya Sunan Kalijaga tapi cenderung kejawen. Demikian juga Penjawi maupun Pemanahan. Nah murid Sunan Kalijaga yang santri itu adalah anak-anak Brawijaya sebagian, termasuk yang di Mangir, Gunungkidul, Kebumen, Wonosobo, Jatinom, semua ada 127 anak. Nah ini saya tunjukkan kepada anda itu supaya adegan tadi itu bisa anda bayangkan maknanya. Jadi yang dilakukan Sunan Kalijaga tadi itu adalah memandu Ki Juru Mertani yang ditugasi oleh dia agar supaya peralihan ke Mataram itu tidak menjadi sumber perpecahan baru. Begitu yang dilakukan Sunan Kalijaga terus menerus. Karena Sunan Kalijaga itu di tengah-tengah persis, dia sama Golkar ya dekat, sama PKS ya dekat, sama PPP ya dekat, sama Demokrat dekat, sama PDIP sedikit agak jauh.

“Ada tiga golongan setelah Majapahit, yang daerah utara itu partai Islam, yang ke tengah partai nasionalis, Golkar, yang ke selatan partai PDIP Perjuangan. Jadi Indonesia itu diapa-apain itu sosiologi politiknya hanya 3 jenis. Yang satu Islam, yang satu Islam tapi agak abangan, yang satu abangan. Mau di bolak-balik tetep itu aja. Kapan-kapan kita bikin partainya tiga saja. Dan keanggotaannya jelas, bukan konstituen. Sebab kalau anggotanya jelas ndak perlu pemilu. Karena kalau anggotanya jelas, kalau satu partai memilih, berarti sekian juta orang memilih yang sama. Sehingga tidak perlu biaya banyak diperlukan untuk pemilu. Ini untuk sekedar gambaran kepada teman-teman, bahwa sampai hari ini penyelamatan itu terus dilakukan.

“Nah sekarang kalau kita ngomong ada dua tokoh yang ada disitu yang kita kesulitan mengidentifikasi. Jadi kalau Nyai Roro Kidul itu fenomenanya bukan jin, bukan hantu, bukan roh. Fenomenanya anda harus mempelajari lelaku Jawa yang namanya moksa. Seperti di dramanya Mas Bambang kemaren adalah orang moksa yang diberi perkenan untuk kembali mbantuin anak cucunya. Katakanlah kalau Nyi Roro Kidul itu kira-kira 2 milenium sebelum sekarang, kemudian beliau berhasil. Sementara Khidlir itu kan super moksa. Khidlir itu tidak bisa disebut dia keturunan Adam. Dan itu ndak perlu kita perdebatkan karena kita ndak punya bahannya. Tapi kalau melihat fenomenanya, perilaku dan probabilitas sejarah dimana dia berada, Khidlir itu bukan murni manusia, karena Khidlir itu sebenarnya pantulan dari jiwamu.

“Teman-teman sekalian dengan latar belakang ini mudah-mudahan anda mengerti beberapa periode dimana kita harus melakukan penyelamatan-penyelamatan. Ketika adegan ini berlangsung, Portugis mulai datang, kemudian dilakukan recovery sampai usia beliau 130 tahun, masih dilakukan recovery-recovery kemana-mana, dicoba supaya mayoritas bangsa nusantara ini selamat. Meskipun dengan ongkos-ongkos yang sangat berat, nah belum selesai recovery-nya datang Belanda, belum selesai datang lagi Jepang, belum selesai recovery-nya datang kolonialis bangsa sendiri, belum selesai, makin lama makin di kolonialisasi bangsa sendiri, makin di imperialisasi oleh bangsa sendiri. Dan sekarang adalah puncak dari kehancuran bangsa kita. Tetapi inilah bangsa yang di puncak kehancurannya, tetap hidup lebih baik daripada bangsa-bangsa di seluruh dunia. Makanya tidak ada yang berani melawan rakyat Indonesia.”


Mustofa W Hasyim sampaikan penjelasannya tentang Nabi Khidlir. Menurutnya, Nabi Khidlir selalu muncul ketika orang mencarinya. Mustofa menjelaskan fenomena-fenomena pertemuan dengan Nabi Khidlir. Salah satu tugas Khidlir adalah untuk menyeimbangkan kondisi di alam semesta ini, termasuk bentuk penyelamatan-penyelamatan dalam kehidupan nusantara.

Kiai Marzuki menyebutkan bahwa terdapat kontroversi para ulama atas kajian tentang Nabi Khidlir. Kajiannya antara lain tentang nama, asal usul keluarga, sisi kemanusiaan Khidlir, hingga masih hidup tidaknya Khidlir. Intinya kita perlu untuk melakukan diskusi lebih lanjut dan instensif mengenai Nabi Khidlir.

“Kalau anda berdebat, ada yang bilang Khidlir itu turunan Harun, atau kesekian Nabi Nuh, itu semua hanya tafsir. Dan itu semua tidak ada legitimasi untuk benar atau untuk salah. Jadi kita tidak boleh bertengkar karena ketidakjelasan benar atau ketidakjelasan salah. Khidlir ini tidak penting kebenaran materiilnya. Tidak penting kebenaran sejarahnya. Anaknya siapa, orang apa bukan, setengah jin apa setengah malaikat, tidak peduli. Yang pasti dia bermanfaat. Anda jangan pakai ilmu materiil, ilmu kognitif, tetapi ilmu hikmah. Ilmu hikmah itu diatas filsafat,” respon Cak Nun.

“Jadi saya itu meminta teman-teman mencari sumber tentang Khidlir itu kenapa, karena saya ingin anda mengingat tentang Khidlir. Khidlir itu kan jelas, namanya saja artinya kehadiran. Jadi kalau kamu susah hidupnya, hutang tidak dibayar-bayar, negara tidak jelas, kalau menang mesti bener kalau kalah mesti salah, di dalam anda di dalam keadaan yang anda tidak bisa mengatasi secara global, ingat Khidlir, itu sudah cukup. Jangan khawatir ada yang hadir nanti, bahkan dalam hidupmu sekarang ada yang hadir, jangan khawatir. Itu namanya Islam, Islam itu adalah kalau anda sudah kepepet, tidak bisa apa-apa, tetapi tetap gembira dan percaya itu Islam. Islam adalah anda sudah tidak punya apa-apa lagi kecuali pasrah kepada Allah. Dan di dalam kepasrahan itu tidak ada ketakutan, tidak ada kesedihan, artinya anda gembira dan berani hidup. Islam itu bukan kejayaan, bukan Islamic State,” tambah Cak Nun.

“Anda tidak perlu tahu Khidlir itu siapa, anda tidak perlu tahu di surat Al-Kahfi itu huwa itu Khidir atau bukan. Yang penting anda ingat Khidlir, dalam keadaan sangat darurat, Allah tetap hadir. Yang paling masuk akal adalah, Khidlir itu tajali-nya Allah sendiri. Apa bahannya lainnya? Ya cuma itu yang paling nyata. Dan itu cuma simbol bahwa Allah itu hadir dalam hidupmu. Makanya kamu harus menemukan Khidlirmu dalam hidupmu. Tentukan simbol komunikasimu dengan Allah. Jadi Allah itu datang, Allah itu menemani kamu. Jadi tentukan simbolmu itu apa, warna, angka, angin, apa bau. Tentukan simbolmu sama Allah, nanti Allah akan datang kepadamu dengan simbol itu. Ini beneran, lah kalau bukan ini harus pakai apa kalau tau itu Allah. Allah saja membikin simbol “Allah”. Siapa yang kasih nama “Allah”. Meskipun sebelum Muhammad ada Allah juga. Jadi malam ini kita bukan secara akademis mencari Khidlir, tapi anda mencari kehadiran-kehadiran Allah yang di peristiwa Musa saja disimbolkan oleh Khidlir. Dan anda hanya punya kerendahan hati disitu, tidak punya kesombongan lagi,” jelas Cak Nun.

“Jadi malam ini sederhana, kamu jangan pernah putus asa, Allah itu hadir. Allah itu satu tapi mengepung bermilyar-milyar orang. Itu hanya Allah. Ahad walakinahu wahid. Jadi pokoknya ketika pulang nanti kita tertawa, tidak ada alasan apa-apa, kecuali karena saya muslim percaya sama Allah, titik. Kalah menang, ndak punya duit punya duit, itu nomor empat. Nomor satu saya bersama Allah terus. Anda harus menciptakan kegembiraanmu sendiri di dalam dirimu, dan dalam dirimu itu ada khidrullah, Allah yang hadir di dalam dirimu. Nah, kalau kamu ndak bisa menemukan Khidlir, ya sudah temukan hadirnya itu,” tambah Cak Nun.

Cak Nun mencontohkan ketika ber-istikoroh tentang jodoh, bisa digunakan simbol, kalau diijinkan Tuhan berikan simbol putih atau hijau, jika tidak diijinkan Tuhan berikan simbol merah atau hitam. Jadi kita harus menemukan Khidlir kita sendiri. Khidlir tidak perlu kita temukan secara obyektif, tapi carilah kehadiran Allah di dalam diri kita. “Khidlir mau ada atau tidak itu biarkan. Nyi Roro Kidul mau ada atau tidak itu biarkan. Yang penting saya tahu dan saya mengakui ada sesuatu yang tidak mampu saya tembus dengan akal, tapi saya akan menembusnya dengan cinta dan kepercayaanku kepada Allah,” jelas Cak Nun.


Kyai Muzammil bercerita bahwa Nabi Khidlir di Indonesia ada tiga, Gus Dur, Gus Miek dan Cak Nun. Cak Nun menggunakan pendekatan Khidlir dalam menggunakan alat musik, jadi alat musik tidak mempunyai dosa, yang berdosa adalah penggunanya. Jika menggunakan pendekatan Musa maka alat musik menjadi haram. Hanya logika Khidlir yang bisa menjelaskan ini. “Dalam bahasa budaya, ini sebenarnya Allah terpaksa dalam menceritakan Khidlir. Karena Khidlir ini pasukan rahasia. Maka kalau mau temui Khidlir, temuilah ditempat yang rahasia,” ujar Kiai Muzammil.

Cak Nun kembali merespon, “Sebenarnya sederhana, kalau dalam hukum, kita jangan hanya berpikir hukum positif, karena hukum positif dalam Islam itu namanya fikih, fikih itu paling rendah. Diatas fikih ada akhlak, diatas akhlak ada takwa. Jadi kalau anda memahami Khidir dengan hukum positif, dengan materalisme kognitif maka anda tidak akan pernah ketemu. Anda cuma diingatkan bahwa, diatas yang anda pahami, yang anda bilang masuk akal itu ada sesuatu yang menjadi harapanmu. Justru karena menurutmu itu tidak masuk akal, tapi itu harapanmu. Dan ini dutanya Khidlir, bukan Muhammad.

“Di atas hukum ada keadilan, di atas keadilan ada nurani. Karena keadilan masih filsafat, diatas filsafat ada ruh, itu namanya nurani. Jadi kalau anda seorang hakim, jaksa atau petugas hukum, anda jangan hanya mengenali hukum positif, pasal-pasal, undang-undang, anda harus mengenali di atas itu. Makanya ada bedanya hukum dengan konstitusi.

“Kehidupan yang sejati tidak bisa diwakili oleh materi, tidak bisa diwakili oleh segala sesuatu yang dilihat oleh mripatmu, dan didengar oleh telingamu. Itu bukan kehidupan yang sejati. itu hanya ilmu katon, bukan ilmu kasunyatan, menurut orang Jawa.

“Kenapa kamu ribut sekali dengan materialisme? Wong itu semua tidak memberi apa-apa kecuali beban. Dan dia akan lebih dulu meninggalkan kamu daripada kamu meninggalkan dia. Kenapa kamu mengejar sesuatu yang dia akan meninggalkanmu lebih dulu dan dia akan menyakitimu lebih dulu, daripada engkau menyakitinya. Kamu numpuk-numpuk duit, padahal duit itu mampu menyakitimu, sedangkan kamu tidak mampu menyakiti duit. Itulah sebabnya kita perlu Khidir.

“Sekarang kalau benar masuk surga, kalau salah masuk neraka. Bagaimana kalau saya melawan? Ya Allah, masukkanlah aku ke neraka supaya Engkau percaya aku cinta kepada-Mu bener. Kalau aku Engkau masukkan ke surga terus aku bergembira didalam surga Ya Allah, Engkau akan bisa aku tipu, karena gembiraku bukan karena cintaku kepada-Mu, tapi karena aku berada di surga. Jangan kagum dengan sufi, jangan kagum dengan Khidlir, jangan kagum dengan Kanjeng Nabi, kagumlah ke Allah. Dan karena kamu kagum ke Allah maka kekagumanmu nyiprat ke dalam Rasulullah.

“Tolong diriset ya, ada manipulasi sangat serius, pokoknya di jaman dulu itu ada tiga peradaban besar, Yunani Kuno, Mesir Kuno, dan Jawa Kuno. Yang Jawa Kuno dihapus, tidak diakui. Maka di-recover dengan kehadiran dari Musa, Isa sampai Muhammad. Kalau anda sudah mempertemukan Al-Quran dengan Jawa, Jawa tidak berarti kejawen, tapi cara-cara memahami hidup. 3 peradaban tadi itu kuncinya. Sekarang kita mengalami pancaroba peradaban yang nantinya akan ada peradaban yang dipimpin oleh mercusuar peradaban yaitu Nusantara,” tutup Cak Nun.

“Kalau melihat fenomenanya, perilaku dan probabilitas sejarah dimana dia berada, Khidlir itu bukan murni manusia, karena Khidlir itu sebenarnya pantulan dari jiwamu.”

Cak Nun kemudian meminta Sabrang berbagi cerita tentang perspektif Nabi Khidlir. Sabrang menjelaskan bagaimana keputusasaannya atas ketidakmampuan kita memahami kebenaran dan kesalahan yang diperbuat Khidlir, sedangkan Musa saja yang nabi dan terbimbing tidak paham juga.

Sabrang: “Saya menemukan bahwa di dunia ini ada yang namanya padat ada yang namanya cair. Informasi yang kita dapatkan, yang dapat kita olah oleh akal, kita bisa simpulkan dalam satu kalimat, kita bisa buat teorinya, itu adalah yang sangat padat. Tapi disela-sela itu ada anomali-anomali yang namanya cair-cair itu. Dimana disitu dipresentasikan oleh Khidir. Bahwa ada cara berpikir yang berbeda, itu pelajaran nomor satu. Yang nomor dua, saya ganti subyeknya, kalau Musa itu saya anggap sebagai manusia, Khidlir sebagai Tuhan, berarti Khidlir itu mengajari cara belajar kepada Tuhan. Pokoknya kamu mengalami, menghadirkan Tuhan, jangan bertanya sampai nanti diberitahu. Jadi saya tidak terlalu ngoyo dalam mencari, saya punya pertanyaan, nanti akan diberi jawaban sendiri oleh Tuhan. Itu metode belajar saya kepada alam, kepada kehadiran Tuhan di dunia. Merefleksikan dari pengalaman Musa dan Khidir.

“Nabi Khidlir itu dititipi laut, Nabi Ilyas itu dititipi darat, ada yang dititipi langit, dan ada yang dititipi bawah tanah. Setiap 7 tahun sekali mereka berkumpul disuatu tempat dan ngobrol bareng-bareng untuk urusan dunia Nabi Khidir juga dititipi cairan dan lautan. Itu menjadi konfirmasi saya bahwa memang sela-sela dibalik apa yang terjadi kita harus menunggu, kita harus mencari tahu, menunggu untuk diberitahu dan jalan keluar itu akan keluar sendiri, kalau kita tinggal percaya pada proses. Dan waspada terhadap informasi kehadiran-kehadiran Tuhan disekitar kita. Kita akan mendapat pelajaran dan jawabannya. Dan itu yang dilakukan Maiyah menurut saya. Kita sesaji, melakukan sebisa kita, melakukan perjalanan dan menunggu jawaban informasi-informasi yang diberikan oleh Tuhan, modalnya adalah percaya pada Tuhan Yang Maha Esa.”

“Anda harus menciptakan kegembiraanmu sendiri di dalam dirimu, dan dalam dirimu itu ada khidrullah, Allah yang hadir di dalam dirimu.”

SESI TANYA-JAWAB

Harianto menyambung pernyataan Sabrang dengan mempersilakan jamaah merespon apa yang sudah didapatkan dari penjelasan-penjelasan tadi. Rifki dari Magelang, menanyakan mengapa Muhammad disebut penutup nabi, bukan penutup rasul. Sidik dari Muntilan, menanyakan bagaimana beda sinyal dari Tuhan atau dari iblis. Muhtasib menanyakan hubungan kondisi politik sekarang dengan pembahasan Khidir tadi. Salah seorang jamaah menanyakan urut-urutan tawasul pada manakib.

“Allah itu kan yang menciptakan sebab, untuk beberapa musabab. Jangankan kita, para nabi saja tidak langsung. Kecuali dalam situasi yang sangat genting. Nabi Muhammad saja hanya sekali, pada saat solat lima waktu. Nah ini yang terus dipakai dalam tradisi wasilah, jadi kita pakai guru kita, dan seterusnya. Masalah pilihan siapa yang mau ditawasuli, itu terserah keakraban anda. Jalur anda yang enak jalur yang mana. Ini hanya masalah jalur,” Kiai Muzzamil menjawab pertanyaan terakhir.

Kiai Marzuki menjawab pertanyaan dari Rifki, bahwa ada beberapa pendapat ulama tentang pengistilahan ini. Mustofa menjelaskan bahwa untuk membedakan antara sinyal iblis dengan sinyal Tuhan adalah dengan banyak melatih membersihkan hati. Cak Nun menambahkan jawaban-jawaban untuk pertanyaan tadi.

“Yang pertama, tidak persis seperti yang akan saya katakan, tapi positioning-nya kira-kira seperti itu. Nabi itu pangkatnya, rasul itu jabatannya. Nabi itu jendralnya, rasul itu pangab atau kasad-nya. Kenapa tidak ada khotamarrasul, karena begitu tidak ada jendral, tidak ada pangab. Karena pangab harus jendral. Nomor dua, Syeikh Abdul Qadir Jailani apa manakib yang ini apa yang itu. Kalau saya tidak pernah pakai wasilah. Tapi saya menyebut, Imam Jazali tak sebut, Syeh Abdul Qodir tak sebut, Sunan Ampel tak sebut, Sunan Giri tak sebut, Sunan Kalijaga tak sebut. Saya hanya terima kasih, diantar ke ilmu ini oleh beliau-beliau. Nah matur nuwun saya itu kan dinilai positif oleh Allah, sehingga memudahkan saya untuk mendapatkan kabul doanya Allah. Bukan saya berdoa pakai makelar. Jadi saya alih fungsikan. Saya terima kasih, dengan terima kasih maka Allah juga berterima kasih. Karena barangsiapa bersyukur kepada sesamanya, maka Allah akan bersyukur kepada kita. Allah Maha Bersyukur.

“Kalau saya mas, saya rubah niatnya siapapun yang pernah saya dengar berbuat baik, berkata baik, saya terima kasih. Dan untuk itu kan tidak harus resmi pada saat upacara saat kita manakiban. Anytime, kapan saja kita berterima kasih. Kapanpun kan saya assalamualaikum kepada anda, karena hakekatnya saya selalu assalamualaikum kepada anda. Makanya saya bikin kayak begini karena tidak sedetik pun saya tidak ber-assalamualaikum kepada anda semua.

“Termasuk jawaban untuk itu tadi, ini dari iblis, dari setan, dari dajjal, apa dari Allah. Kamu ndak tahu ya sifat Allah? Yang penting kamu ikhlas kepada Allah, kalaupun itu iblis oleh Allah dirubah menjadi baik bagimu. Bener ndak? Yang penting kamu ikhlas sama Allah, kalau nanti dikelirukan sama iblis, Allah yang akan membenahi menjadi kebenaran,” sambung Cak Nun.

Cak Nun dan Kiai Kanjeng mengajak jamaah bersama-sama bersalawat Ya Imamar-rusli. Setelah salawat masing-masing yang sudah berbicara di depan memberikan kesimpulan masing-masing atas penjelasan tadi.

Mocopat Syafaat dipuncaki dengan salawat Dauni bersama. Indal Qiyam dipimpin oleh vokalis Kiai Kanjeng dan doa dipandu oleh Kiai Muzammil mengakhiri rangkaian padat Maiyah malam ini.

[Teks: Hilmy Nugraha]