KEMERDEKAAN MAIYAH

Reportase Kenduri Cinta agustus 2014

SEBUAH UNGKAPAN Arab mengatakan, al ‘abdu yudhrobu bi-l-ashoo, wa-l-hurru yakfiihi bi-l-isyaaroh, yang artinya: seorang budak itu dicambuk, sedang orang yang merdeka cukup dengan isyarat seperlunya. Makna dari ungkapan itu bahwa ada beda antara orang merdeka dan budak dalam melakukan dan memutuskan sesuatu, budak musti dicambuk atau diperintah dulu untuk melaksanakan sesuatu, sedangkan orang merdeka cukup dengan perintah-perintah yang bersifat isyarat. Pertanyaan kepada bangsa Indonesia yang baru saja merayakan hari kemerdekaannya ke-69 bulan Agustus tahun ini, adalah: apakah bangsa Indonesia sudah merdeka ataukah masih menjadi budak?

Mungkin bangsa ini bukan bangsa budak yang tidak merdeka, namun bangsa ini juga belum sepenuhnya merdeka. Bukan hanya eksplorasi sumber daya alam yang belum sepenuhnya diberikan untuk manfaat bangsa, perusahaan-perusahaan besar yang menguasai ekonomi Indonesia juga saat ini banyak dikuasai oleh bangsa lain. Apakah kita benar-benar sudah merdeka?

Itulah salah satu prolog yang disampaikan oleh para penggiat Kenduri Cinta edisi Agustus 2014, membuka acara forum maiyahan bulanan yang telah diadakan rutin selama 14 tahun di pelataran Taman Ismail Marzuki.

KEMENANGAN DAN KEMERDEKAAN

SEBELUMNYA, forum KendurI Cinta seperti biasa diawali dengan membaca surat Yaasin, disambung dengan melantunkan salawat Indal Qiyam bersama. Bergantian, tampak Andrean, Adi Pudjo dan Aziz berada di forum depan menyampaikan gagasan awal tentang tema Kenduri Cinta malam itu, yaitu: Kemerdekaan Maiyah. Beberapa pembicara, termasuk salah satu penggiat Kenduri Cinta, Ibrahim, ikut menyampaikan konsep dan pandangan mereka tentang makna kemerdekaan, kemenangan dan kemerdekaan Maiyah.

Aziz misalnya, seorang jamaah yang berprofesi sebagai sopir taksi, meminta para jamaah yang hadir untuk membaca kembali UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. “Pada faktanya, untuk memilih presiden saja kita tidak memilih secara mandiri. Kita hanya memilih tokoh yang sudah dipilihkan oleh partai politik. Secara de-jure bangsa Indonesia memang sudah merdeka, tetapi secara de-facto kemerdekaan bangsa Indonesia ini masih diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa kemerdekaannya tidak 100%, karena memang faktanya Indonesia di beberapa sektor masih terjajah oleh bangsa lain. Lantas bagaimana mungkin kita mampu menyatakan diri kita merdeka jika pada kenyataannya Indonesia belum benar-benar merdeka?” demikian ujarnya.

Selanjutnya, Ibrahim dan Fahmi mengajak jamaah yang hadir untuk turut serta menyampaikan pendapatnya tentang makna dari merdeka. Dibagikanlah lembaran-lembaran kepada jamaah berisi materi workshop dari Cak Nun tentang “menang” dan “merdeka” untuk digunakan menjadi dasaran diskusi Kenduri Cinta malam itu. Dalam tulisannya, Cak Nun memberikan contoh-contoh parameter tentang makna dari merdeka dan menang. Jamaah “dipancing” untuk mampu memasuki labirin-labirin konteks dan nuansa untuk kemudian menelaah ribuan kemungkinan resonansi kasuistiknya.

Diskusi sesi pertama semakin menarik saat beberapa jamaah mencoba meresponnya. Hendra, jamaah asal Lombok, mengorelasikan kemerdekaan Indonesia dalam sektor ekonomi yang ternyata tidak 100% merdeka. Ketika Indonesia berhutang kepada IMF (International Monetary Fund), Indonesia dipersyaratkan beberapa syarat yang ternyata membebani Indonesia. Untuk berhutang saja Indonesia tidak merdeka.


Lilik, jamaah asal Yogyakarta, sampaikan, “Kemerdekaan seseorang tergantung pada penjara-penjara yang ia bangun sendiri dalam dirinya. Kemerdekaan seseorang dalam dirinya dapat dicapai ketika ia berhasil keluar dari penjara-penjara dalam dirinya itu. Dimana penjara-penjara itu saat ini ternyata justru dibangun sendiri oleh diri kita.”

SALAH satu jamaah asal Jakarta, menggali makna kemerdekaan berdasarkan Pancasila. “Dari lima sila yang terdapat di Pancasila ternyata Indonesia saja tidak merdeka. Contohnya sila pertama tentang ketuhanan yang maha esa, namun pada faktanya adalah keuangan yang maha kuasa. Ternyata secara konsep saja Pancasila sudah melenceng dari tujuan awal disusunnya Pancasila tersebut,” ujarnya.

Doni, jamah asal Malang, merespon dengan sebuah perumpamaan bahwa merdeka dan menang itu memiliki hubungan yang erat dengan musuh. Ia sampaikan: “Kemenangan atau kemerdekaan itu diraih setelah kita mengalahkan musuh kita. Dalam sebuah pertandingan sepak bola misalnya, sebuah tim sepak bola menjadi pemenang setelah mengalahkan tim sepak bola lainnya dalam sebuah pertandingan. Kemerdekaan sebuah negara dari jajahannya misal, negara tersebut harus mengalahkan negara penjajah yang menjajahnya dalam sebuah peperangan. Jika negara tersebut berhasil mengusir penjajah dari negaranya, maka negara tersebut berani menyatakan diri kemerdekaannya.”

Wahyu, jamaah dari Cileungsi, menyampaikan bahwa pada dasarnya tergantung bagaimana diri kita masing-masing dalam mendefinisikan kemenangan dan kemerdekaan itu sendiri. “Ketika kita berbicara kemerdekaan maka kita seharusnya mendapati adanya kebebasan dari belenggu atau batas yang sebelumnya mengikat kita. Secara konstitusi Indonesia memang sudah merdeka, tetapi ternyata pada faktanya saat ini Indonesia justru menjadi sapi perah bagi negara lain, sehingga sudah tidak terhitung berapa jumlah kekayaan alam kita yang justru menjadi sumber pemasukkan bagi negara lain sedangkan Indonesia hanya menikmati sedikit saja dari total kekayaan alam tersebut,” ujarnya.

“Kemerdekaan seseorang tergantung pada penjara-penjara yang ia bangun sendiri dalam dirinya.”

SETELAH sekian lama intens berdiskusi, seorang jamaah, Anjar, masuk ke tengah forum dengan menenteng gitar akustiknya, menyanyikan dua buah lagu hasil ciptaannya sendiri. Penampilan musik dari Anjar sepertinya memang ditempatkan sedemikian rupa oleh penggiat Kenduri Cinta di tengah-tengah forum diskusi agar nuansa forum yang sangat intelektual dapat segera switch ke nuansa forum yang lebih kultural. Jamaah yang sebelumnya mengernyitkan dahi, seketika tertawa-tawa mendengar lagu-lagu lucu dari Anjar.

Hal macam ini tidak asing jika sudah beberapa kali mengikuti forum Kenduri Cinta. Nuansa forum dari yang tadinya sangat intelektual dapat berubah ke kultural dan seketika kemudian dapat menjadi sangat spiritual. Tak heran, pada setiap forum maiyahan bukan saja di Kenduri Cinta namun juga di kota-kota lain, juga memiliki lompatan-lompatan serupa, bisa jadi “ramuan” ini yang menjadikan forum dapat bertahan 7 hingga bahkan 8 jam, selain suasana forum yang egaliter, tanpa sekat dan terbuka.

MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA

DI SUDUT lain, tampak di bawah pohon samping kanan forum, empat orang duduk menyaksikan diskusi yang berlangsung antara jamaah dan sesekali bersenda gurau. Merekalah yang kemudian didaulat oleh penggiat untuk selanjutnya mengisi forum, sesaat setelah Anjar menyelesaikan lagu kedua. Mereka adalah Cak Nun, Taufik Ismail, Abdullah Hehamahua dan Hendra Maujana Saragih.

Cak Nun membuka diskusi dengan mengajak jamaah menggali lebih dalam tentang sosok Taufik Ismail sebagai bentuk apresiasi kehadiran beliau. “Anda tentu sudah kenal dengan Pak Taufik Ismail, dan beliau kini ada di hadapan Anda, apa yang Anda ingin tanyakan kalau Anda ketemu Pak Taufik Ismail?” Salah seorang jamaah menanyakan, “Yang saya tahu dari Taufik Ismail adalah salah satu puisinya Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, saya ingin tanya, kenapa bapak malu?” Jamaah lain menanyakan, “Apa makna lirik lagu Sajadah Panjang?”

Taufik Ismail merespon bahwa sejarah awal lahirnya puisi tersebut (Malu Aku Jadi Orang Indonesia) adalah ketika situasi Indonesia berada dalam krisis politik dan krisis ekonomi yang luar biasa parahnya pada era 1950-an hingga 1960-an, sehingga kekuasaan rezim orde lama lengser dan terganti oleh kekuasaan politik yang di kemudian hari dinamakan orde baru. Pada 1965, Taufik Ismail banyak menulis puisi-puisi bertema protes dan demonstrasi. Taufik Ismail sendiri merupakan salah satu aktivis angkatan ’66 yang saat itu ikut melahirkan pemerintahan orde baru. Beliau mengingat, suasana pembaharuan saat itu hampir sama dengan masa-masa reformasi dan saat ini, yaitu semangat untuk lebih baik dan datangnya era perubahan. Orde baru hadir untuk memperbaiki keburukkan orde lama.

Namun karena rezim orde baru bertugas baik hanya dalam waktu sekitar 3 tahun awal saja, Taufik Ismail merasa gagal. Orde baru yang sebelumnya diharapkan membenahi pemerintahan orde lama, ternyata tidak juga, orde baru akhirnya memunculkan orang-orang yang gila kekuasaan. Maka dimulailah gerakan-gerakan yang bertujuan ingin mengembalikan kembali orde baru kepada tujuan awalnya. Dari sinilah sejarah awalnya puisi yang berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.

Menjawab tentang Sajadah Panjang, Taufik Ismail ketika itu membayangkan ia berjalan di atas sajadah yang sangat panjang dan lurus, dimana sajadah tersebut menjadi tempat manusia berjalan. Sehingga ketika ia berjalan kemanapun ia pergi, begitu ia mendengar suara azan, ia akan berhenti untuk menunaikan salat. Taufik Ismail menjelaskan, awalnya beliau diserahi sebuah aransemen musik yang belum ada syair lagunya oleh Bimbo, beliau diminta untuk memberikan syair (lirik) pada aransemen tersebut. Lahirlah syair Sajadah Panjang, yang kemudian menjadi judul lagu tersebut.

Taufik Ismail malam itu juga membacakan puisi yang berjudul Celupkan Jarimu ke Dalam Lautan. Wahyu, salah satu penggiat Kenduri Cinta yang seringkali mengisi forum dengan puisi-puisinya, malam itu diserahi sebuah naskah puisi oleh Taufik Ismail untuk dibacakan. Puisi itu berjudul Hati Kami.


TERKAIT puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Cak Nun menyelipkan cerita ketika ia dan keluarga berkunjung ke Korea Selatan, sebulan sebelumnya. Seperti di Jepang, kultur budaya Korea Selatan sangat menjunjung tinggi budaya malu. (red: menurut studi, angka bunuh diri di Jepang dan Korea sangat tinggi, 70% bunuh diri disebabkan karena rasa malu). Bahkan mantan Presiden Korea Selatan, Roh Moo-Hyun, yang saat itu tengah dalam penyidikan Kejaksaan karena kasus korupsi di masa pemerintahannya, mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, melompat dari tebing di belakang rumahnya.

Kasus lainnya adalah saat tenggelamnya kapal feri Sewol di lepas pantai pulau Jindo, Korea Selatan, yang mengakibatkan tewasnya 325 wisatawan remaja yang tengah menuju pulau wisata Jeju. Seorang wakil kepala sekolah yang selamat dari kecelakaan feri tersebut, akhirnya ditemukan tewas gantung diri di Jindo, sebuah pulau dekat kapal yang tenggelam. Wakil kepala sekolah yang bunuh diri itu adalah pemimpin kelompok 325 siswa yang sedang bertamasya menggunakan feri nahas tersebut. Dia sebelumnya sempat meninggalkan pesan, bahwa dia merasa bersalah karena hidup, sementara lebih dari 200 murid-muridnya hilang. Bukan hanya wakil kepala sekolah saja, putri dari seorang anggota awak feri kapal yang tenggelam itu, juga akhirnya memutuskan mengakhiri nyawanya dengan bunuh diri karena malu.

Kasus-kasus bunuh diri tersebut merupakan aplikasi dari budaya malu yang begitu tingginya di Korea Selatan. Menurut Cak Nun, masyarakat Korea Selatan tidak memiliki konsep budaya mengakui kesalahan yang mereka lakukan. Mereka lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya daripada harus melanjutkan kehidupan di dalam penjara dengan menanggung rasa malu.

“Kemerdekaan Maiyah adalah anda mandiri kepada Allah, karena anda lahir sendiri dan anda akan mati sendiri.”

MAIYAH BUKAN MAZHAB

TAUFIK Ismail juga berbagi tentang keinginannya untuk datang ke Kenduri Cinta sudah ada sejak beberapa bulan lalu, dan beliau sengaja tidak menyampaikan ke penggiat bahwa (red: malam itu) akan hadir. Saat diceritakan kepada beliau bahwa forum Kenduri Cinta telah berlangsung selama 14 tahun, beliau takjub dan sangat mengapresiasi.

Cak Nun ikut menyampaikan mengenai forum Maiyah Kenduri Cinta. Induk Maiyah sendiri ada di Jombang yaitu Padhang Mbulan, kemudian ada Mocopat Syafaat di Yogya, Gambang Syafaat di Semarang, Bangbang Wetan di Surabaya, dan terus tumbuh embrio-embrio baru Maiyah di berbagai pelosok daerah. “Maiyah ini bukan mazhab dalam Islam, bukan ormas, tidak ada pimpinannya, tidak ada kyainya dan tidak ada panutannya. Tidak ada anak buahnya dan tidak ada bapak buahnya. Panutan Maiyah adalah Nabi Muhammad SAW,” terang beliau.

Cak Nun melanjutkan bahwa yang dilakukannya hanyalah membuka pori-pori kecerdasan dan pori-pori logika untuk mereka yang mau hadir di Kenduri Cinta dan forum-forum Maiyah lainnya dengan tujuan agar tidak mudah kagum dan tidak mudah takjub kecuali kepada Allah SWT. Cak Nun juga menegaskan bahwa di Maiyah tidak ada penganut Cak Nun.

“Yang disebut Kemerdekaan Maiyah adalah anda mandiri kepada Allah, karena anda lahir sendiri dan anda akan mati sendiri. Saya tidak akan menganggap anda sebagai anak buah saya dan jika suatu saat saya kehilangan anda maka saya harus tidak apa-apa, begitu juga sebaliknya jika anda kehilangan saya, anda harus ora patheken,” tegas Cak Nun.

INDONESIA DEFISIT

Selanjutnya Abdullah Hehamahua diberi ruang untuk berbagi. Beliau menyoroti wacana tentang asumsi ekonomi Indonesia ke depan, terutama menyikapi Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2015 yang dinyatakan defisit. Di banyak media, Bank Indonesia menilai asumsi defisit anggaran dalam RAPBN 2015 sebesar 2,32% terhadap PDB cukup tinggi. Jika defisit anggaran tersebut ditambahkan dengan defisit APBD sebesar 0,5% akan semakin tinggi dan menjadi 2,82%. Defisit tersebut dapat ditekan jika pemerintah mampu mengurangi belanja dan meningkatkan pendapatan negara.

Abdullah Hehamahua juga sampaikan, yang terjadi di Indonesia sejak orde lama hingga orde reformasi adalah yang diganti hanya supirnya saja. Mesin kendaraannya tidak pernah diganti. Abdullah Hehamahua mengajak jamaah untuk melihat kembali kejadian beberapa tahun lalu, yaitu bencana tsunami di Aceh. Akibat bencana itu, Indonesia kini makin terancam dengan gempa bumi, kecuali pulau Kalimantan, karena tidak ada gunung berapi di sana. Tsunami Aceh juga menyebabkan patahan sebuah lempeng di dalam bumi, dimana satu-satunya cara memperbaikinya hanyalah dengan meminta Allah untuk turun tangan sendiri menambal lempengan yang patah tersebut, karena patahan tersebut tidaklah sama dengan ketika rumah kita bocor atau tiang dalam rumah kita rusak yang bisa kita perbaiki sendiri.

Untuk merubah keadaan itu, menurut Abdullah, kita harus mau mengikuti cara dan ketentuan Allah, dimana salah satunya adalah tidak melakukan korupsi. Logika ini sangatlah sederhana, karena apabila manusia memakan uang yang bukan haknya maka doa yang ia panjatkan pun tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT. Ia mengilustrasikan, untuk menjadi seorang kepala desa bisa menghabiskan uang hingga mencapai 1 milyar rupiah. Sekelas kepala desa saja menghabiskan uang hingga sebanyak itu, bagaimana jika ingin menjadi seorang bupati, gubernur atau bahkan presiden?

“Hutang Indonesia saat ini, jika di dalam skala kesehatan sudah mencapai level stadium empat,” lanjut Abdullah. Tahun 2010, hutang Indonesia mencapai angka sekitar 1.727 triliun. 2013 lalu, hutang Indonesia mencapai 2.000 triliun rupiah, tanpa menggunakan ilmu statistik pun mestinya kita bisa memperkirakan berapa jumlah hutang Indonesia pada tahun 2040 kelak. Sementara setiap tahun APBNP Indonesia menghabiskan uang sekitar 100 triliun rupiah untuk membayar hutang dan bunga saja. Sekalipun keadaan ekonomi Indonesia secara makro dinyatakan masuk kedalam 10 besar dunia, namun prestasi tersebut tidak dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia akibat begitu besarnya penguasaan aset-aset usaha yang ada di Indonesia. Mulai dari bank hingga air minum sudah lebih dari 50% kini dikuasai oleh asing. Salah satu problem yang lainnya adalah mata uang rupiah kini tidak lagi diterima di bank manapun selain di Indonesia. Apabila kita ingin menukar rupiah dengan mata uang negara lain, harus ditukar di tempat penukaran uang non-bank. Ini persoalan besar menurut beliau. Abdullah Hehamahua juga ungkapkan bahwa pada tahun 2010 lalu KPK berhasil menyelamatkan uang negara dari sektor migas senilai 114 triliun rupiah.

Menurut Abdullah, jika Indonesia ingin berubah sistem pemerintahannya, maka yang harus diubah adalah undang-undang partainya, undang-undang migasnya, undang-undang konstitusinya. Sebab yang kini menjadi akar korupsi adalah biaya politik yang sangat tinggi. Tingginya biaya politik, membuat semua orang hingga partai politik melakukan apa saja, termasuk korupsi, untuk terus menjaga perputaran mesin politik kekuasaan. Untuk menjawab persoalan tersebut, salah satunya adalah perlu adanya mekanisme yang legal dan transparan terkait pembiayaan dan akuntabilitas keuangan partai poltik, yang selama ini dinilainya masih jauh dari ideal.

Abdullah menyarankan, pendanaan partai politik diberikan bisa dengan dua cara; pendanaan dari APBN atau partai politik diperbolehkan untuk berdagang. Artinya, partai politik diperbolehkan mengelola sebuah badan usaha yang menggerakkan perekonomian internal partainya, sehingga angka korupsi dimungkinkan untuk ditekan seminimal mungkin.

“Maiyah ini bukan mazhab dalam Islam, bukan ormas, tidak ada pimpinannya, tidak ada kyainya dan tidak ada panutannya. Tidak ada anak buahnya dan tidak ada bapak buahnya. Panutan Maiyah adalah Nabi Muhammad SAW.”

TAK terasa, waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Malam itu, memang tak seperti malam-malam Kenduri Cinta seperti biasanya. Cak Nun hadir di forum diskusi lebih awal, hal ini bisa jadi dikarenakan kondisi kesehatan Taufik Ismail yang tidak bisa berlama-lama di forum, sehingga dengan forum diawali lebih cepat, jamaah dapat mengambil lebih banyak ilmu dari Taufik Ismail.

Dan memang, tepat pukul sebelas malam, Bapak Taufik Ismail pamit untuk kembali pulang beristirahat. Sebelum beranjak pulang, Taufik Ismail membacakan dua puisinya, pertama berjudul Oh Palestina yang diciptakan oleh seorang penyair asal Aceh, Ali Hasymi pada 12 Juni 1936. Puisi ini adalah bukti betapa tingginya solidaritas bangsa ini kepada Palestina, bahkan sebelum negara ini merdeka. Puisi kedua berjudul Ketika El Maut Disembelih. Setelah sedikit memberikan alas pemaknaan atas kedua puisi tersebut, Taufik Ismail berpamitan dan mendoakan jamaah Kenduri Cinta akan bersama umat Islam, menjadi golongan yang berjalan memasuki surga bersama-sama. Amin.

Cak Nun kemudian mengajak seluruh jamaah yang hadir untuk bersalawat Alfa Salaam bersama-sama, mengiringi Bapak Taufik Ismail berjalan pulang.

KENDURI Cinta makin hangat ketika secara spontan KH. Hasan Abdullah Sahal tiba-tiba tampil dari kerumunan jamaah. KH. Hasan Abdullah Sahal adalah pengasuh pondok pesantren modern Gontor yang sekaligus pernah menjadi salah satu guru saat Cak Nun “menyicipi” pendidikan di pesantren tersebut. Uniknya, KH. Hasan Abdullah Sahal ternyata ikut duduk di antara jamaah sejak awal acara, namun akhirnya Cak Nun mengetahui kehadiran beliau dan meminta untuk ikut di depan berbagi ilmu. Hadir juga Syeikh Nursamad Kamba dan Sudjiwo Tedjo.

Kun madzluman walaa takun dzaaliman,” Cak Nun melanjutkan dengan salah satu ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Tholib untuk lebih memaknai arti dari kemenangan. Bahwasanya bukan berarti dia yang unggul atau yang lebih kuat adalah yang menang, bisa jadi yang dilemahkan adalah yang menang.

Tengah malam, ruang diskusi kembali dibuka untuk jamaah. Respon, sikap dan pertanyaan-pertanyaan bebas disampaikan. Beberapa menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan tema dan diskusi acara, sebagian ada juga yang ikut menyampaikan pandangannya. Perbedaan-perbedaan pandangan dalam menyikapi sesuatu, memang bukan suatu hal yang tabu di Kenduri Cinta. Ada saat jamaah mempertanyakan sikap Cak Nun yang dianggapnya tidak konsisten, hingga perdebatan sengit tentang konsep kepemimpinan Ibnu Taimiyah antara salah satu jamaah dan Cak Nun, yang kemudian “ditengahi” oleh Syekh Nurshamad Kamba.

“Islam diinformasikan oleh Tuhan dalam 3 bentuk; benih, padi dan nasi. Ada ayat atau hadits yang bersifat nasi, ada yang bersifat padi dan ada yang benih.”

TIGA BENTUK INFORMASI ISLAM

Pegawai KPK juga manusia biasa yang bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan. Abdullah memberikan beberapa contoh pelanggaran-pelanggaran yang pernah dilakukan oleh beberapa pegawai KPK dan tindak lanjut juga sanksi yang diberikan. Abdullah mengharapkan kepada jamaah agar ikut serta dalam memperbaiki moral bangsa, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, apabila kita melihat suatu kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, apabila tidak mampu maka peringatkan dengan ucapan, apabila dengan ucapan juga tidak mempan maka lawanlah dengan hati (doa), meskipun cara yang ketiga adalah cara yang paling lemah.

Menjawab pertanyaan sebelumnya, Abdullah menjawab bahwa tidak ada ayat Al-Quran yang mengatur tentang demokrasi, yang ada adalah ayat tentang bermusyawarah. Tentang demokrasi ini Abdullah menyambungkan dengan kaidah fikih; jika sesuatu yang berhubungan dengan ubudiyah maka semua hal dilarang kecuali yang diperintahkan oleh Allah, sedangkan jika berhubungan dengan muamalah maka semua boleh dikerjakan kecuali yang dilarang oleh Allah. Disini kita harus mampu memilah mana yang termasuk hal-hal ubudiyah dan mana yang termasuk muamalah.

Merespon demokrasi dan Islam, Cak Nun sampaikan, “Islam itu diinformasikan oleh Tuhan dalam 3 bentuk; benih, padi dan nasi. Jika kita membaca Al-Quran dan hadits Nabi, maka akan kita dapati 3 bentuk tersebut. Ada ayat atau hadits yang bersifat nasi, ada yang bersifat padi dan ada yang benih.” Contoh yang bersifat nasi, seperti: salat, puasa, zakat, haji dan syahadat. Seperti halnya nasi, anda tinggal makan saja, namun juga tidak bisa langsung ditelan, harus dikunyah terlebih dahulu. Artinya, setiap manusia harus benar-benar mempelajari dan memahami maksud dan tujuan ibadah-ibadah tersebut, tapi aturan mainnya sudah sangat jelas. Inilah yang biasanya kita sebut sebagai ibadah mahdhah; apa saja tidak boleh dilakukan, kecuali yang diperintah oleh Allah SWT. Sedangkan ibadah muamalah, semua boleh dikerjakan kecuali yang dilarang oleh Allah SWT.

Apabila kita menemukan ayat atau hadits yang bersifat padi, kita harus “mengijtihadi” ayat dan hadits tersebut. Seperti halnya padi, jika kita ingin menjadikannya nasi maka padi tersebut harus kita tumbuk dahulu agar berasnya terpisah dari kulitnya. Diperlukan ijtihad-ijtihad baru lagi apabila kita ingin memasak padi itu tadi untuk menjadi bubur, ketupat, atau jenis makanan lain yang berasal dari beras. Yang lebih sulit lagi apabila kita menemukan ayat atau hadits yang bersifat benih, karena ayat yang bersifat benih ini mampu diaplikasikan ke dalam perilaku kehidupan di dunia tanpa batasan-batasan. Ia bisa menjadi dan untuk apa saja.

“Kebenaran tidak akan menjadi apa-apa kalau tidak sampai kepada keindahan. Kebaikan juga tidak akan menjadi apa-apa apabila tidak sampai kepada keindahan.”

MELANJUTKAN kisah Korea Selatan, Cak Nun sampaikan bagaimana tenaga kerja asal Indonesia (TKI) dinilai tinggi kualitasnya di Korea Selatan. Sekitar 5.000 TKI illegal disana dipertahankan justru karena kualitas kerjanya yang sangat baik. Mereka dilindungi oleh petugas keamanan setempat karena mampu mengakrabi dengan baik masyarakat disana. Malah, mayoritas mereka bekerja tidak berdasarkan latar belakang pendidikannya.

“Orang Indonesia jangan hidup di Indonesia, karena kita disini kerjaannya bertengkar satu sama lain, saling sikut satu sama lain. Jangankan SDM yang kecil-kecil, pemimpin besar tidak bisa hidup di Indonesia. Pemimpin sejati tidak ada tanahnya untuk tumbuh di Indonesia. Karena yang dibutuhkan oleh mekanisme yang disebut dengan demokrasi adalah bukan pemimpin melainkan dia yang mau diatur dan dia yang paling menguntungkan,” tegas Cak Nun.

Di tengah acara, Cak Nun bernostalgia bersama KH. Hasan Abdullah Sahal tentang kisah lama beliau di Gontor. Jamaah ikut tertawa dengan canda ala Gontor antara murid dan guru di Kenduri Cinta malam itu.

Seperti saat Cak Nun sedang bersemangat berbicara tentang banyaknya hutang Indonesia, KH. Hasan Abdullah Sahal merebut mic dari tangan Cak Nun dan berseloroh “Sopo sik putus asa? Indonesia yang paling depan masuk surga. Sodaqoh Indonesia pol-polan. Emas disodaqohkan, minyak disodaqohkan, garam disodaqohkan, kayu disodaqohkan, tembaga, batubara sampai TKI disodaqohkan. Sodaqoh masuk surga! Takonen (red: tanya) malaikat!”

Cak Nun membalas, “Anda ini ditipu oleh Gontor. Gontor itu asal katanya adalah nggon kotor, tempat segala kekotoran.” Sontak jamaah yang hadir tertawa mendengar ungkapan Cak Nun tersebut. Hal ini berdasarkan sejarah awal desa Gontor yang memang penduduknya sering melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. “Tetapi justru dari situlah terbangun Gontor yang menjadi mercusuar bagi Indonesia,” lanjut Cak Nun.

“Semakin tinggi peran KPK, semakin menunjukkan disfungsi peran pemerintah,” Cak Nun menjelaskan ucapan beliau yang seringkali disalahpahami oleh media massa. “Saya berdoa agar KPK segera bubar,” lanjut Cak Nun. “Maksud saya adalah, bahwa KPK ini adalah lembaga ad-hoc yang dibentuk karena lembaga hukum seperti kejaksaan, kehakiman dan kepolisian tidak beres kerjanya menangani kasus-kasus korupsi. Maka apabila lembaga-lembaga tersebut bekerja sesuai perannya dan mampu menangani kasus korupsi, maka KPK sudah tidak diperlukan lagi keberadaannya.

“Setiap kalimat saya jangan dipakai kecuali anda mengolahnya, memfilternya kemudian anda yang mengambil keputusannya secara pribadi, dan keputusan anda tidak ada hubungannya dengan saya,” Cak Nun memperingatkan jamaah agar tidak menelan mentah-mentah apa yang mereka dapatkan di Maiyah.


MENDEKATI pukul satu dini hari, tampil Annisa, salah satu jamaah yang ikut menyampaikan pandangan dan sikapnya bukan melalui diskusi namun melalui lagu. Ia membawakan dua buah lagu, Bunga Kecil Bunga Negeriku dan sebuah lagu soundtrack film Gie karya Joan Baez, Donna Donna.

Annisa bersama gitar akustiknya duduk lesehan bernyanyi di sebelah para pembicara, dan di tengah lagu Sudjiwo Tejo ikut mengiringi sebagai backing vokal. Tak lama, seorang penyanyi jalanan ikut meramaikan forum. Ho, membawakan lagu berjudul Wong Pinter Lan Wong Bodho, Mas Bambang dan Reformasi Mastrubasi. Wahyu lalu membawakan puisi karya Cak Nun berjudul Jangan Dekat-dekat Kepada Tuhan.

“Kebenaran tidak akan menjadi apa-apa kalau tidak sampai kepada keindahan. Kebaikan juga tidak akan menjadi apa-apa apabila tidak sampai kepada keindahan. Sebagaimana salatmu tidak akan menjadi apa-apa dihadapan Allah kalau tidak dengan kekhusyukan dan kekhusyukan itu bukanlah kebenaran dan bukan pula kebaikan, melainkan merupakan sebuah keindahan,” Cak Nun.

“Anda tidak punya masa depan tanpa anda berpijak ke masa silam,” Cak Nun menjelaskan bagaimana Annisa mampu masuk ke dalam sejarah musik tahun 60-an padahal Annisa lahir di tahun 90-an. Saat anak-anak muda seumurannya sibuk dengan Korea style, Annisa justru mampu masuk kedalam labirin musik yang jauh sebelum ia lahir.

“Di atas hanya Allah, di bawah hanya tanah. Di dunia ini tidak ada orang besar, yang ada hanyalah orang yang merasa besar atau dianggap besar.”

DI ATAS KITA HANYA ALLAH

KH. HASAN Abdullah Sahal memulai uraiannya, “Manusia punya diri, punya jati diri. Setelah punya jati diri ia membina diri. Setelah membina diri ia punya harga diri. Setelah punya harga diri ia tahu diri. Setelah tahu diri ia jaga diri. Terkadang ia buru-buru untuk unjuk diri, kemudian ia kecewa dan akhirnya bunuh diri.

“Andaikata, Bung Karno dibangkitkan, Pak Harto dibangkitkan, Habibie didatangkan, Gus Dur dibangkitkan, Megawati didatangkan, SBY didatangkan. Kemudian mereka diberi bilik masing-masing dan diberi dua buah pertanyaan; apakah penjajahan itu? Dan apakah kemerdekaan itu? Kira-kira jawaban-jawaban mereka ini sama atau tidak?” tanya Kyai Hasan kepada jamaah.

“Bagaimana kita membina kemerdekaan kalau pimpinannya saja tidak sama dalam mengartikan kemerdekaan dan penjajahan? Padahal sesengsara-sengsaranya manusia adalah apabila ia dijajah. Lebih sengsara lagi apabila dijajah oleh dunia dan keduniaan.

“Kita ini sekarang di mana dan mau ke mana sudah jual diri, sudah jual diri, sudah jual diri. Kita sudah tidak punya diri lagi. Apapun yang akan kita lihat, hanya melihat mudah-mudahan kita tetap tahu diri dan jaga diri. Karena sudah banyak yang menjadi milik kita yang sudah kita jual. Kita kere-kere yang bersedekah!”

Kyai Hasan melanjutkan, “Tadi saya katakan, emas kita sodaqoh-kan, minyak kita sodaqoh-kan, kayu kita sodaqoh-kan, kelapa sawit kita sodaqoh-kan. Lebih daripada itu kemerdekaan sudah kita sodaqoh-kan. Kita tidak menjadi decision maker tetapi menjadi decision ngekor!

“Disinilah kita menemukan kemerdekaan. Kemerdekaan adalah keindahan. Hidup ini indah, yang membikin tidak indah adalah manusianya. Hidup ini damai, yang membuat tidak damai adalah manusianya. Hidup ini adalah manis, yang membuat tidak manis adalah manusianya. Hidup ini adalah rukun adalah manusianya.

“Insya Allah kita disini adalah manusia-manusia yang hati nuraninya merupakan pilihan. Yang diluar bisa jadi hanyalah kamuflase-kamuflase, balutan-balutan yang penuh dengan kepalsuan. Di atas hanya Allah, di bawah hanya tanah. Di dunia ini tidak ada orang besar, yang ada hanyalah orang yang merasa besar atau dianggap besar. Di dunia ini tidak ada orang yang kaya, yang ada hanyalah orang yang merasa kaya atau dianggap kaya. Di dunia ini tidak ada orang yang pintar, yang ada adalah orang yang merasa pintar atau dianggap pintar. Di atas kita adalah Allah.

“Lucunya, gunung-gunung yang tidak terlalu tinggi justru gunung itu yang berapi. Andaikata gunung Himalaya dan Everest itu gunung berapi, apa jadinya kita? Inilah keindahan Allah SWT. Maka, keindahan ini kita nikmati, bukan kita rusak. Jangan menjadi perusak,” pungkas Kyai Hasan.

Kalau jadi orang kaya supaya tahan diri, kalau jadi orang miskin hiduplah apa adanya. Jangan sampai man kaana ghaniyan falyadzlim, waman kaana faqiiron falyahsud. Jangan menjadi orang kaya yang berlaku zalim dan orang miskin yang hanya iri dengki.”

SALAH seorang jamaah lalu mencoba mengorelasikan ungkapan Ibnu Taymiyah yang menyatakan bahwa Allah tidak akan membangkitkan negara muslim yang zalim dan akan membangkitkan negara kafir yang adil. Ia menanyakan bagaimana apabila ungkapan ini dikorelasikan dengan munculnya ISIS contohnya. Jamaah lainnya ikut bertanya, “Apakah boleh kita marah kepada Allah?”

Kaifama taquunu yuwalla ‘alaikum, bagaimana kamu begitulah kamu akan dipimpin. Jadi, kalau kita ingin mencari pemimpin yang baik, rakyatnya adalah rakyat yang baik,” Kyai Hasan mencoba merespon pertanyaan-pertanyaan secara umum. Beliau berpesan agar kita memperbaiki diri kita, umat kita, undang-undang kita. Kita memperbaiki apa yang bisa kita perbaiki sehingga kita bisa menjadi manusia yang merdeka dan kita memiliki pemimpin sesuai dengan apa yang kita kehendaki.

“Amerika sudah mulai menggali kuburnya. Jangan khawatir, Insya Allah kita ini sedang menuju keadilan. Insya Allah korupsi akan tertutup, hati akan terbuka dan muncul kebenaran-kebenaran,” lanjut Kyai Hasan.

Menanggapi pertanyaan tentang “apakah kita boleh marah kepada Allah” Kyai Hasan menegaskan agar kita jangan sampai marah kepada Allah. Kita boleh mengeluh, namun apabila kita marah kepada Allah maka jangan menyalahkan takdir. “Mengeluh boleh, merintih boleh. Itulah yang disukai oleh Allah. Jangan sampai mengeluh kepada selain Allah.”

Man kaana ghaniyan falyasta’fif, waman kaana faqiiron wal ya’qul bi-l-ma’ruf. Kalau jadi orang kaya supaya tahan diri, kalau jadi orang miskin hiduplah apa adanya. Jangan sampai man kaana ghaniyan falyadzlim, waman kaana faqiiron falyahsud. Jangan menjadi orang kaya yang berlaku zalim dan orang miskin yang hanya iri dengki. Kita bina bersama-sama, kita merdeka dalam rangka kemerdekaan ini kita hidup dalam keadaan merdeka,” lanjut Kyai Hasan. Beliau berpesan agar kita mampu bersabar dan meletakkan diri kita masing-masing, apapun dan bagaimanapun keadaan kita.

Cak Nun melengkapi, “Kalau saran saya, ndak efektif anda marah sama Allah. Mending mengeluh saja, mending merintih saja. Jangan melakukan apapun tanpa ilmu.”

Forum kemudian diserahkan Ibrahim, selaku perwakilan utama dari penggiat, ia me-resume poin-poin diskusi sejak awal dimulai. Uraian-uraian tersebut kembali ditekankan olehnya bahwa semua belum final, akan ada diskusi-diskusi kecil yang akan melanjutkan tema.

KEMERDEKAAN MAIYAH

CAK NUN menjelaskan tentang Kemerdekaan Maiyah, “Kalau kemerdekaan Indonesia itu maksudnya adalah pengusaan teritorial, pemilikan tanah dan isinya, apakah kemerdekaan Maiyah itu seperti itu? Apakah itu yang dimaksud? Kriteria menang dan merdeka tergantung pada: dunia-akhirat, akhirat-dunia, dunia saja atau akhirat saja?”

Cak Nun lalu menyambungkan dengan cara hidup Rasulullah yang berlandaskan kepada Al-Quran, wabtaghi fiima aataaka-d-daaro-l-aakhiroh, walaa tansa nashiibaaka mina-d-dunyaa, dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi. (QS. Al-Qashas 77). Yang seharusnya kita kejar adalah kemaslahatan akhirat bukan keuntungan dunia, meskipun demikian kita tidak boleh melupakan dunia. Bahwa pada prinsipnya kita hidup sejatinya adalah untuk akhirat bukan untuk dunia, problem-nya saat ini adalah kita lebih sering mati-matian untuk dunia.

“Merdeka itu adalah apabila anda sudah aman dihadapan Allah, itulah merdeka yang sebenarnya. Meskipun anda kaya raya, kalau anda belum aman dihadapan Allah maka anda belum merdeka. Itulah yang dimaksud dengan Kemerdekaan Maiyah,” tutur Cak Nun.

Cak Nun menjelaskan parameter kemenangan melalui tafsir teks azan. “Dalam teks azan terdapat kalimat hayya ‘alaal falaah,” Cak Nun melanjutkan bahwa sebelum kita memasuki hayya ‘alaal falah kita harus melalui langkah sebelumnya yaitu hayya ‘alaa-s-holaah. Dan untuk menuju hayya ‘alaa-s-sholaah, kita harus memasuki ruang yang bernama syahadat. Syahadat ini merupakan formulasi administratif karena kita adalah umat pasca Nabi Muhammad SAW. Dan sebelum kita memberanikan diri mengucapkan syahadat, kita seharusnya melewati tangga kekaguman kita kepada Allah sehingga kita kemudian melafalkan Allahu Akbar.

“Supaya anda tidak kalah di dunia, maka anda harus mengalahkan dunia. Sehingga anda tidak akan mempertandingkan dunia untuk berebut. Maka anda menjadi orang yang menang atas dunia dan atas dirimu sendiri. Kalau anda menang atas dirimu sendiri maka anda tidak akan memerlukan kemenangan atas orang lain.”


CAK NUN mengingatkan jamaah yang hadir agar memulai kemenangan dari diri kita sendiri. Dan seperti yang sudah sering disampaikan oleh Cak Nun, keluarga adalah yang utama. Apabila kita sudah mampu menang atas diri kita dan keluarga kita sendiri, baru kita melangkah lebih jauh untuk meraih kemenangan di luar keluarga kita. “Yang terpenting dari dunia saya adalah tanggung jawab keluarga saya. Dan saya mau kehilangan dunia demi kerukunan keluarga saya,” tegas Cak Nun.

Cak Nun mengilustrasikan kisah Ande-ande Lumut. Seorang laki-laki yang menawan dan diperebutkan oleh 3 perempuan; Kleting Abang, Kleting Putih dan Kleting Kuning. Ketiga wanita ini diharuskan menyeberang sungai demi mendapatkan Ande-ande Lumut. Muncullah Yuyu Kangkang yang bersedia menyeberangkan 3 perempuan tersebut dengan syarat-syarat tertentu. Kleting Abang dan Kleting Putih memilih tawaran Yuyu Kangkang untuk diseberangkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Sedangkan Kleting Kuning memilih untuk berenang sendiri menyeberangi sungai tersebut. Akhir cerita Ande-ande lumut memilih Kleting Kuning yang memilih untuk berjuang dengan mandiri demi mencapainya tanpa pamrih, dan berani mati demi mendapatkan Ande-ande Lumut. Cak Nun memancing jamaah Kenduri Cinta untuk mengorelasikan cerita rakyat ini dengan kondisi Indonesia saat ini.

Cak Nun kemudian mengingatkan agar kita jangan mudah kagum dengan negara lain yang secara kasatmata terlihat lebih tertib, lebih bersih, lebih beradab dari Indonesia. Mungkin Singapura bersih lingkungannya, mungkin Amerika adil terhadap rakyatnya, namun mereka menjajah negara lain dengan kekuatan yang mereka miliki. “Ndak usah kagum kepada siapa-siapa kecuali kepada Allah dan Rasulullah,” tegas Cak Nun.

“Di dunia ini tinggal tersisa dua yang belum dijajah total; Indonesia dan Islam. Maka semua yang Anda keluhkan saat ini adalah tata cara dan strategi mereka untuk memecah belah Islam dan Indonesia,” lanjut Cak Nun.

Penegasan Cak Nun ini melengkapi jawaban atas pertanyaan dan keresahan terhadap kemunculan ideologi-ideologi Islam yang akhir-akhir ini sedang marak. Cak Nun menegaskan bahwa orang Islam tidak memiliki gen untuk mengafir-ngafirkan sudaranya sendiri. Sehingga apa yang terjadi di masyarakat saat ini merupakan salah satu strategi yang disiapkan oleh penjajah untuk memecah belah Islam.


MENJELANG pukul tiga dini hari, Syekh Nurshamad Kamba ikut berbagi di forum. Menurut Syekh Nurshamad, pada akhirnya kita tidak akan mampu mendefinisikan bagaimana negara yang benar-benar Islam. Jangankan negara, untuk mendefinisikan manusia Islam saja saat ini kita sudah tidak mampu, karena setiap kita memiliki parameter-parameter yang berbeda. Sekalipun kita kemudian memakai teori Ibnu Taymiyah yang disampaikan sebelumnya, itu pun harus dikaji ulang dan dibaca kembali asal-usulnya bagaimana ungkapan Ibnu Taymiyah tentang negara Islam tadi terdefinisikan.

“Syariah yang sesungguhnya adalah jalan kehidupan yang berdasarkan kepada kepercayaan terhadap Tuhan,” lanjut Syekh Nurshamad. “Takwa itu asal katanya memiliki arti; berlindung dengan suatu perisai. Artinya, jika anda berlindung dari dirimu sendiri maka Allah akan mengajarkanmu. Apabila engkau mengalahkan hawa nafsumu sendiri dan melawan egomu sendiri, Allah akan mengajarkan pengetahuan kepadamu dan orang lain tidak perlu mengetahui bagaimana Allah mengajarimu dan apa yang diajarkan kepadamu,” lanjut Syekh Nurshamad menjelaskan tentang bagaimana ilmu laduni dianugerahkan oleh Allah kepada seseorang.

Syekh Nurshamad mengingatkan bahwa yang paling penting adalah belajar kepada Allah dengan cara mempersiapkan wahananya terlebih dahulu. Seperti halnya Nabi Muhammad SAW sebelum menjadi rasul, beliau tidak mengetahui bahwa akan menjadi seorang rasul, namun Muhammad pra-rasul sudah menjadi seorang manusia yang terpercaya dengan legalitas Al-Amin yang disematkan kepada beliau ketika beliau masih muda.

Muhammad ketika masih muda sudah memiliki sifat kelapangan hati, jujur dan disukai oleh banyak orang saat itu. Sehingga Muhammad di kemudian hari menjadi seorang pemimpin besar yang mampu merubah dunia pada saat itu. “Kuncinya adalah belajar kepada Allah,” lanjut Syekh Nurshamad. “Umat Islam akan menjadi lebih maju apabila kembali kepada Al-Quran dan sunah secara independen,” pungkas Syekh Nurshamad.

Cak Nun menyambung dengan menjelaskan tafsir ihdinaa-s-shiroto-l-mustaqiim yang merupakan salah satu ayat dalam surat Al-Fatihah. Apabila kita memahaminya secara logika yang linier, maka kita hanya akan memahami dalam skala yang sempit. Karena dinamisnya manusia dalam kehidupan sehari-harinya, maka kita diharuskan memahami ayat ini dengan kesadaran logika yang siklikal.

Cak Nun menambahkan bahwa Allah memiliki sifat Al-Ghoffar, yaitu sifat yang memiliki kemampuan memberi ampunan secara terus menerus berapa pun jumlah kesalahan yang dilakukan oleh manusia.

Sejatinya, manusia tidak akan mampu menilai orang lain muslim atau kafir, karena sifat muslim merupakan realita software yang tidak bisa dilihat dengan kasatmata. Tidak mungkin kita menilai muslim atau tidaknya seseorang hanya dari segi apakah dia salat atau tidak. Keimanan seseorang tidak bisa dinilai dari pakaiannya bahkan kefasihan seseorang dalam membaca Al-Quran sekalipun tidak bisa menjadi sebuah landasan untuk melegitimasi bahwa seseorang itu muslim atau bukan. Cak Nun mengingatkan kepada jamaah agar saling rendah hati satu sama lain, karena bisa saja orang lain lebih baik dari diri kita.

“Kalau anda menang atas dirimu sendiri maka anda tidak akan memerlukan kemenangan atas orang lain.”

DI ATAS KITA HANYA ALLAH, DI BAWAH KITA HANYA TANAH

CAK NUN menegaskan kembali bahwa Maiyah bukanlah sebuah institusi yang terdapat pimpinan dan penganutnya. Maiyah adalah gelombang, Maiyah adalah energi dan dia tidak mengikat siapapun. Karena yang paling berbahaya dari sebuah pergerakan adalah apabila ia menjadi institusi. Cak Nun juga menegaskan bahwa ideologi Maiyah adalah “ambeng” bukan “tumpeng”. Dalam hal ini Cak Nun mengajak jamaah untuk menegaskan dirinya, siapapun boleh NU, Muhammadiyah, Syiah, Ahlusunnah Wal Jamaah dan sebagainya, tetapi yang ia lakukan dalam kehidupan sehari-hari adalah Islam. Dalam konteks kebangsaan Cak Nun mengungkapkan, siapapun boleh PDIP boleh Golkar tetapi yang ia kerjakan adalah untuk membela Indonesia bukan merusak Indonesia, itulah kemerdekaan.

“Maiyah harus bisa membebaskan dirinya dari Maiyah itu sendiri, anda harus bisa membebaskan diri anda dari saya, anda harus merdeka. Dan kemerdekaan yang sejati adalah kalau anda aman kepada Allah,” lanjut Cak Nun.

Cak Nun menegaskan bahwa sampai hari ini Maiyah mempertahankan untuk tetap cair, tidak mengikat dan tidak mengajari siapapun yang hadir melainkan saling mendengar satu sama lain. Cak Nun mengingatkan agar jamaah yang hadir tidak mengambil keputusan apa-apa atas nama Maiyah. Maiyah boleh menjadi wacana, tetapi dalam mengolah dan mengambil keputusan maka kita sebaiknya mengambil keputusan tersebut atas nama diri kita sendiri, bukan orang lain.

“Di Maiyah anda harus belajar bahwa tidak ada apa-apa dihadapanmu selain Allah, kalaupun ada yang lain selain Allah itu adalah Muhammad SAW,” tegas Cak Nun.

“Wahai negara Indonesia, kemerdekaan Maiyah itu bukan berarti kami akan membikin negara kami sendiri. Karena bagi kami negara ini ‘tidak ada masalah’, tetapi kami akan menumbuhkan manusia-manusia merdeka yang sungguh-sungguh membela manusia-manusia, sungguh-sungguh membela rakyat, sungguh-sungguh mencintai mereka dengan kematangan ilmu yang kami latih dalam forum-forum rutin Maiyah yang kami lakukan setiap bulan di Kenduri Cinta ini.”

“Di atas kita hanya Allah, di bawah kita hanya tanah. Kita merdeka dari dunia dan keduniaan. Kita tidak diajajah oleh dunia dan keduniaan.”

ACARA kemudian dilanjutkan dengan penampilan duet Beben Jazz, Inna Kamarie dan Sudjiwo Tedjo memainkan gitar akustik di panggung Kenduri Cinta.

Forum Kenduri Cinta dini hari itu ditutup Cak Nun dengan sebuah kisah tentang Nabi Musa ketika bertemu dengan seorang anak kecil yang memohon kepada Allah untuk menjadi pelayan-Nya. Nabi Musa kemudian memarahi anak kecil tersebut karena menurut Nabi Musa, Allah tidak membutuhkan pelayanan dari hamba-Nya itu. Seketika datang malaikat Jibril dan menampar muka Nabi Musa dan berkata, “Musa, biarkan hamba-hamba Allah mengungkapkan cinta kepada Tuhannya dengan caranya, dengan alam pikirannya sendiri dan dengan bahasanya sendiri.” Allah kemudian berkata, “Biarkan anak ini mengabdi kepada-Ku dengan caranya, asli dari dalam hatinya. Engkau tidak akan faham kepada dia, wahai Musa. Karena bagaimanapun engkau bukan dia. Aku yang memahami anak ini, meskipun Aku bukan anak ini tetapi anak ini adalah Aku.”

Kenduri Cinta ditutup dengan doa bersama oleh Syekh Nurshamad Kamba. [FA]