Kekerasan Itu Baik?

Tepat pukul sembilan malam forum maiyahan Relegi edisi September 2014 dibuka dengan melantunkan ayat suci Al-Quran. Faqih mengawali dengan mengajak para jamaah untuk segera berkumpul dan bersama-sama membaca Al-Quran surat An-Nahl ayat 119-128 dilanjutkan dengan salawatanCak Yogi yang malam itu berperan sebagai moderator memulai dengan hal-hal ringan, Ia menjelaskan bahwa yang barusan dilakukan merupakan maddah nabawi bukan salawatan, karena maddah nabawi berbeda dengan salawatan, maddah nabawi bukan ibadah mahdoh namun merupakan statement hubungan antara manusia dengan Allah.

Selanjutnya jamaah diajak mengulas kembali Mukadimah mengenai tema yang telah dibaca dan meminta jamaah untuk merespon terlebih dahulu dengan sudut pandang dan pengalaman masing-masing jamaah.

Sebelum jamaah merespon, Cak Yogi mencoba menjelaskan sedikit mengenai Mukadimah. Ada pengalaman kisah nyata bahwa di dunia pendidikan khususnya PAUD, ada semacam kepercayaan yang ditanamkan kepada guru-gurunya berupa; jangan pernah membentak murid. Di pesantren kecil milik Cak Yogi ada seorang anak perempuan—masih SMP—yang ingin keluar dari pesantren, padahal sebentar lagi dia akan menjadi hafidzoh. Usut punya usut ternyata dia terlibat pertengkaran dengan ustazahnya dan menurut Cak Yogi pertengkaran seperti itu biasa. Kebetulan ibu dari anak tersebut adalah guru PAUD, dan ketika dirumah anak itu tidak pernah dibentak ataupun dimarahi oleh ibunya, hati anak tersebut rapuh. Cak Yogi mencoba mengambil kesimpulan bahwa ada baiknya mendidik anak dengan sedikit keras, karena diluar sana banyak sekali hal-hal keras yang akan ditemui anak, dan perlu sekali kita sebagai orang tua untuk membentuk mental anak.

Selanjutnya beberapa jamaah kemudian mencoba menjelaskan fenomena kekerasan yang mereka temui sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Ada seorang jamaah yang menjelaskan bahwa kehidupan pondok itu terkesan keras, mandi bergantian, cari air harus berjalan jauh, tidur berdempetan. Namun hal tersebut dia yakini mampu membuat mental para santri semakin kuat.

divider

Moderator mencoba mengarahkan diskusi mengenai tema kekerasan ini pada eksplorasi dari sisi revolusi otak atau pembangunan mental yang akan digali oleh dr. Chris dan menyarankan jamaah Maiyah untuk merancang pertanyaan-pertanyaan dan opini mereka terhadap tema yang didiskusikan malam ini.

dr. Chris mengawali mengenai latar belakang dari tema kekerasan kali ini bahwa kata keras itu hampir selalu dikonotasikan negatif dan lunak itu dikonotasikan positif. Kemudian dr. Chris mengomentari mengenai Buletin Relegi bahwa ada pro dan kontra mengenai cerita kekerasan yang dia baca. Banyak teka teki yang ditemukan dari buletin tersebut yaitu; Jika anak banyak dicela dia akan terbiasa menyalahkan, jika anak banyak dimusuhi dia belajar menjadi pemberontak, jika anak hidup dalam ketakutan dia selalu merasa cemas dalam hidupnya.

Dan ada juga dalam sejarah Nabi Muhammad, dulu waktu kecil beliau dilepas di padang pasir sendiri dan itu merupakan ketakutan yang luar biasa, malah diumur 40 tahun beliau malah diangkat menjadi Nabi, dan apakah itu sebuah kekerasan atau bukan? Hal itu mungkin merupakan kontroversi sejarah yang menurutnya kurang dibahas, dan mungkin dapat dibahas disini. Pertanyaan selanjutnya, apabila seorang anak mendapatkan ASI bukan dari ibunya apakah itu merupakan sebuah kekerasan atau bukan? Apabila ada orang yang membunuh seorang anak kecil (dalam kisah nabi Khidlir) apakah itu merupakan sebuah kekerasan atau bukan?

Jika kita refleksikan permasalahan tersebut dengan fakta yang terjadi saat ini, di beberapa Negara yang merurut survey SDM-nya bagus, seperti Korea, Thailand dan sebagainya ternyata setelah lulus SMA di usia 18 tahun tetap diadakan wajib militer, yang menjadi pertanyaan: militer itu merupakan sebuah kekerasan atau bukan? Kemudian ada sebuah guyonan, lebih baik mana sipil yang militeris atau militer yang sipilis? Meskipun itu hanya sebuah guyonan tapi terkadang kita ini mulai kehilangan definisi mana yang sipilis mana yang militeris.

“Kekerasan ini merupakan fenomena kedholiman, dimana dholim adalah ketika seseorang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.”
Adil Amrullah

Berhenti disitu, dr. Chris menyambung dengan menceritakan sebuah pengalaman pribadinya saat kerja malam di UGD, “Suatu ketika saat di UGD, saya pernah dapat seseorang perempuan, dia mengalami sesak nafas, bukan sesak nafas yang serius namun sesak nafas yang dikarenakan sebuah masalah. Masalahnya cuma satu, dikarenakan dia baru saja mengalami kekerasan oleh pacarnya, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal. Kemudian ditanya lagi: kenapa ke UGD? Dia bilang, dia butuh solusi. Kemudian ditanya lagi: jika anda mendapat kekerasan, solusi apa yang anda butuhkan? Dia tidak menjawab, dan saya tanya lagi: sudah berapa kali anda pergi ke dokter atau psikolog setelah anda mengalami kekerasan? Akhirnya dia menjawab ada 5 kali lebih dokter yang dia kunjungi tapi tidak mendapatkan solusi. Akhirnya saya menduga jika dia tipe seorang perempuan yang menerima kekerasan dan suka meminta saran, jawaban dokter pada umumnya jelas, yaitu putus dan cari lagi, laki-laki didunia masih banyak. Kemudian saya menguji hipotesis saya tersebut dengan menjawab, anda harus lanjut dengan pacar anda, perempuan itu malah menjadi penasaran. Kesimpulan saya simpel, jika dia memang tidak suka kekerasan kenapa tidak putus dari pacarnya dulu-dulu, tapi kok malah mengunjungi dokter sampai 5 kali lebih….

“Saya jadi teringat pada sebuah buku psikologi, bahwa ada variasi normal di dalam
 100% manusia normal yaitu kebiasaan diluar normal, dan itu tidak boleh dianggap abnormal tapi merupakan variasi normal. Dan pertanyaan yang sering muncul dari para mahasiswa saya yaitu berapa persen sebenarnya kesadaran yang kita pakai dalam memutuskan sesuatu, dan saya menjawab, hampir 99 % yang mempengaruhi seseorang untuk membuat keputusan hidup adalah alam bawah sadar mereka.

“Kembali ke permasalahan tadi, selidik punya selidik menurut teori psikologis, ternyata perempuan tadi merupakan jenis manusia yang menyukai kekerasan, maka dia akan mencari kekerasan itu demi menunjukan bahwa dia ingin selalu eksis. Ketika dia menggunakan cara
 yang lunak, tidak ada yang fokus terhadap dirinya, menghargai dirinya, maka yang akan dia lakukan adalah cara kekerasan supaya orang lain fokus terhadap dirinya. Dan yang terjadi, dia berkeliling mencari psikolog atau dokter itu hanya untuk memastikan bahwa dia tidak abnormal, dan dia normal yang mengalami variasi abnormal.”

Dan kasus ini bagi dr. Chris merupakan guru bagi dirinya yang mampu membuka matanya, bahwa dia juga menyadari ada yang berbeda di forum Maiyah Relegi malam ini, bahwa biasanya hanya sedikit jamaah yang datang, namun malam ini ada hampir 2 – 3 shaf lingkaran yang terbentuk dalam diskusi malam ini. Ini juga membuktikan bahwa mereka juga melakukan kekerasan pada diri mereka, artinya ketika ada pilihan tidur di kondisi udara dingin, atau mengerjakan tugas dan lain sebagainya, mereka memilih keras terhadap prinsip mereka biasanya dan memilih duduk di forum Maiyah malam ini.

“Jadi benang merah dari dua kasus diatas, adalah bukan mengenai kekerasan atau kelunakan yang dipermasalahkan, namun kapan kita memposisikan kekerasan dan kelunakan tersebut,” tutup dr. Chris.

KEKERASAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI, PENDIDIKAN DAN AGAMA

Pembicara selanjutnya adalah Pradana Boy, Phd. dari Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Menurutnya, kekerasan dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu agama dan sosiologi. Yang pertama dalam ajaran hukum Islam, pernikahan itu memiliki banyak hukum, menurut hukum formal menikah itu jadi wajib dalam kondisi tertentu. Ternyata dalam hukum Islam, suatu tindakan memiliki lebih dari satu hukum, tergantung situasi, itulah yang biasa kita istilahkan sebagai konteks, sehingga kalau kita ingin membicarakan kekerasan ini mau baik atau tidak tergantung konteksnya. Maka dari hal ini dapat kita lihat seperti ibarat mendayung dari kedua sisi, ada positif ada negatif, namun ada hal yang perlu kita bedakan antara “keras” dan “kasar”, kekerasan tidak selamanya berbentuk sebuah kekasaran, kekasaran hampir pasti negatif, namun kekerasan masih dapat kita lihat apakah negatif atau positif. Dalam pendidikan, metode pendidikan dengan tidak menggunakan kekerasan itu apakah merupakan metode pendidikan yang paling baik?

Menurut aspek sosiologis, kekerasan-kekerasan itu menjadi boleh setelah saluran-saluran yang lain sudah buntu. Pradana juga berbicara mengenai radikalis Islam, menurutnya, kelompok yang menyebut dirinya radikalis Islam itu menggunakan kekerasan sebagai metode pencapaian tujuan, maka muncul yang disebut salafi, ada salafi dakwah, salafi politik, dan salafi jihad. Kalau salafi dakwah urusannya ya hanya dakwah, dia tidak mau mengurusi yang lain, begitu juga salafi politik yang mengurusi politik negara, dan salafi jihad yang apa-apa urusannya menggunakan kekerasan sebagai metode nomor satu. Ada cerita mengenai Ali Imron adik dari Amrozi. Pada Tempo, Ali Imron menyatakan penyesalannya telah melakukan pengeboman. Ali Imron menjelaskan bahwa dia menyesal karena sudah melakukan kekerasan terhadap orang yang tidak ia kenal. Inilah contoh kekerasan yang dilakukan sebagai metode pencapaian tujuan. Jadi kekerasan itu tidak hanya mengenai fisik, tapi dalam konteks agama, “keras” itu juga mengenai pemahaman.

Pada contoh lain ketika Indonesia mengalami masa tegang dengan Malaysia, kemudian rakyat mengatakan Perang! Ganyang Malaysia! Ada seorang tentara yang bercerita bahwa masyarakat itu tidak tahu meskipun secara fisik Indonesia lebih besar dari pada Malaysia apalagi dengan Koppasusnya, namun Malaysia adalah Negara Pesemakmuran (commonwealth), dan Inggris akan ikut, seperti Singapura, Brunei, Australia, Selandia Baru bahkan India juga akan ikut berperang, karena mereka saling terikat oleh Negara Pesemakmuran. Nah terkadang kita menyerukan kekerasan namun kita ini tidak mengerti mekanismenya.

Secara sosiologi maupun antropologi, kekerasan juga bisa saja menjadi mekanisme pertahanan identitas. Misalnya dulu pada zaman Arab sebelum masuk Islam atau zaman jahiliah, ada banyak kabilah-kabilah atau kelompok-kelompok yang sangat keras, bahkan peperangan dapat dipicu jika ada seekor rusa yang terkena panah secara tidak sengaja oleh pemburu dari suku lain.

Dari perspektif demokrasi, pendidikan tidak boleh begitu karena kurang demokratis. Demokrasi liberatif atau demokrasi yang terlalu bebas juga tidak baik, dan itu dapat memicu respon balik yang juga bersifat kekerasan. “Mengambil contoh kasus MK (red: Mahkamah Konstitusi) kemarin, atas nama demokrasi mereka mampu melakukan seenaknya, dan itu pun juga merupakan kekerasan,” Boy memungkasi.

“Dalam hukum Islam, suatu tindakan memiliki lebih dari satu hukum, tergantung situasi, itulah yang biasa kita istilahkan sebagai konteks.”

Pradana Boy

Cak Yogi melanjutkan diskusi dengan menyampaikan sebuah pertanyaan kepada dr. Chris tentang kekerasan pada aspek medis. Ketika anak dibentak, ada beberapa saraf yang putus, apakah pernyataan itu sudah terbukti secara medis apa belum, dan dengan metode seperti apa agar saraf tersebut mampu tersambung kembali?

Chris memulai dengan pernyataan sederhana: ASI itu sebenarnya baik apa tidak? Lebih baik mana, anak yang diberi ASI oleh ibunya atau oleh tetangganya? Jawaban pada umumnya adalah jawaban konvensional: lebih baik diberi ASI oleh ibunya. Faktanya, siapa yang menyusui Muhammad? Ternyata bukan Ibunya. “Jadi kesimpulannya barang siapa yang disusui oleh selain ibunya berpeluang menjadi Nabi,” dr. Chris sedikit bercanda. Akhirnya menimbulkan kepanikan berfikir dan kebingungan berfikir, padahal permasalahannya bukan pada itu. ASI-nya ibunya atau bukan, tetapi hal itu merupakan kekerasan.

Berkaitan dengan putusnya saraf tadi, dr. Chris menanggapi bahwa anak berusia 0-2 tahun diberlakukan seperti apapun dia tidak akan bisa mengingat, ingatan itu tidak akan terbawa sampai si anak berusia dewasa. Setelah mempelajari di berbagai literatur, ada teori mengenai perkembangan otak (plastisitas otak), jadi otak ini berkembang dengan rasa nyeri, atau otak ini akan berkembang pada kondisi lapar tapi bukan kelaparan, nyeri tapi bukan menyiksa. Ketika seseorang itu masih dapat merespon, senyeri apapun yang dirasakan itu tidak akan menyiksa, seseorang akan tersiksa ketika sudah tidak bisa merespon rangsangan dari luar tubuh. Artinya manusia ini membutuhkan rasa nyeri yang akan menumbuhkan jaringan-jaringan otak, contohnya jika kita bermodal satu sel, sel itu akan tumbuh menjadi seribu sel dengan waktu lima hari, namun dengan menggunakan kekerasan hal itu dapat diakselerasi menjadi dua atau tiga hari.

Pada umur 2 tahun keatas, anak anak diberi peluang dengan membentuk banyak jalur saraf melalui metode kekerasan, ketika sudah beranjak dewasa anak akan memilih mana jalur yang harus ditutup mana yang masih digunakan, metode menutup jalur tersebut bisa kita sebut dengan membentak tadi, atau melakukan puasa, jadi penjelasan tentang melakukan kekerasan itu tidak baik tidak semuanya benar, karena ditemukan teori tentang perkembangan otak melalui kekerasan seperti tadi. “Sekarang juga masyarakat mulai mengalami penurunan sensitifitas terhadap kesalahan-kesalahan yang ada di depan kita, karena mungkin ada propaganda bahwa keras itu tidak baik, bahkan sampai hal yang seharusnya harus keras dan tanpa toleransi akhirnya juga bisa ditoleransi,” dr. Chris memungkasi.

divider

Selanjutnya moderator mempersilahkan jamaah merespon apa yang baru disampaikan oleh Dr. Chris dan Boy. Salah satu jamaah kemudian merespon dengan memulai bercerita mengenai pengalaman pribadinya. Mengenai “kasar” dan “keras”, itu merupakan suatu hal yang sebenarnya harus dilembutkan, jika seeorang mendapat banyak kekerasan itu berarti mereka memiliki banyak kesempatan untuk bersikap melembutkan.

Disambung Adam, yang mengatakan bahwa ada dua macam kekerasan, yaitu kekerasan rasional dan kekerasan irasional. Kekerasan rasional adalah kekerasan yang memiliki tujuan positif dan alasan yang obyektif, sedangkan kekerasan irasional adalah kekerasan yang dilakukan tanpa tujuan karena si pelaku merasa kenyamanannya terganggu, sehingga dia melakukan kekerasan demi mengembalikan kenyamanannya. Mengambil contoh psikopat seperti di Amerika, rata-rata psikopat itu sangat cerdas, dan kenapa bisa-bisanya orang yang cerdas melakukan beberapa pembunuhan? Jawabannya karena sejak kecil psikopat tersebut mengalami kekerasan irasional terus menerus. Karena ciri-ciri orang cerdas itu daya ingatnya kuat, setelah diberi internalisasi secara terus menerus, secara tidak langsung hal itu akan menguatkan dirinya, kemudian dia merasa itulah cara hidup yang benar, jadi begitulah kekerasan irasional. Berbeda lagi dengan kekerasan rasional seperti seorang komandan yang membentak prajuritnya agar si prajurit tidak mudah terkejut, karena pada situasi dan kondisi apapun prajurit dituntut untuk tetap dapat berfikir jernih dan memutuskan sesuatu dengan kepala dingin. Jadi sering terjadi jika seseorang menggunakan kekerasan irasional output yang dihasilkan adalah kontra-produktif.

divider

Selanjutnya Boy memberikan catatan penting dari diskusi malam ini. Kekerasan itu juga bisa kita lihat dari sisi kultural, karena budaya dan struktur sosial itu mempengaruhi pola sikap. Sebuah penelitian di Jawa Timur smenyatakan bahwa struktur kekerasan sosial itu mengalami pergeseran, semakin ke barat itu semakin lembut, misal dalam cara mengumpat, kalau orang Surabaya mengatakan asu kowe.. itu menjadi sebuah simbol keakraban, namun bagi orang Solo hal itu merupakan hal yang keras. Jadi struktur dan bentuk-bentuk kekerasan itu sangat kultural dan dipengaruhi oleh struktur masyarakat.

Dalam pendidikan dari TK sampai SD, kita sudah mengalami kekerasan simbolik. Contohnya ketika anak bersekolah di tempat yang tidak dia inginkan, dia merasa ini karena gengsi bapaknya, karena bapaknya memilih sekolah favorit dan mahal yang belum tentu diminati oleh anaknya. Dalam skala makro maupun mikro, kekerasan dalam pendidikan ini sudah sangat menghawatirkan, Boy juga teringat seorang praktisi yang mengatakan: kalau ingin pintar ya sekolah yang mahal, artinya ini merupakan sebuah kekerasan simbolik yang dari hari ke hari pendidikan ini malah menjadi gaya hidup, sehingga lama-lama dalam pendidikan kita sudah kehilangan akar.

Dr. Chris merespon dari apa yang disampaikan tadi, maksud dari kekerasan undang-undang dan sebagainya sampai nasionalitas, dapat diambil kesimpulan, secara tidak logis atau tidak rasional, dimana seseorang memiliki tingkat rasionalitas yang berbeda-beda, maka hal itu sesungguhnya adalah sebuah pemaksaan atau kekerasan. Artinya, yang perlu ditegakkan itu keadilan bukan hukum. Jadi kekerasan itu merupakan satu cara untuk menyampaikan pesan, dan itu memang merupakan cara yang dilakukan ketika kelembutan sudah tidak dapat dipakai. Ketika kelembutan sudah tidak dihargai, kekerasan menjadi pilihan terakhir.

Jadi benang merah antara dua kesimpulan tersebut bahwa kekerasan itu dilakukan ketika sudah tidak ada lagi cara yang dapat dilakukan untuk membela keadilan, dan kekerasan dapat dilakukan diawal ketika palaku kekerasan sudah melakukan kesepakatan. “Dan kekerasan itu harus kita lakukan arahnya ke dalam dan kelembutan itu arahnya keluar, artinya kekerasan itu kita lakukan kepada diri sendiri, seperti instropeksi diri hanya dapat kita lakukan dengan kekerasan bukan dengan kelembutan, ketika keluar yang dilakukan adalah kelembutan atau pengayoman,” dr. Chris menyudahi.

divider

Sebelum disambung oleh Cak Dil, Cak Yogi mempersilahkan satu nomor maddah nabawi yang dibawakan oleh teman-teman salawat Polinema. Cak Dil memulai dengan membahas kekerasan dari dimensi yang sedikit berbeda. Cak Dil bercerita tentang kisah dari Dr. Mukrotal Bukhori.

Beliau bercerita: “Dulu waktu kecil Dr. Bukhori ini memiliki guru yang sangat sabar, bahkan beliau punya teman yang sangat bandel namun gurunya ini masih sangat sabar. Suatu hari teman beliau ini bandelnya kelewatan, akhirnya si guru menyuruh anak tersebut melepas bajunya dihadapan teman – temannya, kemudian sambil menangis guru ini menghajar bajunya habis-habisan…”

Nah karena cerita ini Cak Dil masih belum bisa menyimpulkan apakah ini merupakan kekerasan reaksioner atau kekerasan rasional, mungkin hal itu merupakan kekerasan yang ikhlas. Jadi ada dimensi keikhlasan dalam melakukan kekerasan tersebut sehingga efektif, meskipun rasional namun kalau tidak ikhlas kekerasan tersebut malah belum tentu efektif.

Waktu di Yogya, Cak Dil pernah bercerita ada seorang sahabat satu pengurus dewan kesenian yang pada waktu itu diberi surat oleh warganya yang intinya berisi: Bapak nyuwun dipun sare aken ten pundi? Nah itu juga merupakan contoh sebuah kekerasan yang dimensinya sangat luas. Bahkan menurut penelitian, kenapa daging dari Australia cenderung lebih lembut dari pada daging dalam negeri, karena dalam menyembelih hewan sejenis sapi, mereka menyembelih tidak seperti cara menyembelih di daerah kita, mereka menyembelih dengan memberi minuman alkohol atau semacam bius kepada sapi sebelum disembelih, agar saat disembelih sapi itu tidak merasakan kekerasan. Secara tidak langsung mereka menerapkan sunnah Rasul berupa: ketika menyembelih hewan, janganlah kejam.

Cak Dil juga menjelaskan bahwa kekerasan ini merupakan fenomena kezaliman, dimana zalim adalah ketika seseorang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dan sekarang ini kita mengalami situasi dimana banyak hal-hal yang tidak sesuai dengan tempatnya, hukum tidak sesuai, dan penyebabnya masih banyak lagi. Kita sekarang juga sedang berada pada situasi kebingungan menempatkan sesuatu pada tempatnya, termasuk tadi pendidikan, sosial, dll. “Yang seharusnya kita lakukan sekarang adalah: ayo belajar menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya,” pungkas Cak Dil.

Tepat pukul 01.00 WIB, acara ditutup dengan maddah nabawi membaca maulid burdah dan dipungkasi dengan doa oleh Rahmat.

[Teks: Ibnu Raharjo, Faqih Qodrl Akbar, Faiz Nur Mashudi]