Early Warning System Maiyah

Pesona bulan suci Ramadan segera berakhir, alangkah indahnya jika kita membuka kembali catatan pengajian Maiyah Padhang Mbulan pada 12 Juli 2014 lalu. Setiap Ramadan datang, surat Al-Baqarah ayat 183 pasti tak akan pernah telat dikupas oleh para ustaz dimanapun berada. Malam itu, hadir doktor Tulus dari UIN Sunan Kalijaga dan Cak Fuad mengawali pengajian dengan bahasan tentang puasa.

Dibuka dengan pertanyaan, kenapa dalam Al-Quran ataupun hadits perintah puasa disebut shoum bukan shiyam? Cak Fuad menjelaskan, bahwasanya pada shiyam kita berpuasa hanya sekadar berhenti dari makan minum dan kegiatan sex, sedangkan shoum adalah puasa dimana pelakunya tidak hanya berhenti makan minum namun juga mengontrol hawa nafsu menjauhi segala perbuatan yang dilarang, baik yang bersifat materiil ataupun psikis seperti menjaga pandangan.

Cak Fuad juga menyampaikan bagaimana indahnya “pendekatan” Allah dalam memerintahkan puasa wajib yakni pertama-tama yang disampaikan bukan mewajibkan puasa melainkan diberitahukan terlebih dahulu kemudahan-kemudahannya, keringanan-keringanannya, kemudian secara bertahap memberitahukan bahwa sebaik-baiknya dari itu semua (kemudahan, keringanan) adalah puasa.

Diceritakan dalam sebuah riwayat, pernah datang dua orang yang bersengketa mengadu kepada Rasulullah tentang kepemilikan tanah. Rasulullah mengatakan kepada kedua orang tersebut bahwa beliau adalah manusia biasa yang hanya bisa berusaha seadil mungkin tetapi tidak bisa memastikan mana yang salah mana yang benar, sehingga Rasulullah kemudian berkata: Aku akan memenangkan mereka yang mempunyai bukti dan argumen yang kuat. Rasulullah tahu bahwa satu diantara kedua orang tersebut lebih pandai bicara, tapi kemudian Rasulullah menekankan sekali lagi bahwa ia adalah manusia biasa, sehingga apabila kemudian keputusan diambil terbukti salah dikemudian hari maka: sesungguhnya yang aku—Rasulullah—berikan padamu adalah bukan sebidang tanah, melainkan sebongkah api neraka. Begitu mendengar pernyataan Rasulullah yang terakhir ini, kedua orang tersebut menjadi bersengketa untuk saling tidak mau mengambil hak terhadap tanah tersebut karena saking takutnya terhadap api neraka—konon kemudian 2 orang ini ditanya Rasulullah, apakah keduanya mempunyai anak, ternyata 1 mempunyai anak laki-laki, lainnya mempunyai anak perempuan. Kemudian Rasulullah menganjurkan untuk dinikahkan dan tanah tersebut untuk anak-anaknya. Ayat tersebut dimasukkan ke dalam bab puasa karena itu berbicara tentang esensi puasa, yakni tidak memakan sesuatu yang bukan haknya.

Harus ada cadangan kesedihan dalam setiap kesenangan begitu pula sebaliknya, supaya selalu siap terhadap setiap perubahan.

TaKwa adalah muara dari puasa. Setahun silam, Cak Nun memaparkan bahwa takwa itulah cakrawala perjalanan kemusliman manusia. Takwa lebih tinggi dari nilai kebenaran dan nilai cinta. Apalagi dibandingkan tataran norma, hukum formal, adat, serta tabung-tabung formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejamaahan umat manusia. Takwa itu suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan, menentramkan dan membahagiakan, yang terletak di garis kemungkinan liqa rabb, yakni kemungkinan pertemuan hamba-hamba hina-dina macam kita ini dengan Allah.

Jadi, meraih takwa parameternya bukan hanya selama sebulan penuh pelaksanaan puasa, namun akan terlihat keberhasilannya pada bulan-bulan berikutnya, karena bertakwa adalah berhati-hati dalam menghadapi yang masih belum jelas, berhati-hati dalam arti mengendalikan nafsu. Doktor Tulus mengistilahkannya dengan Early Warning System (EWS) yaitu pengingat akan dosa yang telah kita perbuat. Apakah radar sensivitas pada dosa dalam diri kita menguat/meningkat setelah berlalunya bulan Ramadan? Disanalah parameter takwa akan berfungsi, yang mana Early Warning System akan lebih sensitif dan bergetar ketika kita mau melakukan salah ataupun hal-hal yang dapat menimbulkan dosa.

Al-Quran telah menerangkan pula bahwa salah satu tanda orang yang beriman yaitu ketika disebut asma Allah maka bergetar hatinya yakni terutama bila akan berbuat dosa. Bila hati penuh dosa maka akan susah menerima kebenaran dari orang lain. Bila membaca Al-Quran sekali-kali berusahalah sebisanya memahami maknanya, karena dengan demikian akan bertambah iman. Al-Quran sesungguhnya juga merupakan buku petunjuk bagaimana hidup seharusnya dijalankan. Kalau tidak pernah dipahami, bagaimana mungkin kita bisa menjalankan hidup? Sejauh ini, tidak ada buku yang bisa dihafal oleh anak berusia 5 tahun sekalipun kecuali Al-Quran, dan ini merupakan salah satu mukjizat dari Al-Quran.

Takwa itu suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan, menenteramkan, dan membahagiakan, yang terletak di garis kemungkinan pertemuan hamba-hamba hina-dina macam kita ini dengan Allah.

PILPRES DAN SIKAP MAIYAH

Aroma Pilpres akan terus berlangsung dan bahkan sampai beberapa minggu ke depan. Dunia sedang “kagum” terhadap Indonesia, negara demokratis ketiga setelah setelah Amerika dan India, belum ada 3 jam selesai pemilihan sudah ada deklarasi kemenangan, dan yang lebih “mengagumkan” adalah lha kok rakyatnya mudah percaya.

Namun, pesan prinsipil dari Cak Nun di malam itu ialah, ke dalam Maiyah kita melakukan penyadaran, keluar Maiyah kita melakukan pengayoman. Jadi, jamaah Maiyah berdiri ditengah-tengah untuk mengayomi adanya perbedaan. Karena hidup itu luas, jangan mudah membela sesuatu yang masih berupa bagian-bagian, jangan terlalu pesimis dan juga optimis. Toh, adanya Pilpres tidak menjawab masalah-masalah rutin yang dialami oleh rakyat. Yang sekarang seolah-olah bermusuhan dengan kita adalah orang-orang tertipu, bukan musuhmu. Dia adalah orang yang harus dikasihani. Kadang-kadang orang sakit itu marah diberitahu sakitnya, maka orang-orang seperti ini sedang dalam fase tidak bisa disadarkan sehingga harus disayang dulu, dan disitulah peran Maiyah yakni keluar melakukan pengayoman, sedang ke dalam senantiasa melakukan penyadaran-penyadaran.

Juga, belum tentu orang yang dipuja-puja itu tidak akan mengecewakanmu. Sebaliknya, bisa jadi orang yang dicela-cela itu yang akan mewujudkan harapanmu. Sebab, dengan kehendak Allah, semua hal dan kemungkinan bisa terjadi. Beri 5% saja rasa bahagia atas kemenangan pilihan Presidenmu dalam Pemilu, dan 95%-nya siapkan diri untuk kekecewaan-kekecewan yang akan datang. Harus ada cadangan kesedihan dalam setiap kesenangan begitu pula sebaliknya, supaya selalu siap terhadap setiap perubahan.

Cak Nun sempat melontarkan guyonan: Wong Indonesia ojo diapusi, karena wong Indonesia tukang ngapusi, tinimbang kowe kapusan dhewe.. Maknanya bukan pada karakter orang-orang Indonesia yang suka berbohong, tetapi lebih pada mengingatkan berpikirlah seribu kali untuk berbohong apalagi membohongi orang lain karena kebohongan itu akan kembali pada dirimu sendiri.

Yang terpenting dalam Maiyah adalah bagaimana menyikapi secara obyektif kondisi bangsa. Jamaah Maiyah harus menyayangi semuanya. Makin lama makin banyak orang yang berpihak pada kebenaran.

Ke dalam Maiyah kita melakukan penyadaran, keluar Maiyah kita melakukan pengayoman.

Orang hidup itu harus ada fikih yang jelas, bukan berdasar pada tafsir A ataupun tafsir B. Sesuatu yang telah terjadi harus diikhlaskan, jangan disesali, habiskan energi untuk melangkah ke depan. Sebagai contoh adalah kita harus mengerti perbedaan antara orang sembahyang dengan orang khusyuk, bahwa sembahyang tidak serta merta khusyuk, dibutuhkan beberapa proses untuk mencapai kekhusyukan.

Selama berlangsungnya Pilpres, banyak terjadi kezaliman informasi. Kode etik jurnalistik dan media begitu mudah dilanggar demi kepentingan pemiliknya. Padahal media memiliki peran yang paling krusial dalam mengedukasi atau membuat opini dalam masyarakat. Adanya pemerintah seharusnya untuk membatasi media. Namun, faktanya tameng terakhir yang katanya disebut “negara demokrasi” telah dicederai. Apakah yang seperti ini kita masih disebut berdemokrasi?

Ketika telah menyadari hal itu semua, maka kekuatan yang kita miliki hari ini adalah pertahanan kultural, mulailah mendekati orang-orang yang beda pilihan dengan Anda. Sebagai sejatinya bangsa Indonesia dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua. Kekuatan silaturahmi, gotong royong dan toleransi tentunya dapat kita tumbuh dan tingkatkan lagi. Ibarat bangsa semut hitam serta sapi, hari ini semut dituntut dan diskenario sedemikian rupa agar menjadi dan jauh dari jati dirinya sendiri. Padahal bangsa semut  memiliki karakter berupa tingkat kerjasama dan gotong royong yang sangat tinggi serta tidak rakus. Bangsa semut melayani orang lain sampai tingkat ekstrem, dia ikhlas menjadi dirinya, sangat mandiri dan dia membuat kelemahan menjadi kelebihannya, seperti saat memasuki telinga gajah.

Kekuatan global telah mengonsep dan mendesain sedemikian rupa agar para semut hitam berubah memiliki mental seperti sapi yang gampang takut, gampang gumunan, hanya bisa di-cucuk untuk mbajak diperbudak, disembelih, diperah susunya, kalau semuanya tidak bisa pilihan terakhirnya disembelih. Namun, menjadi sapi sepenuhnya bukan masalah asalkan sesuai dengan proporsinya. Terkadang, konflik itu dipelihara oleh Allah agar senantiasa menjadi pembelajaran untuk semua generasi.

Barang siapa menemukan kesulitan, ia pasti memiliki kapasitas yang lebih tinggi daripada yang bertemu kemudahan-kemudahan dalam hidupnya.

MENGGAPAI PUNCAK ILMU

Selepas pukul 02.00, Cak Nun mengingatkan jamaah untuk selalu memuncaki setiap pertemuan dengan tradisi Maiyah yakni mendalami ilmu. Kita tetap jadi pengayom dan penyayang, usahakan untuk tidak turun ke gelanggang. Tadi kita sebentar muncul ke permukaan, setelah itu kita harus menyelam kembali. Baik tidaknya seseorang bukanlah karena anda tukang listrik atau presiden, Maiyah itu bukan golongan, tidak ada tidak masalah, yang penting bagaimana kita selalu dekat dengan Allah dan Rasulullah. Indahnya Islam itu ukurannya bukan apa dan siapa dirinya, namun kedekatannya hamba dengan Allah dan Rasulullah SAW.

Akhlak seseorang itu tertanam dalam jiwa, keluar dengan mudah tanpa rekayasa. Sedangkan orang yang merekayasa itu tak lain telah membohongi dirinya berkali-kali. Apabila sudah terlanjur ketaton (terluka), maka bukan masalah besar untuk sekalian dilanjutkan penderitaannya. Orang yang berani mengambil langkah ini akan semakin memperkecil kemungkinan untuk berbohong karena tidak ada lagi yang perlu dikejarnya dan menjadi tahu apa yang harus dilakukan berikutnya.

Peristiwa yang sama bisa berbeda proses akhlaknya, pencurian bisa menjadi paseduluran dan itu salah satu wilayah perjuangan Maiyah. Karena baik buruknya akhlak itu ada konteks dan tempatnya, membunuh tidak selamanya buruk dan memberi makan tidak selalu baik. Seperti banjir, itu cara pandang manusia, tapi tidak sama dengan bahasa air itu sendiri yang hanya taat mengalir dari ketinggian ke tempat yang lebih rendah. Kalau ular memakan tikus, itu ikut kehendak Allah atau khianat? Maka membunuh itu belum tentu salah. Membunuh boleh pada konteks yang tepat seperti menyembelih ayam, sapi. Tumbuhan, binatang, malaikat, iblis, semuanya 100% taat, tunduk pada ketentuan Allah. Seperti Iblis, ia taat dengan pakaiannya yakni mbanggel, gumedhe sampai kiamat.

Dulu, semua taat pada Allah karena belum punya dialektika berpikir karena memang tidak satupun ada yang dibekali akal. Setelah ada akal maka menjadi ada 2 pilihan (setidaknya) yakni mengoptimalkan akal untuk menjadi makhluk yang paling taat atau justru sebaliknya menjadi yang paling khianat ketika akal digunakan setengah-setengah. Agar otak selalu segar berpikir sudah seharusnya selalu diajak berdialektika semisal memilih jawaban dari pertanyaan: mana yang anda sukai, memegang kunci surga tapi ternyata nanti surga tidak ada ataukah dijanjikan surga, lantas nantinya surga memang ada tetapi anda tidak memegang kuncinya.

Akhlak seseorang itu tertanam dalam jiwa, keluar dengan mudah tanpa rekayasa. Sedangkan orang yang merekayasa itu tak lain telah membohongi dirinya berkali-kali.

Contoh lain adalah mempelajari asmaul husna tidak boleh sepihak. Pada salah satu asmaul husna dinyatakan bahwa satu pihak Allah Maha memberi petunjuk tetapi disatu pihak yang lain Maha menyesatkan, ini harus menggunakan akal untuk berdialektika dan memahaminya. Contoh lain adalah satu pihak Maha Penyayang, sedang pihak lainnya Maha Menyiksa. Yang harus dipahami adalah semuanya diciptakan berpasang-pasangan. Pasangan itu tidak hanya dalam konteks benda, sifat, tempat tapi juga bisa waktu. Sejarah yang terjadi hari ini bisa saja berpasangannya dengan yang terjadi 13 tahun lagi, maka jangan mudah berputus asa dan tetaplah berusaha dan berharap bila apa yang dicita-citakan tidak terwujud pada hari ini.

Terhadap apapun yang telah terjadi kita harus rida. Oleh karena itu, kalau senang 20 % saja energi yang dikeluarkan, 20% lagi untuk bersedih dan 60%-nya untuk waspada. Dalam menentukan sesuatu itu harus ada musti didasari syariat yang jelas, aturan yang jelas. Syariat dengan hakikat itu ada bedanya. Dianjurkan ber-syariat dengan memahami hakikat dan memahami hakikat dengan ber-syariat.

Syafaat itu pertolongan, konteksnya nanti di akhirat ketika tidak ada siapapun bisa memberikan pertolongan kecuali nabi dengan izin Allah. Sedang pertolongan dunia itu tidak langsung, kalau kita mendoakan atau bersalawat maka malaikat dan nabi pun akan mendoakan kita. Memperoleh syafaat atau tidak jangan diukur dengan ukuran dunia, yang paling utama, nomer satu ialah mencintai, jangan pamrih apapun.

Ilmu tertinggi adalah Asyhadu alla ilaaha ilallah, Muhammadurrasulullah-nya berlaku untuk umat Muhammad. Orang yang bersyahadat itu adalah orang yang menyaksikan kebesaran Allah, maka puncak ilmu adalah syahadat. Syahadat adalah proses mengalami. Untuk mencapai syahadat kita perlu berguru ke Muhammad. Barang siapa menemukan kesulitan, ia pasti memiliki kapasitas yang lebih tinggi daripada yang bertemu kemudahan-kemudahan dalam hidupnya.

Terakhir dari tulisan ini, Semoga benih-benih kejujuran, kesabaran yang tersemai selama Ramadan tumbuh, berkembang, berbuah, mempererat silaturahmi hamba-hamba-Nya di langit dan bumi. Selamat Idul Fitri 1435H.