Aji Balasewu

Juguran Syafaat, sebuah forum maiyahan yang secara rutin diadakan di daerah Banyumas, pada edisi kali ini mengambil judul Aji Balasewu sebagai tema acara. Acara dimulai pukul 20.30 WIB dengan membaca Al-Quran surat An-Naml secara tartil dipimpin oleh Kukuh.

Kali ini, Juguran Syafaat kedatangan tamu istimewa dari Yogyakarta. Mereka adalah Islamiyanto dan Imam Fatawi yang sudah kita kenal sebagai vokalis Kiai Kanjeng, garda depan Maiyah Nusantara. Islamiyanto dan Imam Fatawi ditugaskan khusus oleh Rumah Maiyah Kadipiro untuk mengajarkan solawat pada dulur-dulur di Juguran Syafaat. Mereka sudah hadir di Purwokerto sejak magrib kemudian transit di base camp Juguran Syafaat sebelum malamnya hadir di acara.

Tepat pukul 21.00 WIB dulur-dulur mulai ramai berdatangan. Dulur-dulur yang datang berasal dari sekitaran Banyumas, Purwokerto, Purbalingga dan Cilacap. Kukuh dan Rizky memulai forum dengan memperkenalkan Islamiyanto dan Imam Fatawi ke forum, dan terjadilah obrolan dan diskusi-diskusi ringan antara mereka dan jamaah yang hadir.

Hadir juga malam itu Fauziah asal Sokaraja, Purwokerto. Beliau adalah TKW di Hongkong, aktif di organisasi buruh migran. Fauziah kemudian sharing mengenai pengalamannya berinteraksi dengan Maiyah, yang dimulai dengan perkenalannya dengan Cak Nun dan Kiai Kanjeng.

“Cak Nun ke Hongkong itu bukan sekedar untuk mengasih tausiyah, tapi kita semua itu sebagai anak-anaknya. Jadi Cak Nun kesana itu ibaratnya mengunjungi anak-anaknya. Sampai sekarang, kami sudah menyelenggarakan pertemuan dengan Cak Nun di Hongkong sebanyak 11 kali,”  tutur Fauziah. “Alhamdulillah banget, banyak masukan dan banyak belajar, tentang bagaimana mengelola hasil dari Hongkong. Terutama cara kita menghadapi orang yang di sana ataupun bekal yang dari luar untuk di Indonesia,” tambahnya.

“Yang membahagiakan adalah kemarin ketika kami kedatangan Cak Nun beserta keluarganya dan juga Mas Zainul dan Mas Imam Fatawi di akhir bulan desember tahun lalu. Cak Nun sampai cucunya-pun naik ke panggung. Cak Nun tidak terlalu istimewa sekali untuk dijadikan tamu, sudah seperti orang tua sendiri. Dimanapun tempat anak disitulah tempat saya, ibaratnya begitu. Nggak kesusahan untuk mencari tempat tinggal untuk bapak dan keluarganya. Semua orangnya biasa saja,” ujar Fauziah.

Kusworo, yang malam itu berperan sebagai moderator, mengawali diskusi dengan mengingatkan jamaah untuk bersama-sama menemukan rasa syukur karena bisa kembali berkumpul, di sisi lain banyak orang yang malam ini sedang menggunakan waktunya untuk hal-hal yang sangat tidak bermanfaat. Kusworo menambahkan, di dalam Maiyah kita sedang berjuang untuk merdeka dari hal-hal yang mainstream saat ini. Di Maiyah kita sedang belajar terus untuk bisa membedakan mana yang primer mana yang sekunder, mana yang ornamen mana yang intinya, mana yang sejati mana palsu. Kusworo membuka cerita tentang Cak Nun yang saat ini sedang menemani timnas U19 bertanding di Myanmar.

“Kondisi menang kalah itukan ndak bisa dimasukkan ke dalam ruang sempit skor akhir dua babak itu, bahwa kesimpulan menang kalah itu kan dimensinya sangat luas. Pengertiannya bisa kita gali sangat dalam. Menurut Indra Sjafrie, U19 itu memiliki kemandiriannya sendiri, dari gaya bermain dia tidak berkiblat pada Eropa maupun Amerika. Jadi benar-benar sedang menggali jati diri bangsa. Peristiwa sepak bola yang sedang U19 jalani, bukan semata-mata melatih skill sepak bola tetapi perjalanan menemukan jati diri. Ini adalah momentum kebangkitan nusantara,” ujar Kusworo.

Kusworo lantas mempersilakan Imam Fatawi untuk berbicara di forum. Imam Fatawi berujar canda bahwa dia lebih memilih menyanyi 27 kali daripada diminta berbicara di depan forum. “Ini adalah liqoun adzim, pertemuan yang agung. Pertemuan agung itu bisa dimana saja, bisa berbentuk apa saja, berapapun jumlah orangnya. Semua karena ada landasan moral di dalamnya, ada nilai-nilai yang abadi di dalamnya. Berbeda dengan pertemuan yang punya ambisi duniawi, itu menjadi pertemuan yang biasa saja,” kata Imam Fatawi.

Imam Fatawi lalu berbagi tentang sebuah kemustahilan hidup tanpa seni. Tidak ada aspek dalam hidup yang tidak terdapat seni di dalamnya. Sejak kita kecil kita sudah dinyanyikan lagu-lagu penghibur oleh orang tua kita. Imam menambahkan ceritanya bahwa dia tidak bisa bermain alat musik, hanya bisa bernyanyi.

Rizky mengulang kembali arti kata Juguran Syafaat kepada para dulur-dulur yang hadir. Juguran itu sama artinya dengan kalau di Sunda namanya ngariung, kalau di Surabaya namanya cangkrukan, kalau di Betawi namanya kongkow. Yaitu ngobrol santai yang mempunyai 3 syarat secara budaya, yaitu dilakukan diluar ruangan, ada ketersambungan hati satu sama lain, dan hadirnya kebahagiaan. Syafaat sendiri berarti kita melingkar disini tidak ada sangkutan lain kecuali kita sedang gondelan syafaat Kanjeng Nabi Muhammad.

“Kalau pada malam hari ini, saya mengartikan Maiyah ini sebagai kita ini membuka harta karun. Kalau diluar sana, di facebook, kita sering melihat orang mengumpat, mencaci maki, DPR kok begitu, presiden kok begitu, organisasi ini kok begitu, semua cacian di facebook ramai sekali. Tapi saya rasa itu tidak akan ada selesainya, kita harus luaskan lagi kalau kita masih mengumpat dan mencaci maki urusan yang ada di Indonesia saat ini. Karena memang DPR ya seperti itu, presiden memang begitu. Jadi kita sudah berpikir, memang itu itu semua yang kita saksikan bukan harta karun, yang harta karun sesungguhnya yang ada di Maiyah ini. Lebih baik kita fokus ke dalam, yang benar-benar memang harta karun. Malam hari ini kita membahas salah satu tema yang menjadi harta karun Maiyah kita yaitu Aji Balasewu,” ujar Rizky.

“Pertemuan agung itu bisa dimana saja, bisa berbentuk apa saja, berapapun jumlah orangnya. Semua karena ada landasan moral di dalamnya, ada nilai-nilai yang abadi di dalamnya.”

Imam Fatawi

WORKSHOP SALAWAT MAIYAH

Melanjutkan acara, Rizky mempersilakan Islamiyanto untuk memandu salawat. Islamiyanto mengawali dengan memandu pembacaan doa pendek, Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan Ayat Kursi, disambung dengan solawat Alfu Salam. Suasana khusyuk terasa di forum, rupanya dulur-dulur Juguran Syafaat telah lama merindukan untuk bisa bersalawat bersama Kiai Kanjeng. Setelah bersalawat, Islamiyanto berikan sedikit penjelasan, “Kenapa kita mau minum jamu, padahal pahit? Karena menyehatkan badan. Kadang-kadang sesuatu yang Allah sendiri perintahkan kepada kita, itu pahit dan malas untuk dijalani. Mudah-mudahan keikhlasan yang anda lakukan malam hari ini membuahkan sesuatu yang di akhir-akhir kehidupan kita membawakan kegembiraan untuk anak cucu-cucu kita semua,“ jelas Islamiyanto.

Islamiyanto juga menuturkan sebuah ilmu keikhlasan dengan perumpamaan santan kelapa. Santan kelapa yang dibuat dari buah kelapa, pada saat pemetikkannya saja sudah dilukai berkali-kali, dari sejak ia dibanting, dibacok, diclurit, dilempat, dislumbat, diplatok, diparut, sampai diperas hingga menjadi santan kelapa. Dan ketika dimasak menjadi kuah kolak dicampur dengan pisang, maka yang tercipta adalah “kolak pisang”, bukan “kolak santan”. Padahal, kolak pisang tanpa santan kelapa bukanlah kolak pisang. Seperti itulah pulalah yang disebut dengan ikhlas. Ilmu ikhlas, adalah orang yang sangat dibutuhkan orang banyak tetapi tidak butuh disebut-sebut.

Imam Fatawi bercerita tentang pengalamannya bernyanyi sejak kecil. Beliau mengikuti lomba-lomba menyanyi sejak dari SMP hingga kuliah. Hampir semua lagu-lagu yang dibawakannya, selalu lagu dangdut karya Rhoma Irama. Beliau juga berkelakar bahwa dia adalah satu-satunya anggota Kiai Kanjeng yang masuk ke Kiai Kanjeng dengan melamar melalui surat pos.

Keduanya, Islamiyanto dan Imam Fatawi, kemudian memandu dulur-dulur yang hadir malam itu, bersenandung Hasbunallah bersama-sama diiringi musik dari Endro Purbalingga. Setelah Hasbunallah, Islamiyanto dan Imam Fatawi memberikan materi salawat Maiyah. Mereka mengajarkan nada-nada dasar salawat serta lirik-liriknya. Ada lima solawat yang diarahkan, yaitu Shali Wa Shalimda, Alfu Salam, Ya Allah Ya Adzim, Sidnan Nabi, dan Ya Imamar Rusli. Dulur-dulur tampak antusias dan semangat mengikuti arahan dari Islamiyanto dan Imam Fatawi.

“Hidayah itu adalah hadiah. Seseorang yang diberi hadiah atau hidayah tentu harus mempunyai alasan kuat mengapa dirinya diberi hidayah. Ada empat hidayah yang dirasakan oleh manusia. Yaitu hidayah naluri, hidayah panca indera, hidayah akal, dan hidayah agama,” tutur Islamiyanto.

“Coba kita tanya pada diri kita, apakah agama yang kita anut adalah murni dari naluri yang Allah beri hidayah kepada kita, atau agama yang kita rasuk adalah peninggalan dari ayah dan ibu kita? Perjalanan yang kita tempuh ini perjalanan hakikat, bukan syariat. Ini makrifatullah luar biasa. Anda dimalam hari ini adalah mencari kesejatian dan hidayah agama-Nya Allah. Makanya anda bersyukur sama Allah. Mudah-mudahan dengan bekal ini hidayah agama Allah selalu dipancarkan dalam hidup kita. Ini yang menjadi hakikat keagamaan yang luar biasa,” jelas Islamiyanto.

Imam Fatawi menghangatkan suasana dengan dua nomor dangdut berjudul Istri Sholeha dan Keramat. Endro dan Toto dari dulur Purbalingga mempersembahkan lagu Untuk Simbah Guru dan Tahta Cinta. Lagu ini sedang diramu menjadi mini album yang merupakan sebuah respon atas nilai Maiyah dalam bentuk musik.

“Ilmu ikhlas, adalah orang yang sangat dibutuhkan orang banyak tetapi tidak butuh disebut-sebut.”

Islamiyanto

IMG_20141011_212121 (1)

JIMAT MASA KE MASA

Pada sesi berikutnya, Azis menyampaikan pandangannya. Ia berpendapat bahwa jimat pada dasarnya adalah sesuatu yang membuat orang menjadi percaya diri. Jika jaman dahulu jimat itu berbentuk keris, cincin dan sebagainya, bisa jadi jaman sekarangpun masih ada hanya berbeda bentuknya. Bisa jadi berbentuk handphone, motor, mobil, dan sebagainya. Cara mendapatkannya pun sama-sama dengan tirakat. Jaman dahulu orang berpuasa, semedi, jaman sekarang orang menabung dan bekerja keras.

Berikutnya, Titut Edi juga ikut menyampaikan, ia menceritakan pengalamannya ngaji ke Kiai di Banyumas yang memberikan jimat kepada maling agar terus selamat. Padahal jimat itu hanyalah kotoran kambing, tapi maling itu begitu yakin itu sangat ampuh dalam menjalankan kerjanya. Menurutnya, kunci utama dalam jimat adalah keyakinan diri sendiri. Titut Edi lalu mempersembahkan sebuah lagu humor karyanya sendiri berjudul Silit Kebo.

Moderator kemudian mempersilakan Agus Sukoco untuk ikut sambung, urun perspektif. “Tugas kita itu salah satunya adalah untuk meminimalisir fitnah kepada leluhur. Apa-apa yang sudah dianggap berbau Jawa itu dianggap syirik, bidah. Aji Balasewu pasti dianggap bidah, kejawen, bukan Islam. Benturan ini yang kita minimalisir melalui kerja-kerja Juguran Syafaat,” kata Agus.

“Aji Balasewu itu satu cara berpikir leluhur kita, sedemikian rupa sehingga mereka menemukan kata Aji Balasewu. Ini kalimat tauhid yang luar biasa. Analoginya begini, kalau saya melihat istri saya, dari pagi sudah nyapu, ngepel, nganter anak ke sekolah, terus sampai malam masih nyetrika, terus saya lihat istri saya sudah agak kunang-kunang matanya, kecapean. Sebagai suami saya pasti berpikiran: kalau saya kaya, pasti akan saya bayar tiga pembantu untuk membantunya. Bahwa sampai hari ini saya belum bisa memberikan pembantu ke istri saya bukan karena saya tidak mempunyai empati dan belas kasihan atas kerja keras istri saya, tapi memang keterbatasan ekonomi saja. Nah sekarang kita bayangkan, kalau kita di bumi ini bekerja untuk menegakkan nilai Allah, melakukan kebaikan-kebaikan sampai capek kita, sampai sempoyongan. Tuhan pasti akan berinisiatif sama seperti saya melihat istri saya. Nah kalau saya terbentur kemampuan ekonomi, kalau Tuhan tidak terbentur itu. Tuhan punya sangat banyak prajurit yang disebut Malaikat, nanti Tuhan kirim malaikat,” jelas Agus.

“Kita harus sepakati dulu mau ada ateis atau mau ada Tuhan dalam hidup kita. Jika ateis, kita menganggap apa yang terjadi, kejutan-kejutan dalam hidup itu murni bukan Tuhan yang bikin. Tapi jika berpikir tauhid, maka tidak ada yang lain selain skenario Tuhan,” tambahnya. “Bagi orang yang bekerja dalam hidupnya mengabdi pada Tuhan sampai capek, saya yakin Tuhan akan berinisiatif sebagaimana saya melihat istri saya. Saya kasih pembantu dia. Persoalannya apa, kenapa saya berinisiatif mau memberikan dia pembantu, karena dia istri saya. Ada hubungan yang jelas karena dia istri saya. Tapi begitu saya jalan-jalan, saya melihat ada wanita lain bekerja dan kecapekan, maka saya hanya membatin “rajin sekali dia”. Nah sekarang, kita apanya Tuhan, Tuhan apanya kita. Harus ada hubungan personal. Mari kita bangun hubungan yang jelas, hubungan personal dengan Tuhan, sehingga sejelas saya dengan istri saya. Sehingga Tuhan akan tidak tega melihat kita kecapekan didalam bekerja memenuhi nafkah keluarga, menegakkan nilai-nilai seperti ini.

“Konsep pinjaman dalam ber-Tuhan itu mempunyai analogi seperti ini, saya mindah gelas, saya bisa mindah gelas atau saya dibisakan mindah gelas oleh Tuhan. Saya diberi wewenang untuk mindah gelas, kalau saya tidak diberi wewenang pada saya, saya tidak bisa mindah gelas, sehingga mindah gelas bagi saya bukan dalam konsep susah atau gampang. Susah atau gampang itu jika kita yang melakukan. Wong itu cuma wewenang dari Tuhan kok. Kalo saya tidak diberi wewenang saya tidak bisa memindah gelas. Mindah gunungpun kalau kita diberi wewenang bisa. Mindah gunung dan mindah gelas, bagi saya bukan susah atau gampang. Karena itu urusan kita diberi wewenang atau tidak. Sebagaimana kita ngomong pak bupati bisa mengumpulkan ketua desa se-kabupaten, itu memang dia memiliki wewenang. Bukan sebuah kehebatan. Jadi ini urusan pinjaman kewenangan dari Tuhan, sama dengan saya mindah gelas, karena saya diberi kewenangan dari Tuhan, saya mindah gunung suatu saat, kalau momentumnya pas mindah gunung ya Tuhan bisa kasih wewenang. Ini urusannya ada Tuhan dalam hidup kita. Sebagaimana Nabi Musa pada konteks itu, tugasnya memang pas beliau diberi wewenang untuk membelah laut, tapi pada detik kesekian mbelah sungai saja tidak bisa kalau Allah tidak memberi wewenang,” jelas Agus Sukoco.

“Kalau kita mau mendapatkan jimat yang sejati, kita harus men-yawiji-kan raga, rasa, dan daya menuju ke Ilallah.”

Islamiyanto

“Kalau Allah memberikan kewenangan, tidak usah melihat yang hebat-hebat seperti suara emas seperti mas Imam, kewenangan mindah gelas saja itu sudah istimewa. Kita diberi kewenangan bisa melihat itu kan sebuah kemuliaan. Tuhan memuliakan kita sehingga kita diberi kewenangan. Kemuliaan itu karomah. Jadi karomah jangan kemudian dianggap yang mengubah pohon jadi emas dan lain sebagainya, sekedar memindah gelas saja itu kita harus bersyukur bahwa itu karomah dari Tuhan. Jadi kita selama ini dapat karomah tapi kita tidak pernah bersyukur. Kalau karomah memindah gelas saja kita masih belum menyadarinya sebagai karomah, jangan pernah berharap kita akan diberi karomah-karomah lain pada level-level yang lebih tinggi,” Agus menutup uraiannya.

Sambil membuat santai suasana, dulur-dulur memperdengarkan bersama satu nomor berjudul Kesetiaan karya dulur Purbalingga. Nomor lagu ini bercorak Melayu, dinyanyikan secara merdu oleh Endro.

Selanjutnya, Islamiyanto ikut menambahkan. Menurutnya, kalau kita mau mendapatkan jimat yang sejati, kita harus menyawijikan raga, rasa, dan daya menuju ke Ilallah. Islamiyanto menyambung cerita tentang riwayat sahabat Nabi yang begitu yakin akan kenabian Rasulullah. Satu syiir tentang ahli kubur kemudian disenandungkan oleh Islamiyanto. Selain itu juga dijelaskan tafsirnya mengenai anak yang rajin membaca Quran, maka orang tua yang sudah meninggal terasa lapang dalam kuburan.

Imam Fatawi menceritakan tentang proses pulangnya ayahanda dari Imam Fatawi ke rahmatullah yang begitu indah skenarionya. Dimana seluruh keluarga berkumpul setelah lebaran, sudah bermaaf-maafan, sempat berpamitan dengan seluruh keluarga dan tetangga-tetangga, tanpa ada yang sadar akan segera ditinggalkan. Bagi Imam ini adalah sebuah misteri Tuhan, bentuk “keisengan” Tuhan yang sangat serius. Imam menyambung dengan mengajak dulur-dulur menyanyikan puji-pujian bersama. Puji-pujian ini dikenalkan oleh ayahanda dari Imam Fatawi sewaktu Imam Fatawi masih kecil.

Acara dipuncaki dengan Indal Qiyam bersama dipandu oleh Islamiyanto. Dulur-dulur mengamini doa yang dilantunkan oleh Rifangi. Kemudian acara ditutup dengan bersalaman bersama seluruh yang hadir.

 [teks: Hilmy Nugraha]