POSTIMIS

Reportase Kenduri Cinta februari 2014

Sudah mulai tampak beberapa orang mempersiapkan untuk maiyahan bulanan Kenduri Cinta yang rutin diselenggarakan pada Jumat kedua. Panggung yang hanya setinggi mata kaki sudah tersusun rapi. Panggung bukan dalam arti “panggung” yang kini kita kenal, karena panggung Kenduri Cinta bukan untuk “tampil”, bukan untuk “manggung” namun hanya untuk kebutuhan teknis, agar narasumber yang berada di depan bisa terlihat dari lajur belakang.

Sebagian lagi tampak menyiapkan tata suara. Karpet terpal juga sudah mulai digelar dan dibersihkan. Menjelang Magrib beberapa pedagang mempersiapkan dagangannya. Tertib dan rapi seolah hal itu menjadi rutinitas. Para pedagang menempati posisinya masing-masing; penjual kacang rebus, tukang kopi keliling, penjual tahu gejrot, tukang bakso, hingga gerobak angkringan juga parkir pada tempatnya sendiri-sendiri, mereka tak saling mengganggu, justru saling membantu. Mereka menikmati betul bagaimana mencari barokah bersama. Tidak ada kompetisi.

Selepas magrib, persiapan teknis telah selesai, terlihat beberapa orang saling bahu-membahu memasang backdrop yang menjadi latar dari panggung. Pada backdrop terlihat gambar besar sebuah sendal japit kusam, talinya putus namun saling terikat oleh sebuah gembok, di salah satu alas sendal jepit tersebut tertera kata; POSTIMIS. Kata itulah yang diangkat menjadi tema Kenduri Cinta bulan ini. Para pengisi musik juga sudah memulai lakukan persiapan. Terlihat seseorang tanpa alat musik sibuk dengan mic-nya, terdengar suara seperti instrumen-instrumen musik, namun ternyata itu bersumber dari mulutnya sendiri. Juga terlihat seseorang memegang gitar sedang asyik memainkan gitarnya.

Waktu beranjak malam, jamaah mulai berdatangan. Mereka biasanya datang sendiri atau berkelompok, juga ada yang datang bersama keluarga. Mereka duduk-duduk santai di pelataran acara sambil menikmati jajanan yang sudah rapi berjajar di sekeliling pelataran. Sebagian besar sudah membawa bekal. Salah seorang menyapa kami, “Saya dibekali kopi oleh istri dari rumah, untuk begadang di KC malam ini katanya. Mau kopi, Mas?”

Begitulah suasana yang selalu nampak setiap bulan di minggu kedua, para jamaah terasa benar memanfaatkan momen tersebut bukan hanya untuk sekedar menghadiri acara, tapi sudah bergeser menjadi ajang silaturahmi rutin di antara sesama jamaah, dengan saling bertegur sapa, saling bertukar kabar dan bersenda gurau, serasa di rumah sendiri. Menjelang pukul delapan malam, jamaah mulai mendekat ke depan panggung. Beberapa perwakilan panitia dan jamaah inisiatif berkumpul di depan untuk tadarusan bersama. Malam ini membaca surat Al-Hijr dan An-Nahl sebagai tanda bahwa Kenduri Cinta telah dimulai.

Illustrasi: Erik Supit

Illustrasi: Erik Supit

PROLOG

Seusai tadarusan, Sholeh yang pada Kenduri Cinta kali itu bertindak selaku moderator, membuka awalan diskusi terkait dengan tema. Ia menjelaskan bahwa tema yang dipilih adalah hasil dari diskusi di forum reboan.

Amien Subhan yang pada Kenduri Cinta edisi bulan Februari 2014 ini ditunjuk untuk menulis mukadimah, mencoba merunut asal usul kata postimis. Awalnya, pada tema untuk Kenduri Cinta Maret 2010, Frekuensi Kesabaran, Andi Priok (alm.) mengungkapkan kata untuk menyikapi keadaan atau situasi yang tidak menentu dengan istilah postimis, dimana ia menggambarkan situasi kebingungan diantara optimis maupun pesimis. Kemudian Amien menautkan pendefinisian kata postimis ke dalam pertunjukan wayang dengan mengambil cerita Lahirnya Wisanggeni untuk pengilustrasian pada mukadimah.

Selanjutnya Adi Pudjo menyampaikan bahwa postimis ini memang istilah yang sengaja dimunculkan. Bukan dari mana-mana, namun tema ini untuk menyikapi keadaan yang ada. Menyikapi berbagai keadaan di 2014, yang katanya tahun politik, adanya pemilu, hingga gunung Kelud yang alhamdulillah sudah bangkit kembali. “Bayangan saya, keadaan ini kalau di gathuk-gathukan sangat ruwet. Misalnya pemilu kan bulan April, sekarang ini bulan Pebruari ada gunung Kelud, terus misalkan Maret ada lagi, April ada lagi, kira-kira pemilu akan terjadi atau tidak? Terus kita mau milih pemilu atau mbantu korban ini? Wacana ini banyak muncul diantara temen-temen Maiyah sejak sebulan lalu.

“Tapi kita tidak ingin berpikir negatif, postimis ini bukan semata-mata masalah optimis atau pesimis, pada apa yang kita rasakan, kita tidak bisa berhenti hanya itu, kita harus melakukan sesuatu. Sedangkan kita dari awal tidak bisa menentukan. Sehingga kita harus tawakal, hemat, ubet. Tawakal itu bukan kita di belakang tapi di depan, sebagai contoh ketika kita makan kita baca terlebih dahulu “bismillah”, sehingga yang kita lakukan tujuannya sudah jelas. Lalu hemat disini saya artikan efektif. Sedangkan ubet adalah dengan cara-cara yang kreatif.”

Irfan kemudian menyambung dengan mencoba merekontruksi dari tema-tema Kenduri Cinta sebelumnya, berangkat dari Jugernaut, Jokowingit, Syarat Rukun Bencana, Allah Audienku, Ahmaq sampai dengan hari ini Postimis. “Kita disini sama-sama belajar, sehingga bukan kita yang ada di depan ini lebih tahu dari teman-teman lainnya. Namun kita punya kesepahaman bersama bahwa kondisi saat ini sedang terjadi kemandegan budaya, kemandegan kreativitas dan pemikiran. Sehingga perlu penemuan hal-hal baru, diantaranya istilah postimis ini. Karena istilah ini baru lahir di Kenduri Cinta, kalau kemudian kita bingung, mbulet tidak karu-karuan, namun dengan ini justru teman-teman dapat menyampaikan versinya masing-masing.” Irfan melanjutkan prolognya dengan pengilustrasian postimis menggunakan cerita wayang mengenai dinamika proses belajar yang terjadi antara Resi Durna, Raden Arjuna, Adipati Karna dan Bambang Ekalaya.

Setelah dua narasumber menyampaikan pemaparannya, kemudian dilanjutkan oleh Ibrahim yang menggunakan terminologi manusia wajib, manusia sunah, manusia makruh dan sebagainya. Di dunia pewayangan, Wisageni adalah manusia haram menurut anggapan dewa-dewa, kurawa dan pandawa, karena Wisageni akan merugikan orang-orang yang akan melakukan tipu muslihat. Wisageni dalam hal ini sudah haqul yaqin, sudah melewati keyakinan optimis dan pesimis. Sebagai ilustrasi postimis, ketika dua orang dalam kereta jayabaya jurusan Surabaya baru kenalan, maka pertanyaannya bukan lagi, “Apakah sampeyan optimis/pesimis kereta ini sampai ke Surabaya?” Tidak lagi pertanyaan mengenai keyakinan, tetapi sudah mengenai haqul yakin, “Ada urusan apa di Surabaya?”

Sebelum sesi tanya-jawab dan saling respon dibuka, terlebih dahulu jamaah diajak untuk membaca surat surat An-Nashr sesuai pesan dari Cak Nun saat itu, sebagai perenungan mengenai keadaan, kondisi dan situasi alam dan sebagainya.


Respon pertama dari Irfan yang berdomisili di Bogor, ia menyampaikan bahwa di Kenduri Cinta selalu diajari untuk berpikir siklikal, bahwa dalam menghadapi segala sesuatu kita dapat mengambil kebaikan dari keburukan, namun pengetahuan kita mengenai keburukan-keburukan dari yang nampak baik tidak lantas kita umbar-umbar. Menurutnya, postimis adalah semacam itu.

Selanjutnya Sudarmo Dwi Yuwono dari UNJ (Universitas Negeri Jakarta) yang berpendapat bahwa postimis menurutnya sebagai kegamangan dalam bersikap. “Saya mengamati bahwa akhir-akhir ini kita yang sudah mempunyai pengetahuan yang cukup, tapi dalam mengambil suatu tindakan masih ragu. Misalnya kami yang kuliah di UNJ, mau jadi guru saja masih ragu, akhirnya ada yang mengambil pekerjaan lain. Jadi, postimis ini menurut saya adalah sifat yang galau.”

Salah satu jamaah dari Depok menyatakan bahwa apapun itu kalau dasarnya adalah tauhid, pasti kalau disambung-sambungkan akan ketemu. Sakinah, jamaah dari Sulawesi Tengah, menanyakan “Kenapa sosok Wisageni yang tahu sebelum terjadi itu tidak diinginkan dan kenapa tidak boleh hidup sampai dengan perang baratayuda?”

Jamaah lainnya merespon; Wisageni sebenarnya tokoh carangan, tidak ada di wira cerita Mahabarata asli, tujuannya untuk membumikan cerita supaya merakyat karena cerita aslinya hanya diisi oleh tokoh-tokoh elit. Wisageni ini adalah tokoh wayang yang digunakan oleh dalang sebagai tokoh yang sudah haqul yakin, yang tahu bahwa sejatinya pertunjukan wayang itu semuanya ‘terserah’ dalang. Jadi kalau sampai Wisageni membuka kesejatian itu, maka pertunjukan wayang selesai dan tidak menarik lagi. Di cerita ini, Wisageni berperan untuk mengawal jalannya cerita namun tidak sampai perang baratayuda. Karena jika sampai ikut perang, kemungkinan Wisageni yang tak terkalahkan dan memeiliki pengetahuan sejati itu malah akan membunuh pandawa, namun perlu diingat bahwa tak terkalahkan dan pengetahuan sejatinya Wisageni itu hanya sebatas di cerita wayang saja.

POST-IM-IST

Setelah prolog disampaikan, forum berlanjut ke sesi diskusi. Namun, sebelum beranjak pada diskusi sesi pertama, tampil salah satu jamaah, Huud Alam, dengan seni Beat Box yaitu seni memainkan atau menirukan instrumen musik serta beragam bebunyian dari mulut dan pernafasan. Di Maiyah apa saja dapat diapresiasikan dengan baik, apapun bisa diterima asalkan dapat memberi kegembiraan dan rasa syukur bersama. Setelah Hud Alam menyuguhkan dentuman suara dari mulutnya, sastrawan jalanan Restu Prawiranegara, membacakan puisi Menembus Cakrawala.

Untuk mengawal jalannya diskusi, Irfan ditugasi sebagai moderator. Para narasumber yang hadir antara lain: DR Abdul Aziz Kafia (tokoh pemuda Bamus Betawi), Addin Jauharudin (Ketua Umum PMII), Prof. DR. Ir Saiful Anwar, dan Farida Farichah (Ketua Umum Pimpinan Pusat IPPNU).

Sesi pertama diawali oleh DR Abdul Aziz yang menyampaikan bahwa kita disini adalah korban dari suatu rekayasa orang lain jika kita tidak memiliki keyakinan, dan keyakinan terbentuk dari berpikir. Untuk menjadi orang hebat, pertama adalah niat dengan bermimpi yang indah-indah dan sesuai. Kedua, syariat, kemudian jihad dan tawakal.

Addin Jauharudin berpandangan bahwa hidup harus optimis karena semuanya berasal dari ketidak-mungkinan dan tidak masuk akal. Sebagai contoh ketika Nabi Nuh membuat perahu, Nabi Musa membelah lautan dengan tongkat dan penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Bahwa perahu Nuh adalah sebuah kendaraan, organisasi atau komunitas sedangkan tongkat Musa adalah apa yang kita kerjakan dan masa usia muda seperti Muhammad Al-Fatih.

Prof. DR. Ir. Saiful Anwar mencoba mengartikan postimis dengan memaksakan istilah ini sebagai bahasa Inggris post-im-ist, post berarti tempat yang dapat berisikan positif maupun negatif, -im untuk improvisasi dan ditambahkan keterangan -ist sebagai pelaku. Postimist adalah pelaku SDM yang mampu mengimprovisasikan antara faktor positif dan negatif menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat. Bentuknya dapat diimplementasikan dengan pemanfaatan lahan tidur, sungai, sampah, dan penghijauan dengan mempertimbangkan positif dan negatifnya diimprovisasi oleh kerjasama antara pemerintah dan masyarakat.

Farida Farichah menyampaikan bahwa kita harus optimis meskipun keadaan memaksa kita untuk pesimis. Namun sekecil apapun optimis kita, jika itu dilakukan dengan baik, maka zaman-zaman keemasan bangsa kita tidak akan jauh-jauh lagi dari sekarang.

Jamaah lalu memberi beberapa respon dari paparan para narasumber. Aswan Munarman dari komunitas sastra Jakarta, yang mengartikan postimis sebagai kemampuan kita untuk keluar dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin dengan sikap optimis. Atau bisa juga dari kata post-times, yaitu menyampaikan pada waktu yang tepat. Dan selanjutnya pos-TIM-is apa yang dapat kita sampaikan setelah di TIM, Taman Ismail Marzuki ini?

Selanjutnya Dona dari Ciputat, lebih suka menggunakan kata yakin ketimbang kata optimis. Dimana yakin itu mesti diusahakan, dan usaha itu tidak sendirian, tetapi kerja tim.

Ibu Andi Murniati dari Madiun, mengartikan postimis sebagai istilah yang mendekati makna tawakal. Jika postimis ditulis dalam huruf Arab, berasal dari huruf hijaiyah, sin untuk cahaya, ta untuk tawakal dan mim untuk muslimin.

“Sukses itu sabar yang panjang dengan menyelesaikan apa yang dimulai, sedangkan gagal bukanlah keberhasilan yang tertunda, tapi berhenti sebelum berhasil.”
Beben Jazz

DISKUSI SESI KEDUA

Diskusi sesi kedua selanjutnya  dipandu oleh Iwan Gunawan dan Mathar Kamal, diawali dengan melantunkan solawat diiringi dengan irama beat box. Kemudian disambung dengan mengeksplorasi Jazz dengan beat box. Kolaborasi Beben Jazz dan Inna Kamarie dengan beat box merupakan sajian yang nyaris tidak mungkin, namun pada Maiyah itu semua dapat terjadi. Beben menyampaikan bahwa sukses itu sabar yang panjang dengan menyelesaikan apa yang dimulai. Sedangkan, gagal bukanlah keberhasilan yang tertunda, tapi berhenti sebelum berhasil.

Pramono, salah satu penggiat Kenduri Cinta, menyampaikan bahwa spirit untuk mengalahkan diri sendiri adalah kesuksesan. Sukses adalah keseimbangan antara fisik, otak, hati dan jiwa kita. Kita perlu memotivasi diri sendiri dengan belajar dari banyak orang. Motivasi dari dalam, sementara orang lain adalah sumber inspirasi. Tantangan yang kita hadapi membuat kita untuk terus tumbuh. Kisah Sir Athon Halery dan Tensinhan dijadikan contoh olehnya mengenai meraih kesuksesan.

Giliran Amzar, ia menyampaikan bahwa substansi adalah sama namun cara dan metode untuk berikhtiar itu dapat berbeda-beda tergantung argumentasinya masing-masing. Dengan postimis itu kita harus hati-hati karena ini dapat menjadi sesuatu yang dogmatis, ideologis, dapat menjadi agama bahkan menjadi tuhan dalam diri kita sendiri. Tapi ketika dia menyadari bahwa dia hanya manusia, dia bukan malaikat dan bukan pula iblis, dia menyadari bahwa hanya dapat melakukan berkat pertolongan semesta dan bantuan orang lain, itulah postimis.

Selanjutnya Andre Dwi Wiyono menyampaikan bahwa ada hal yang paling besar untuk menyongsong sisi lain secara pesimis dan sisi lain secara optimis yaitu percaya hukum-hukum Tuhan yang terwakili dalam sunatullah. Namun hal ini datang melalui proses, tidak sekonyong-konyong. Nabi dapat menjadi nabi itu berproses, meskipun ada intervensi Tuhan. Artinya, optimis ataupun optimisme itu boleh, tapi jangan mencari pemimpin. Kita menciptakan pemimpin pada diri kita sendiri sehingga kita tahu pemimpin yang sejati. Dalam proses ini akan terbentuk konsepsi, metodologi hidup yang jika dibaurkan menjadi konsepsi nasional, konsepsi nusantara.

Tidak terasa waktu menunjukkan pukul 02:45, Kenduri Cinta edisi Pebruari 2014 sudah mencapai puncak, seluruh jamaah berdiri bersama untuk meneguhkan cinta kepada Allah dan Rasulullah. Sebelum diakhiri, Ibrahim diminta mewakili untuk membacakan pesan dari Cak Nun sebagai “sangu” untuk perenungan dan bahan refleksi di tahun ini. Disambung dengan doa bersama untuk menutup Kenduri Cinta pagi itu.