Mukadimah ALLAH AUDIENKU – BAHAGIALAH YANG TERASING

SALAH SATU pelajaran penting dan sangat elementer namun kita sering pura-pura tidak ingat terhadapnya adalah penyataan Tuhan yang menegaskan bahwa manusia (dan jin) tidak diciptakan kecuali untuk mengabdi berbakti kepada-Nya, manusia dihadirkan ke dunia untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Dengan kata lain Tuhan menghadirkan manusia ke muka bumi dengan settingandefault” bahwa ultimate goal dari kerja, gerak dan diam manusia adalah untuk Allah. Sang Audiens Agung yang benar-benar memiliki kredibilitas ilmiah dalam menilai perilaku manusia.

Namun dalam perjalanan sejarahnya manusia bertemu dengan situasi zaman dimana orang tak terlalu serius mengucapkan kalimat, inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin, sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah. Penilaian Tuhan atas manusia tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting, cara pandang Tuhan dalam menilai kehidupan manusia bukanlah sesuatu yang benar-benar perlu diperhatikan. Situasi zaman dimana penonton utama kehidupan adalah manusia lainnya, hingga keunggulan seorang manusia bukan lagi diukur berdasar keluhuran perilaku dan pilihan sikap hidupnya, namun sejauh mana applause dan apresiasi diberikan oleh manusia lainnya. Banyak yang memilih tunduk demi mereguk manisnya hidup dalam hingar bingar keterkenalan dan memperoleh fasilitas lezat dari sejarah.

Dari yang banyak itu tak sedikit pula yang melacurkan diri, dengan cara yang lembut dan sopan tentunya, sekadar agar bisa ikut antre untuk mendaftar menjadi tokoh, berlomba menjadi pemandu spiritual, ataupun melakukan fabrikasi identitas diri agar nampak seperti pahlawan pencerahan atapun pejuang penyelamat kehidupan. Orang tak lagi sungkan memberi label pada dirinya, atau setidaknya melakukan upaya agar orang lain memasang label di jidatnya agar punya posisi tawar yang tinggi. Industri pun mendukungnya dan masyarakat menerimanya sebagai sesuatu yang tidak salah.Ada pula yang memilih berjalan di tepi, ataupun memang tersingkir karena mainstream zaman tak lagi menghendaki. Memilih untuk tidak tunduk pada keadaan meski harus bersusah payah agar kaki tetap kokoh menopang, rela tak dianggap dan terasing dari hingar bingar situasi zaman, memilih untuk tidak menjadi siapa-siapa meski juga harus bersakit-sakit menahan syahwat, setidaknya agar kerja, gerak dan diamnya tetap dalam rangka relasi makhluk dengan Tuhannya.

Menjadi terasing adalah seperti menempuh jalan pendekar dalam kisah silat klasik, berdarah-darah mempertahankan nilai kemuliaan yang diyakininya, rela tersingkir dari mainstream masyarakat, pun tersiksa menahan syahwat untuk tidak terlihat seperti seorang pendekar. Menjadi terasing juga ibarat pemain instrumen dalam sebuah orkestra, sebagus apapun kemampuan musik yang dimilikinya dia mesti tunduk pada irama dari sang konduktor, rela untuk tidak menonjol kecuali jika sang konduktor memang menghendakinya, namun tetap asyik dengan musik yang dimainkannnya. Dan sebuah prinsip dipegang, nama tidak boleh lebih besar dari karya dan kerja, kalau perlu ditiadakan.

Dalam zaman yang tak lagi ramah terhadap nilai kemuliaan, kerterkenalan boleh jadi terasa manis dan lezat, meskipun konsekuensinya mungkin akan menyeret kita ke dalam pertunjukan kebodohan, eksibisi kegenitan, ataupun perlombaan kekonyolan. Ketika itu benar terjadi maka keterasingan mestinya menjadi suatu yang membahagiakan, seperti sebuah kehidupan yang meskipun dianggap kecil di bumi, tapi dibesarkan di langit.