Mukadimah JOKOWINGIT

SEPERTI YANG terjadi pada awal Reformasi 1998, kini menjelang Pemilu 2014 sebutan Satrio Piningit kembali laris disebut-sebut baik itu oleh paranormal, pengamat politik, elite politik, ketua RT, pakar ini-itu, tukang ojek, sampai anak-anak muda. Wacana mengenai Satrio Piningit memang telah dibedah sejak jauh sebelum itu, menjadi semacam harapan untuk sekadar mampu bertahan di tengah semakin tidak rasionalnya tingkah laku para pemimpin negeri ini. Satrio Piningit dipercaya sebagai calon pemimpin bangsa yang selama ini tersembunyi, yang akan hadir pada waktunya untuk sama sekali mengganti kepemimpinan nasional dengan kepemimpinan baru yang lebih baik.Tapi menjelang 2014, sosok yang dinantikan berabad-abad ini sepertinya sudah ada. Seorang Gubernur bersahaja yang berasal dari tanah Jawa konon memenuhi semua ciri-ciri Satrio Piningit seperti disebutkan dalam Jangka Jayabaya dan Serat Kalatidha. Gubernur ini diunggulkan sebagai calon Presiden yang ideal secara intelektual plus mendapat restu dari Langit. Kurang apalagi? Indonesia, bahkan dunia, akan dipimpin oleh dua bersaudara tertua yang saat ini menghuni Bumi, kakak beradik anak dari Nabi Nuh. Javet disuruh pulang kampong ke Jawa sesudah kapal terdampar di Asia Barat, sementara adiknya, Kawit, disuruh babat alas di daratan China. Cocok! Gubernur ini pastilah si Jokowingit itu. Dzat dan sifatnya wingit karena disembunyikan (piningit). Tidak ada yang perlu dirisaukan lagi karena kita tinggal nunggu wektu.

Dari pengalaman yang sudah-sudah, untuk memilih pemimpin masyarakat hari ini mendasarkan penghitungan pada nama, tokoh, atau figur yang sering muncul di televisi dan koran-koran. Yang layak menjadi pemimpin adalah mereka yang namanya berkibar di media-media sehingga apapun yang mereka lakukan semakin mengukuhkan nama baik mereka. Dan kalau sudah terlanjur menyukai satu tokoh, kita mabuk di dalamnya. Tindakan-tindakan biasa jika yang melakukannya adalah tokoh kita, menjadi prestasi luar biasa yang menghiasi halaman utama media-media massa.

Sementaraitu media sebagai industri mendasarkan pemberitaannya berdasarkan laku atau tidak laku. Makanan beracun terus dipajang di etalase selama itu menguntungkan. Dan toh, cukup sekian persen dari keuntungan yang diperlukan untuk menyebarkan ‘fakta’ bahwa makanan itu menyehatkan, kalau perlu didukung dengan hasil riset oleh professor ini dari universitas itu – dan ini cukup untuk membuat kita meleleh mengiyakan. Secara bersamaan, ini juga melemparkan kita semakin jauh dari makanan yang benar-benar dibutuhkan oleh tubuh kita.

Maka dalam satuan pandang yang lebih kecil dan penalaran yang lebih praktis, Satrio Piningit bisa dipahami sebagai simbol atas penyelamatan keadaan dalam bentuk pergeseran cara berpikir masyarakat. Ketika masyarakat mau dan mampu mengindera sesuatu yang selama ini tersembunyi – yang tidak populer, dianggap tidak penting, diremeh-remehkan, tidak marketable, tidak layak tayang, tidak layak hitung – maka sampailah kita pada keselamatan karena dengan jangkauan lebih luas dan dalam itu kita mampu dengan lebih jernih mempertanyakan, menghitung, dan memutuskan pilihan-pilihan kita secara mandiri.

Dalam dunia pendidikan politik, pergeseran cara berpikir ini berarti masyarakat sudah siap bertemu dengan Satrio Pinilih – kali ini yang pinilih (dipilih) bukan hanya oleh sistem demokrasi ala Indonesia, melainkan terutama oleh Allah. Sebab bukannya menyumbang satu suara, Allah memilih dengan memberikan perkenan-Nya untuk terjadinya perubahan besar yang tidak mungkin dijalankan manusia.

Maka menjelang event besar tahun depan, kita tinggal duduk manis karena Jokowingit sudah akan mrantasi gawe. Atau, mungkin kita harus berperang setiap hari untuk memenuhi syarat dipertemukan dengan Jokowingit sejati di dalam inti diri kita.