Mukadimah SUMPAH BERBISIK

Sejak tahun 1998 ekonomi Indonesia semakin rapuh. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya krisis sumber pangan dan energi. Sejak tahun 2007 hingga sekarang inflansi pangan sudah mencapai dua kali lipat. Ini menandakan bahwa ketergantungan impor pangan kita cukup tinggi seperti impor gula dan produk lain yang kita punya ketergantungan. Pada saat IMF hadir, terdapat persyaratan-persyaratan yang memiliki kaitan dengan krisis pangan yang terjadi saat ini.

Atas nama kemakmuran para penguasa mengklaim keabsahan ketimpangan.

Atas nama keadilan para hulubalang berlomba membuat aturan.

Atas nama pendidikan para pengajar bersilat lidah sahnya kepandaian diatas keluhuran.

Atas nama derajat kesehatan para tabib menawarkan pengobatan berkasta.

Atas nama surga para pendakwah melegalkan kebenaran tafsir di atas logika.

Atas nama mereka lah, sumpah berbisik rakyat berkumandang di relung-relung munajat dan ritual kehidupan

Persyaratan-persyaratan tersebut seperti Indonesia diwajibkan membuka pasar pertanian dan ini merupakan salah satu policy matrix yang diprasyaratkan. Selain itu dalam bidang energi monopoli Pertamina harus dihilangkan karena dianggap Pertamina sumber korupsi dan sebagainya.

Dalam satu dekade terakhir ini, Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari fluktuasi sistem kapitalisme global, seperti misalnya dalam hal kenaikan harga BBM, yang didasarkan pada kenaikan harga minyak dunia. Kenaikan BBM sendiri berkait pula dengan aspek spekulasi di Wall Street, yang juga berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok pada bulan-bulan yang lalu.

Kita bisa merunut krisis ini ke belakang. Pada tahun 1970-an terjadi krisis sebuah sistem berproduksi kapitalis yang bersifat massal. Pada saat itu juga terjadi krisis minyak dan produksi global mengalami stagnasi. Ini memukul negara-negara maju. Amerika Latin di tahun 1980an terpuruk karena krisis hutang dan ini seperti mengundang Washington Concencus atau neoliberalisme yang menandai fungsi kapitalisme yang mengandalkan pada low skill labour, sudah berubah. Kapitalisme adalah sistem yang selalu diwarnai terjadinya krisis, lebih-lebih lagi dengan adanya akumulasi modal yang sifatnya spekulatif sejak 1970an.

Kemunculan inovasi tekologi komunikasi saat ini semakin memfasilitasi kapitalisme yang didasarkan pada aspek spekulatif. Spekulasi juga menjadi sebab penting krisis Asia. Seperti kasus di Korea Selatan yang pada akhirnya perusahaan tidak mampu membayar hutang, juga di Thailand pada akhir 1990an. Sistem ekonomi yang spekulatif ini juga seakan oleh IMF. IMF memberikan dana talangan kepada negara yang terkena krisis, sehingga negara memiliki hutang kepada IMF. Jadi, akhirnya yang terjadi adalah hutang swasta menjadi tanggung jawab negara. Wacana yang menonjol dalam menghadapi krisis ini pada dasarnya tidak mengingkari kapitalisme tetapi yang diperlukan disini adalah sutau bentuk kebijakan atau regulasi. Yang menjadi masalah adalah perlunya faktor mediasi dimana kapitalisme dengan variabel lain dapat bergerak kompatibel.

Kenaikan BBM masih terus menjadi isu dan bahkan menjadi polemik hangat di masyarakat. Rencana pemerintah bak gertakan sambal kepada masyarakat tentang kenaikan BBM ini. Namun masih belum kunjung diputuskan tentang kenaikan BBM ini secara konkret. Hal ini mengingat pemerintah harus betul-betul memperhitungkan dampak sosial, ekonomi, politik dan keamanan terhadap kenaikan BBM nantinya.

Beberapa wacana mekanisme kenaikan BBM dengan berbagai skenario telah digulirkan. Terakhir pemerintah berencana memberikan dua harga BBM bersubsidi yaitu Rp. 4,500 per liter bagi kendaraan umum dan sepeda motor, dan Rp. 6,500 per liter bagi kendaraan mobil pribadi. Tak ayal kebijakan langkah tersebut langsung mendapat respon negatif dari masyarakat maupun pengusaha SPBU sendiri. Kerumitan mekanisme dua harga dianggap menimbulkan resiko penyelewengan yang lebih besar lagi terhadap BBM bersubsidi.

Disisi lain ketika pemerintah menaikkan hanya satu harga yaitu Rp. 6,500 per liter juga mendapat kritikan dari Politisi yang berseberangan dimana pemerintah dianggap hanya mencari gampangnya saja. Waktu terus bergulir. Pemerintah harus arif dalam mengambil langkah yang tepat dan menaikkan harga BBM bersubidi secara terukur dan mekanisme yang mudah diikut oleh masyarakat namun meningkatkan keefektifan dalam mengendalikan BBM bersubsidi tersebut.

Menjamurnya jumlah SPBU diberbagai tempat justru bertolak belakang dengan upaya pemerintah untuk membatasi BBM bersubsidi. Berbagai kebocoran BBM bersubsidi yang terjadi melalui penyelundupan BBM bersubsidi diarea perbatasan dengan negara asing justru semakin marak. Beberapa kali petugas menangkap beberapa kapal yang mengangkut BBM bersubsidi yang hendak dibawa keluar negeri di perairan Kepulauan Riau. Hal ini sangat disayangkan. Ada pihak-pihak tertentu yang masih bebas melakukan kegiatan haram tersebut sedangkan rakyat terus dirongrong kenaikan BBM bersubdisi yang ditakuti berdampak kepada kenaikan harga barang konsumsi secara masif. Akibatnya daya beli masyarakat menurun tajam.

Kenaikan BBM bersubsidi dinilai oleh sebagian pihak dirasa sudah terlambat. Kesenjangan harga yang semakin jauh menyebabkan pemerintah semakin gamang menaikkan harga BBM. Sehingga hal ini menjadi simalakama tahun politik.

Kalau kenaikan BBM memang harus dilakukan sebaiknya pemerintah menaikkan harga BBM tersebut tidak secara drastis. Dilakukan dengan mekanisme yang mudah, cukup satu harga. Katakanlah kenaikan sebesar Rp. 500 per liter. Sehingga menjadi Rp. 5.000 per liter hal ini dirasa tidak akan memberikan dampak yang besar terhadap berbagai sektor sambil melihat kestabilan ekonomi, politik dan keamanan dalam negeri beban terhadap APBN bisa semakin dikurangi.

Rakyat sudah harus menahan getir dan pahit dalam sendi kehidupan sehingga dalam relung hati mereka terjadi sumpah-sumpah yang tak terdengar ke telinga para PENGUASA negeri ini.